Daftar Isi
Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya ada nggak nih diantara kalian yang penasaran sama cerita cerpen kali ini? kisah seru Devan dan teman-temannya, anak-anak SMA yang bukan hanya sibuk dengan pelajaran dan pertemanan, tapi juga berjuang mempertahankan taman sekolah mereka dari proyek pembangunan.
Mulai dari persahabatan, perjuangan, hingga momen emosional yang penuh inspirasi, cerita ini akan mengajak kamu melihat bagaimana sebuah taman kecil bisa mengajarkan arti cinta alam dan keberanian mempertahankan apa yang berarti.
Sahabat Alam di Sekolah
Misi Alam Devan Dimulai
Hari itu, ruang kelas Biologi terasa lebih ramai dari biasanya. Para siswa duduk berkelompok, saling bercanda atau sibuk mengobrol tentang tugas yang baru saja diberikan. Pak Rizal, guru Biologi yang selalu antusias, barusan saja menyampaikan tugas proyek yang cukup besar: mereka harus melakukan observasi mengenai flora dan fauna di lingkungan sekitar sekolah. Beberapa teman Devan tampak menghela napas panjang mendengar tugas itu, mungkin merasa berat atau kurang menarik. Tapi Devan justru sebaliknya—wajahnya berseri-seri, penuh semangat.
“Eh, Van, apa nggak berat tugas ini?” tanya Raka, salah satu sahabat dekat Devan. Raka, yang biasanya santai, kali ini terlihat mengerutkan dahi.
“Nggak, Ra! Ini justru keren, tahu. Kita bisa keluar kelas, jalan-jalan, sambil belajar soal alam,” jawab Devan dengan senyum lebar. Dia memang berbeda dari kebanyakan teman-temannya. Meskipun dikenal sebagai anak yang gaul, penuh energi, dan punya banyak teman, Devan punya minat khusus terhadap lingkungan dan alam. Baginya, hewan dan tumbuhan bukan sekadar makhluk yang hidup di sekitar manusia, tapi juga sahabat yang harus dijaga.
Devan bahkan langsung menyusun rencana. “Gimana kalau kita mulai observasinya dari taman belakang sekolah?” usulnya, mengajak teman-temannya berpartisipasi.
Faris dan Bima, yang juga satu kelompok dengan Devan dan Raka, menatap Devan dengan ekspresi bingung. “Taman belakang? Emang ada apa di sana, Van?” tanya Bima sambil sedikit mengernyit.
“Percaya deh, ada banyak yang bisa kita lihat. Aku pernah dengar dari Pak Rizal, ada tanaman-tanaman langka yang ditanam di sana sama murid-murid pecinta alam angkatan sebelumnya. Belum lagi, siapa tahu kita bisa lihat kupu-kupu atau serangga lainnya,” kata Devan penuh semangat.
Dengan sedikit ragu, akhirnya mereka bertiga setuju. Mungkin karena semangat Devan yang menular, atau bisa jadi mereka memang tak mau ketinggalan petualangan ini. Keesokan harinya, mereka bertemu setelah jam pelajaran selesai untuk memulai observasi di taman belakang sekolah. Saat berjalan ke sana, Devan menuntun mereka dengan langkah pasti, sesekali bercerita soal jenis-jenis tanaman yang akan mereka lihat. Semangatnya memancar jelas.
Begitu sampai, mereka disambut oleh deretan tanaman hijau yang segar. Beberapa di antaranya tumbuh liar, tapi sebagian besar tertata rapi. Ada bunga berwarna-warni yang tumbuh di antara dedaunan, membuat suasana taman begitu hidup. Devan langsung berjalan mendekati salah satu bunga yang tampak cerah, lalu berjongkok untuk mengamati lebih dekat. Bunga itu memiliki kelopak berwarna merah muda dengan sedikit corak putih di bagian tengahnya.
“Ini namanya bunga tapak dara,” ucap Devan dengan nada bangga sambil menunjuk bunga itu. “Tanaman ini punya banyak manfaat untuk kesehatan. Bisa digunakan sebagai obat alami juga.”
Raka yang tadinya tampak bosan, sekarang mulai menunjukkan ketertarikan. “Serius, Van? Kok bisa ya kamu tahu begini?”
Devan tertawa kecil. “Aku kan sering baca. Lagian, kan seru banget kalau kita tahu manfaat dari tanaman-tanaman di sekitar kita.”
Raka dan Bima mulai tertarik dan ikut-ikutan berjongkok, memperhatikan tanaman di sekitar mereka. Di saat yang sama, seekor kupu-kupu berwarna kuning cerah tiba-tiba hinggap di salah satu bunga tapak dara. Mereka semua terdiam sejenak, terpukau oleh keindahan kupu-kupu itu. Sayapnya bergetar lembut, menambah suasana magis di taman kecil tersebut.
Faris, yang tadinya skeptis, akhirnya angkat bicara. “Ternyata asyik juga ya, lihat-lihat tanaman dan hewan begini. Rasanya beda banget dari lihat di buku pelajaran.”
Devan tersenyum puas. “Nah, kan! Ini baru permulaan. Aku yakin masih banyak yang bisa kita lihat di sini.”
Mereka berempat melanjutkan observasi dengan lebih bersemangat. Devan dengan sabar menjelaskan tentang berbagai tumbuhan yang mereka temui, mulai dari lidah mertua yang tumbuh tinggi di sudut taman, hingga tanaman bunga kertas yang berwarna-warni. Sesekali, mereka bertemu dengan serangga kecil seperti capung atau kumbang, yang semakin menambah antusiasme mereka.
Namun, momen paling berkesan terjadi ketika mereka menemukan sekelompok belalang yang hinggap di rerumputan. Devan segera berhenti dan menunjuk ke arah belalang-belalang itu. “Lihat, belalangnya banyak banget di sini. Ini berarti taman ini sehat, guys. Hewan-hewan kecil kayak belalang ini kan hidupnya tergantung sama keseimbangan alam.”
Bima terdiam sesaat, seolah memahami pesan yang ingin Devan sampaikan. “Jadi, kalau taman ini rusak, hewan-hewan ini juga bakal hilang ya?”
Devan mengangguk. “Benar banget. Itu sebabnya kita harus jaga alam, nggak cuma untuk kita, tapi juga untuk mereka.”
Percakapan itu membuat suasana menjadi lebih serius. Para sahabat Devan mulai memahami bahwa tugas observasi ini bukan sekadar pekerjaan sekolah, tetapi pelajaran hidup tentang menjaga keseimbangan alam. Mereka mungkin datang ke taman dengan sikap setengah hati, tapi kini mereka pulang dengan pemahaman dan semangat baru.
Hari pertama observasi itu berakhir dengan kebahagiaan yang tak terduga bagi Devan dan teman-temannya. Mereka tak hanya belajar tentang tumbuhan dan hewan, tetapi juga tentang pentingnya saling menjaga dan peduli terhadap lingkungan. Devan berhasil menularkan kecintaannya terhadap alam kepada teman-temannya, membuat petualangan ini menjadi momen tak terlupakan dalam persahabatan mereka.
Saat mereka melangkah pulang, Bima menepuk pundak Devan. “Thanks, Van. Aku kira awalnya ini cuma tugas biasa, tapi ternyata seru banget. Kapan-kapan kita eksplor lagi ya?”
Devan tersenyum lebar. “Siap, bro! Alam ini luas banget, banyak yang bisa kita pelajari. Petualangan baru saja dimulai.”
Mereka tertawa bersama, berjalan meninggalkan taman dengan perasaan puas. Bagi Devan, misi kecilnya telah berhasil mengenalkan alam kepada teman-temannya. Dan siapa tahu, mungkin ini hanya langkah awal bagi mereka untuk jadi sahabat sejati bagi alam.
Teman, Taman, dan Tumbuhan
Keesokan harinya, setelah merasakan serunya observasi di taman belakang sekolah, Devan dan teman-temannya kembali dengan semangat yang lebih besar. Rasa penasaran mereka terhadap alam semakin kuat, dan kali ini mereka punya misi baru: mereka ingin mempelajari lebih banyak jenis tumbuhan dan mungkin juga hewan-hewan kecil lain yang mungkin terlewatkan di hari sebelumnya.
Begitu bel pulang sekolah berbunyi, mereka berempat berkumpul di koridor depan kelas, wajah-wajah mereka penuh antusiasme. Devan membawa buku catatan kecilnya, yang kemarin ia gunakan untuk mencatat temuan mereka. Di dalamnya, ia menulis dengan teliti tentang bunga tapak dara, kupu-kupu kuning, dan sekelompok belalang yang mereka lihat. Hari ini, Devan berencana menambahkan lebih banyak catatan, dan kali ini teman-temannya berjanji untuk membantu mencatat.
“Kita mulai dari sudut taman yang kemarin belum kita eksplorasi, gimana?” usul Devan sambil berjalan mendahului.
Teman-temannya mengangguk, setuju tanpa ragu. Perasaan mereka yang awalnya biasa saja kini berubah menjadi semangat penuh. Mereka merasa seperti para penjelajah yang siap menemukan rahasia alam yang tersembunyi.
Begitu sampai di taman, mereka segera menyebar. Devan mengarahkan mereka masing-masing untuk mencari sesuatu yang menarik atau berbeda dari kemarin. Raka, yang sejak kemarin mulai tertarik, tampak serius memperhatikan tanaman-tanaman di sekitarnya, sementara Faris memeriksa rerumputan, berharap menemukan serangga unik.
Tak lama, terdengar suara Bima yang memanggil dengan semangat. “Van! Ayo ke sini, lihat deh apa yang aku temuin!”
Devan berlari kecil menuju Bima, diikuti oleh Raka dan Faris. Di depan mereka, Bima menunjuk sebuah tanaman dengan daun yang tampak mengilap. Di antara daun-daun hijau, tampak bunga kecil berwarna kuning cerah yang menggantung dengan anggun.
“Ini namanya bunga melati air,” ujar Devan sambil mengamati lebih dekat. “Meski namanya melati, bunga ini sebenarnya lebih suka hidup di daerah berair seperti rawa atau dekat kolam. Warnanya cantik, kan?”
Bima mengangguk, terpukau oleh penjelasan Devan. “Keren, Van. Tumbuhan ini kecil, tapi kelihatan kokoh.”
Devan tersenyum sambil mencatat bunga itu ke dalam buku kecilnya. Sementara ia menulis, Raka tiba-tiba berjongkok dan memperhatikan sesuatu yang berkerumun di bawah tanaman melati air itu.
“Ada semut-semut kecil di sini,” bisiknya, seolah-olah tak ingin mengganggu koloni kecil itu. “Lihat, mereka seperti sedang kerja bareng, nggak ada yang istirahat.”
Faris, yang penasaran, ikut mendekat. “Ya, mereka semangat banget. Nggak capek apa ya, Van?”
Devan menatap koloni semut itu dengan kagum. “Mungkin karena mereka tahu kalau mereka saling bergantung satu sama lain. Semut-semut ini mengajarkan kita arti kerja sama, guys. Meskipun kecil, mereka saling membantu buat bertahan hidup.”
Sahabat Alam dan Misi Baru
Hari demi hari berlalu, dan taman sekolah mulai menjadi tempat yang lebih dari sekadar halaman belakang bagi Devan dan teman-temannya. Setiap pulang sekolah, mereka berempat kembali ke taman untuk merawat tanaman yang mereka temukan dalam keadaan layu minggu lalu. Devan menamainya “Bintang,” karena ia yakin bahwa suatu hari tanaman kecil itu akan tumbuh kuat dan bersinar, seperti sebuah bintang yang muncul di kegelapan malam.
Suatu sore, saat matahari mulai tenggelam dan suasana taman diselimuti cahaya keemasan, Devan dan teman-temannya berjongkok di sekitar Bintang. Dengan botol air dan sekop kecil yang mereka bawa dari rumah, mereka merawat tanaman itu dengan penuh kesabaran dan kasih sayang.
“Dia kelihatan lebih segar sekarang,” ujar Raka sambil memerhatikan daun-daunnya yang mulai hijau kembali. Wajahnya berbinar, seolah keberhasilan kecil ini adalah pencapaian besar bagi mereka.
Devan mengangguk, tersenyum penuh rasa bangga. “Iya, ini semua berkat kalian juga. Kalau kita tetap semangat, Bintang pasti bisa tumbuh besar dan kuat.”
“Kayaknya bukan cuma Bintang yang makin tumbuh, ya,” kata Faris sambil melirik teman-temannya dengan senyum hangat. “Kita semua juga kayaknya jadi lebih ngerti dan peduli sama alam.”
Mereka semua terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Faris. Setiap hari, taman itu tidak hanya menjadi tempat observasi, tetapi juga ruang di mana mereka semakin dekat satu sama lain, tempat mereka belajar untuk menjaga dan melindungi sesuatu yang lebih besar daripada diri mereka sendiri.
Namun, pada suatu hari, ketika mereka tiba di taman, mereka dikejutkan oleh pemandangan yang tak pernah mereka bayangkan. Hampir setengah dari taman itu tampak rusak akibat proyek pembangunan yang baru saja dimulai di samping gedung sekolah. Tanahnya tergali, dan beberapa tanaman tampak tercabut dari akarnya.
“Astaga, apa yang terjadi?” teriak Bima, suaranya menggambarkan kebingungan dan kemarahan.
Devan dan teman-temannya berlari menuju Bintang. Untungnya, tanaman kecil itu masih berada di sudut taman yang belum tersentuh pembangunan. Namun, beberapa tanaman yang mereka rawat bersama, seperti bougenville dan melati air yang dulu mereka kagumi, tampak hilang begitu saja.
Devan berjongkok, menatap Bintang dengan wajah serius. Di dalam hatinya, ia merasakan campuran antara kesedihan, kekhawatiran, dan kemarahan. Ia tidak menyangka bahwa taman yang mereka rawat dan cintai bisa rusak seperti ini dalam sekejap.
“Kita nggak bisa biarin ini terus-terusan. Harus ada yang kita lakukan,” ucap Devan akhirnya, suaranya bergetar karena emosi.
Raka menatap Devan dengan sorot mata penuh tekad. “Van, kamu benar. Kita udah terlalu lama cuma ngerawat tanaman di sini. Sekarang saatnya kita berbuat sesuatu yang lebih besar.”
Mereka berempat saling bertukar pandang, dan tanpa perlu berkata-kata lagi, mereka tahu bahwa ini adalah saat yang tepat untuk bertindak. Devan dan teman-temannya memutuskan untuk mengajukan permintaan kepada kepala sekolah agar taman itu tidak dirusak lebih jauh. Mereka sepakat bahwa mereka harus berusaha semaksimal mungkin demi menjaga kelestarian taman tersebut.
Keesokan harinya, mereka berkumpul di ruang OSIS untuk merumuskan rencana mereka. Devan, yang dianggap pemimpin di antara mereka, menulis beberapa poin penting di kertas. Dengan serius, mereka merancang alasan-alasan mengapa taman itu perlu dilestarikan, tidak hanya untuk keindahan lingkungan, tetapi juga sebagai tempat belajar dan observasi bagi para siswa.
“Kita harus kumpulin tanda tangan teman-teman kita yang setuju kalau taman ini tetap dilestarikan,” kata Devan dengan penuh semangat. “Kalau banyak yang setuju, kepala sekolah pasti akan mempertimbangkannya.”
Raka, Bima, dan Faris mengangguk dengan antusias. Mereka tahu bahwa tugas ini tidak mudah, tetapi mereka juga yakin bahwa mereka harus melakukan segala yang mereka bisa untuk taman mereka. Dalam beberapa hari berikutnya, mereka mulai mengajak teman-teman mereka untuk mendukung rencana pelestarian taman. Mereka berbicara dengan para guru, teman-teman kelas, bahkan adik-adik kelas yang mereka temui di kantin dan lapangan.
Misi mereka tidak selalu berjalan mulus. Beberapa teman mereka menganggap ini hanya buang-buang waktu, bahkan ada yang mengolok-olok bahwa mereka terlalu peduli pada hal yang sepele. Namun, Devan dan teman-temannya tidak menyerah. Mereka terus menjelaskan kepada teman-teman mereka bahwa taman sekolah bukan hanya sekadar tanah kosong, tetapi sebuah ruang yang penuh kehidupan.
“Alam itu bukan hal sepele. Kita semua bagian dari alam, jadi kalau kita nggak menjaga tempat ini, sama aja kita nggak peduli pada diri sendiri,” ucap Devan pada teman-teman yang awalnya menolak mendukung.
Perlahan tapi pasti, semangat mereka menular. Tanda tangan di kertas dukungan mereka bertambah sedikit demi sedikit. Para guru dan staf sekolah bahkan mulai memberikan dukungan moral kepada mereka. Beberapa guru biologi menawarkan bantuan dan memberi saran tentang cara-cara terbaik untuk menyampaikan aspirasi mereka kepada kepala sekolah.
Akhirnya, hari yang mereka tunggu-tunggu tiba. Dengan dukungan tanda tangan dari siswa dan guru, Devan dan teman-temannya menghadap kepala sekolah. Devan berdiri di depan dengan wajah penuh keyakinan, meskipun hatinya berdebar kencang. Dengan suara tenang, ia mulai berbicara tentang kecintaan mereka terhadap taman dan alasan mengapa taman itu begitu berarti bagi mereka semua.
“Kami nggak hanya ingin mempertahankan taman ini, Pak,” kata Devan dengan penuh emosi. “Kami ingin semua siswa di sekolah ini bisa merasakan betapa berharganya alam. Tempat ini nggak hanya menyimpan kenangan kami, tetapi juga pelajaran tentang kehidupan yang ingin kami bagikan kepada yang lain.”
Kepala sekolah mendengarkan dengan saksama. Setelah Devan selesai berbicara, beliau tersenyum tipis dan mengangguk.
“Kalian telah menunjukkan kepedulian yang sangat luar biasa terhadap lingkungan, Devan, dan teman-temanmu. Saya akan mempertimbangkan permintaan kalian dan berusaha untuk mencari solusi terbaik agar proyek pembangunan ini tetap bisa berjalan tanpa merusak taman.”
Mendengar itu, hati Devan dan teman-temannya lega. Mereka tahu bahwa perjuangan mereka belum selesai, tetapi setidaknya langkah pertama mereka telah membuahkan hasil. Setelah keluar dari ruang kepala sekolah, mereka berempat saling menatap dan tersenyum lebar.
“Ini semua berkat kerja sama kita,” kata Raka sambil menepuk bahu Devan.
Devan tersenyum bangga. “Iya, dan ini baru permulaan. Kita akan terus merawat taman ini, apa pun yang terjadi.”
Dalam hati, Devan merasa bahwa taman ini adalah simbol persahabatan dan perjuangan mereka. Bersama teman-temannya, ia bertekad untuk menjaga taman itu tetap hidup, sebagai pengingat bahwa setiap tindakan kecil yang dilakukan dengan cinta dan semangat bisa membawa perubahan besar. Mereka berjalan meninggalkan sekolah hari itu dengan hati yang penuh kebahagiaan, yakin bahwa masa depan taman mereka akan terus bersinar, seperti bintang di malam hari.
Jejak Langkah di Taman Kehidupan
Usaha keras Devan dan teman-temannya akhirnya mulai menampakkan hasil. Dukungan dari kepala sekolah dan siswa lain membuat taman sekolah mereka tetap utuh, walau pembangunan gedung baru tetap dilanjutkan. Di sinilah persahabatan mereka tumbuh semakin dalam, begitu juga kecintaan mereka pada taman itu. Setiap hari, mereka merawat Bintang tanaman kecil yang kini tumbuh semakin kuat, bersama dengan berbagai tanaman lain yang telah mereka rawat penuh kasih sayang.
Suatu pagi, Devan memutuskan untuk datang lebih awal. Dia ingin menikmati momen sunyi di taman sebelum teman-temannya datang. Saat ia berjalan melewati pohon-pohon dan melihat bunga-bunga yang bermekaran, perasaan bangga dan bahagia menyelimuti hatinya. Di antara setiap dedaunan dan tangkai, ada bukti dari perjuangan mereka. Semua kerja keras, semua air mata, semua usaha tanpa lelah yang telah mereka lakukan selama ini terasa begitu berarti.
Saat ia mendekati tempat Bintang berada, Devan merasa ada sesuatu yang berbeda. Daun-daun Bintang tampak lebih hijau, dan batangnya yang dulu rapuh sekarang berdiri tegak. Ia berjongkok dan menyentuh daunnya dengan lembut, seolah memberi ucapan selamat pada tanaman itu.
“Hei, pagi, Bintang. Lihatlah dirimu sekarang, kuat dan hidup. Kita berhasil, ya?” bisiknya penuh rasa sayang.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar mendekat. Raka, Faris, dan Bima muncul sambil tersenyum lebar. Mereka semua terkejut melihat kondisi Bintang yang semakin sehat dan indah.
“Bintang kelihatan luar biasa, Devan. Apa kau datang lebih pagi hanya untuk merawatnya?” goda Faris sambil tersenyum.
Devan tertawa kecil. “Yah, bisa dibilang begitu. Taman ini nggak hanya milik kita lagi, teman-teman. Ini milik semua orang di sekolah yang peduli pada lingkungan.”
Hari itu, mereka mengadakan sesi kecil untuk membersihkan taman dan menata ulang bunga-bunga yang mulai merebak. Banyak siswa lain yang juga datang untuk membantu setelah melihat antusiasme Devan dan teman-temannya. Taman itu kini sudah menjadi ruang terbuka yang hidup dan penuh warna, tak lagi hanya sebatas tempat mereka berkumpul. Devan bahkan takjub melihat beberapa adik kelas yang menyemangati mereka, sambil mengucapkan terima kasih atas usaha mereka menjaga taman.
Namun, di tengah kebahagiaan mereka, ada satu tantangan baru yang tak mereka duga. Pada sore harinya, kepala sekolah memanggil mereka ke ruangannya. Devan merasakan ada sesuatu yang penting akan disampaikan.
“Devan, saya bangga dengan kerja keras kalian semua. Namun, saya baru saja mendapat kabar bahwa proyek pembangunan yang sempat kita kompromikan akan diperluas. Itu artinya, taman kita ini juga akan terkena dampaknya.”
Kata-kata kepala sekolah membuat Devan dan teman-temannya terdiam. Hati mereka terasa tenggelam dalam keheningan. Semua perjuangan, usaha, dan waktu yang mereka curahkan untuk taman ini seperti seolah tak ada artinya. Devan menatap teman-temannya yang juga tampak terpukul.
“Jadi… taman ini akan hilang, Pak?” tanya Devan dengan suara bergetar.
Kepala sekolah menghela napas berat. “Saya akan mencoba mempertahankan sebagian taman ini, tetapi saya tidak bisa berjanji semuanya akan tetap utuh.”
Setelah pertemuan itu, mereka keluar dari ruangan dengan perasaan hampa. Mereka duduk bersama di pinggir taman, menatap Bintang yang tumbuh subur di tengah tanaman-tanaman lainnya.
“Ini nggak bisa dibiarkan,” ucap Devan akhirnya, suaranya penuh tekad. “Kita harus berbuat sesuatu lagi. Kita tidak bisa mundur sekarang.”
Raka mengangguk. “Kalau dulu kita berhasil mendapat dukungan, kenapa sekarang kita nggak coba lagi? Kita bisa buat acara besar yang mengajak semua orang untuk peduli.”
Bima dan Faris ikut setuju. Mereka menyusun rencana untuk membuat acara besar, sebuah kampanye yang akan melibatkan seluruh sekolah untuk menyelamatkan taman itu. Devan bertekad mengajak seluruh siswa untuk menanam pohon, menulis pesan-pesan peduli lingkungan, dan mengumpulkan tanda tangan sekali lagi. Bahkan kali ini, mereka merencanakan acara puncak yang diberi nama “Jejak Langkah di Taman Kehidupan,” sebuah festival alam kecil di taman sekolah mereka.
Hari-hari berikutnya, mereka bekerja tanpa lelah. Mereka membuat poster, mengumumkan acara lewat media sosial sekolah, dan mengajak semua siswa untuk ikut serta. Dukungan datang dari mana-mana. Para guru, karyawan sekolah, bahkan orang tua siswa mulai mengetahui perjuangan mereka dan memberikan dukungan moral maupun material.
Akhirnya, hari yang ditunggu-tunggu tiba. Taman sekolah berubah menjadi tempat yang penuh semangat. Para siswa berkumpul dengan antusiasme tinggi. Banyak yang membawa tanaman untuk ditanam di area taman, sementara yang lain menulis pesan-pesan penuh harapan di atas papan besar yang sudah disediakan.
Di puncak acara, Devan berdiri di depan semua orang. Dengan perasaan penuh haru, ia berbicara tentang kecintaan mereka terhadap taman ini dan betapa pentingnya alam bagi kehidupan mereka semua.
“Taman ini bukan cuma tempat kita berkumpul atau belajar. Ini adalah bukti bahwa kita bisa menjaga apa yang kita cintai. Jadi mari kita jaga bersama, apa pun yang terjadi,” ucapnya dengan suara tegas namun penuh emosi.
Semua yang hadir bertepuk tangan, dan suasana terasa sangat emosional. Devan menatap Bintang dan tanaman-tanaman lain di sekitarnya. Dalam hati, ia berjanji bahwa ia akan terus memperjuangkan taman ini, apa pun yang harus ia hadapi.
Acara itu sukses besar, dan dampaknya langsung terasa. Kepala sekolah pun terkesan dengan semangat dan tekad mereka. Beberapa hari kemudian, kepala sekolah mengumumkan bahwa mereka telah berhasil mendapatkan izin untuk mempertahankan taman itu tanpa terganggu oleh proyek pembangunan yang lebih luas.
Devan dan teman-temannya merayakan kemenangan ini dengan bahagia. Mereka berjalan di antara bunga-bunga, mendekati Bintang yang kini menjadi simbol perjuangan mereka. Dalam hati, Devan tahu bahwa mereka tidak hanya menyelamatkan taman ini, tetapi juga menanamkan cinta dan kepedulian pada lingkungan di hati semua siswa di sekolah.
Taman itu akan terus ada, sebagai tempat di mana mereka belajar bahwa perjuangan dan cinta dapat mengubah sesuatu yang kecil menjadi sesuatu yang abadi. Mereka tersenyum sambil menatap langit, yakin bahwa masa depan akan selalu cerah selama mereka tetap berjuang bersama.
Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Kisah Devan dan teman-temannya membuktikan bahwa perubahan besar bisa dimulai dari langkah kecil. Taman yang mereka perjuangkan bukan sekadar tempat hijau, tapi simbol persahabatan dan cinta pada alam. Semoga kisah ini bisa menginspirasi kita semua untuk lebih peduli dengan lingkungan di sekitar, mulai dari hal kecil, dan berani mempertahankan apa yang berharga. Karena, seperti Devan dan Bintang, dari hal sederhana, kita bisa menumbuhkan harapan untuk masa depan yang lebih baik.