Daftar Isi
Duh, kalau ngomongin cinta segitiga, rasanya kayak nonton film drama yang nggak pernah ada habisnya. Ada aku, ada dia, dan ada kamu, yang bikin semua jadi rumit. Gimana rasanya jadi di tengah-tengahnya?
Nah, di sini ceritanya nggak cuma soal pilihan, tapi juga soal gimana hati kita yang seringkali bingung banget sama perasaan sendiri. Siap-siap deh, perjalanan hati yang penuh drama dan dilema ini bakal bikin kamu mikir: Kalau aku jadi mereka, bakal pilih yang mana ya?
Cinta Segitiga yang Rumit
Berselimut Ragu
Pagi itu terasa lebih lama dari biasanya. Dari balik jendela, hujan turun perlahan, menorehkan air ke kaca yang sudah mulai berembun. Suara tetesan hujan yang monoton itu seperti menyuarakan kebingunganku. Aku duduk di meja makan, menatap cangkir kopi yang masih hangat, namun tidak bisa merasakan kenikmatannya. Sejak beberapa waktu belakangan, pikiranku penuh dengan satu hal: Vino.
Vino… dia yang datang dalam hidupku begitu tiba-tiba. Awalnya, aku hanya menganggapnya sebagai teman biasa. Namun, seperti air yang mengalir, perasaanku padanya mulai tumbuh tanpa aku sadari. Dan sekarang, aku dihadapkan pada kenyataan bahwa aku tak bisa lagi menutup mata terhadap perasaan yang datang begitu kuat.
Aku mengangkat cangkir kopi itu dan menyesap sedikit. Rasanya pahit, seperti kenyataan yang baru aku hadapi. Vino, pria yang selalu tenang, selalu bisa membuatku merasa aman, dan selalu mengerti tanpa banyak kata. Namun, ada sesuatu yang berbeda belakangan ini. Ada ruang kosong yang tidak bisa diisi hanya dengan kebersamaan yang kami bagi. Sesuatu yang terus mengganggu pikiranku.
Perasaanku semakin rumit. Vino mulai lebih sering menghabiskan waktu dengan Kiara, temanku yang sudah lama mengenal Vino. Kiara, dengan senyum manisnya, penuh perhatian, dan selalu membuat orang merasa nyaman. Kiara yang tampaknya lebih sempurna dari aku dalam segala hal. Aku, yang penuh dengan gairah dan spontanitas, tak bisa menandingi kelembutan dan ketenangan yang Kiara miliki.
Keduanya, Vino dan Kiara, adalah dua kutub yang berbeda. Dan aku, berada di tengah-tengahnya, merasa semakin terjepit. Aku tahu, aku tidak bisa lagi bersikap biasa-biasa saja. Aku harus menghadapinya. Aku harus tahu, apa yang sebenarnya Vino rasakan.
Hari itu, aku memutuskan untuk bertemu dengan Vino. Aku mengirim pesan singkat yang sederhana, mengajaknya untuk bertemu di sebuah kafe yang biasa kami kunjungi. Tempat yang tak terlalu ramai, dengan suasana yang tenang. Mungkin ini saat yang tepat untuk berbicara.
Vino datang tepat waktu, seperti biasanya. Wajahnya tampak lelah, namun senyumnya tetap ada. Dia duduk di depanku dan menatapku dengan penuh perhatian, seolah-olah membaca pikiranku yang sudah kacau.
“Kenapa kamu terlihat serius banget, Daira?” Vino bertanya sambil menyandarkan tubuhnya ke kursi.
Aku hanya tersenyum kecil, berusaha menenangkan diri. “Aku nggak tahu, Vino. Aku cuma… merasa bingung akhir-akhir ini.”
Vino mengangkat alisnya. “Bingung? Bingung tentang apa?”
Aku menatapnya dalam-dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Tentang kita. Tentang apa yang sebenarnya terjadi di antara kita.”
Suasana mendadak hening. Vino terlihat bingung, namun juga serius mendengarkan. Aku bisa melihat perubahan ekspresi di wajahnya. Sepertinya dia juga merasakan ada yang aneh. Aku melanjutkan, suara serak karena ketegangan yang mulai menumpuk.
“Aku tahu kita sering habiskan waktu bareng. Tapi belakangan ini, aku merasa… ada yang berbeda. Kamu makin sering sama Kiara, dan aku nggak tahu harus bagaimana lagi. Aku nggak ingin jadi orang ketiga, Vino.”
Vino terdiam sejenak, dan aku bisa melihat bahwa dia juga merasa terjepit. Wajahnya memucat sedikit, namun dia tetap menjaga ketenangannya.
“Daira, aku nggak tahu harus bilang apa,” katanya pelan. “Aku nggak mau kamu merasa cemburu atau khawatir. Kiara adalah teman baikku, kamu juga tahu itu. Tapi, ya, belakangan ini aku merasa… berbeda juga. Entah kenapa.”
Perasaanku bergejolak mendengar kata-katanya. “Berbeda? Maksudmu…?”
Vino menatapku, kemudian mengalihkan pandangannya ke luar jendela, seolah-olah mencari jawaban dari hujan yang turun. Aku menunggu, menahan napas, berharap dia bisa memberi jawaban yang bisa mengurangi rasa bingung ini.
“Aku mulai merasa sesuatu yang lebih, Daira. Tapi aku nggak tahu harus bagaimana.” Vino menghela napas panjang. “Aku nggak ingin melukai Kiara, tapi aku juga nggak bisa mengabaikan perasaan yang ada untuk kamu. Aku… aku nggak tahu apa yang harus aku pilih.”
Hatiku berdegup kencang. Itu jawaban yang tidak pernah aku harapkan. Aku tidak tahu harus meresponnya seperti apa. Semua kata-kata yang ingin aku ucapkan terasa tertahan.
Aku mengangkat tanganku dan menyentuh wajahnya, berharap bisa memberi ketenangan yang mungkin dia butuhkan. “Vino, kita nggak bisa terus begini. Kamu harus pilih. Aku nggak bisa terus hidup dalam ketidakpastian.”
Vino menatapku, matanya penuh dengan kebingungan dan rasa bersalah. Aku tahu, ini bukanlah keputusan yang mudah baginya. Kiara, yang selama ini ada di sampingnya, adalah orang yang baik. Tapi aku juga tahu, aku merasa seperti dia bagian dari hidupku yang sudah terlalu lama aku abaikan.
“Kamu benar,” jawab Vino akhirnya, suaranya terdengar berat. “Aku harus memilih. Tapi… bagaimana kalau aku salah, Daira?”
Aku hanya bisa menggelengkan kepala. “Kita nggak akan tahu kalau nggak memilih. Aku hanya ingin kamu bahagia, Vino.”
Dia menatapku sejenak, lalu mengangguk perlahan. “Aku tahu. Aku hanya nggak ingin menghancurkan semuanya.”
Aku ingin sekali memeluknya, menghiburnya, tapi aku tahu ini adalah pilihan yang harus dihadapi oleh kami berdua. Kami tidak bisa menghindarinya.
Kafe yang biasanya nyaman ini tiba-tiba terasa begitu asing. Aku merasa seperti sedang berada di persimpangan jalan, dengan dua pilihan yang harus segera diputuskan. Dan di luar sana, hujan masih terus turun, seolah memberi petunjuk bahwa keputusan ini, apapun itu, akan membawa perubahan yang tak terelakkan.
Di Persimpangan Jalan
Hari-hari setelah pertemuan itu berjalan seperti biasa, meski aku merasa seperti ada jarak tak terlihat di antara kami. Vino tetap bersikap hangat, tapi ada sesuatu yang berbeda. Sebuah ketegangan yang tidak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata. Kiara juga tak kalah dekat dengannya, dan aku merasa semakin terpinggirkan. Aku bisa merasakannya. Meskipun aku berusaha tampak tenang, pikiranku terus berputar tanpa henti, terperangkap dalam kebingunganku sendiri.
Aku duduk di balkon apartemenku, menatap langit yang sedikit mendung. Ada rasa kosong yang tak bisa aku isi. Aku mulai berpikir, apakah aku terlalu mengandalkan Vino untuk mengisi kekosongan itu? Atau akankah ada jawaban lain yang bisa menyelesaikan semuanya?
Di sana, aku mendengar suara derap langkah kaki mendekat. Aku menoleh dan melihat Kiara, yang tampaknya baru saja selesai berolahraga. Wajahnya terlihat cerah, penuh semangat seperti biasa. Kiara adalah tipe orang yang selalu bisa membuat segalanya terlihat mudah, bahkan di tengah kekacauan.
“Ada apa, Daira?” Kiara tersenyum, menyandarkan tubuhnya di pagar balkon. “Kamu kelihatan nggak enak.”
Aku hanya mengangkat bahu, meskipun aku tahu Kiara bisa melihat lebih dalam dari yang aku tunjukkan. Kami sudah lama berteman, jadi dia tahu jika ada yang tidak beres.
“Nggak apa-apa,” jawabku singkat. “Cuma… lagi mikir.”
Kiara menyandarkan punggungnya ke pagar balkon dan menatap langit yang sama. “Mikirin Vino lagi, ya?”
Hatiku sedikit terkejut. “Kamu tahu?”
Kiara tersenyum tipis. “Aku tahu kok. Kamu nggak bisa nyembunyiin perasaan kamu dariku. Dan jujur, aku juga bingung. Aku tahu kamu berdua punya perasaan masing-masing. Tapi kenapa kalian nggak bicara secara jujur?”
Aku terdiam sejenak, mencerna kata-kata Kiara. “Aku udah coba bicara, Kiara. Tapi makin aku bicara, makin aku merasa terjebak. Aku nggak tahu lagi harus pilih siapa di antara kalian.”
Kiara menatapku dengan tatapan yang lebih serius. “Daira, kamu tahu kan, aku nggak akan pernah ngelawan kamu atau Vino. Tapi aku nggak bisa terus-terusan hidup dalam ketidakjelasan juga. Aku bukan orang yang berusaha merebut perhatian Vino dari kamu. Tapi… kalau kalian berdua nggak jelas begini, semuanya bakal makin runyam.”
Aku merasa seolah dunia berputar lebih lambat. Kiara, yang biasanya ceria, kini berbicara dengan serius. Aku bisa merasakan ketegangan di antara kami, meskipun dia berusaha untuk tetap tenang. Tidak ada yang ingin menyakiti, tapi kenyataannya, entah bagaimana, kami semua terjerat dalam hubungan yang rumit ini.
Aku melirik Kiara dan menunduk. “Aku nggak mau kehilangan kalian berdua, Kiara. Aku benar-benar nggak mau. Tapi aku juga nggak bisa terus hidup dalam ketidakpastian. Kalau Vino nggak bisa membuat pilihan, aku akan pergi.”
Kiara menghela napas panjang dan meletakkan tangannya di bahuku. “Daira, kamu pantas mendapatkan lebih dari sekadar ketidakpastian. Kamu harus tahu bahwa kamu berharga. Jangan biarkan dirimu jatuh terlalu dalam hanya karena takut kehilangan seseorang yang kamu sayang. Kalau dia memang untukmu, dia akan memilihmu.”
Aku mengangguk pelan, meskipun hatiku terasa semakin berat. Kenyataannya, aku tak pernah merasa seberat ini sebelumnya. Semua yang aku pikirkan hanya berputar-putar tentang Vino. Tentang perasaanku padanya. Tentang apa yang harus aku lakukan. Aku mencintainya, tapi aku juga tidak ingin menjadi sumber masalah bagi mereka berdua.
Setelah beberapa saat hening, Kiara berdiri dan meraih tas olahraga yang ada di sampingnya. “Aku pergi dulu ya, Daira. Kalau ada apa-apa, kamu tahu aku selalu ada.”
Aku mengangguk dan memberi senyum tipis. “Iya, terima kasih, Kiara.”
Dia melangkah pergi, dan aku kembali duduk, menatap langit yang semakin mendung. Aku tahu, ini bukan lagi sekadar perasaan. Ini adalah keputusan besar yang harus diambil, entah oleh Vino atau oleh aku.
Aku kembali mengingat kata-kata Kiara: “Kalau dia memang untukmu, dia akan memilihmu.”
Benarkah? Aku merasa ragu. Apakah aku cukup kuat untuk menunggu pilihan itu? Aku tidak bisa terus terjebak dalam ketidakpastian. Aku perlu jawaban. Aku butuh keputusan.
Namun, entah mengapa, aku masih menunggu. Menunggu jawaban dari Vino. Mungkin ini kebodohanku, tapi hati ini tak bisa berbohong. Aku masih berharap. Namun, semakin lama aku menunggu, semakin aku merasa ada yang akan hilang dalam prosesnya.
Malam itu, aku memutuskan untuk pergi menemui Vino lagi. Aku tahu ini bukan waktu yang tepat, tapi aku tidak bisa menunggu lebih lama lagi. Aku harus tahu. Aku harus mendengar langsung dari mulutnya. Apa yang sebenarnya dia rasakan? Apa yang sebenarnya dia pilih?
Terkubur Dalam Pilihan
Malam itu, aku tak bisa tidur. Pikiranku terus dipenuhi dengan Vino. Ada kekosongan yang mengganggu setiap detik yang berlalu, seolah-olah aku sedang menunggu sesuatu yang besar, yang entah apa. Aku tahu harus mencari jawaban, dan aku tahu aku tak bisa menunda lagi. Kiara sudah memberi petunjuk yang jelas. Aku tak bisa terus terjebak dalam ketidakpastian, dan entah mengapa, aku merasa jika aku tidak melangkah sekarang, semuanya akan lebih sulit nanti.
Aku mengirim pesan ke Vino, mengajaknya bertemu. Kali ini aku tak memberi alasan, hanya menulis bahwa aku ingin berbicara. Itu sudah cukup. Aku tahu dia mengerti.
Setengah jam kemudian, dia membalas pesan itu dan mengatakan akan segera menemuiku di kafe yang kami biasa kunjungi. Aku merasa sedikit lebih tenang, meskipun ada rasa cemas yang menyelubungi hatiku. Apa yang akan dia katakan? Apa yang akan aku katakan? Semua pertanyaan itu mengalir begitu saja, namun aku tahu hanya ada satu hal yang harus dilakukan: mendengarkan.
Kafe itu sepi saat aku tiba. Hanya ada beberapa pengunjung yang duduk di sudut-sudut meja, menikmati kopi mereka dengan tenang. Aku duduk di tempat yang sama seperti biasa, menunggu, menatap pintu masuk, berharap Vino segera datang. Tidak lama kemudian, aku melihatnya. Wajahnya yang biasa tampak tenang, namun ada sesuatu yang berbeda malam ini. Matanya tampak lebih lelah, lebih dalam. Mungkin dia juga merasakan beratnya keputusan ini.
Vino duduk di depanku dengan senyuman tipis, tapi tidak bisa mengelak dari ekspresi yang penuh kecemasan. Kami saling diam beberapa saat, hanya mendengarkan suara musik lembut yang mengalun di latar belakang. Suasana yang seharusnya nyaman, tiba-tiba terasa penuh ketegangan.
“Ada apa, Daira?” akhirnya Vino membuka suara, suaranya tenang meski aku bisa merasakan ada sesuatu yang tak bisa disembunyikan. “Kamu terlihat nggak tenang.”
Aku menarik napas panjang, mengumpulkan keberanian. “Vino, kita perlu bicara serius. Tentang… kita.”
Vino mengangguk perlahan, ekspresinya berubah sedikit lebih serius. “Aku tahu, Daira. Aku juga merasa kita perlu bicara tentang ini.”
Aku menatapnya, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku nggak mau terus hidup dalam kebingungannya. Aku nggak bisa terus menunggu, Vino. Aku merasa seperti aku hanya bagian dari pilihan yang nggak jelas. Kamu sama Kiara, kalian dekat banget belakangan ini. Aku nggak tahu apakah aku masih punya tempat di hidup kamu.”
Vino menatapku dalam-dalam, dan aku bisa melihat bagaimana dia mencoba menahan perasaannya. “Aku nggak pernah bermaksud bikin kamu merasa seperti itu,” katanya pelan, wajahnya mulai sedikit memucat. “Kiara memang temanku, Daira. Tapi kamu juga, kamu sangat berarti buat aku.”
Aku mematung sejenak, mencoba mencerna kata-katanya. “Tapi itu nggak cukup, Vino. Kalau kamu terus begini, kita nggak akan pernah tahu apa yang sebenarnya kita rasakan. Aku nggak ingin terus berada di tengah ketidakpastian ini.”
Suasana semakin hening. Aku bisa melihat bahwa Vino benar-benar sedang berjuang dengan pikirannya. Rasanya, saat itu, semua kata-kata menjadi tidak cukup. Tidak ada yang bisa meyakinkan kami bahwa semuanya akan baik-baik saja jika kami terus berjalan seperti ini.
Akhirnya, Vino membuka mulutnya lagi, suaranya terdengar lebih dalam dan serius. “Daira, aku juga bingung. Aku mulai merasa sesuatu yang lebih dari sekadar teman. Tapi, aku nggak tahu harus memilih siapa. Kiara juga sangat berarti buatku. Dia adalah teman yang baik, dan aku nggak mau menyakiti perasaan siapa pun.”
Hatiku terasa teriris. Aku tahu ini bukanlah sesuatu yang mudah baginya. Namun, aku merasa begitu terluka. Kenapa harus ada pilihan? Kenapa tidak bisa ada dua yang saling melengkapi?
“Aku nggak bisa jadi pilihan kedua, Vino,” aku berkata dengan suara serak, hampir tak terdengar. “Aku tahu, kita nggak bisa memilih siapa yang kita cintai begitu saja. Tapi aku nggak bisa hidup dalam bayang-bayang orang lain. Aku ingin merasa berarti. Aku ingin tahu kalau aku yang kamu pilih.”
Vino memejamkan matanya sejenak, dan aku bisa melihat betapa beratnya keputusan yang sedang dia hadapi. “Daira, aku nggak pernah berniat melukaimu. Aku hanya… aku hanya takut kalau aku salah pilih. Kiara itu orang yang baik, dan aku nggak ingin kehilangan teman seperti dia. Tapi aku juga nggak bisa mengabaikan apa yang aku rasakan untukmu. Ini bukan hanya soal memilih, ini soal kehilangan.”
Aku bisa merasakan kepedihan dalam kata-katanya. Aku tahu dia tidak ingin menyakiti siapapun, tapi kenyataannya, di tengah pilihannya yang tak mudah ini, ada hati yang pasti akan terluka.
Aku menunduk, berusaha menahan air mata yang hampir keluar. Aku tahu, jika aku menangis sekarang, aku tidak akan bisa berhenti. “Aku hanya ingin kamu jujur, Vino. Apa yang kamu rasakan? Apa kamu benar-benar merasa ada sesuatu yang lebih untukku, atau aku hanya kebetulan di tengah perjalananmu?”
Vino menatapku dengan tatapan penuh penyesalan. “Aku merasa ada sesuatu yang lebih, Daira. Aku hanya takut… takut kalau aku salah. Aku nggak tahu bagaimana caranya memilih tanpa menyakiti hati siapa pun.”
Aku diam, berusaha mencerna semuanya. Aku tahu, tak ada jalan keluar yang mudah dari ini. Aku mencintainya, tapi dia juga mencintai Kiara. Ini adalah pilihan yang sangat sulit, bahkan lebih sulit daripada yang aku kira. Hati ini terus menjerit, menginginkan jawaban. Tapi mungkin, terkadang kita harus belajar menerima kenyataan bahwa tidak ada yang bisa sempurna. Aku harus mempersiapkan diri untuk menghadapi keputusan apapun yang akan dia buat.
Namun, satu hal yang aku tahu pasti: aku tak bisa terus begini. Kami semua harus memilih jalan kami masing-masing.
Pilihan yang Tak Pernah Mudah
Pagi itu, langit tampak kelabu, seolah ikut merasakan beratnya apa yang baru saja terjadi. Aku terbangun dengan perasaan yang kosong, tanpa tahu harus ke mana, harus merasa apa. Semua yang terjadi kemarin malam mengganggu pikiranku, dan meskipun aku mencoba menenangkan diri, hatiku tetap bergejolak.
Aku duduk di tepi tempat tidur, menatap jendela yang menghadap ke jalan. Dulu, aku biasa merasa tenang setiap kali melihat dunia berjalan seperti biasa, orang-orang berlalu-lalang, suara kendaraan yang tak pernah berhenti. Tapi kali ini, semuanya terasa jauh. Semuanya tampak kabur. Aku merasa seperti aku tidak lagi menjadi bagian dari dunia yang aku kenal.
Sebelum aku bisa benar-benar mengatur perasaanku, ponselku bergetar. Ada pesan dari Vino. Aku membuka pesan itu, membaca kata-kata yang tertulis di layar, dan detak jantungku berhenti sejenak.
“Daira, aku butuh waktu untuk berpikir. Aku tak bisa terburu-buru dalam memilih. Kiara juga penting, tapi aku tak ingin kehilangan kamu. Aku minta maaf kalau aku membuatmu merasa seperti ini. Aku akan memberi tahu kamu keputusan akhirnya, tapi aku perlu waktu. Aku harap kamu bisa memahami.”
Pesan itu hanya menambah kekosongan dalam hatiku. Aku tahu dia membutuhkan waktu, tapi aku juga tahu, waktu itu tidak akan pernah bisa mengembalikan apa yang telah hilang. Aku sudah terlalu banyak menunggu. Aku sudah terlalu lama terjebak dalam ketidakpastian, dan sekarang aku merasa seperti aku sudah kehilangan diriku sendiri di tengah semua pilihan yang ada.
Tiba-tiba, ada suara pintu kamar yang diketuk. Aku tahu itu Kiara, karena hanya dia yang tak pernah ragu untuk datang tanpa pemberitahuan. Dia selalu tahu kapan waktunya untuk hadir.
“Daira, aku tahu kamu nggak baik-baik aja,” katanya lembut saat aku membuka pintu. Wajahnya penuh perhatian, meski aku tahu ada rasa cemas yang disembunyikan. “Aku datang karena aku nggak bisa ngebiarin kamu sendiri.”
Aku tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan perasaan sesungguhnya. “Kiara, aku baik-baik aja kok. Hanya… banyak yang harus kupikirkan.”
Kiara mengangkat alisnya, tidak terlalu yakin dengan kata-kataku. “Kamu tahu, Daira, aku nggak pernah menginginkan ini. Aku nggak pernah berniat bikin kamu terluka. Aku cuma… aku cuma nggak mau kehilangan Vino juga.”
Aku menatapnya dalam-dalam. Aku tahu Kiara bukanlah orang yang jahat, dan aku juga tahu dia mencintai Vino. Tapi ada satu hal yang membuatku merasa jauh darinya—dia tidak mengerti apa yang aku rasakan. Apa yang aku hadapi. Kami mungkin teman, tetapi dalam hal ini, kami berdua adalah musuh yang tak bisa disatukan oleh apapun.
“Kiara,” kataku pelan. “Aku tahu kamu juga mencintai Vino. Tapi kita nggak bisa terus begini. Aku nggak bisa terus hidup dalam bayang-bayang orang lain. Aku sudah terlalu lama menunggu dia memilih, dan aku nggak ingin jadi pilihan terakhir lagi.”
Kiara terdiam. Wajahnya mulai menunjukkan perasaan yang sebenarnya—rasa takut kehilangan, namun ada sedikit pemahaman dalam tatapannya. “Aku nggak tahu harus berkata apa. Tapi, Daira, kamu juga tahu bahwa aku nggak bisa memaksa Vino. Aku… aku nggak akan pernah menghalangi kamu. Aku cuma takut, kalau kita terus begini, kita semua akan terluka.”
Aku menghela napas dalam-dalam. Ini bukan hanya soal aku dan Vino. Ini adalah soal hati yang patah, tentang perasaan yang tak pernah sederhana. Aku tak bisa memaksa diri untuk mencintai seseorang yang hatinya tak utuh untukku. Aku tak bisa terus menunggu seseorang yang bahkan belum tahu apa yang sebenarnya dia inginkan.
Beberapa saat kemudian, Vino mengirimkan pesan lagi. Kali ini, dengan sebuah keputusan.
“Daira, aku sudah memikirkan semuanya. Aku tahu kamu punya banyak pertanyaan, dan aku juga tahu kamu sudah lelah menunggu. Kiara adalah teman yang baik, tapi aku tahu aku tak bisa terus hidup dalam ketidakpastian. Aku memilihmu, Daira. Aku ingin kamu, meskipun aku tahu ini tidak mudah untukmu.”
Pesan itu membuat dunia seakan berhenti berputar. Rasanya, seluruh tubuhku terhenyak, kebingungannya mulai mereda. Namun, seiring dengan kebahagiaan yang datang, ada perasaan yang lain—sesuatu yang lebih dalam, lebih berat. Bagaimana dengan Kiara? Bagaimana dengan semua yang telah kami lalui?
Aku menatap Kiara, dan tanpa berkata apa-apa, aku bisa melihat matanya yang penuh dengan air mata yang hampir tumpah. Dia tahu. Kami semua tahu. Keputusan sudah dibuat. Tapi tidak ada yang bisa mengubah kenyataan bahwa perasaan itu tak bisa dipaksakan.
“Aku memilihmu, Kiara,” kataku, suaraku hampir terputus. “Aku nggak bisa jadi bagian dari cinta segitiga ini. Kita semua harus memilih jalan kita sendiri, meskipun itu sulit.”
Kiara mengangguk, dan meskipun dia tersenyum, aku bisa melihat bagaimana hatinya juga hancur. Dia tidak bisa membendung perasaannya, dan aku tahu, dia juga memilih untuk pergi, meskipun hatinya terluka.
Dalam keheningan yang berat itu, aku dan Vino akhirnya berjalan bersama. Namun, saat aku melangkah pergi, aku tahu perjalanan ini tidak akan pernah sederhana. Terkadang, pilihan yang tepat datang dengan kehilangan yang mendalam. Tapi aku tahu, itu adalah bagian dari hidup.
Akhirnya, kita semua harus menghadapi kenyataan, kan? Cinta itu nggak selalu mulus, nggak selalu indah. Kadang, pilihan yang kita buat malah bikin hati kita nggak tenang. Tapi ya, itulah hidup. Harus berani pilih, meskipun tahu kadang jalan itu bakal penuh rintangan.
Jadi, kalau kamu lagi terjebak di cinta segitiga, ingat: nggak ada yang bisa ngehindarin drama, tapi yang penting, kamu harus tetap pilih yang bisa bikin hati kamu bahagia—meskipun itu berarti kamu harus kehilangan sesuatu yang penting.