Janji di Bawah Senja: Cerpen Cinta Sedih Mengharukan Bikin Nangis

Posted on

Kamu pernah ngerasain nggak, ada satu orang yang selalu kamu tunggu, tapi di saat yang sama kamu juga takut banget nungguin dia? Ini kisah tentang Inez dan Rendra, tentang janji yang diucapin di bawah senja, tentang cinta yang selalu datang tapi nggak pernah bisa bertahan lama.

Bakal bikin kamu inget lagi gimana rasanya rindu yang bikin sesak, cinta yang nggak selesai, dan janji yang cuma bisa dikenang. Siap-siap, tisu, ya. Cerita ini nggak bakal ninggalin kamu tanpa air mata.

 

Janji di Bawah Senja

Janji di Taman Senja

Senja di desa itu selalu punya cara untuk membuat orang berhenti sejenak, menatap langit yang perlahan berubah warna dari biru muda ke jingga yang hangat. Di taman dekat bukit kecil di ujung desa, Inez duduk di ayunan kayu yang berderit halus, ditemani angin sore yang menari lembut di rambut panjangnya. Suara derak ayunan berirama dengan degup halus di dadanya. Sore itu bukan sore yang biasa; ada yang bergetar pelan di udara. Inez tahu sebabnya.

Tak lama kemudian, langkah kaki terdengar mendekat. Tanpa menoleh, dia sudah tahu siapa yang datang. Rendra, sahabat masa kecilnya, berjalan perlahan dan berhenti di sampingnya. Dia berdiri dalam diam, seperti biasa. Rendra memang tak pernah banyak bicara. Tapi, saat mata mereka bertemu, Inez tahu, Rendra sedang mencoba berkata sesuatu.

“Hari ini kita beruntung, ya, langitnya bersih banget,” ucap Rendra sambil menyapu pandangannya ke cakrawala.

Inez mengangguk pelan, tersenyum tipis. Senja memang selalu punya keajaiban tersendiri. “Iya, langitnya cantik banget. Kayak… kayak kita punya waktu lebih lama di sini.”

Rendra tertawa kecil, senyumannya tampak samar di bawah cahaya jingga yang mulai memudar. “Senja tuh emang paling cantik pas kayak gini, ya? Di sini… di tempat kita.”

Mereka berdua jatuh dalam diam yang nyaman. Setiap hembusan angin seolah membawa kenangan masa kecil mereka, petualangan-petualangan kecil di desa, tertawa di bawah sinar matahari, berlarian di tengah hujan, dan kini, bersama dalam senja yang sama, tetapi dengan perasaan yang tak sama lagi.

Rendra mendekat, bersandar pada ayunan di sebelah Inez. Mata Inez meliriknya sesaat, dan melihat Rendra yang biasanya tenang kini tampak sedikit gelisah, sesuatu yang jarang terlihat darinya. Ada sesuatu yang ingin dia katakan, itu jelas. Tapi kata-katanya seperti tertahan di ujung bibirnya.

“Aku mau ngomong sesuatu, Nez.” Rendra akhirnya membuka suara, nada suaranya rendah dan sedikit ragu.

Inez menoleh, alisnya terangkat, menunggu kelanjutan kalimat Rendra.

“Kamu tahu kan, keluargaku… mereka nggak terlalu… hmm… cukup, untuk semuanya. Sekolah, kerja… mereka nggak bisa banyak bantu,” ucap Rendra, sambil menunduk memandangi ujung sepatunya.

Inez mengangguk, meski dadanya mulai terasa sesak. Dia sudah tahu kondisi keluarga Rendra, tapi baru kali ini Rendra membicarakannya dengan nada yang seberat ini.

“Jadi…” Rendra menarik napas dalam-dalam, menatap Inez dengan sorot mata yang serius. “Aku udah mutusin buat ke kota, Nez. Kerja di sana. Coba cari apa aja yang bisa aku lakukan.”

Hati Inez seketika terasa hampa, seolah-olah semua kehangatan senja tersapu angin dingin yang menusuk. Kota? Rendra akan pergi dari desa ini? Tanpa sadar, Inez meremas ujung bajunya. Dia menunduk, tidak ingin Rendra melihat matanya yang mulai berkaca-kaca.

“Secepat itu, Ren?” bisik Inez, suaranya nyaris tenggelam oleh angin senja.

Rendra mengangguk pelan. “Nggak ada pilihan, Nez. Aku harus. Ini… ini buat keluarga. Dan mungkin… mungkin buat masa depan aku juga.”

Diam mengisi ruang di antara mereka. Inez berusaha mencari kata-kata, tapi yang keluar hanya sebuah bisikan pelan. “Aku bakal rindu.”

Rendra tersenyum kecil, sedikit getir. “Aku juga, Nez. Aku bakal rindu banget sama kamu… sama taman ini… sama kita.”

Inez tak bisa menahan lagi air matanya yang menggenang. Ia berusaha tersenyum, meski dengan wajah yang tampak lemah. “Kalau kamu rindu… aku bakal ada di sini. Taman ini nggak bakal ke mana-mana, Ren.”

Rendra menatapnya dengan pandangan yang dalam, seolah ingin menghafal setiap detail wajah Inez, senyumnya, cara dia mengusap air mata di pipi. Dengan suara pelan, dia berkata, “Nez, kamu tahu, aku nggak pernah pandai ngomong. Tapi ada satu hal yang aku janjiin. Setiap senja… aku bakal selalu ingat kamu. Aku bakal ingat kita. Di mana pun aku nanti.”

Suara Rendra bergetar, penuh dengan perasaan yang hanya bisa ia ungkapkan dengan sederhana. Inez mendekat, menggenggam tangannya yang dingin. Mereka duduk di sana, dalam senja yang mulai pudar. Tak ada lagi kata-kata, hanya genggaman erat yang berbicara lebih banyak dari ribuan kalimat.

Saat akhirnya mereka beranjak untuk pulang, Rendra meraih tangan Inez sekali lagi, memandangnya dengan tatapan penuh janji yang tulus.

“Sampai kapan pun… aku selalu di sini. Di hati kamu,” ujar Rendra pelan, menyelipkan setangkai bunga kecil yang ia petik di jalan ke telinga Inez.

Dengan langkah yang berat, Rendra pun berjalan menjauh, meninggalkan taman itu. Inez berdiri mematung, memandang punggungnya yang perlahan menjauh, hingga bayangannya hilang di balik pepohonan.

Hari itu, senja di taman terasa berbeda. Inez menatap langit yang perlahan berubah warna, membiarkan setiap kata yang diucapkan Rendra meresap dalam hatinya. Janji yang sederhana, tetapi cukup untuk membuatnya bertahan. Meski mulai besok, taman ini mungkin hanya akan ditemani oleh angin dan derak ayunan yang kosong, hati Inez tahu, setiap senja akan selalu membawa Rendra kembali di sisinya.

Dan di setiap helai angin yang berembus, ia berjanji akan menunggu, karena senja selalu punya cara untuk mempertemukan mereka kembali.

 

Surat-surat yang Tak Terkirim

Waktu berjalan pelan setelah kepergian Rendra. Setiap pagi, Inez bangun dengan kesunyian yang menggantung di udara. Sepi terasa lebih berat dari biasanya, seolah taman yang dulu penuh tawa mereka sekarang berubah menjadi saksi bisu rindu yang tak pernah terucap.

Rutinitas Inez berubah; dari yang dulu selalu ada canda dan tawa di telepon bersama Rendra, kini berganti menjadi keheningan panjang yang diselimuti kenangan. Rendra pergi membawa sebagian besar dari dirinya, dan yang tersisa hanya janji mereka—janji senja yang akan selalu hadir dalam rindu.

Hingga suatu hari, Inez mendapat ide untuk menulis. Hanya selembar kertas kecil, tetapi cukup untuk menampung segala yang tak mampu ia katakan langsung. Setiap kali rindu mengganggu, dia akan menulis surat, mencurahkan perasaan yang terpendam dalam hatinya.

Dia menulis untuk Rendra, meskipun tahu surat itu mungkin takkan pernah sampai ke tangannya. Rasanya seperti berbicara pada bayangan Rendra yang tetap menemani setiap senja. Setiap surat ia lipat hati-hati, lalu menyimpannya dalam sebuah kotak kayu kecil yang pernah ia temukan di gudang rumahnya—kotak yang kini menjadi harta paling berharga baginya.

Bulan pertama setelah Rendra pergi…

Hari itu, hujan turun sejak pagi. Langit mendung, dan Inez duduk di meja belajarnya, memandangi tetesan air yang menetes perlahan dari daun-daun di luar jendela. Dia mengambil kertas dan pena, lalu mulai menulis:

“Hai, Ren. Kamu tahu nggak, hujan di sini terasa lebih sepi dari biasanya. Aku ingat waktu kita pernah kehujanan di taman, waktu kamu bilang hujan itu cuma air yang berbaik hati menyentuh bumi. Aku rindu tawa kamu… Rindu kita bisa bercanda sambil lari-larian. Aku harap di sana, kamu nggak lupa sama hujan kita.”

Surat itu dilipat dan diselipkan ke dalam kotak kayu. Inez menutup kotak itu dengan lembut, seolah sedang menyimpan bagian dari jiwanya di dalamnya.

Bulan ketiga setelah Rendra pergi…

Senja hari itu begitu tenang. Inez kembali ke taman, mengenakan sweater abu-abu yang dulu sering ia pakai saat bersama Rendra. Sambil duduk di ayunan, dia memandang cakrawala yang perlahan berubah warna, seperti biasa.

Ketika angin dingin menerpa wajahnya, Inez merogoh tasnya dan mengeluarkan selembar kertas kecil yang sudah ia tulis sebelum berangkat ke taman.

“Ren… Senja di sini tetap sama. Matahari tetap terbenam di balik pohon itu, langit tetap jingga seperti biasa, tapi kenapa aku merasa kosong? Kamu bilang senja ini selalu punya caranya buat bikin kita damai. Tapi, tanpa kamu… aku cuma ngerasa hampa.”

Ia menggulung kertas itu dan menyimpannya di dalam kotak kayu yang ia bawa. Setiap surat terasa seperti pengakuan rindu yang tak pernah usai.

Bulan keenam setelah Rendra pergi…

Suatu malam, tanpa sadar, Inez terbangun dari tidurnya, dilanda rasa gelisah yang tiba-tiba. Ia duduk di pinggir tempat tidur, menatap kotak kayu di atas mejanya. Di dalam kotak itu, surat-suratnya menumpuk semakin banyak, menjadi saksi rindu yang tak pernah padam.

Ia membuka kotak itu, mengambil beberapa surat, dan mulai membacanya satu per satu. Setiap kata terasa seperti gema rindu yang semakin dalam, seperti ia menulis untuk seseorang yang hanya bisa ditemui dalam mimpi. Ia menyadari, surat-surat itu tidak hanya berisi rindu, tetapi juga kepedihan yang tak pernah mampu ia lepaskan.

Sampai akhirnya, tanpa disadari, air matanya menetes di atas surat yang ia pegang. Ia terisak pelan, merasakan kekosongan yang begitu besar, seperti sebagian hatinya masih tertinggal bersama Rendra di suatu tempat yang tak terjangkau.

“Aku cuma mau kamu pulang, Ren…” bisiknya lirih, meski tahu tak ada jawaban yang akan datang.

Hari-hari Inez terus berlalu dalam diam yang mendalam, dan kotak kayu itu semakin penuh dengan surat-surat yang tak pernah terkirim. Ia tetap menulis setiap kali rindu itu terasa menyesakkan, mencoba mencurahkan semua kenangan yang ia miliki. Taman, senja, dan kotak kayu itu menjadi perantara yang mempertemukan hati Inez dan Rendra—meski ia tahu, semua itu hanya menjadi harapan yang ia genggam sendirian.

Namun, di dalam kesunyian dan kesendiriannya, Inez terus menjaga janji senja mereka. Setiap senja ia datang ke taman, menatap langit yang mulai menggelap, berharap mungkin, suatu hari nanti, rindu itu akan mencapai Rendra.

 

Rindu yang Tersampaikan

Satu tahun berlalu sejak Rendra pergi meninggalkan desa. Inez mulai terbiasa dengan keheningan yang ia hadapi setiap hari, tetapi tidak dengan rindu yang terus bertambah di hatinya. Kotak kayu di kamarnya kini penuh dengan surat-surat yang ia tulis untuk Rendra. Setiap helai kertas itu mencatat setiap momen rindu yang hanya bisa ia titipkan pada senja.

Suatu sore, di taman tempat biasa mereka menghabiskan waktu, Inez duduk di ayunan yang berderit pelan, memandangi langit senja yang mulai memerah. Sambil menghela napas panjang, ia teringat surat terakhir yang ia tulis beberapa hari yang lalu—surat yang ia tulis dengan perasaan yang berat, seolah ia merasakan kehadiran Rendra yang semakin jauh.

Tapi hari ini, ada yang berbeda. Saat langit mulai meredup, langkah kaki terdengar dari arah jalan setapak. Inez mengangkat kepala dan melihat seorang pria berjalan ke arahnya. Wajah itu… wajah yang selalu ia simpan dalam kenangannya. Rendra berdiri tak jauh darinya, tampak lebih dewasa, dengan sedikit kelelahan di raut wajahnya. Matanya masih sama—hangat dan dalam, seperti senja yang selalu mereka habiskan bersama.

Inez terdiam, hatinya berdegup tak karuan. Ia tak yakin apakah ini nyata atau hanya khayalannya yang terlalu lama menunggu. Rendra tersenyum tipis dan perlahan berjalan mendekat, menghapus jarak di antara mereka.

“Nez…” panggil Rendra pelan, suaranya seperti menembus lapisan rindu yang mengendap di hati Inez selama ini.

Inez mengangguk, menahan tangis yang sudah menumpuk di sudut matanya. “Ren… Kamu pulang?”

Rendra mengangguk pelan, menatap Inez dengan penuh perasaan. “Aku janji, kan? Aku bakal pulang ke sini.”

Mata Inez berkaca-kaca, dan air mata yang selama ini tertahan akhirnya mengalir. “Aku kira… kamu nggak bakal pulang, Ren. Aku kira kamu benar-benar hilang.”

Rendra menunduk, terlihat menyesal. “Maaf, Nez. Ada banyak hal yang… aku harus selesaikan. Aku ingin kembali lebih cepat, tapi aku nggak punya pilihan.” Dia menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “Selama ini, aku juga selalu merindukan kamu… tempat ini… janji kita.”

Inez hanya menatapnya, berusaha memahami setiap kata yang Rendra ucapkan. “Kenapa baru sekarang, Ren?” tanyanya dengan suara yang penuh luka dan keingintahuan yang tak bisa lagi ia tahan.

Rendra tersenyum lemah. “Kamu tahu… aku nggak pernah pandai dalam banyak hal, Nez. Setiap hari aku kerja, aku cuma bisa ingat taman ini, senja kita, dan kamu. Setiap kali aku ingin pulang, ada saja yang menahan. Tapi akhirnya… aku di sini. Aku pulang, karena aku tahu, aku nggak bisa terus lari dari rindu ini.”

Sejenak, mereka hanya berdiri dalam keheningan yang dipenuhi perasaan yang tak terucapkan. Inez merasa semua kerinduannya selama ini seakan menemukan jawabannya. Tapi, ia tahu, rindu yang mereka simpan juga menyimpan luka yang tak mudah dilupakan.

Rendra merogoh sakunya, mengeluarkan sebuah amplop yang sudah kusut, seolah ia sudah membawanya ke mana-mana. “Aku… juga menulis surat, Nez. Tapi aku nggak pernah bisa kirim surat ini. Kamu tahu aku nggak pandai menulis, tapi… ini surat terakhir yang aku tulis buat kamu, pas aku mau pulang.”

Inez menerima amplop itu dengan tangan bergetar, lalu membukanya perlahan. Di dalamnya, terdapat secarik kertas dengan tulisan tangan Rendra yang tak rapi, tapi terasa begitu tulus. Inez membaca kata demi kata, setiap kalimatnya terasa menyentuh lubuk hatinya yang paling dalam.

“Nez,
Kalau aku bisa bilang satu hal yang paling aku rindukan, itu kamu. Senja di kota nggak pernah sama kayak di sini. Nggak ada taman, nggak ada tempat kita biasa duduk berdua. Aku cuma bisa bayangin kamu, menunggu di taman, melihat langit berubah warna. Kamu selalu bilang senja itu seperti pelukan dari langit buat bumi. Sekarang, aku tahu rasanya rindu sama pelukan itu. Aku janji, Nez… aku bakal pulang, bawa semua rindu ini buat kamu.”

Air mata Inez kembali menetes saat membaca surat itu, tetapi kali ini bukan hanya air mata kesedihan. Ada kelegaan, ada kebahagiaan yang diam-diam merayap masuk ke dalam dadanya, meski ia tahu mungkin tak semua harapan mereka bisa terpenuhi. Tetapi, untuk saat ini, Rendra ada di sini, dan itu sudah cukup baginya.

Rendra mengulurkan tangannya, menyentuh jemari Inez dengan lembut. “Aku nggak tahu berapa lama aku bisa di sini, Nez… Tapi aku akan terus janji buat pulang, buat ada di sini, di mana aku selalu menemukan kamu.”

Mereka duduk di ayunan, berdampingan, menikmati senja yang perlahan menghilang. Tanpa perlu banyak kata, mereka tahu bahwa rindu yang telah terkumpul selama ini, yang tertuang dalam surat-surat tak terkirim, kini telah menemukan tempatnya kembali.

Inez menyandarkan kepalanya di bahu Rendra, membiarkan hatinya menikmati momen yang ia rindukan sekian lama. Di bawah langit senja yang kembali hangat, mereka berdua menyimpan satu janji baru, janji yang mereka tahu akan menjadi bagian dari rindu yang terus berlanjut, namun kali ini, dengan keyakinan bahwa mereka akan selalu menemukan jalan untuk pulang.

 

Janji Terakhir di Bawah Senja

Waktu berjalan, dan kehadiran Rendra kembali dalam hidup Inez membawa cahaya yang lama hilang dari hatinya. Mereka kembali pada kebiasaan lama—berbagi cerita di taman yang sama, di bawah senja yang sama. Namun, Inez mulai merasakan sesuatu yang berbeda. Meski Rendra ada di sana, senyumnya kadang tampak jauh, seolah rindu itu masih belum sepenuhnya terpuaskan.

Suatu hari, di senja yang sama dengan senja-senja mereka yang dulu, Rendra mengajak Inez bertemu. Dia tampak tenang, tapi ada sesuatu di matanya yang tak pernah Inez lihat sebelumnya—pembawaan yang begitu tenang, tapi juga seolah ada yang tak terucapkan.

Inez menatap Rendra dalam hening, menunggu dia bicara.

“Aku harus kembali, Nez.” Suara Rendra terdengar berat, membuat udara di antara mereka seolah berhenti sejenak.

“Kembali?” Inez berusaha meredam kegelisahan yang merayap di hatinya.

Rendra mengangguk, menatap lurus ke cakrawala di depan mereka. “Aku harus menyelesaikan semuanya di sana. Aku janji nggak bakal lama, tapi aku harus pergi… untuk sementara waktu.”

Inez menunduk, menggigit bibirnya, menahan tangis yang ingin pecah. Ia tahu, ini bukan pertama kalinya Rendra pergi, tapi kali ini rasanya berbeda. Terasa seperti ada janji yang lebih besar dari sekadar rindu.

“Berapa lama, Ren?” tanyanya pelan.

Rendra terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aku nggak tahu pasti, Nez. Tapi aku bakal kembali. Aku janji. Sama kayak senja yang selalu kembali setiap hari.”

Inez menelan kepedihan yang mengganjal di tenggorokannya. Ia hanya bisa mengangguk, meskipun hatinya penuh keraguan dan ketakutan. Rendra menggenggam tangannya erat, seperti berusaha meyakinkan bahwa rindu mereka masih akan bertahan, masih akan terjaga sampai mereka bertemu lagi.

Mereka duduk dalam diam, membiarkan senja itu menjadi saksi janji mereka sekali lagi. Dalam benaknya, Inez hanya berharap kali ini kepergian Rendra bukan untuk meninggalkannya, melainkan untuk mencari jalan kembali.

Hari demi hari berlalu, Inez kembali pada rutinitasnya. Tapi kali ini, setiap senja ia tak lagi menulis surat. Ia merasa hatinya penuh dengan semua kenangan dan janji-janji mereka. Kotak kayu itu masih ada, penuh dengan surat-surat rindu yang pernah ia tuliskan, tapi Inez tak lagi membuka atau menambahkan surat baru di dalamnya.

Namun, suatu hari, tanpa ia duga, Inez mendapat surat. Surat itu bukan dari Rendra, melainkan dari salah seorang teman Rendra yang tinggal di kota tempatnya bekerja. Surat itu terasa berbeda, ada keheningan yang menggantung di dalamnya, dan Inez merasakan kegelisahan yang tiba-tiba mencengkeram.

Dengan tangan gemetar, Inez membuka surat itu. Isinya singkat, tapi cukup untuk menghancurkan seluruh dunia Inez.

“Dengan berat hati, saya ingin memberitahu bahwa Rendra mengalami kecelakaan dalam perjalanan pulang. Dia tidak berhasil selamat, tapi sebelum dia pergi, dia menitipkan sepucuk surat untukmu.”

Air mata Inez jatuh tanpa henti saat membaca surat itu. Seolah bumi berhenti berputar, dan dunianya runtuh di saat yang sama. Ia hanya menatap surat itu dengan pandangan kosong, membiarkan kesedihan yang menyesakkan memenuhi hatinya.

Dengan tangan bergetar, ia membuka surat terakhir dari Rendra yang terlipat rapi di dalam amplop kecil. Di sana, tertulis kata-kata terakhir yang Rendra tinggalkan untuknya.

“Nez,
Kalau kamu baca surat ini, mungkin aku nggak bisa pulang seperti yang kita janjiin. Tapi aku akan selalu ada di setiap senja yang kita janjikan. Aku ingin kamu tahu, rindu ini nggak akan pernah hilang, nggak peduli di mana aku berada. Kamu adalah rumahku, tempat yang selalu aku rindukan. Aku janji akan menemui kamu di setiap senja, sampai kapan pun.”

Inez menggenggam surat itu erat di dadanya, merasakan sakit yang begitu mendalam, lebih dari yang pernah ia rasakan. Ia terisak dalam keheningan kamar yang sepi, hanya ditemani oleh kotak kayu yang berisi kenangan dan surat-surat rindu mereka.

Namun, meski kepergian Rendra menyisakan kepedihan yang tak terukur, Inez merasakan kehangatan di hatinya. Rendra tak pernah benar-benar pergi. Setiap senja yang datang, ia akan melihatnya sebagai pengingat dari janji yang pernah mereka buat.

Hari-hari setelah itu, Inez mulai kembali ke taman tempat mereka biasa duduk berdua. Setiap senja, ia duduk di ayunan yang sama, memandangi cakrawala dengan tenang. Ada keheningan yang ia rasakan, tapi bukan lagi kesepian—melainkan kedamaian yang lembut, seolah Rendra selalu ada di sisinya.

Senja itu menjadi saksi janji mereka, janji yang kini abadi dalam rindu dan kenangan yang tak pernah padam.

 

Kadang, cinta nggak selalu harus bareng-bareng sampai akhir. Ada cinta yang hadir cuma buat ngajarin kita cara bertahan, meski akhirnya kita harus ngelepas. Janji Inez dan Rendra di bawah senja mungkin cuma tinggal kenangan, tapi rasa dan rindu itu bakal terus hidup di setiap matahari terbenam. Mungkin itu artinya cinta yang sesungguhnya—nggak perlu selalu memiliki, cukup ada di hati, selamanya.

Leave a Reply