Cinta Segitiga di Kelas: Antara Guru dan Dua Siswa yang Terjebak Perasaan

Posted on

Jadi, bayangin aja deh, kamu lagi duduk di kelas, tiba-tiba nyadar kalau perasaan kamu ke guru yang keren itu… ya, agak beda. Terus, nggak cuma kamu, ada satu lagi teman sekelas yang juga nyangkut sama guru yang sama.

Kacau, kan? Ini bukan cuma soal belajar, tapi soal hati yang kayaknya kebingungannya nggak cuma di soal matematika. Siap-siap ketawa, kesal, dan mungkin sedikit baper, karena drama segitiga ini nggak sesederhana yang kelihatan.

 

Cinta Segitiga di Kelas

Awal Perang Dingin di Kelas 12-B

Kelas 12-B di SMA Tirta Mandiri sore itu terasa seperti pasar malam. Ezra dan Rani, dua sosok yang kerap jadi bahan cerita di sekolah, sedang bersiap memulai “drama” mereka. Kali ini, mereka punya target baru: Pak Raditya, guru sejarah yang baru saja bergabung sebulan lalu dan sudah berhasil menghebohkan sekolah dengan pesonanya. Siswa-siswi, terutama siswi, punya alasan kuat datang tepat waktu ke kelas sejarah sekarang.

Pak Raditya adalah pria berkacamata dengan senyum yang tidak berlebihan. Rambutnya selalu tertata, dan suaranya—ah, bagi mereka yang sering berkhayal, suaranya seperti alunan gitar akustik, lembut dan membuat nyaman. Yang jelas, hampir seluruh siswa di kelas 12-B pernah, paling tidak sekali, pura-pura bertanya sesuatu kepadanya hanya agar lebih lama berada di dekatnya.

Namun, di antara semua yang tergila-gila pada Pak Raditya, tak ada yang lebih menonjol dari Ezra dan Rani. Kedua anak itu seperti pasangan kucing dan anjing; tak pernah bisa akur lebih dari sepuluh menit. Rani adalah tipe gadis yang suka bersikap manis di depan guru-guru, sementara Ezra lebih suka bersikap santai, seolah tidak peduli. Tapi setiap kali mereka saling melihat, api kompetisi tak pernah absen dari mata mereka.

Hari itu, Pak Raditya masuk kelas dengan membawa setumpuk buku yang kelihatan berat. Pandangannya menyapu seluruh kelas, mengamati para siswanya dengan tatapan penuh ketenangan.

“Selamat sore, semuanya,” sapa Pak Raditya, lalu tersenyum lebar. “Hari ini kita lanjut materi tentang kerajaan-kerajaan nusantara. Tapi sebelum itu, ada yang mau bertanya soal tugas kemarin?”

Ezra langsung mengangkat tangan. “Saya, Pak,” katanya dengan nada tenang, tapi jelas-jelas sengaja berusaha menarik perhatian. Ezra tersenyum kecil, penuh percaya diri.

Pak Raditya menatap Ezra dengan ramah. “Oke, Ezra. Silakan, apa yang ingin kamu tanyakan?”

Ezra melirik Rani sekilas, berharap gadis itu melihat keberaniannya. “Pak, saya cuma penasaran. Kenapa sih kerajaan-kerajaan di Indonesia dulu suka banget berperang sama tetangganya?”

Rani mendengus pelan. Dalam hatinya, ia merasa Ezra hanya mencari-cari alasan untuk bicara dengan Pak Raditya. Tetapi dia juga tak mau kalah. Sambil pura-pura merapikan rambut, Rani angkat tangan.

“Pak Raditya, menurut saya, sejarah itu harusnya bukan cuma tentang perang. Mungkin ada nilai-nilai yang lebih mendalam yang bisa kita ambil, kan?” Rani menyisipkan senyum manis setelah berbicara, berharap Pak Raditya terkesan.

Pak Raditya tertawa kecil, matanya berpindah-pindah antara Ezra dan Rani, seolah menyadari persaingan terselubung di antara mereka. “Kalian berdua benar. Sejarah memang sering berisi perang, tapi juga ada nilai-nilai kebersamaan yang harus dipelajari,” jawabnya, membuat keduanya terdiam, meskipun dengan wajah sedikit kesal.

Saat pelajaran berlangsung, Ezra dan Rani terus bersaing secara diam-diam. Setiap kali Pak Raditya menanyakan sesuatu, Ezra dengan santainya mengangkat tangan, walaupun jawabannya kadang tidak terlalu tepat. Rani, di sisi lain, selalu berusaha memberi jawaban yang lebih panjang dan ‘bermakna’. Ini semua membuat suasana kelas menjadi sedikit tidak nyaman bagi murid-murid lain, namun diam-diam mereka semua menikmati tontonan gratis ini.

Seusai pelajaran, Rani tidak membuang waktu. Dia segera mendekati Pak Raditya yang sedang membereskan buku-bukunya di meja guru.

“Pak, saya ada pertanyaan tambahan soal tugas kemarin. Kalau misalnya dulu kerajaan-kerajaan lebih fokus ke diplomasi, kira-kira sejarah kita bakal beda nggak ya, Pak?” Rani mengajukan pertanyaan, matanya berbinar penuh minat.

Pak Raditya tersenyum, mengapresiasi pertanyaannya. “Bisa jadi, Rani. Diplomasi memang penting, meski sulit dilakukan pada masa itu karena masing-masing kerajaan punya kepentingan sendiri.”

Ezra, yang berdiri di belakang Rani, mendengus pelan. Tanpa menunggu lagi, dia ikut mendekat.

“Saya juga mau tanya, Pak. Kalau misalnya kerajaan itu damai, apa mungkin kita jadi negara yang lebih besar sekarang?” Ezra melontarkan pertanyaannya dengan ekspresi serius, seolah itu adalah pertanyaan yang sudah lama mengganggunya.

Pak Raditya kembali tersenyum, sedikit bingung melihat keduanya yang terus-menerus mencari alasan untuk bertanya. “Pertanyaan yang menarik, Ezra. Kalian berdua ini sangat antusias dengan pelajaran sejarah, ya?”

Rani dan Ezra saling menatap dengan mata menyipit. Senyum kecil muncul di wajah mereka masing-masing, senyum yang dipenuhi rasa tidak mau kalah. Mereka tahu apa yang terjadi, tapi tidak ada yang mau mengakui.

Pak Raditya hanya bisa menggelengkan kepala pelan, lalu melangkah keluar kelas dengan raut wajah penuh senyum tipis. Sementara itu, Rani mendekat ke Ezra.

“Jadi gitu ya, kamu nanya soal kerajaan cuma biar bisa dekat-dekat Pak Raditya?” Rani mengerlingkan mata, menahan tawa.

“Ah, kamu sok tahu banget. Aku nanya karena aku memang peduli sama sejarah, ngerti?” Ezra menatap Rani dengan gaya santainya, mencoba untuk tidak kelihatan terpengaruh. “Lagian, kamu juga sama aja. Keliatan banget kalau kamu suka cari-cari alasan biar bisa ngobrol sama beliau.”

Rani memutar bola matanya dengan dramatis. “Beda, Ezra. Aku kan emang suka sama sejarah. Nggak kayak kamu, yang baru tertarik gara-gara ada guru baru.”

Ezra tertawa kecil, tidak menampik tuduhan Rani, tapi juga tidak membenarkan. Mereka sama-sama tahu alasan di balik semua ini, tapi tidak ada yang berani bilang.

Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa, dengan Ezra dan Rani selalu “bertarung” secara halus di setiap kesempatan. Mereka berdua seperti dua kutub yang bertolak belakang tapi tak bisa lepas satu sama lain. Ada semacam magnet yang terus menarik mereka untuk bersaing, meski kadang hanya untuk hal-hal sepele.

Sampai suatu sore, saat Pak Raditya sedang bersiap meninggalkan kelas setelah jam pelajaran selesai, Rani tiba-tiba menghentikannya.

“Pak, saya lupa ngasih tahu kalau… tugas sejarah kemarin ada yang saya belum pahami sepenuhnya.”

Ezra, yang tidak mau kalah, buru-buru ikut berdiri. “Oh, iya Pak! Saya juga… kayaknya ada yang saya perlu tanyakan lagi, soal materi minggu lalu.”

Pak Raditya menahan tawa kecilnya, menatap mereka berdua dengan ekspresi geli. “Kalian berdua sungguh berdedikasi terhadap sejarah, ya?”

Senyum malu-malu tersungging di wajah Rani, sementara Ezra terlihat sedikit kebingungan. Mereka sadar, persaingan ini bukan hanya soal siapa yang lebih “pintar” atau siapa yang lebih “dekat” dengan Pak Raditya. Ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang tidak mereka sadari sebelumnya. Dan di tengah persaingan itu, muncul perasaan yang diam-diam membuat mereka semakin dekat—meski tak ada yang mau mengakui.

Hari itu berakhir dengan perasaan yang aneh di hati mereka masing-masing. Rani merasa senang sekaligus kesal setiap kali melihat Ezra berusaha “mengalahkannya”, sementara Ezra mulai menyadari bahwa tawa Rani yang sering kali mengganggu pikirannya justru terasa hangat. Di balik persaingan yang tampaknya tak berujung ini, mereka sama-sama tahu, bahwa ada rasa baru yang mulai tumbuh.

 

Perdebatan Tiada Akhir

Sejak hari itu, suasana di kelas 12-B menjadi panggung kecil bagi Ezra dan Rani untuk menunjukkan kebolehan masing-masing. Mereka tidak hanya berusaha menjadi yang paling pintar di mata Pak Raditya, tetapi juga ingin mengesankan semua orang bahwa merekalah yang paling paham tentang sejarah. Bahkan, siswa-siswa lain mulai memperhatikan ‘perang dingin’ ini dengan senyum-senyum geli di wajah mereka.

Rani menyadari bahwa di antara semua siswa, hanya Ezra yang bisa membuatnya kesal dalam hitungan detik. Setiap kali Rani mulai membahas pandangannya, Ezra dengan santainya membantahnya. Seperti sore itu, saat Pak Raditya menanyakan soal latar belakang perang Diponegoro.

“Perang itu bukan hanya karena masalah pajak,” kata Rani percaya diri, menatap Pak Raditya. “Ada faktor lain, yaitu persoalan tanah. Masyarakat merasa kalau tanahnya dirampas begitu saja oleh pemerintah Belanda, makanya mereka melawan.”

Ezra, yang duduk satu bangku di belakang Rani, mencondongkan tubuhnya ke depan dan berkata, “Tapi soal pajak itu tetap jadi masalah besar. Bayangkan kalau kamu tinggal di tempat yang harus bayar pajak setiap kali kamu mau pakai jalan. Nggak heran kalau mereka marah besar.”

Rani mendengus, jelas tak senang dengan pendapat Ezra yang terus menyeberang dengan sudut pandangnya. “Ezra, kamu tuh lihat dari sisi yang terlalu sempit. Soal tanah lebih berpengaruh karena ini tentang identitas mereka, bukan cuma uang.”

Pak Raditya mengangguk sambil tersenyum, memandang keduanya bergantian dengan pandangan yang jelas-jelas terhibur. “Kalian berdua punya poin yang menarik. Memang benar, pajak dan masalah tanah sama-sama jadi faktor utama. Sejarah itu sering kali penuh dengan konflik kepentingan, dan biasanya ada lebih dari satu alasan di balik setiap peristiwa.”

Ezra dan Rani hanya saling melirik, lalu segera mengalihkan pandangan, seolah-olah mereka tak peduli. Namun, di dalam hati, masing-masing dari mereka tahu bahwa mereka semakin menikmati adu pendapat ini.

Ketika bel tanda jam istirahat berbunyi, Ezra langsung bangkit dan melangkah keluar kelas. Tapi, baru beberapa langkah, ia mendengar suara Rani memanggilnya dari belakang.

“Ezra!” Rani melipat tangan di depan dada, wajahnya menunjukkan ekspresi antara kesal dan penasaran. “Kamu selalu ngerasa harus membantah apa pun yang aku bilang ya?”

Ezra mengangkat bahu, dengan seringai santai di wajahnya. “Aku cuma kasih sudut pandang lain. Lagi pula, nggak selamanya kamu benar, kan?”

Rani tertawa kecil, meskipun suaranya terdengar kesal. “Ya, tapi kamu selalu ngerasa pendapatmu yang paling benar, dan itu nyebelin banget, tahu nggak?”

Ezra terdiam sebentar, lalu menghela napas pelan. “Oke, mungkin aku emang suka membantah. Tapi kamu juga nggak mau kalah, Rani. Bahkan kalau aku bilang langit itu biru, kamu pasti akan bilang ada warna lain yang lebih penting di situ.”

Rani memutar bola matanya. “Itu beda, Ezra. Aku cuma nggak suka cara kamu selalu ngomong seakan-akan kamu lebih tahu segalanya.”

Ezra tertawa kecil dan melangkah lebih dekat, hingga membuat Rani sedikit tersipu tanpa disadari. “Kalau gitu, buktiin aja kalau kamu bisa lebih tahu dari aku. Jangan cuma ngomel-ngomel di depan aku,” ujarnya sambil menantang Rani dengan pandangan penuh arti.

Merasa tertantang, Rani balas tersenyum. “Tunggu aja, Ez. Aku bakal bikin kamu nggak bisa ngomong lagi suatu hari nanti.”

Percakapan mereka terhenti ketika beberapa teman sekelas mereka lewat sambil tersenyum-senyum melihat mereka. Ezra menghela napas pelan, sementara Rani berusaha menyembunyikan pipinya yang mendadak memerah.

Beberapa hari kemudian, kelas 12-B dihebohkan dengan pengumuman proyek sejarah kelompok. Pak Raditya menjelaskan bahwa setiap kelompok akan diberi tugas untuk meneliti suatu peristiwa sejarah lokal yang kurang dikenal dan membuat presentasi yang menarik.

“Ezra dan Rani, karena kalian selalu punya pendapat yang berbeda, saya rasa kalian cocok bekerja sama,” ucap Pak Raditya sambil tersenyum penuh arti. Rani langsung terbelalak, sementara Ezra terdiam dengan wajah yang tak kalah kaget. Mereka saling melirik dengan ekspresi yang hampir sama: antara tak percaya dan enggan.

“Serius, Pak?” Ezra mencoba bertanya, setengah berharap ada opsi lain.

Pak Raditya hanya mengangguk. “Saya ingin kalian belajar bekerja sama. Kalian kan pintar, pasti bisa menghasilkan sesuatu yang menarik. Ini juga latihan buat saling memahami sudut pandang orang lain.”

Rani menghela napas pelan, berusaha menerima kenyataan. “Baiklah, Pak,” jawabnya, meski dalam hati ia berteriak. Bekerja sama dengan Ezra? Bagi Rani, itu adalah definisi dari ujian kesabaran yang paling besar.

Setelah kelas selesai, Ezra dan Rani berencana bertemu di perpustakaan sekolah untuk membahas proyek mereka. Suasana di perpustakaan terasa sunyi, hanya ada beberapa siswa yang sibuk belajar di pojokan. Ezra dan Rani duduk berseberangan, masing-masing dengan buku sejarah di tangan mereka.

“Kita bisa mulai dengan memilih peristiwa yang nggak banyak dibahas di buku teks,” kata Rani sambil membuka-buka halaman buku.

Ezra mengangguk. “Setuju. Mungkin kita bisa bahas sejarah Kampung Laut di pesisir utara. Orang jarang tahu kalau dulu tempat itu punya pengaruh besar di masa kerajaan.”

Rani mengangguk perlahan, terkesan dengan usulan itu meski tak ingin menunjukkan terlalu banyak pujian. “Oke, itu ide yang bagus. Jadi, apa yang mau kita fokuskan dari sana?”

Ezra tersenyum kecil, merasa sedikit puas bahwa Rani setuju dengannya. “Gimana kalau kita bahas peran perempuan di sana? Dulu, perempuan Kampung Laut ikut mempertahankan kampung mereka dari ancaman asing.”

Rani tercengang sejenak, kagum dengan wawasan Ezra yang tidak pernah ia bayangkan. Tapi tentu saja, Rani tetap menunjukkan sikap biasa saja. “Oke, tapi aku yang nulis bagian latarnya. Kamu cari referensi tambahan soal keterlibatan perempuan di sana.”

Ezra mengangkat bahu, lalu menatap Rani dengan tatapan yang sedikit nakal. “Kamu yang bossy di sini, ya?”

Rani mencibir pelan. “Kita bagi tugas sesuai keahlian, Ez. Lagian, aku lebih teliti soal nulis.”

Ezra menghela napas, lalu tersenyum kecil. “Baiklah, Nona Perfeksionis.”

Selama dua minggu ke depan, Ezra dan Rani sering menghabiskan waktu di perpustakaan dan kadang di taman sekolah, bekerja sama demi proyek mereka. Meskipun awalnya mereka sering berdebat tentang hal-hal kecil, lama-kelamaan, mereka mulai menikmati waktu yang dihabiskan bersama. Mereka saling mengenal sisi lain masing-masing yang sebelumnya tertutup oleh kompetisi.

Suatu sore di taman sekolah, ketika mereka berdua sedang membahas bab akhir proyek, Ezra tiba-tiba berhenti bicara dan menatap Rani dalam diam. Ada sesuatu di matanya yang membuat Rani merasa aneh.

“Kamu tahu nggak, Ran,” ujar Ezra pelan, “meskipun kita sering berdebat, aku senang kerja bareng kamu. Aku jadi tahu kamu nggak cuma sok tahu, tapi juga pintar beneran.”

Rani merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Ia terdiam sejenak, sebelum akhirnya tersenyum kecil. “Kamu juga nggak separah yang aku kira, Ezra. Kadang, kamu bisa ngomong hal yang… pinter juga.”

Mereka saling menatap dalam diam, merasakan sesuatu yang baru—sesuatu yang lebih dari sekadar persaingan. Tetapi, sebelum mereka sempat mengatakan hal lain, bel pulang berbunyi, memecah momen itu.

“Ya udah, besok kita lanjut lagi ya,” kata Ezra, berusaha mengalihkan perasaannya yang mendadak campur aduk.

Rani mengangguk, tersenyum tipis sambil menundukkan wajahnya. “Iya, besok kita finalisasi semuanya.”

Saat mereka berpisah sore itu, baik Ezra maupun Rani tak bisa berhenti tersenyum dalam hati, memikirkan kata-kata satu sama lain. Meski tak diakui, benih-benih perasaan lain mulai tumbuh, perlahan mengalahkan perasaan kompetisi di antara mereka.

 

Perasaan yang Tak Tersampaikan

Seiring berjalannya waktu, hubungan Ezra dan Rani tidak hanya sebatas proyek sekolah. Semakin sering mereka bertemu, semakin sulit bagi keduanya untuk menyembunyikan perasaan yang mulai tumbuh di balik adu argumen dan sindiran kecil. Tapi di balik itu semua, ada sesuatu yang mengusik Rani—perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Hari itu, mereka berdua berdiri di depan kelas, mempresentasikan proyek mereka. Semua berjalan lancar; Ezra dengan caranya yang tenang namun tegas, sementara Rani dengan penjelasan yang detail dan penuh semangat. Bahkan Pak Raditya tampak tersenyum puas melihat hasil kerja keras mereka.

Setelah presentasi selesai, Pak Raditya bertepuk tangan sambil tersenyum. “Hebat sekali. Saya senang melihat kalian bekerja sama dengan sangat baik. Kalau semua murid punya semangat seperti kalian, saya yakin kita bisa menghasilkan banyak hal besar.”

Ezra dan Rani hanya saling pandang, saling melempar senyum tipis. Saat mereka duduk kembali, beberapa teman mereka mulai berbisik-bisik, menggoda mereka berdua. Rani hanya menunduk, merasa wajahnya sedikit memanas, sementara Ezra menatapnya dengan senyum yang sulit diartikan.

Beberapa hari setelah presentasi itu, Rani tak sengaja mendengar desas-desus di lorong sekolah saat berjalan bersama sahabatnya, Mira. Suara bisik-bisik beberapa teman sekelas terdengar jelas di telinganya.

“Kamu tahu nggak, Pak Raditya itu suka sering ngobrol sama Rani sama Ezra? Katanya, perhatian banget sama mereka berdua,” kata seorang siswa sambil tertawa kecil.

Rani mengernyitkan dahi, merasa heran sekaligus risih. Pak Raditya memang sering memuji mereka di kelas, tapi tidak lebih dari itu. Lagipula, semua siswa tahu bahwa Pak Raditya dikenal sebagai guru yang ramah dan perhatian pada murid-muridnya.

Namun, keheranan Rani semakin menjadi saat Mira tiba-tiba berkata sambil terkekeh, “Eh, kamu sadar nggak sih, Ran? Kelihatan kok Pak Raditya sering perhatian sama kamu.”

Rani mendelik, merasa tersipu sekaligus bingung. “Mira, apaan sih kamu? Pak Raditya cuma… ya, menghargai kerja keras kita aja.”

Mira hanya tersenyum jahil. “Iya, iya. Tapi nggak cuma aku lho yang mikir gitu. Beberapa anak juga bilang kalau kalian berdua kelihatan dekat banget. Lucu aja liat kamu sama Ezra rebutan perhatian Pak Raditya.”

Rani hanya bisa tertawa kecil untuk menutupi rasa canggungnya, tapi di dalam hati, perkataan Mira membuatnya semakin gelisah. Ia tak pernah memikirkan Pak Raditya lebih dari seorang guru yang dihormati. Namun, rumor yang beredar membuatnya jadi tak nyaman setiap kali berhadapan dengannya.

Suatu sore, setelah jam pelajaran terakhir, Rani memberanikan diri untuk berbicara dengan Pak Raditya. Ia merasa harus mengklarifikasi semua ini agar tidak ada lagi yang salah paham. Ketika ia mendapati Pak Raditya sendirian di ruang guru, ia mengetuk pintu dengan pelan.

“Pak Raditya, maaf mengganggu sebentar. Boleh saya bicara?” tanya Rani sambil melangkah masuk.

Pak Raditya menoleh dan tersenyum. “Tentu saja, Rani. Ada apa?”

Rani mengambil napas dalam-dalam, mencoba meredakan rasa gugupnya. “Pak… saya dengar beberapa teman bilang kalau saya dan Ezra… semacam rebutan perhatian Bapak. Saya merasa nggak enak karena, ya, saya cuma ingin menghormati Bapak sebagai guru.”

Pak Raditya terkekeh, tampak terhibur dengan penjelasan Rani. “Ah, Rani, kamu nggak perlu khawatir soal itu. Saya tahu kalau kalian hanya melakukan yang terbaik. Saya memang memberi perhatian pada kalian karena kalian menunjukkan usaha yang luar biasa. Rumor seperti itu… ya, biarkan saja. Itu wajar di kalangan remaja.”

Rani tersenyum lega mendengar penjelasan itu, tapi tiba-tiba, sebuah perasaan tak terduga muncul di benaknya. Bagaimana pun, di balik segala perhatian dan penghargaan, ada rasa nyaman yang tak bisa ia abaikan. Perasaan yang tumbuh begitu saja tanpa ia sadari—perasaan yang membuatnya semakin ragu.

Beberapa hari kemudian, saat istirahat makan siang, Ezra menemui Rani di kantin. Dengan ekspresi serius, ia langsung duduk di hadapan Rani tanpa basa-basi.

“Ran, kamu dengar rumor aneh soal kita sama Pak Raditya juga, kan?” tanya Ezra sambil menatapnya tajam.

Rani mengangguk pelan, merasa agak canggung. “Iya, aku juga denger. Malah, tadi aku sempat ngomong sama Pak Raditya soal ini.”

Ekspresi Ezra langsung berubah penasaran. “Oh ya? Terus, Bapak bilang apa?”

Rani menjelaskan obrolannya dengan Pak Raditya dengan hati-hati, sambil mengawasi reaksi Ezra. Ketika ia selesai bercerita, Ezra hanya mengangguk, tampak sedikit lega.

“Baguslah kalau begitu. Aku juga nggak nyaman sama rumor itu,” ucap Ezra sambil melipat kedua tangannya di atas meja. “Aku kira kamu yang… gimana ya, kamu yang mungkin terlalu berharap pada Pak Raditya.”

Rani langsung membalas ucapan Ezra dengan tatapan tajam. “Maksud kamu apa, Ez?”

Ezra hanya tersenyum kecil, seolah-olah senang melihat Rani tersulut emosi. “Nggak apa-apa, kok. Aku cuma penasaran aja. Kalau kamu memang suka sama Pak Raditya, ya… kenapa nggak dicoba?”

Rani mendengus kesal, tapi dalam hatinya ia tak bisa sepenuhnya menolak pikiran Ezra. Meski ia tahu tak mungkin, ada sisi dirinya yang merasa nyaman saat berada di sekitar Pak Raditya. Namun, ia juga merasa ada perasaan hangat yang sama ketika ia bersama Ezra, meski mereka selalu bertengkar.

Tanpa sadar, Rani menyenderkan kepala di meja dan menghela napas. “Ez, kalau kita nggak bertengkar terus, menurut kamu… kita bisa jadi temen nggak sih?”

Ezra tertawa kecil. “Kalau kamu nggak suka debat, Ran, mungkin kita nggak akan sedekat ini. Kadang aku suka, kok, lihat kamu marah-marah.”

Mendengar itu, Rani hanya bisa tersenyum, menyembunyikan rasa berdebar yang mulai mengganggu hatinya. Ezra selalu berhasil mengalihkan pikirannya, membuatnya lupa dengan kebimbangan yang ia rasakan terhadap Pak Raditya. Tapi apakah ini hanya persahabatan, atau sesuatu yang lebih dari itu?

Malam harinya, di rumah, Rani merenungkan semua yang terjadi. Ia menyadari bahwa rasa nyaman yang ia rasakan terhadap Pak Raditya mungkin lebih karena kekagumannya pada sosoknya sebagai seorang guru yang bijak. Namun, perasaan yang muncul saat ia bersama Ezra… itu jauh berbeda. Ezra, dengan segala kesal dan senyumnya, membuat Rani merasa utuh, bahkan ketika mereka saling mengganggu.

Sementara itu, Ezra sendiri duduk di kamarnya, memikirkan kata-kata Rani. Baginya, Rani adalah tantangan yang tak pernah ia duga. Gadis yang awalnya ia anggap hanya sebagai rival, kini justru menjadi seseorang yang berarti dalam hidupnya. Meski ia tak bisa sepenuhnya memahami perasaannya, Ezra tahu bahwa ada sesuatu yang spesial antara mereka.

Namun, keduanya masih enggan untuk jujur terhadap diri sendiri, apalagi terhadap satu sama lain. Di balik persaingan dan pertengkaran kecil mereka, ada perasaan yang terus tumbuh, namun tak satu pun dari mereka yang berani mengambil langkah pertama.

Keesokan harinya, di sekolah, Rani dan Ezra kembali bertemu di koridor. Mereka hanya saling menatap, seolah-olah menyimpan rahasia besar yang hanya mereka berdua yang tahu. Namun, sebelum mereka sempat berbicara lebih jauh, Pak Raditya muncul dari ujung koridor, menyapa mereka dengan senyum ramahnya.

“Rani, Ezra, saya dengar presentasi kalian sangat sukses kemarin. Kalian memang tim yang hebat,” katanya sambil tersenyum puas.

Rani dan Ezra hanya tersenyum kikuk, menyembunyikan rasa aneh yang kembali muncul saat melihat Pak Raditya. Di satu sisi, mereka berdua merasa bangga dengan pujian itu, tapi di sisi lain, mereka tahu bahwa apa yang mereka rasakan sudah berkembang menjadi lebih dari sekadar kebanggaan. Ini adalah perasaan yang jauh lebih kompleks, perasaan yang masih sulit mereka ungkapkan bahkan pada diri sendiri.

Dan begitu Pak Raditya melangkah pergi, Rani dan Ezra hanya bisa saling menatap lagi, bertanya-tanya sampai kapan mereka akan terus menyembunyikan perasaan ini—perasaan yang mungkin lebih besar dari apa pun yang pernah mereka rasakan.

 

Mengungkapkan yang Tersimpan

Hari itu terasa berbeda. Rani bisa merasakan detak jantungnya yang lebih cepat dari biasanya, meskipun dia berusaha menenangkan diri. Dia berjalan di koridor sekolah, menatap lantai seolah-olah semua ini hanyalah kebetulan belaka. Namun, setiap langkah yang diambilnya semakin mendekatkan dirinya pada keputusan yang sulit. Di depannya, terlihat Ezra yang sedang menunggu, mengandalkan dinding dengan santai, matanya fokus pada layar ponselnya.

Ezra tampak terkejut saat melihat Rani mendekat, matanya sekejap naik dan bertemu tatapan Rani. Rani berusaha menyembunyikan kegelisahannya, namun dia tahu Ezra pasti bisa melihat ada yang berbeda.

“Ran, ada apa? Kok tiba-tiba serius gitu?” Ezra bertanya, sedikit bingung, namun tidak tampak terganggu.

Rani berhenti beberapa langkah di depan Ezra, mencoba menata kata-katanya. Ia menghembuskan napas panjang dan menatapnya dengan mata yang lebih tajam dari biasanya. “Ezra, aku harus ngomong sesuatu. Sesuatu yang aku rasa sudah lama aku pendam.”

Ezra mengernyitkan dahi. “Apa itu?”

Rani merasakan kata-kata yang hampir keluar terasa berat, seperti beban yang ingin dilepaskan sekaligus. “Tentang kita, tentang perasaan aku.”

Ezra sedikit mengangguk, sepertinya sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini. Tapi Rani, entah kenapa, tetap merasa canggung. Mungkin karena ada ketakutan bahwa apa yang dia rasakan, ternyata tidak sesuai dengan apa yang Ezra harapkan. Mungkin Ezra tidak akan merasa hal yang sama, dan itu yang paling menakutkannya.

“Ran, kamu nggak perlu terlalu khawatir. Aku tahu kalau kamu juga merasa sesuatu,” kata Ezra, membiarkan tatapannya semakin tajam menatap mata Rani.

Rani sedikit terkejut. “Kamu tahu?”

Ezra mengangguk, bibirnya sedikit melengkung menjadi senyum yang lebih lembut. “Iya. Aku nggak bodoh, Ran. Aku sadar kalau kita sering bertengkar, tapi juga sering berbicara tentang hal-hal yang lebih… pribadi, lebih nyata. Kita mulai saling mengerti, bahkan saat saling ejek, kita ngerti kalau itu cuma cara kita untuk… bisa dekat.”

“Jadi, kamu tahu?” Rani bertanya lagi, kali ini dengan suara yang lebih rendah, lebih lembut. “Kamu tahu kalau aku merasa lebih dari sekadar teman sama kamu?”

Ezra mengangguk sekali lagi, kali ini tatapannya serius. “Aku juga merasa gitu, Ran. Aku cuma… takut kalau itu cuma perasaan sesaat, dan kalau aku salah langkah, kita malah jadi aneh satu sama lain.”

Rani bisa merasakan ada sesuatu yang menghangat di dadanya. Perlahan-lahan, perasaan yang selama ini tersembunyi semakin mengalir begitu saja. Mereka berdiri di situ, saling memandang dengan hati yang tak lagi bisa disembunyikan. Tanpa sadar, mereka mendekat, dan akhirnya berjarak hanya beberapa inci dari satu sama lain.

“Ezra, aku nggak tahu kalau kamu merasa seperti itu juga,” kata Rani dengan suara yang hampir tak terdengar. “Tapi… aku rasa aku lebih dari sekadar temen buat kamu, bukan?”

Ezra tersenyum lembut, bibirnya hampir menyentuh dahi Rani saat dia berkata pelan, “Kamu lebih dari sekadar temen, Ran. Kamu itu… seseorang yang aku nggak mau kehilangan. Tapi aku nggak tahu bagaimana cara ngungkapin perasaan ini dengan benar.”

Rani merasa detak jantungnya semakin kencang, dan di tengah rasa bingung itu, ada kenyamanan yang datang begitu saja. Ternyata, rasa takut itu tidak lebih besar dari kenyataan bahwa mereka berdua sudah saling paham, saling mengerti.

Namun, meskipun semuanya terasa begitu jelas, ada satu hal yang masih mengganjal di pikiran Rani—Pak Raditya. Dia tahu, perasaan itu sudah ada sejak lama, dan meskipun mereka berdua berusaha menutupi, ada hal yang tak bisa disangkal lagi. “Tapi… bagaimana dengan Pak Raditya? Aku nggak tahu, aku cuma… merasa aneh tentang itu.”

Ezra mengerutkan kening, sedikit bingung. “Pak Raditya? Apa hubungannya?”

Rani menggeleng, menatap Ezra dengan wajah yang sulit dibaca. “Aku tahu kita nggak bisa terus begini, Ezra. Aku tahu ada perasaan yang tumbuh antara kita, tapi Pak Raditya itu… dia penting bagi kita. Apa yang terjadi kalau dia tahu?”

Ezra menghela napas panjang. “Ran, Pak Raditya itu guru kita. Dia penting, tapi dia nggak akan pernah bisa menghalangi apa yang kita rasakan. Kita bukan anak kecil lagi yang harus takut pada apa yang orang lain pikirkan. Ini soal kita, dan perasaan kita.”

Rani menggigit bibir, perasaan campur aduk di dalam dirinya. “Tapi… kalau ternyata kita salah? Kalau kita mulai berubah karena perasaan ini, bagaimana kalau itu bikin kita jauh dari diri kita sendiri?”

Ezra mengambil langkah maju, membelai lembut rambut Rani. “Ran, kita nggak akan berubah. Kita hanya belajar tentang perasaan kita. Apa yang terjadi antara kita nggak akan mengubah siapa kita, tapi justru akan membuat kita lebih kuat.”

Akhirnya, di bawah langit yang semakin gelap, Rani merasakan dirinya melepaskan kekhawatiran itu. Ezra benar—tak ada yang salah dengan perasaan ini. Apa yang mereka rasakan tidak harus dikekang oleh ketakutan akan apa yang akan terjadi di masa depan. Mereka hanya perlu jujur dengan diri mereka sendiri.

Dan saat mereka saling bertatapan, keduanya tahu bahwa apa yang mereka hadapi bukan hanya tentang sebuah hubungan biasa. Ini tentang dua orang yang sudah lama saling memahami, saling mendukung, meskipun banyak yang menghalangi, meskipun ada hal-hal yang tak selalu mereka mengerti sepenuhnya.

Keesokan harinya, di kelas, Rani dan Ezra duduk bersebelahan, tanpa ada kata-kata yang perlu diucapkan. Mereka tidak lagi merasa canggung, tidak lagi merasa terbebani oleh perasaan yang mengganjal. Mereka tahu, apapun yang terjadi, mereka akan menghadapi semuanya bersama—tanpa menoleh ke belakang.

Mereka berdua akhirnya bisa merasakan satu hal yang selama ini mereka tak sadari—bahwa di balik segala kebingungan dan ketakutan itu, ada sebuah kenyamanan yang hanya bisa ditemukan ketika dua hati bertemu pada waktu yang tepat. Dan mungkin, untuk mereka, waktu itu adalah sekarang.

Begitu pelajaran selesai, mereka berdua berjalan keluar dari kelas, saling berbicara ringan dengan tawa kecil yang menyertai setiap langkah mereka. Mungkin hari ini adalah hari yang berbeda. Dan mungkin, hari ini adalah awal dari segala hal yang belum mereka pahami sebelumnya. Tapi mereka siap menjalaninya, bersama.

 

Jadi, ya, hidup itu emang penuh kejutan. Kadang perasaan datang tanpa diundang, dan kita cuma bisa ikut arus. Siapa yang nyangka, cinta segitiga di kelas bisa bikin hati berdebar, ketawa, dan kadang malah bikin bingung.

Tapi, ya, mungkin inilah bagian dari proses—belajar, tertawa, dan sedikit salah paham. Yang penting, jangan takut buat merasa, meskipun itu kadang bikin hati kita kayak ujian yang nggak ada jawabannya.

Leave a Reply