Cerpen Cinta Romantis SMA: Kisah Manis Adara dan Kavin di Tengah Cobaan Sekolah

Posted on

Jadi ceritanya, Adara itu cewek populer di sekolah yang punya kepribadian super kuat, sementara Kavin tuh cowok cool yang nggak gampang dibaca. Awalnya, mereka kayak kucing dan anjing – sering berdebat, beda pendapat, apalagi soal hal-hal kecil yang sepele banget.

Tapi lama-lama, ada momen-momen di antara mereka yang bikin kita ikutan baper. Nah, ceritanya makin seru saat masalah demi masalah di sekolah mulai menguji seberapa dalam hubungan mereka. Siap-siap baper sambil ngerasain vibe cinta SMA yang nggak ada duanya!

 

Cerpen Cinta Romantis SMA

Pertemuan yang Tak Biasa

Kantin sekolah sore itu dipenuhi suara obrolan yang ramai, bunyi gesekan kursi, dan denting sendok yang sesekali terdengar saat anak-anak mengaduk es teh. Di sudut kanan kantin, di antara suara tawa dan cerita lepas, seorang gadis tengah memerhatikan sosok yang duduk sendiri di meja dekat jendela. Matanya sedikit menyipit, memperhatikan pria dengan rambut acak-acakan yang tengah memainkan es batu di dalam gelasnya.

Namanya Kavin. Anak kelas sebelah yang terkenal misterius dan, entah bagaimana, selalu berakhir dalam masalah. Kali ini pun, rumor tentang dirinya yang bertengkar dengan salah satu siswa di lorong belakang sudah menyebar cepat sejak jam pertama. Meski begitu, Kavin duduk tenang di kursinya, seolah keributan itu bukan apa-apa baginya.

Sementara itu, Adara menggeleng pelan, heran dengan tingkah Kavin yang seakan tak peduli pada apapun. Baginya, hal-hal yang dilakukan Kavin itu membingungkan. “Kenapa, sih, dia selalu nyari masalah?” gumamnya lirih.

Namun, di dalam hatinya, Adara juga tahu alasan kenapa ia begitu tertarik memperhatikan Kavin. Sikap dingin dan cuek Kavin justru membuatnya penasaran, ingin tahu lebih dalam, seakan ada sesuatu yang tersembunyi di balik pandangan kosongnya. Dan mungkin itu juga yang membuat langkah kakinya tergerak, membawa dirinya berjalan mendekati meja Kavin dengan penuh keberanian.

“Aku duduk sini, ya?” Adara langsung menarik kursi dan duduk tanpa menunggu persetujuan. Kavin menatapnya, terlihat sedikit terganggu, tapi tak ada penolakan di matanya.

“Gak biasa banget kamu datang ke sini, ada apa?” tanyanya dengan nada datar, tanpa mengalihkan pandangannya dari gelas yang ia pegang.

“Gak ada. Aku cuma heran aja, kenapa kamu selalu bikin masalah di sekolah?” Adara berkata langsung, tanpa basa-basi, sesuai dengan karakternya yang blak-blakan. Ia tak suka berputar-putar hanya untuk menyampaikan maksudnya.

Kavin mendengus pelan, seolah pertanyaan Adara itu tak berarti. “Masalah? Itu kan cuma menurut mereka, menurut aku gak ada yang perlu dibesar-besarkan.”

“Jadi, kamu gak merasa salah karena udah berantem tadi pagi?” Adara masih penasaran. Ia ingin tahu apakah Kavin pernah benar-benar menyesali tindakannya atau sekadar tak peduli.

Kavin terdiam, membiarkan udara di antara mereka menggantung tanpa jawaban. Sesaat, ia hanya menatap keluar jendela, seakan ingin menghindari pertanyaan itu. Akhirnya, ia berbalik, menatap mata Adara dengan tatapan yang dalam dan sulit ditebak.

“Kamu terlalu peduli, tahu nggak?” gumamnya sambil tersenyum tipis, sebuah senyuman yang jarang terlihat di wajahnya.

Adara menghela napas pelan, menahan kesal yang bercampur rasa ingin tahu. “Kavin, kamu bahkan gak tahu kenapa aku peduli.”

Perkataan Adara membuat Kavin sedikit tertegun. Ia menatapnya lebih serius kali ini, matanya tampak sedikit lebih terbuka. Ada sesuatu dalam nada bicara Adara yang membuatnya terhenti, seakan pertanyaan yang ingin dijawab itu lebih dari sekadar rasa ingin tahu biasa.

Namun, sebelum Kavin sempat merespon, tiba-tiba terdengar suara gaduh di pintu kantin. Seorang siswa yang baru saja masuk bersama teman-temannya, langsung memandang ke arah Kavin dengan sinis, tatapannya penuh kebencian.

“Hei, Kavin! Masih berani nongkrong di sini, ya?” kata siswa itu dengan nada menghina. Kavin tetap tenang, sementara Adara mulai merasa tak nyaman. Suasana di sekitar mereka berubah seketika.

Siswa itu melangkah mendekat, diikuti beberapa temannya yang tersenyum mengejek. Adara tahu bahwa Kavin sedang menjadi sorotan karena perkelahian pagi tadi, tapi ia tidak menyangka akan melihat langsung perlakuan semacam ini di depan matanya.

“Ngapain kamu nyamperin aku, Raka?” Kavin bertanya sambil menahan tawa sinis, menatap lawannya dengan tatapan tajam.

“Ya, aku cuma mau kasih tahu, kalau masalah kita belum selesai, Vin,” jawab Raka, senyum puas menghiasi wajahnya.

Sadar situasi mulai memanas, Adara pun berusaha menghentikan konfrontasi itu. “Kavin, ayo pergi,” bisiknya, berharap bisa meredakan ketegangan. Namun, Kavin tetap di tempatnya, matanya tak lepas dari Raka.

“Mau ngelindungin cowok ini ya, Dara?” Raka melirik Adara sambil menyeringai. “Aku gak nyangka kamu bakal ngasih perhatian ke orang kayak dia.”

Perkataan itu membuat Adara merasa tersinggung. Namun, sebelum ia sempat bereaksi, Kavin berdiri dan melangkah maju ke arah Raka, tatapan matanya lebih tajam dari sebelumnya.

“Udah cukup, Raka. Kalo emang mau cari masalah, gak usah bawa-bawa orang lain,” katanya dengan nada rendah tapi tegas.

Adara yang mendengar itu terkejut. Tak disangkanya Kavin bisa bersikap melindungi. Selama ini, Kavin dikenal cuek, hanya peduli pada dirinya sendiri. Namun sekarang, ia berdiri di depannya, seakan menjadi tameng.

Raka mendengus, merasa tersudut. Ia akhirnya mundur perlahan, memberi tatapan penuh kebencian pada Kavin dan Adara, sebelum akhirnya berlalu dengan langkah berat bersama teman-temannya.

Saat suasana kembali hening, Adara menatap Kavin dengan sedikit bingung, tak yakin harus berkata apa. Rasa terkejut dan kagum bercampur di hatinya.

“Kamu… tadi… kenapa bela aku, Vin?” tanyanya perlahan, masih tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Kavin menatap Adara, menahan senyum kecil di bibirnya. “Mungkin aku cuma gak suka lihat kamu dibikin marah sama orang kayak mereka.”

Jawaban sederhana itu berhasil membuat Adara tersenyum samar. Meskipun Kavin berusaha menyembunyikan perasaannya, Adara bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam sikapnya.

“Dengar, Adara,” Kavin melanjutkan sambil mengangkat bahu, “kamu mungkin gak akan pernah ngerti alasan aku, tapi mungkin… aku juga gak ngerti kenapa aku peduli sama kamu.”

Adara hanya bisa terdiam, hatinya berdebar lebih kencang dari biasanya. Rasanya, seolah ada sesuatu yang baru saja berubah di antara mereka, sesuatu yang mungkin bisa mengarah pada perasaan yang lebih dalam.

Dengan senyum tipis, ia akhirnya mengangguk. Ia merasa sudah cukup dengan percakapan hari itu, dan kini ada sesuatu yang berbeda dalam pandangannya terhadap Kavin. Sambil berdiri dan meraih tasnya, ia tersenyum pada Kavin.

“Aku duluan, ya.” Ia melangkah pergi, meninggalkan Kavin yang masih berdiri di tengah kantin, menatap punggungnya yang semakin menjauh.

Dan di dalam hatinya, Kavin tahu bahwa pertemuan itu bukanlah akhir dari segalanya. Ini baru permulaan, sebuah awal dari kisah yang akan terus berlanjut di antara mereka.

 

Rasa yang Mulai Menyusup

Hari-hari setelah kejadian di kantin itu berjalan dengan cara yang tak lagi sama untuk Adara. Ada rasa hangat yang perlahan menyusup di hatinya, seolah benih yang ia tanam diam-diam mulai tumbuh. Ia tak pernah menyangka, pertahanannya yang kuat selama ini bisa runtuh hanya dengan sikap kecil Kavin yang tanpa sadar membuatnya merasa istimewa.

Di kelas, Adara kerap mendapati dirinya melamun, matanya kadang-kadang melirik ke jendela yang memisahkan kelasnya dengan kelas Kavin. Sering kali, ia merasa bahwa perasaannya ini konyol, tak pantas. Namun, semakin ia coba abaikan, semakin kuat pula rasa penasaran yang mengikatnya pada sosok Kavin.

Sore itu, saat bel terakhir berbunyi, Adara berjalan santai menuju rak sepatu di depan ruang kelasnya. Saat ia mengikat tali sepatunya, sebuah suara yang tak asing menyapanya dari arah pintu.

“Kamu lagi sibuk?” Suara Kavin terdengar rendah, sedikit serak seperti biasa.

Adara mendongak, jantungnya berdebar saat melihat Kavin berdiri di sana dengan tangan diselipkan di saku jaketnya. Tatapan Kavin serius, matanya sedikit teduh, jauh berbeda dari sorot mata tajam yang biasa ia tunjukkan pada anak-anak lain.

“Kaget aku. Kamu mau apa, Kavin?” jawab Adara sambil menahan senyum kecil, berusaha tetap tenang meski hatinya tak karuan.

“Aku cuma… pengen ngajak kamu ke tempat favorit aku di sekolah. Mau ikut?” Kavin menunduk, menatap tanah seolah-olah kata-katanya tadi sudah membuatnya malu.

Adara sedikit terkejut, tetapi ia tak ragu-ragu mengangguk. “Oke, boleh juga,” jawabnya sambil bangkit, mengabaikan beragam tatapan dari siswa lain yang melintas di koridor. Rasanya, perhatian mereka sudah tak penting lagi, karena saat itu hanya ada Kavin di pikirannya.

Mereka berjalan dalam diam, menyusuri tangga sekolah menuju lantai paling atas, yang sering kali sepi karena ruangan di sana jarang digunakan. Adara mulai menebak-nebak dalam hati, bertanya-tanya apa yang Kavin ingin tunjukkan. Sesampainya di lantai paling atas, Kavin membuka pintu ke balkon kecil yang menghadap ke arah lapangan belakang sekolah. Tempat itu, meski sederhana, memberikan pemandangan yang menenangkan. Langit sore terbentang luas di atas mereka, semburat jingga dan merah menyala, memberikan suasana damai yang jarang Adara rasakan di sekolah.

“Kamu sering ke sini, ya?” tanya Adara, matanya menatap kagum pada pemandangan di hadapannya.

Kavin mengangguk pelan. “Iya, biasanya aku ke sini kalau lagi pengen sendiri. Kadang aku butuh tempat buat menjauh dari semua kekacauan itu,” jelasnya, pandangannya tetap tertuju ke langit.

Adara bisa merasakan kesendirian yang tersembunyi di balik kata-kata Kavin. Entah kenapa, meskipun Kavin tak berkata banyak, ia bisa merasakan ada banyak hal yang Kavin sembunyikan di balik sikap dinginnya.

“Kamu kayaknya punya banyak rahasia, ya,” ucap Adara spontan.

Kavin tersenyum samar. “Mungkin. Tapi itu bukan rahasia kalau aku sendiri aja yang tahu, kan?”

Keduanya tertawa kecil, sebuah momen langka yang membuat Adara semakin melihat sisi lain dari sosok Kavin. Saat itulah Kavin berbalik menghadap Adara, tatapannya serius.

“Dara, kamu tahu, gak semua orang di sekolah ini kayak kamu. Kebanyakan dari mereka cuma peduli sama hal-hal yang nggak penting, kayak penampilan, popularitas, atau soal drama gak jelas. Makanya aku lebih suka sendirian.”

Adara menelan ludah, menyadari bahwa Kavin mulai terbuka. Ada perasaan hangat yang menyelinap di hatinya. Ia merasa istimewa, seperti satu-satunya orang yang Kavin izinkan untuk masuk ke dunianya yang rapat.

“Aku ngerti, kok,” jawab Adara dengan lembut. “Aku juga nggak selalu nyaman dengan semua itu. Tapi kamu tahu nggak, mungkin karena itu aku jadi tertarik sama kamu.”

Kalimatnya terhenti sejenak, dan ia bisa merasakan pipinya memerah saat menyadari apa yang baru saja ia katakan. Adara mencoba menutupinya dengan tersenyum, namun senyumnya terasa canggung. Tapi Kavin tidak tertawa atau menggodanya. Sebaliknya, ia hanya menatap Adara dengan lembut, seolah kalimat itu adalah hal paling wajar yang pernah ia dengar.

“Kamu…” Kavin tampak mencari kata-kata, namun akhirnya ia hanya mendesah pelan dan menyandarkan tubuhnya ke tembok di belakang. “Aku sendiri nggak pernah berpikir bakal ketemu seseorang yang beda… kayak kamu.”

Mereka berdua terdiam. Udara di antara mereka penuh dengan kata-kata yang tak terucap, dan untuk pertama kalinya, Kavin merasa ada sesuatu yang membuatnya tidak ingin sendirian lagi. Sesuatu yang mengingatkannya bahwa mungkin, ada ruang bagi seseorang di hidupnya yang selama ini ia jaga dengan hati-hati.

Namun, keheningan mereka tak berlangsung lama. Suara langkah kaki tiba-tiba terdengar dari balik pintu, dan suara itu membawa Adara dan Kavin kembali ke realitas. Seorang guru muncul di ambang pintu, menatap mereka dengan ekspresi terkejut.

“Kalian lagi apa di sini? Ini kan tempat terlarang buat siswa!” Suara guru itu tegas, membuat keduanya merasa bersalah.

Kavin segera melangkah maju, sedikit melindungi Adara dengan posisinya. “Maaf, Pak. Ini salah saya, saya yang ngajak Adara ke sini. Saya siap tanggung jawab.”

Guru itu mengerutkan kening, matanya bergantian menatap Kavin dan Adara. Tapi sebelum guru itu sempat berbicara lebih lanjut, Adara segera menyela. “Pak, maaf. Ini cuma salah paham. Kami cuma mau lihat pemandangan sore dari sini, dan kami sama sekali nggak tahu kalau ini area terlarang.”

Meskipun nada bicara Adara tegas dan tenang, guru tersebut tetap meminta keduanya turun dari balkon. Tak ada hukuman yang diberikan, tetapi Adara bisa merasakan ketegangan di antara mereka semakin kuat saat mereka meninggalkan tempat itu.

Ketika mereka sampai di bawah, Kavin berhenti sejenak, matanya masih tertuju pada Adara. “Aku beneran gak nyangka kamu mau ngebela aku tadi. Itu hal yang… langka buatku.”

Adara tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. “Yah, kamu kan temanku. Masa aku cuma diam aja?”

Kavin tersenyum tipis, seakan senyum itu adalah bentuk terima kasih yang tak terucapkan. Dan saat itu, Adara sadar bahwa sesuatu yang lebih dari sekadar pertemanan mulai tumbuh di antara mereka, sesuatu yang lebih dari sekadar rasa penasaran.

Perjalanan pulang mereka penuh keheningan, namun di hati mereka masing-masing, perasaan itu telah tumbuh seperti benih yang mulai berakar dalam. Kavin, yang selama ini terbiasa dengan kesendirian, merasakan sebuah kedekatan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Begitu pula Adara, yang tak pernah menyangka bahwa pertemuannya dengan Kavin akan membawa warna baru di hidupnya yang selama ini teratur dan tenang.

Hari itu, di balik langit yang perlahan beranjak gelap, mereka tahu bahwa ini bukan sekadar pertemuan biasa. Ada cerita yang baru saja dimulai, cerita yang mungkin akan lebih dari sekadar “hanya teman.”

 

Tanda-Tanda yang Mulai Terbaca

Setelah pertemuan di balkon sekolah, hubungan Adara dan Kavin perlahan berubah, berkembang dengan cara yang mungkin tak bisa dipahami oleh mereka yang hanya memandang dari luar. Di setiap kesempatan, mereka semakin sering bersama, baik secara tak sengaja maupun sengaja. Adara mendapati dirinya merasa nyaman dengan Kavin, dan Kavin, untuk pertama kalinya, tidak lagi menjauh dari kehangatan seseorang.

Namun, di antara semua momen kecil itu, datanglah pertengkaran pertama mereka, yang entah mengapa terasa lebih berarti daripada sekadar pertukaran kata-kata yang penuh emosi. Sore itu, Adara sedang menunggu Kavin di depan gerbang sekolah, seperti yang biasa mereka lakukan akhir-akhir ini. Akan tetapi, kali ini Kavin tak muncul-muncul juga, membuat Adara mulai merasa cemas dan sedikit kesal. Sudah hampir setengah jam ia berdiri di sana, dan ia merasa kakinya mulai lelah.

Baru saja Adara akan berbalik pergi, sosok Kavin muncul dari arah lorong kelas, berjalan dengan santai sambil memegang ponsel, seolah-olah tak menyadari waktu. Adara bergegas menghampirinya, tanpa bisa menahan kekecewaan yang mengisi hatinya.

“Kamu sengaja, ya?” kata Adara, menatap Kavin tajam.

Kavin mengangkat alis, tampak sedikit terkejut. “Sengaja apaan?”

Adara menghela napas, berusaha menahan emosinya yang meletup-letup. “Sengaja bikin aku nunggu lama. Kamu tahu gak aku nunggu berapa lama?”

Kavin hanya mengangkat bahu santai, seolah semua itu bukan masalah besar. “Ya… kamu kan bisa langsung pulang duluan kalau nggak mau nunggu.”

Jawaban Kavin membuat Adara semakin kesal. Ia menatap Kavin dengan tatapan yang sulit dijelaskan—gabungan antara kekecewaan dan rasa marah yang tak terucapkan. “Kamu kira aku nunggu di sini buat apa? Cuma iseng?”

Suara Adara terdengar bergetar, dan kali ini Kavin tampak mulai menyadari ada yang salah. Ia mengalihkan pandangannya dari ponsel, menyimpan benda itu di saku jaketnya, dan menatap Adara lebih serius. “Dara, aku cuma telat, nggak ada maksud buat bikin kamu kesal. Kamu yang berlebihan.”

Kalimat itu, yang mungkin dimaksudkan untuk meredakan suasana, justru membuat Adara semakin kecewa. Adara menggigit bibirnya, mencoba menahan diri agar tidak mengucapkan sesuatu yang mungkin akan ia sesali. Namun, emosinya terlalu kuat, dan ia akhirnya membuka suara, menumpahkan apa yang selama ini ia simpan.

“Kamu nggak ngerti, ya?” ujarnya, matanya menatap tajam ke arah Kavin. “Aku… aku mau kita bisa lebih dari sekadar ketemu kalau lagi senggang atau cuma ngobrol seadanya. Aku pengen kamu juga sedikit peduli. Aku nggak nunggu kamu cuma karena aku iseng, Vin.”

Kavin terdiam, wajahnya tampak terpaku. Ucapan Adara itu mungkin adalah hal yang paling jujur dan terbuka yang pernah ia dengar. Namun, alih-alih memberikan respons yang menenangkan, ia malah memilih untuk berbalik.

“Kamu terlalu banyak berharap, Dara. Aku ini bukan tipe yang kayak gitu,” ucap Kavin, suaranya rendah namun tajam. “Aku nggak bisa kayak cowok-cowok lain yang selalu ada buat kamu atau peduli sama detail-detail kecil. Jadi, kalau kamu ngerasa aku bakal berubah, mungkin kamu harus pikir-pikir lagi.”

Kata-kata itu terasa seperti pukulan bagi Adara. Ia merasa lemas, dan seluruh emosinya yang tadi meluap seketika luruh. Ia diam, terkejut dengan kalimat yang diucapkan Kavin. Entah mengapa, meskipun ia tahu Kavin bukan tipe yang suka menunjukkan perhatian, mendengar kalimat itu tetap membuatnya terluka.

“Aku nggak minta kamu berubah,” katanya pelan, suara yang hampir seperti bisikan. “Aku cuma pengen kamu tahu… aku sayang sama kamu.”

Kavin menahan napas. Ada keheningan yang menggantung di antara mereka, keheningan yang nyaris membuat waktu terasa berhenti. Kavin menatap Adara dengan pandangan tak percaya, seolah kata-kata itu baru saja membuka pintu yang selama ini ia coba tutup rapat-rapat.

“Aku… aku nggak tahu kalau perasaan kamu sedalam itu, Dara,” ucapnya pelan, dan kali ini suaranya terdengar lembut, jauh berbeda dari nada tajam yang ia gunakan tadi. Ia tampak bingung, tak yakin bagaimana harus merespons pengakuan itu. “Aku cuma takut, kalau aku akhirnya peduli, kamu bakal ninggalin aku suatu hari.”

Adara menatapnya, bingung dan terharu dalam waktu yang bersamaan. Kavin yang keras kepala ternyata menyimpan kekhawatiran yang tak pernah ia duga. Selama ini, di balik sikap dingin dan ketidakpeduliannya, tersimpan ketakutan yang lebih dalam. Tanpa sadar, ia melangkah maju, memegang tangan Kavin dengan lembut.

“Aku nggak akan ninggalin kamu,” bisiknya, dan kali ini tatapannya lembut, penuh keyakinan. “Aku cuma pengen kamu percaya itu. Aku di sini bukan untuk pergi.”

Kavin menatap tangan Adara yang menggenggam tangannya, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan hangatnya perhatian seseorang yang benar-benar tulus. Ada kehangatan yang perlahan-lahan menghapus kekakuan yang selama ini ia pasang sebagai pelindung.

Namun, sebelum ia sempat membalas genggaman Adara, sebuah suara dari belakang mereka membuat keduanya terkejut.

“Hei! Kalian berdua!”

Adara dan Kavin serentak menoleh, mendapati beberapa teman sekelas mereka yang memandang dengan ekspresi penasaran. Mereka tersenyum jahil, seolah menangkap basah sesuatu yang menarik.

“Kalian lagi apa, sih? Mesra banget di sini!” ledek salah satu teman mereka sambil tertawa.

Adara refleks melepaskan genggaman tangannya dan mundur selangkah, wajahnya merah padam. Ia merasa canggung, tak tahu harus bereaksi bagaimana. Namun, di sampingnya, Kavin justru tersenyum tipis dan menatap teman-temannya dengan santai.

“Bukan urusan kalian, kan?” jawab Kavin dengan nada santai, matanya sedikit melirik Adara yang masih terlihat gugup. Dengan satu kalimat, ia berhasil membuat teman-teman mereka tak melanjutkan ledekan, malah membiarkan mereka berdua.

Adara menatap Kavin dengan heran dan sedikit kagum. Tanpa banyak kata, Kavin tahu bagaimana melindunginya dari ledekan yang bisa membuatnya merasa canggung. Ketika teman-teman mereka akhirnya pergi, meninggalkan mereka berdua di koridor yang sepi, Adara merasa detak jantungnya masih tak beraturan.

Kavin memandangnya, ekspresi lembut terlihat di wajahnya yang biasanya tampak serius. Ia menepuk bahu Adara dengan ringan, membuatnya tersenyum kikuk.

“Kamu baik-baik aja?” tanyanya, kali ini dengan nada yang lebih hangat dari biasanya.

Adara mengangguk pelan. “Iya, aku baik-baik aja. Cuma… agak malu aja tadi.”

Kavin tertawa kecil, dan itu adalah tawa yang membuat Adara merasa lega. Ia menyadari bahwa meskipun Kavin bukan tipe yang selalu menunjukkan perhatian secara terang-terangan, ia punya caranya sendiri untuk membuat Adara merasa aman dan nyaman.

“Kita akan baik-baik aja, Dara,” ucap Kavin, suaranya rendah tapi meyakinkan. “Selama kamu masih percaya sama aku… aku bakal selalu ada buat kamu.”

Adara merasakan harapan yang perlahan tumbuh di hatinya, harapan bahwa mungkin, hubungan mereka akan semakin dalam dari hari ke hari. Di bawah sinar matahari sore yang mulai meredup, keduanya berjalan pulang bersama, tanpa kata-kata yang berlebihan, namun dengan perasaan yang semakin nyata di antara mereka.

Hari itu, mereka tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai, dan meskipun penuh tantangan, mereka siap menghadapinya bersama.

 

Langkah Pertama di Jalan yang Sama

Kehangatan dalam hubungan Adara dan Kavin terus berkembang, meski keduanya tidak pernah menyatakan dengan kata-kata apa yang kini sudah nyata dalam hati masing-masing. Setelah pertengkaran pertama dan beberapa momen yang menguji kesabaran mereka, hubungan itu justru terasa semakin kuat. Meski mereka tidak selalu sepakat dalam banyak hal, perbedaan itu tidak lagi menjadi penghalang, tapi malah menguatkan ikatan yang ada.

Suatu pagi di hari Senin, Adara tiba di kelas lebih awal dari biasanya. Ia sengaja ingin memberikan kejutan kecil untuk Kavin, sebuah catatan sederhana yang ia selipkan di laci meja Kavin. Isinya singkat, tapi tulus:

“Terima kasih sudah jadi diri kamu apa adanya. Aku nggak butuh hal besar. Cukup kamu yang seperti ini.”

Saat Kavin menemukan catatan itu, ia tersenyum kecil. Ia menyimpannya di dalam buku catatan pribadinya, tanpa mengucapkan satu kata pun kepada Adara. Tapi sejak saat itu, sorot matanya berbeda. Lebih lembut setiap kali melihat Adara, seolah ada pengertian diam-diam di antara mereka yang tak perlu diperjelas lagi.

Namun, hari itu tidak berjalan sesuai rencana. Adara mendapat kabar buruk setelah kelas pertama berakhir. Teman sekelasnya memberi tahu bahwa beberapa siswa dari kelas lain menuliskan sesuatu yang buruk tentangnya di papan tulis di belakang sekolah. Awalnya, Adara tidak peduli—sudah biasa ada orang yang iri atau kurang suka dengannya. Tapi kali ini, tulisan itu terlalu menyakitkan, menuduhnya hanya mengejar perhatian Kavin untuk mendapatkan pengakuan.

Saat itu, Kavin, yang mendengar dari seorang teman, langsung menuju tempat kejadian. Di sana, ia melihat beberapa siswa yang sedang tertawa, puas dengan tulisan hinaan yang mereka buat di papan tulis. Tanpa banyak bicara, Kavin maju dan menghapus tulisan itu dengan tangannya sendiri.

Salah seorang siswa di sana, merasa terganggu oleh tindakan Kavin, menatapnya dengan sinis. “Kenapa, Vin? Emang kamu nggak risih sama cewek kayak dia?”

Kavin menoleh, tatapannya dingin namun mantap. “Yang harus risih bukan aku, tapi kalian yang nggak punya keberanian buat ngomong langsung. Kalau kalian punya masalah sama Adara, datang aja ke aku dulu.”

Ucapan Kavin itu membuat mereka terdiam. Bahkan saat para siswa lainnya mulai pergi dengan wajah malu, Kavin masih berdiri di sana, menunggu hingga mereka semua benar-benar pergi sebelum akhirnya menyeka tangannya yang kotor karena bekas kapur.

Ketika ia kembali ke kelas, Adara sudah mendengar semua yang terjadi. Tatapannya penuh terima kasih dan sedikit haru. Ia menyadari, untuk pertama kalinya, bahwa Kavin telah melangkah lebih jauh dari sekadar menjadi teman yang mendampinginya. Ia adalah seseorang yang rela membelanya di depan siapa pun, tanpa peduli apa yang akan orang lain katakan.

“Vin… makasih,” ucap Adara pelan, suaranya bergetar. Di antara mereka, tak perlu banyak kata untuk menjelaskan perasaan yang mengisi hati masing-masing saat ini.

Kavin tersenyum, sedikit canggung tapi penuh ketulusan. “Nggak perlu makasih, Dara. Aku cuma lakuin apa yang menurutku benar.”

Hari-hari setelah itu berjalan dengan lebih tenang. Kini, setiap kali mereka bersama, ada kenyamanan yang menyelimuti mereka berdua. Mereka saling mengenal bukan hanya dari tawa dan senyum, tapi juga dari rasa sakit, kesalahpahaman, dan pembelaan yang dilakukan secara diam-diam. Dalam setiap langkah yang mereka ambil, ada ikatan yang tak perlu lagi dijelaskan atau diperjelas.

Suatu sore di taman sekolah, mereka duduk di bangku yang menghadap ke lapangan, menikmati keheningan setelah hari yang panjang. Adara, yang merasa sudah cukup kuat untuk membuka hati, akhirnya berkata, “Aku pikir… kita nggak perlu lagi pura-pura nggak peduli.”

Kavin menoleh, sedikit tersenyum. “Maksud kamu?”

Adara menatapnya lembut. “Aku cuma mau bilang, aku bahagia dengan kita yang seperti ini. Nggak ada yang perlu dijelaskan, nggak ada yang perlu diragukan.”

Kavin menatapnya dalam-dalam, memahami maksud di balik kata-kata sederhana itu. “Kamu bener, nggak perlu pura-pura lagi,” jawabnya, dan ada ketulusan yang terpancar dari sorot matanya. Dalam keheningan yang nyaman itu, tanpa banyak kata, mereka berdua tahu bahwa ini adalah langkah pertama dari sesuatu yang nyata.

Di tengah matahari yang mulai tenggelam, mereka saling tersenyum, seolah setuju bahwa apapun yang akan terjadi ke depannya, mereka siap menghadapinya bersama.

 

Dan begitulah, dua hati yang awalnya cuma saling sindir akhirnya saling ngerti tanpa perlu banyak omong. Adara dan Kavin mungkin nggak selalu sepakat, tapi mereka tahu satu hal: di antara semua ketidakpastian di masa SMA, ada satu kepastian yang jelas—mereka punya satu sama lain. Karena, kadang cinta itu nggak perlu ribet, cukup ada di samping kita, buat kita tahu bahwa semua bakal baik-baik aja.

Leave a Reply