Daftar Isi
Kamu pernah nggak sih ngerasain ada di posisi yang bikin kamu bingung banget, antara sahabat yang udah lama kenal dan pacar yang bikin hati kamu deg-degan?
Nah, cerpen ini bakal ngebahas tentang cinta segitiga yang bukan cuma bikin pusing, tapi juga penuh tawa, drama, dan pilihan susah yang bikin kamu mikir dua kali. Intinya sih, kadang, nggak semua hal bisa dipilih begitu aja, dan kamu bakal lihat gimana tiga orang ini ngadepin dilema mereka yang penuh emosi.
Cinta Segitiga dan Persahabatan
Persimpangan yang Tak Terduga
Reno memandangi Saka yang sedang sibuk memainkan pena di tangannya, mengetuk-ketukkan benda kecil itu ke meja kantin kampus yang penuh noda kopi dan coretan nama. Kafein pagi yang mereka pesan belum datang, dan Saka terlihat seperti orang yang kehilangan kesabaran. Sejak dulu, Saka memang selalu seperti itu — berapi-api, cepat bosan, dan selalu ingin menjadi pusat perhatian.
Di depannya, Reno duduk dengan tenang, sesekali melirik ke layar handphonenya, memperhatikan foto yang ia ambil saat Maya, teman mereka, tak sadar dirinya sedang menjadi objek kamera. Di layar, Maya terlihat serius memandangi sebuah lukisan abstrak di pameran seni beberapa hari lalu, dengan ekspresi bingung yang baginya terlihat sangat lucu.
“Ren, lo lihat apa sih dari tadi?” Saka bertanya tiba-tiba, memutuskan untuk mengabaikan pena di tangannya dan meraih handphone Reno tanpa peringatan. “Oh, ini… foto Maya?”
Reno tersentak, berusaha merebut kembali handphone-nya dengan sedikit canggung. “Eh, santai, Sak. Itu cuma foto biasa, kok. Iseng aja.”
Saka memicingkan mata, lalu mengembalikan handphone itu. Dia memang bukan tipe yang langsung menyimpulkan sesuatu, tapi tatapan curiganya cukup untuk membuat Reno merasa tersudut.
“Jujur aja, Ren, kenapa lo sering banget ngambilin foto Maya diem-diem? Gak mungkin cuma iseng kan?” Saka mendekatkan diri ke Reno, seperti detektif yang sedang menginterogasi tersangka utama.
Reno berusaha mempertahankan wajah tanpa ekspresi. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya menjawab. “Saka, lo tahu kita udah sahabatan sama Maya sejak SMA. Kita cuma saling peduli, gak ada yang spesial.”
Namun, dari nada suaranya, Saka tahu Reno sedang berusaha menutupi sesuatu. “Kalau lo bilang cuma peduli, kenapa ekspresi lo beda pas ngeliatin foto dia?”
Reno terdiam, tak bisa membantah lagi. Sebenarnya, rasa nyaman yang ia rasakan terhadap Maya memang telah tumbuh sejak lama, tapi ia selalu menyangkal perasaan itu, takut menghancurkan persahabatan mereka bertiga yang sudah berjalan bertahun-tahun. Baginya, menjaga Maya tetap di sisi mereka sudah cukup.
Mendengar Reno terdiam, Saka malah tersenyum tipis, seperti mendapat ide baru. “Ren, kalau gue suka sama Maya, menurut lo gimana?”
Reno nyaris tersedak mendengar kata-kata itu. “Serius, Sak? Lo suka sama Maya?”
Saka mengangkat bahu, memasang ekspresi main-main yang selalu menjadi ciri khasnya. “Ya… gue rasa gitu sih. Gue juga pengen ngelindungin dia, pengen buat dia bahagia.”
Seketika Reno merasakan jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya. Mendengar Saka, sahabat dekatnya, mengatakan itu membuatnya bingung antara merasa tersaingi atau berusaha menahan agar tetap tenang. Tapi sebelum ia bisa mengatakan sesuatu, sebuah suara yang sangat mereka kenal terdengar dari belakang mereka.
“Kalian lagi ngomongin aku ya?” Maya berdiri di sana, menatap mereka berdua dengan ekspresi penasaran.
Saka tersenyum lebar, seakan tidak terjadi apa-apa. “Eh, May! Kita lagi ngomongin siapa yang lebih sering ngajak lo makan bareng. Gue atau Reno?”
Maya tertawa, lalu duduk di sebelah mereka dengan membawa nampan penuh makanan. “Dasar ya, kalian. Kalian kayak gak ada bahan obrolan lain aja.”
Saka dan Reno saling melirik, tertawa canggung, dan mencoba mengalihkan pembicaraan. Tapi jauh di dalam hatinya, Reno tahu persahabatan mereka mulai berubah. Ada perasaan yang diam-diam menuntut lebih, namun terlalu berat untuk diakui.
Hari itu, Reno mencoba melupakan percakapan kecilnya dengan Saka. Mereka bertiga menikmati makan siang bersama, berbagi cerita tentang kuliah dan tugas-tugas yang menumpuk. Maya seperti biasa, tertawa dengan lepas, menyuguhkan keceriaan yang membuat Reno dan Saka selalu merasa hidup di sampingnya.
Namun, saat makan siang selesai, Reno merasa tak bisa lagi menahan rasa penasaran yang mulai membakar pikirannya. Ia dan Saka butuh pembicaraan yang lebih serius tentang ini, meskipun itu berarti harus menyentuh area yang sensitif di antara mereka.
Sore harinya, di taman kampus, Reno dan Saka duduk di bangku panjang di bawah pohon besar yang daunnya berguguran ditiup angin. Tempat itu sepi, hanya ada suara langkah mahasiswa yang lewat sambil membawa buku atau berkelompok dengan teman-teman mereka.
“Kita perlu ngomong soal ini, Sak,” Reno membuka percakapan dengan nada datar.
Saka mengangguk, seperti sudah menebak apa yang Reno maksudkan. “Gue setuju. Kayaknya kita udah terlalu lama saling nutupin.”
Reno menarik napas panjang, menatap hamparan daun-daun yang berserakan di tanah. “Gue suka sama Maya. Udah lama, Sak. Tapi gue selalu nahan diri, karena kita bertiga udah kayak saudara. Gue gak mau kalau semuanya jadi berubah karena perasaan ini.”
Saka terdiam, mengamati wajah Reno yang serius. Ia menunduk, mengambil sepotong daun kering dan meremasnya pelan-pelan. “Gue juga sama, Ren. Gue suka sama dia. Awalnya gue kira itu cuma perasaan iseng, tapi makin lama gue makin sadar kalau gue… ya, pengen deket sama dia, pengen jadi orang yang dia pilih.”
Mereka berdua terdiam cukup lama, membiarkan kata-kata itu meresap. Reno merasakan berat di dadanya, perasaan yang selama ini ia simpan rapat-rapat akhirnya keluar juga, namun kenyataan bahwa Saka merasakan hal yang sama membuat semuanya terasa rumit.
“Jadi… sekarang kita gimana?” tanya Reno pelan.
Saka menghela napas. “Gue nggak tahu, Ren. Gue juga bingung. Tapi gue tahu satu hal… gue nggak mau kita kehilangan persahabatan ini cuma gara-gara kita suka cewek yang sama.”
Reno mengangguk setuju. “Gue juga nggak mau kita hancur gara-gara ini. Maya penting buat kita, tapi persahabatan ini juga nggak kalah penting.”
Saat mereka berdua berdiskusi, mereka tak menyadari bahwa Maya sedang berjalan mendekati mereka. Ia mendengar sepintas kata-kata yang keluar dari mulut Saka dan Reno, menyadari bahwa percakapan mereka tampak serius. Dengan rasa penasaran yang tak tertahankan, Maya melangkah lebih dekat, namun ia berusaha menahan diri agar tidak mengganggu.
Reno dan Saka menyadari keberadaan Maya beberapa saat kemudian. Mereka terkejut, tapi mencoba tetap tenang.
Maya duduk di samping mereka, tanpa basa-basi bertanya, “Kalian lagi ngomongin apa? Kayaknya serius banget.”
Saka tersenyum kecil, lalu menjawab dengan nada santai. “Ah, nggak ada kok. Kita cuma lagi diskusi soal tugas.”
Maya mendelik, tahu bahwa itu hanyalah alasan. “Udah ah, nggak usah bohong. Kalian pikir aku nggak bisa lihat? Ada apa sebenarnya?”
Reno dan Saka saling menatap, merasa terjebak dalam situasi yang sulit. Mereka tahu Maya adalah sahabat yang selalu ada, yang selalu ingin tahu apa yang terjadi di antara mereka. Tapi saat ini, ada perasaan yang terlalu rumit untuk diungkapkan. Perasaan yang mungkin akan mengubah segalanya.
Namun, meskipun suasana di antara mereka terasa lebih berat dari biasanya, Reno dan Saka tetap memilih untuk tersenyum. Mereka tahu bahwa jalan yang akan mereka tempuh mungkin penuh liku, tapi untuk saat ini, mereka hanya ingin mempertahankan kebersamaan yang telah mereka bangun sejak dulu.
Persimpangan yang tak terduga ini baru saja dimulai.
Rahasia di Balik Senyuman
Malam itu, Reno berbaring di kamarnya dengan pandangan kosong ke arah langit-langit. Bayangan wajah Maya terus terlintas di kepalanya, dengan segala senyuman dan tawa yang sering ia lihat saat mereka bertiga berkumpul. Dalam hatinya, Reno merasa bimbang. Setelah percakapan di taman kampus dengan Saka, ia semakin menyadari bahwa situasinya bukan hanya tentang perasaan suka, tapi juga pertarungan antara memilih cinta atau menjaga persahabatan yang sudah bertahun-tahun terjalin.
Pikiran itu terlalu mengganggu untuk dibiarkan, jadi Reno meraih handphone-nya dan mengetik pesan singkat ke Saka.
Reno: “Gue perlu kita ngobrol lagi. Bisa ketemu di tempat biasa besok pagi?”
Pesan itu hanya berbalas dengan satu kata, tanda bahwa Saka sudah setuju.
Esok paginya, Reno sudah duduk di salah satu kursi kayu di taman kampus yang biasanya menjadi tempat mereka bertiga menghabiskan waktu bersama. Namun, kali ini hanya ada ia dan Saka, tanpa Maya. Taman itu masih sepi, hanya terdengar suara dedaunan yang tertiup angin. Saka tiba tak lama kemudian, langsung duduk di samping Reno tanpa sepatah kata.
Reno memulai pembicaraan dengan ragu, namun dalam hatinya ia tahu bahwa semakin cepat mereka selesaikan, semakin baik. “Sak, gue mikir soal yang kita omongin kemarin. Lo… yakin mau terus maju?”
Saka terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Gue udah nggak bisa mundur, Ren. Lo sendiri? Masih mau terus deket sama Maya?”
Reno menarik napas dalam, mencoba mencari kalimat yang tepat. “Iya… Tapi gue juga nggak mau kalau akhirnya kita jadi musuhan cuma karena ini.”
Saka tertawa kecil, seolah menertawakan kebodohan situasi mereka. “Gue juga nggak mau, Ren. Tapi masalahnya, kita udah sama-sama suka sama Maya. Kalau kita terus begini, yang ada salah satu dari kita bakal terluka.”
Mendengar hal itu, Reno merasa sesak di dadanya. Ia tahu Saka benar. Sebuah perasaan suka yang seharusnya sederhana kini berubah menjadi sebuah permainan yang berisiko.
Saka menoleh ke arah Reno dan melanjutkan, “Gimana kalau kita bikin kesepakatan? Kita tetep deketin Maya, tapi dengan batas tertentu. Kalau dia milih salah satu dari kita… yang lain harus mundur. Gimana?”
Reno menatap sahabatnya dengan penuh kebimbangan. Ide Saka memang terdengar adil, tapi kenyataannya tidak sesederhana itu. Namun, ia tahu ini adalah cara terbaik agar persahabatan mereka tetap utuh, walau berisiko.
“Baiklah, gue setuju,” jawab Reno akhirnya, menegaskan keputusannya. Mereka saling berjabat tangan, seolah mengikat janji yang tidak tertulis. Reno berharap, dengan ini, mereka bisa menghadapi apa pun yang akan terjadi tanpa harus mengorbankan persahabatan mereka.
Beberapa hari berlalu, dan mereka kembali berinteraksi seperti biasa dengan Maya. Maya, seperti biasanya, tampak ceria dan ramah, seolah tidak menyadari ketegangan tersembunyi antara dua sahabatnya itu. Reno dan Saka mulai bersikap lebih berhati-hati, membatasi perasaan mereka dan menjaga jarak saat mereka bersama Maya. Namun, semakin mereka berusaha, semakin sulit pula menahan keinginan untuk mendekati gadis itu.
Di suatu siang, ketika Maya sedang bersama Reno di perpustakaan, mereka duduk bersebelahan, berbagi buku yang sedang mereka baca. Maya sesekali melirik ke arah Reno yang tampak serius, dan entah mengapa, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dari sahabatnya ini. Reno kini lebih pendiam, lebih banyak memikirkan sesuatu.
“Ren, kamu baik-baik aja, kan?” tanya Maya pelan sambil memiringkan kepala, menatapnya dengan mata yang penuh perhatian.
Reno tersentak dari lamunannya, tersenyum tipis. “Aku baik-baik aja, kok. Cuma… lagi banyak yang dipikirin.”
Maya tertawa kecil, lalu meletakkan buku yang mereka baca. “Dari dulu juga kamu selalu banyak yang dipikirin. Kamu tuh orangnya pendiem, tapi entah kenapa, aku selalu merasa tenang kalau lagi sama kamu.”
Reno merasakan jantungnya berdegup kencang mendengar kata-kata Maya. Baginya, ucapan sederhana itu justru menyulut perasaannya yang selama ini ia coba tahan.
Namun, sebelum Reno bisa berkata apa-apa, Saka muncul tiba-tiba dengan membawa dua cangkir kopi. Ia tersenyum lebar dan menyelipkan diri di antara mereka berdua, seolah sengaja ingin merusak momen itu.
“Apa yang kalian omongin, nih? Jangan-jangan gosipin aku ya?” goda Saka sambil mengangkat salah satu cangkir kopinya ke arah Reno.
Reno menggeleng dan tersenyum canggung. “Kita cuma ngobrol biasa, kok.”
Maya tertawa melihat tingkah mereka berdua. “Kalian ini ya, kayak gak bisa jauh-jauh. Kemana-mana selalu bareng. Aku seneng banget punya kalian sebagai sahabat.”
Di balik tawanya, Saka dan Reno merasakan hal yang sama — perasaan yang jauh lebih dari sekadar sahabat, namun terikat oleh janji yang mereka buat. Mereka bertukar pandang, masing-masing menyembunyikan rasa mereka di balik senyuman tipis.
Hari-hari berlalu, dan hubungan mereka bertiga semakin rumit. Saka semakin berani menunjukkan perasaannya pada Maya, tidak lagi sekadar lewat candaan dan lelucon. Ia mulai mengajak Maya keluar sendiri, memberinya perhatian lebih. Di sisi lain, Reno memilih untuk tetap berada di sisinya tanpa banyak kata, berusaha menunjukkan perasaannya lewat perhatian yang diam-diam, dalam bentuk hal-hal kecil yang ia lakukan untuk Maya.
Maya, di sisi lain, tampaknya mulai menyadari ada sesuatu yang berbeda dari kedua sahabatnya ini. Meskipun tidak secara langsung menyadari perasaan mereka, Maya mulai merasakan ketegangan yang tak kasat mata. Namun, Maya lebih memilih mengabaikannya, menikmati kehadiran dua sahabat yang selalu ada untuknya.
Di suatu malam, ketika mereka bertiga sedang berkumpul di kafe favorit mereka, Maya tiba-tiba menatap mereka dengan tatapan serius.
“Aku pengen kalian jujur sama aku,” kata Maya, membuat Saka dan Reno terkejut. “Ada yang kalian sembunyikan dari aku, kan?”
Saka dan Reno terdiam, bingung harus menjawab apa. Mereka saling melirik, berusaha membaca pikiran satu sama lain.
“Gak ada apa-apa kok, May. Mungkin kamu aja yang terlalu mikirin hal kecil,” Saka berusaha mengalihkan perhatian Maya dengan senyum khasnya, tapi Maya tidak terpengaruh.
“Nggak, aku beneran ngerasa ada sesuatu yang berubah. Kalian berdua tuh… belakangan ini lebih pendiem, kayak lagi nyembunyiin sesuatu.”
Reno menghela napas, merasa berada di persimpangan yang sulit. Ia tahu bahwa Maya pantas tahu kebenarannya, tapi ia tidak ingin menghancurkan hubungan mereka bertiga.
Namun, sebelum Reno bisa mengatakan sesuatu, Saka tiba-tiba berdiri dan memegang bahu Maya. “Denger ya, May, gue… gue suka sama lo.”
Reno terdiam, perasaan campur aduk antara terkejut dan kecewa menyelimuti dirinya. Saka baru saja melanggar kesepakatan mereka, dan kini semua kata-kata yang tadinya sulit diungkapkan justru keluar begitu saja.
Maya terlihat terkejut, tak menyangka mendengar pengakuan itu. Ia menatap Saka, lalu menoleh ke arah Reno yang kini menundukkan wajahnya, berusaha menghindari tatapan mereka berdua.
“Aku… nggak tahu harus jawab apa,” ucap Maya pelan, mencoba mencari kata-kata yang tepat.
Suasana di antara mereka mendadak hening. Reno merasa dunia seolah berhenti berputar, sementara Saka menunggu dengan cemas. Maya terlihat bingung, tidak siap menghadapi kenyataan bahwa dua sahabatnya memiliki perasaan yang berbeda dari yang ia bayangkan.
Dalam keheningan itu, Maya hanya bisa menunduk, seolah mencoba mencari jawaban yang belum ia temukan. Persahabatan yang selama ini mereka jaga, kini berada di ujung tanduk.
Ketegangan yang Tersimpan
Keesokan harinya, suasana di antara mereka bertiga terasa lebih sunyi dari biasanya. Bahkan di taman kampus yang biasanya ramai, seolah tidak ada satu pun suara yang bisa memecah keheningan canggung itu. Maya lebih sering menunduk, tatapannya kosong dan bibirnya terkatup rapat. Reno menyadari betul ketidaknyamanan itu, tapi ia tidak tahu cara menghilangkannya, apalagi setelah pengakuan Saka yang blak-blakan.
Saka berusaha bersikap biasa saja. Ia melontarkan lelucon-lelucon kecil, berharap suasana kembali cair seperti dulu, tetapi hasilnya nihil. Tawa Maya tidak lagi sama. Ada keterpaksaan di baliknya, dan semakin jelas bagi Reno bahwa situasi ini membuat semuanya semakin rumit.
Setelah beberapa menit berusaha mengabaikan ketegangan itu, Reno memutuskan untuk mengambil langkah. Ia menoleh ke arah Saka dan berkata dengan nada yang tidak biasa ia tunjukkan.
“Sak, boleh ngobrol sebentar?”
Saka terdiam. Ada kebingungan di matanya, tapi ia mengangguk dan bangkit mengikuti Reno ke sudut taman, agak menjauh dari Maya. Reno melirik Maya sekilas, seolah ingin memastikan bahwa mereka tidak terlalu jauh darinya, namun cukup privasi untuk bicara serius.
Ketika mereka sudah cukup jauh, Reno membuka suara. “Sak, gue pikir… kemarin, lo agak buru-buru.”
Saka menghela napas, lalu menatap Reno dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Ren, gue cuma… ngga bisa lagi nahan ini. Gue capek nyembunyiin perasaan gue dari Maya, dan gue tahu lo juga ngerasain hal yang sama.”
“Iya, gue ngerti.” Reno mengangguk pelan, matanya lurus memandang tanah. “Tapi, kita janji untuk nggak bikin dia bingung, kan? Buat nggak bikin dia harus milih di antara kita.”
Saka tertawa kecil, getir. “Dan lo pikir apa yang kita lakukan selama ini ngga bikin dia bingung? Gue udah nggak tahu lagi, Ren. Kalau gue nggak bilang, gue takut gue bakal terus terjebak dalam rasa ini.”
Reno terdiam. Ia tidak bisa menyalahkan Saka, karena ia pun tahu rasa yang sama: kerumitan perasaan yang harus disimpan selama bertahun-tahun, hanya karena takut merusak persahabatan. Tapi melihat Maya yang sekarang semakin jauh, Reno jadi bertanya-tanya, apakah semua ini benar-benar sepadan?
“Kita nggak bisa nyuruh dia buat milih, Sak,” akhirnya Reno berujar pelan. “Gue ngga mau Maya ngerasa bersalah atau bingung karena perasaan kita.”
Saka menarik napas dalam-dalam, menahan emosinya. “Terus, lo mau sampai kapan begini? Berpura-pura seolah nggak ada apa-apa di antara kita bertiga? Nggak mungkin, Ren. Kita cuma memperpanjang kesakitan kita sendiri.”
Reno ingin menjawab, tapi tenggorokannya serasa tercekat. Sebenarnya, ia sudah sering berpikir hal yang sama, namun selalu mengabaikannya, berharap bahwa perasaan itu akan hilang dengan sendirinya. Tapi semakin lama, semakin mustahil baginya untuk melakukannya.
Saat itu, Maya mendekat, mengagetkan mereka berdua. “Apa kalian berdua nggak mau cerita sama aku?” tanyanya, suaranya rendah, namun penuh emosi. “Kalian tahu, aku juga punya hak untuk tahu apa yang kalian pikirkan.”
Reno dan Saka terdiam. Tidak ada yang pernah menyangka Maya akan bicara langsung seperti itu.
Maya melanjutkan, “Kalian sahabat terbaikku. Kalian selalu ada buat aku, tapi sejak kemarin, aku merasa kayak orang asing di tengah kalian. Aku bingung.”
Reno berusaha berkata, tapi hanya keheningan yang keluar. Akhirnya, Saka menatap Maya dalam-dalam dan berujar, “May, gue… Gue minta maaf kalau gue bikin kamu bingung. Gue cuma… Gue nggak pengen nyakitin kamu, dan gue nggak tahu gimana cara lain buat ngungkapin semua ini.”
Maya menatap Saka dengan sorot mata sedih, lalu mengalihkan tatapannya ke Reno. “Reno, kamu juga. Kamu kayak ngelindungin aku, tapi kamu juga ngejauh. Aku ngerasa… ngga kenal kalian lagi.”
Reno menarik napas, lalu berkata dengan hati-hati, “Maya, semua ini bukan karena kita nggak peduli sama kamu. Justru karena kita terlalu peduli. Gue sama Saka… sama-sama punya perasaan lebih dari sekadar sahabat.”
Maya mengerutkan kening, seolah berusaha mencerna kalimat Reno. “Jadi… kalian berdua…”
“Iya,” jawab Reno lirih. “Gue… gue suka sama kamu. Dan gue tahu Saka juga.”
Suasana hening lagi. Mata Maya terlihat berkilau, tapi bukan karena kebahagiaan. Ia bingung, dan itu terlihat jelas.
“Mungkin ini terdengar egois, tapi aku nggak tahu harus merasa gimana,” ucap Maya akhirnya, suaranya bergetar. “Kalian berdua orang penting buat aku. Dan aku nggak mau kehilangan salah satu dari kalian.”
Reno merasa sesak mendengar ucapan itu. Ia ingin mendekati Maya, ingin meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja. Namun, ia tahu dalam hatinya bahwa hal ini lebih rumit dari yang terlihat.
Saka mengambil langkah maju, lalu meletakkan tangannya di bahu Maya. “Maya, gue janji, apa pun yang terjadi, gue nggak akan ninggalin lo. Tapi gue harap lo bisa ngertiin juga perasaan kita.”
Maya mengangguk pelan, tetapi jelas raut wajahnya menunjukkan konflik yang besar di dalam dirinya. “Aku… butuh waktu,” katanya, hampir berbisik.
Reno dan Saka saling bertukar pandang, keduanya mengerti bahwa ini bukan keputusan yang mudah bagi Maya. Mereka hanya bisa menunggu, dengan harapan bahwa apa pun pilihan Maya, persahabatan mereka tetap akan ada.
Hari-hari berlalu, dan ketiganya mulai jarang bertemu. Reno lebih banyak menghabiskan waktunya sendirian, berpura-pura sibuk dengan tugas dan kegiatan kampus lainnya. Saka juga jarang terlihat, dan ketika mereka bertemu di kelas, mereka hanya saling menyapa singkat tanpa membicarakan hal-hal pribadi.
Pada suatu malam, Reno menerima pesan dari Maya.
Maya: “Aku pengen ketemu, bisa sekarang?”
Reno merasa gugup, tapi ia setuju. Mereka sepakat bertemu di taman kampus, tempat mereka biasa menghabiskan waktu bertiga. Ketika ia tiba, Maya sudah duduk di bangku, menatap langit malam yang penuh bintang.
“Ren, aku udah mikir panjang,” kata Maya begitu Reno duduk di sampingnya. “Aku ngga mau milih salah satu dari kalian.”
Reno terkejut, tapi ia tidak menunjukkan reaksinya.
“Kalian berdua terlalu berharga buat aku. Aku nggak mau hubungan kita hancur karena ini,” lanjut Maya. “Aku harap kalian bisa mengerti, dan kalau kalian nggak bisa, aku akan ngerti.”
Reno merasa dadanya semakin sesak. Ia mengerti bahwa ini adalah keputusan Maya, dan ia menghormatinya. Namun, bagian dari dirinya merasa hampa.
“Aku ngerti, May. Gue… Gue cuma mau lo bahagia. Kalau lo lebih nyaman begini, gue bisa terima itu,” ucap Reno pelan.
Di kejauhan, Saka tiba-tiba muncul, sepertinya sudah mengamati dari jauh dan memutuskan untuk bergabung. Ia berjalan mendekat dengan ekspresi tenang, namun matanya menunjukkan pemahaman yang sama.
“Gue juga ngerti, May,” kata Saka, tersenyum kecil ke arah Maya. “Gue nggak akan memaksa lo buat milih. Kita bisa tetep jadi sahabat, kan?”
Maya tersenyum lega, meski air mata tampak mengalir di pipinya. “Makasih. Kalian nggak tahu betapa berartinya kalian buat aku.”
Di malam itu, di bawah langit penuh bintang, ketiganya duduk dalam keheningan. Tidak ada kata-kata lagi, hanya ada perasaan yang akhirnya bisa diterima tanpa perlu dipaksakan.
Reno dan Saka mungkin tidak mendapatkan jawaban yang mereka harapkan, tetapi keduanya tahu bahwa persahabatan mereka tetap utuh, meski perasaan mereka tidak sepenuhnya terbalas. Dalam diam, mereka semua menyadari bahwa persahabatan yang sejati bisa melampaui bahkan rasa cinta yang paling dalam.
Akhir yang Harus Diterima
Hari-hari setelah pertemuan malam itu terasa berjalan lambat, seolah waktu enggan beranjak. Maya, Reno, dan Saka masih bertemu di kampus, namun suasana mereka jauh dari yang dulu. Tidak ada lagi tawa keras, obrolan ringan, atau canda yang membuat waktu terasa cepat berlalu. Ada jarak yang tak terucapkan, yang meski tidak tampak, bisa dirasakan oleh siapa saja yang dekat dengan mereka.
Reno mencoba mengalihkan perhatian dengan pekerjaan dan tugas kuliah yang menumpuk. Ia merasa, dengan menyibukkan diri, mungkin sedikit mengurangi perasaan kosong yang ia rasakan setiap kali melihat Maya dan Saka bersama. Di sisi lain, Saka memilih untuk tetap bersikap tenang, meskipun matanya kadang tampak lebih gelap, seakan perasaan yang ia sembunyikan semakin menyesakkan. Dan Maya, meskipun selalu tersenyum, Reno tahu ia tidak benar-benar bahagia. Ada sesuatu yang hilang dari dirinya—sesuatu yang sulit diungkapkan, bahkan oleh dirinya sendiri.
Pada suatu sore yang cerah, Maya mengirim pesan kepada Reno.
Maya: “Ren, bisa ketemu? Ada yang mau aku omongin.”
Reno sudah merasakan apa yang akan terjadi. Entah kenapa, ia merasa bahwa segala ketegangan ini akan sampai pada titik ini. Dengan cepat, ia membalas pesan itu dan setuju untuk bertemu di tempat yang sama—taman kampus yang sudah jadi saksi bisu perjalanan mereka.
Ketika Reno tiba, Maya sudah menunggu di bangku yang sama. Kali ini, ia tidak memakai senyum yang biasa, hanya ekspresi serius yang sedikit gelisah. Ketika melihat Reno datang, ia mengangkat wajahnya dan berkata dengan suara yang sedikit bergetar.
“Ren, aku nggak bisa lagi begini,” kata Maya, suaranya teredam, seolah setiap kata yang keluar dari bibirnya berat untuk diucapkan.
Reno duduk di sampingnya, menatap Maya tanpa berkata-kata. Ia tahu, ini adalah percakapan yang sudah lama mereka hindari.
“Aku… aku nggak bisa milih di antara kamu dan Saka,” lanjut Maya. “Dan aku juga nggak mau nunggu lebih lama lagi, karena aku tahu kita bertiga sama-sama bingung. Aku takut, semakin aku ragu, semakin aku bakal kehilangan kalian.”
Reno menunduk, menyadari bahwa dalam hati, ia juga sudah tahu jawabannya. Mereka sudah sampai pada titik di mana tidak ada lagi ruang untuk menunda-nunda.
Maya menghela napas panjang sebelum melanjutkan, “Aku ingin kita semua tetap baik-baik saja. Aku tahu itu nggak mudah, tapi aku nggak bisa terus hidup dalam kebingunganku. Aku ingin kita semua… melanjutkan hidup kita masing-masing, tanpa ada rasa yang nggak jelas.”
Reno merasa hatinya seperti dipukul keras. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi kata-kata terasa berat di tenggorokannya. Apa yang bisa ia katakan? Maya sudah membuat pilihannya, dan dia tahu ini adalah keputusan yang terbaik bagi mereka bertiga.
“Lo nggak salah, May,” kata Reno akhirnya, suaranya lembut. “Ini memang susah buat gue juga. Tapi gue ngerti. Kalau lo butuh waktu untuk diri lo sendiri, gue bakal dukung. Gue nggak bakal paksain lo buat pilih gue atau Saka.”
Maya menatap Reno dengan penuh rasa terima kasih di matanya, meskipun air mata mulai mengalir perlahan. “Aku cuma nggak mau kehilangan persahabatan kita, Ren.”
Dan kata-kata itu, meskipun mengharukan, menumbuhkan pemahaman yang sama di antara mereka. Reno tahu, ini adalah hal yang benar. Mereka harus menerima kenyataan bahwa kadang, cinta bukanlah segalanya. Ada hal yang lebih besar yang harus mereka jaga—persahabatan yang sudah terjalin lama.
Beberapa hari setelah percakapan itu, semuanya mulai sedikit membaik. Maya mulai melangkah dengan lebih pasti. Ia mencoba menjalani hidupnya tanpa dibayangi rasa bersalah atau kebingungan. Ia mulai kembali ke rutinitasnya, berkumpul dengan teman-teman lain, dan memfokuskan diri pada studi dan hobinya.
Reno dan Saka juga berusaha mencari jalan mereka masing-masing. Mereka mulai kembali berfokus pada apa yang penting: mereka bisa menjaga persahabatan mereka tanpa harus mengorbankan satu sama lain. Tidak ada lagi ketegangan yang mengganjal di antara mereka, meskipun hati mereka masih terasa sedikit hampa.
Di akhir semester, ketiganya bertemu lagi di taman yang sama. Suasana sudah jauh lebih tenang, meskipun ada sedikit kejanggalan yang masih terasa.
“Lo berdua nggak berubah, ya?” kata Maya dengan senyum tipis, menatap Reno dan Saka yang duduk di sampingnya. “Ternyata kita bisa ketawa lagi, kan?”
Reno tersenyum, meskipun senyum itu agak dipaksakan. “Iya, kita masih sama. Mungkin nggak semua hal perlu berubah, kan?”
Saka yang duduk di samping Maya, mengangguk setuju. “Kadang, waktu yang perlu buat kita ngerti. Semua yang terjadi itu, ada tujuannya.”
Maya menghela napas panjang, lalu berkata, “Aku senang kita bisa sampai di titik ini. Kalian berdua orang yang sangat penting buat aku. Gue nggak mau lagi kehilangan perasaan nggak jelas ini.”
Reno menatap Maya, dan meskipun perasaan cinta itu masih ada di sudut hatinya, ia tahu bahwa ini adalah hal terbaik yang bisa mereka lakukan. Mungkin persahabatan mereka akan selalu ada dalam bentuk yang berbeda, tetapi setidaknya, mereka masih bersama, tanpa perlu memilih atau mengorbankan apapun.
“Begitulah,” kata Reno dengan suara yang tenang, tetapi penuh makna. “Kita tetap bertiga. Mungkin nggak seperti dulu, tapi kita masih ada.”
Maya tersenyum, senyum yang tulus, tanpa ada rasa ragu lagi di matanya. Saka juga tersenyum, meskipun di dalam hatinya, ia tahu bahwa persahabatan mereka sudah melewati ujian terbesar.
Ketiganya duduk diam di bawah langit yang mulai gelap, dengan bintang-bintang yang mulai muncul perlahan. Tidak ada lagi ketegangan. Tidak ada lagi perasaan yang terpendam. Hanya ada tiga sahabat yang kembali menjalani hidup mereka, dengan cara yang lebih bijak, dan lebih saling menghargai dari sebelumnya.
Dan dengan itu, ceritanya berakhir—bukan dengan pilihan, tetapi dengan penerimaan.
Jadi, apa yang bisa dipelajari dari cerita ini? Mungkin, kadang kita harus menerima kenyataan kalau hidup nggak selalu sesuai rencana, dan nggak semua perasaan bisa dipaksakan. Pilihan itu memang sulit!
Namun yang terpenting adalah kita tetap bisa belajar untuk menjaga hubungan yang berarti—baik itu persahabatan maupun cinta. Mungkin nggak semua kisah berakhir dengan cara yang kita harapkan, tapi setidaknya kita tahu bahwa perjalanan itu yang membuat semuanya berharga.