Cinta Lucu di Kafe: Kisah Romantis Mikael dan Rina

Posted on

Hai, guys! Di tengah huru-hara kehidupan dan tumpukan tugas yang menguras otak, kadang kita butuh momen lucu yang bikin hati hangat, kan? Nah, bayangkan kamu duduk di kafe kecil yang cozy, sambil menyeruput kopi hangat, tiba-tiba seorang pengagum misterius muncul dari balik bayang-bayang.

Yuk, ikuti kisah konyol dan romantis Mikael dan Rina yang bikin kamu senyum-senyum sendiri. Siap-siap untuk tawa, cinta, dan beberapa kejutan di Kafe Kopi Rindu! let’s go!!

 

Cinta Lucu di Kafe

Awal yang Konyol

Mikael duduk di sudut kafe “Kopi Rindu,” mengaduk cappuccino di gelasnya yang sudah setengah kosong. Aroma kopi yang harum menyelimuti ruangan, dan suara mesin kopi yang berdengung menciptakan suasana yang nyaman. Dia terbenam dalam pikirannya, dengan tumpukan kertas berisi catatan dan ide-ide yang belum terselesaikan.

Satu kertas di antara tumpukan itu menarik perhatian, bertuliskan “Amelia.” Nama yang selalu muncul dalam tulisan-tulisannya, karakter ideal yang diciptakan dari imajinasi yang liar. Mikael merangkai kata demi kata, berharap bisa menggambarkan perasaan yang sulit diungkapkan, baik untuk Amelia maupun untuk orang-orang di sekitarnya.

Tiba-tiba, suara lembut menggema di telinganya. “Bisa lihat sedikit?”

Mikael menoleh, dan matanya bertemu dengan seorang gadis berambut pirang bergelombang yang berdiri di samping mejanya. Senyumnya cerah, seperti sinar matahari yang menembus awan kelabu.

“Oh, hai! Itu hanya catatan… eh, tidak ada yang istimewa,” jawab Mikael cepat, berusaha menutup kertas itu.

“Bisa jadi istimewa kalau kamu mau berbagi,” ujarnya, menyandarkan tubuhnya di meja. “Nama aku Livia, barista di sini.”

“Mikael,” katanya sambil mengulurkan tangan. “Jadi, kamu bekerja di sini? Keren!”

Livia menggenggam tangannya dengan hangat. “Iya, sudah hampir setahun. Aku suka suasana di sini. Banyak cerita yang terjadi, terutama kalau kamu sering datang.”

Mikael merasakan jantungnya berdebar. “Sebenarnya, aku… aku sering datang untuk menulis,” jelasnya, bingung bagaimana harus melanjutkan.

“Menulis? Tentang apa? Kisah cinta?” Livia menggoda, matanya berkilau penuh rasa ingin tahu.

Mikael mengangkat bahu. “Mungkin… tapi lebih banyak tentang karakter fiksi. Yang sebenarnya, ya, tidak ada hubungannya dengan kehidupan nyata.”

“Kenapa? Kamu tidak ingin menulis tentang cinta yang nyata?” Livia bertanya, masih dengan senyumnya yang manis.

“Karena menulis tentang cinta itu rumit, dan aku tidak pandai,” Mikael mengaku, merasa canggung.

“Cobalah! Siapa tahu kamu bisa menulis sesuatu yang hebat tentang kita,” Livia menjawab, dan Mikael bisa merasakan ada candaan di balik kalimat itu.

Mikael terdiam sejenak, berusaha mencerna kata-katanya. “Kita? Maksudmu, kita yang mana?”

“Ya, kita! Aku dan kamu,” jawab Livia, tertawa kecil.

“Ya ampun, aku belum sampai ke tahap itu,” Mikael menggerakkan tangan, sedikit panik. “Itu terlalu cepat!”

Livia mengangguk, senyumnya tidak surut. “Baiklah, baiklah. Tapi aku akan terus menunggu, ya?”

Mikael tersenyum, merasakan beban di pundaknya sedikit berkurang. “Kedengarannya menyenangkan.”

Sore itu, mereka berbincang lebih dalam, Livia membagikan cerita lucu tentang pengunjung kafe yang aneh dan kebiasaannya yang konyol saat bekerja. Mikael pun tidak mau kalah, menceritakan momen-momen konyol di studio filmnya. Tanpa disadari, waktu berlalu begitu cepat.

Kafe semakin ramai saat sore beranjak malam, suara tawa dan obrolan mengisi setiap sudut. Mikael merasakan koneksi yang aneh, seperti ada benang merah yang menghubungkan mereka. “Eh, Livia, aku penasaran… apa kamu percaya pada cinta sejati?”

Livia menatapnya dengan serius, lalu tersenyum. “Cinta sejati? Hmm, mungkin. Tapi aku lebih suka cinta yang lucu dan menggemaskan, seperti cerita-cerita di film.”

“Benar juga,” Mikael setuju. “Tapi film dan kenyataan kan berbeda.”

“Betul! Tapi itu sebabnya aku suka mendengar kisahmu. Mungkin kamu bisa menulis kisah cinta kita yang menggemaskan nanti!”

Mikael terkekeh, hatinya berdebar. “Kisah kita? Sepertinya itu terlalu jauh.”

“Jangan bilang kamu takut!” tantang Livia, nada main-main namun ada ketegasan di dalamnya.

Mikael merasa tertekan. “Aku tidak takut, hanya… belum siap.”

Livia menggelengkan kepala, terlihat puas dengan tantangannya. “Satu hal, Mikael, jangan terlalu serius. Hidup ini penuh keceriaan, dan kadang kita perlu mengambil risiko.”

“Saran yang bagus,” jawab Mikael, tetapi di dalam hatinya, ia mulai merasakan ada sesuatu yang lebih dalam. “Tapi bagaimana kalau aku gagal?”

“Siapa yang tidak pernah gagal?” Livia tertawa, dan tawanya membuat Mikael merasa nyaman.

Saat malam tiba, Mikael pulang dengan kepala penuh pikiran tentang Livia. Dia tidak pernah mengira bahwa seorang barista di kafe sederhana bisa memengaruhi cara pandangnya tentang cinta. Ia menatap langit yang gelap, dan merasakan harapan kecil menggelora di dalam hatinya.

“Cinta memang tidak bisa ditulis dalam naskah,” bisiknya pada diri sendiri. “Tapi mungkin, justru di situlah keindahannya.”

Dengan semangat baru, Mikael bertekad untuk menjelajahi rasa ini lebih dalam. Dia tahu, Livia adalah bagian dari cerita yang ingin dia ciptakan, meskipun dia belum sepenuhnya menyadarinya. Dan tanpa disadari, kisah cinta yang menggemaskan itu baru saja dimulai.

 

Surat Cinta yang Terbaca

Hari-hari berlalu, dan Mikael menemukan dirinya semakin sering mengunjungi “Kopi Rindu.” Livia menjadi alasan utama yang menariknya kembali. Setiap pertemuan terasa semakin spesial, dengan tawa dan cerita yang mengalir begitu alami di antara mereka. Meski Mikael masih merasa ragu untuk menyebutnya cinta, hatinya berbunga-bunga setiap kali melihat senyum Livia.

Suatu sore, saat matahari mulai terbenam dan cahayanya menyinari kafe dengan nuansa keemasan, Mikael duduk di meja favoritnya, menulis dengan semangat. Dia baru saja menambahkan beberapa kalimat tentang karakter utamanya yang mirip Livia, dan rasa canggung yang ia rasakan perlahan-lahan mulai menghilang. Tiba-tiba, Livia muncul dengan dua gelas latte di tangannya.

“Ini untukmu, pemikir jenius!” serunya ceria, meletakkan gelas di depan Mikael. “Jangan bilang kamu sudah jadi penulis terkenal tanpa aku!”

Mikael tertawa, mengangguk. “Belum, tapi aku sudah dekat, kan?” Dia menunjuk kertas di depannya, di mana catatan tentang karakter-karakter lucu dan konyol bertebaran.

Livia mendekat dan melongok ke kertas tersebut. “Eh, aku lihat ada namaku di sini!” serunya, dengan ekspresi tak percaya. “Apa kamu menulis tentang aku?”

Mikael merona, terkejut. “Eh, itu… bukan aku sengaja. Hanya terinspirasi, ya? Semua karakter di sini terinspirasi dari orang-orang di sekitarku,” jelasnya, mencoba membela diri.

“Hmm, kamu pasti sangat terpesona padaku,” Livia menggoda, melipat tangannya di dada, berpura-pura serius.

“Bisa dibilang begitu,” Mikael mengakui, merasakan ketegangan yang aneh di antara mereka. “Tapi aku bukan orang yang mudah terpesona, kau tahu.”

“Dan aku bukan orang yang mudah percaya!” Livia menantang, matanya bersinar penuh tantangan.

Tak lama, suasana menjadi lebih santai saat mereka mulai mendiskusikan ide-ide konyol untuk cerita yang akan ditulis Mikael. Setiap tawa mengalir seperti aliran air, menghapus batasan yang pernah ada di antara mereka.

Namun, saat Livia pergi untuk mengambil pesanan dari pelanggan lain, Mikael merasakan sesuatu yang berbeda. Dia merasa ada yang kurang, seolah-olah ada sesuatu yang ingin dia ungkapkan, tetapi kata-kata itu terperangkap di tenggorokannya.

Saat Livia kembali, dia membawa surat kecil yang tampak usang. “Mikael, kamu pernah menginginkan hal yang lucu? Aku menemukannya di bawah meja!”

“Surat? Apa ini?” Mikael bertanya, mengangkat alisnya.

“Sepertinya dari seorang penggemar. Baca saja!” Livia tertawa, mendorong surat itu ke arah Mikael.

Mikael mengambil surat itu, lalu membacanya dengan suara pelan:

“Kepada yang terhormat, orang yang mencuri hati saya,

Dari pertama kali kita bertemu, hatiku bergetar seperti gelombang. Aku terpesona oleh senyummu, seperti matahari yang menghangatkan hari-hariku. Meskipun kita masih asing, aku berharap bisa mengenalmu lebih baik. Maukah kamu makan malam bersamaku?

Dengan tulus,

Pengagum yang tak dikenal.”

Mikael menatap Livia dengan bingung. “Siapa yang menulis ini? Ini pasti lelucon!”

Livia tertawa terbahak-bahak. “Mungkin ini adalah cinta sejati yang kamu cari selama ini! Atau bisa jadi hanya prank yang lucu. Tapi ini konyol, kan?”

“Tentu saja konyol,” Mikael menjawab, tetapi di dalam hatinya, ia merasakan semangat baru. “Aku tidak percaya ada orang yang berani menulis surat seperti ini. Ini seperti di film!”

“Coba kamu tulis balasan. Ajak mereka berkencan di tempat ini!” Livia menggoda, membuat Mikael semakin gelisah.

“Jangan bercanda, Livia. Aku tidak bisa melakukan itu. Aku tidak tahu siapa orang ini!”

“Tapi itu yang membuatnya seru! Kamu bisa menciptakan momen romantis yang lucu,” Livia terus merayu. “Bayangkan, kamu bisa menulis balasan yang lebih baik dari surat itu!”

Mikael melihat Livia, dan untuk pertama kalinya, dia merasakan dorongan untuk melangkah ke luar zona nyamannya. “Kamu tahu, mungkin kamu benar. Aku bisa coba tulis balasan yang lebih kreatif.”

“Bagus! Ayo, kita bisa kerjakan bareng!” Livia menantang sambil duduk di sebelah Mikael. “Kita bisa membuat surat itu jadi lucu dan menggemaskan!”

Mikael mulai merasa bersemangat, dan dengan semangat baru, dia menulis balasan dengan cepat. Saat dia menciptakan kalimat demi kalimat, Livia terus memberikan masukan, menambahkan sentuhan lucu dan konyol. Mereka tertawa bersama saat menuliskan berbagai ide absurd, mulai dari undangan makan malam di kafe hingga janji untuk saling bertukar surat setiap minggu.

Setelah beberapa saat, mereka akhirnya menyelesaikan surat itu. “Nah, sekarang kita harus mengirimkan ini,” Livia berkata sambil menyeringai.

“Dimana kita bisa menemukan pengagum misterius ini?” Mikael berpikir keras.

“Bagaimana kalau kita tanya semua pelanggan yang ada di sini?” Livia berkata penuh semangat. “Kita bisa mengadakan sesi ‘tebak-tebakan cinta’!”

Mikael terdiam sejenak, lalu terbahak. “Itu gila! Tapi, hei, ini bisa jadi seru juga.”

Dan di situlah mereka memulai petualangan konyol untuk menemukan pengagum misterius tersebut. Setiap pelanggan di kafe ditanya tentang surat itu, dan tak ada yang bisa menahan tawa saat mereka terlibat dalam momen-momen lucu dan tak terduga. Mikael dan Livia saling bertukar pandang, tertawa bahagia, dan merasakan keakraban yang semakin tumbuh di antara mereka.

Malam itu berakhir dengan kehangatan dan tawa yang menggema, dan Mikael menyadari bahwa surat dari pengagum misterius itu mungkin bukan hanya sekadar lelucon. Mungkin, inilah awal dari kisah cinta mereka sendiri yang tak terduga, dan Mikael bertekad untuk menjadikannya lebih dari sekadar surat konyol.

 

Pengagum Misterius

Keesokan harinya, suasana di “Kopi Rindu” terasa lebih ceria dari biasanya. Mikael dan Livia memasuki kafe dengan senyum lebar, bersiap melanjutkan petualangan mereka untuk menemukan pengagum misterius yang telah mengirimkan surat cinta yang konyol itu.

“Siap untuk sesi tanya jawab?” Livia bertanya dengan semangat.

Mikael mengangguk, merasa sedikit gugup tetapi lebih bersemangat. “Aku tidak tahu apakah orang-orang di sini akan menganggap kita gila atau tidak.”

“Biarkan saja! Kita di sini untuk bersenang-senang,” jawab Livia, melirik ke arah pelanggan yang sedang duduk sambil menikmati kopi mereka. “Ayo, kita mulai dari meja dekat jendela.”

Mikael dan Livia mendekati dua orang pelanggan yang tampak sedang menikmati cappuccino. “Permisi! Maaf mengganggu, kami lagi mencari tahu tentang surat cinta yang misterius ini,” kata Livia sambil menunjukkan surat yang mereka buat kemarin.

Pelanggan tersebut, seorang pria bertubuh kekar dengan kumis tebal, tampak bingung. “Surat cinta? Apa itu lelucon?” dia bertanya, mencoba menahan tawa.

“Bukan lelucon! Ini benar-benar serius,” jawab Mikael, merasakan semangatnya. “Kami perlu tahu siapa pengirimnya!”

Setelah beberapa tanya jawab yang lucu dan beberapa teori konyol tentang siapa pengirim surat itu, mereka beralih ke meja lain. Mikael merasa lebih berani saat berinteraksi dengan pelanggan, dan setiap jawaban yang mereka dapatkan hanya menambah keseruan petualangan mereka.

“Bagaimana kalau kita beralih ke cara yang lebih langsung?” Livia berkata setelah satu jam berkeliling. “Kita tanya langsung ke barista!”

Mikael setuju, dan mereka bergegas ke meja barista. Seorang wanita muda dengan rambut ikal bernama Zara sedang menyajikan kopi. “Zara, apakah kamu tahu siapa yang mengirim surat cinta ini?” Livia bertanya, menempatkan surat di depan barista.

Zara terkejut, lalu tertawa. “Oh, surat itu! Beberapa minggu lalu, ada pelanggan misterius yang terus menanyakan tentang siapa yang selalu duduk di meja itu. Dia tampaknya sangat tertarik, tapi tidak pernah mengungkapkan namanya.”

“Serius? Apa dia seorang regular di sini?” Mikael bertanya, matanya berbinar.

“Hmm, mungkin! Tapi aku tidak bisa memberi tahu lebih banyak. Rahasia pelanggan, kamu tahu?” Zara menjawab sambil menggoda, mengedipkan mata.

Mikael merasa sedikit frustrasi. “Jadi kita tidak bisa mendapatkan petunjuk sama sekali?”

“Cobalah kembali malam ini. Siapa tahu dia akan kembali ke sini,” Zara menyarankan.

“Baiklah! Terima kasih, Zara!” Livia menjawab dengan semangat, menarik Mikael pergi.

Sore itu, mereka mempersiapkan diri untuk malam yang penuh kemungkinan. Mikael merasa campur aduk antara kegembiraan dan rasa cemas. Dia bertanya-tanya, apakah pengagum misterius itu akan datang kembali? Dan yang lebih penting, bagaimana jika dia bukan orang yang dia harapkan?

Ketika malam tiba, kafe dipenuhi pelanggan. Livia dan Mikael mengambil tempat di sudut, menunggu dengan penuh harap. Beberapa saat kemudian, saat lampu mulai redup dan musik lembut mulai mengalun, pintu kafe terbuka, dan seorang wanita dengan jaket denim memasuki kafe.

Mikael menoleh ke arah Livia, dan mereka berdua saling menatap, merasakan ketegangan di udara. “Itu dia?” Mikael berbisik, menunjukkan wanita itu.

“Rasa-rasanya begitu. Ayo kita dekati!” Livia menjawab penuh semangat.

Mikael menelan ludahnya. “Tunggu, bagaimana kalau dia bukan orangnya?”

“Tidak ada salahnya mencoba! Kita sudah sampai sejauh ini,” Livia berkata, tersenyum penuh keyakinan.

Dengan keberanian yang tiba-tiba muncul, mereka berjalan mendekati wanita itu. “Permisi, kamu—” Livia mulai, tetapi wanita itu langsung memotong.

“Eh, kalian berdua! Kalian yang sedang menyelidiki surat cinta, kan?” wanita itu tersenyum, membuat Mikael dan Livia terkejut.

“Ya! Itu kami! Apakah kamu tahu siapa yang mengirimnya?” Mikael bertanya, matanya berbinar penuh harap.

Wanita itu tertawa. “Aku tidak tahu siapa pengirimnya, tapi aku tahu seseorang yang mungkin bisa membantu!”

“Siapa?” Livia dan Mikael bertanya serempak.

“Dia teman dekatku, dan dia sering datang ke sini. Dia bilang ada seseorang yang mengamatinya. Jika kalian mau, aku bisa menghubungkannya!”

Mikael dan Livia saling pandang, terkejut dan senang. “Tentu! Itu akan sangat membantu!” jawab Mikael, merasakan detak jantungnya meningkat.

Mereka lalu mengikuti wanita itu ke arah meja lain, di mana seorang pria berambut keriting duduk. “Ini teman dekatku, Rino. Dia mungkin tahu siapa yang kalian cari!”

Rino memandang mereka dengan senyuman nakal. “Aku sudah mendengar tentang surat itu. Sepertinya orang itu terlalu malu untuk muncul.”

Mikael tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. “Kamu tahu siapa orang itu?”

“Dia tidak bilang namanya, tapi dia seorang seniman yang sering menggambar di sudut kafe ini. Mungkin kamu bisa menemukannya di sini malam ini,” Rino menjelaskan.

Livia menepuk bahu Mikael. “Kita harus mencari tahu! Ayo!”

Mikael merasa seolah-olah semua petunjuk yang mereka cari sudah mulai terbuka. “Tapi bagaimana jika dia tidak mau berbicara?”

“Biar aku yang mengatur. Kita bisa menciptakan suasana yang menyenangkan! Mari kita buat malam ini menjadi momen yang tak terlupakan,” Rino menyemangati.

Mikael dan Livia bersemangat, tidak sabar untuk mengetahui siapa pengagum misterius itu. Malam itu penuh dengan gelak tawa, petualangan, dan, yang paling penting, harapan untuk menemukan cinta yang tak terduga.

 

Ketukan Cinta

Malam di “Kopi Rindu” semakin meriah, lampu-lampu temaram menciptakan suasana hangat dan intim. Mikael, Livia, dan Rino menghabiskan waktu bersama, mendiskusikan berbagai hal mulai dari seni hingga pengalaman konyol yang mereka alami di kafe. Namun, di balik tawa dan candaan, ada rasa ingin tahu yang semakin menggebu di hati Mikael. Siapa sebenarnya pengagum misterius itu?

“Tunggu sebentar, aku harus pergi ke toilet,” Livia berkata sambil tersenyum, sebelum berjalan menjauh dari meja.

Mikael memandang Rino, yang sedang menyeduh secangkir kopi. “Jadi, apa kamu benar-benar tahu siapa dia?” tanya Mikael, sedikit cemas.

“Sepertinya aku tahu, tapi aku tidak ingin mengungkapkannya begitu saja. Bagaimana kalau kita memberi dia kejutan?” Rino menjawab, wajahnya terlihat licik.

“Seperti apa kejutan itu?” Mikael penasaran.

“Aku bisa mengajak dia ke sini, dan kalian bisa bertemu. Tapi, kalian harus bersiap-siap untuk membuatnya nyaman!” Rino berkata, penuh semangat.

“Ya, tapi… bagaimana kalau dia tidak mau?” Mikael merasa keraguan menyelip di hatinya.

“Percayalah, kita sudah sampai sejauh ini. Kita harus mengambil risiko,” Rino menjawab sambil tersenyum lebar.

Setelah berdiskusi singkat, mereka sepakat. Rino beranjak dari meja, memberi isyarat kepada Mikael untuk menunggu. Mikael merasa jantungnya berdebar. Ia tidak bisa membayangkan jika akhirnya bertemu dengan pengagum misterius yang selama ini membuatnya penasaran.

Tak lama kemudian, Rino kembali ke meja, diiringi seorang wanita dengan senyum ceria dan rambut ikal yang jatuh indah di bahunya. “Ini dia, Sofia,” kata Rino sambil memperkenalkan mereka.

Sofia melangkah maju, dan Mikael langsung merasakan aura positif yang mengelilinginya. “Hai! Aku dengar kalian mencari seseorang,” ujarnya, suaranya lembut dan ramah.

Mikael merasa sedikit gugup, namun mencoba untuk tampil percaya diri. “Iya, kami… eh, kami ingin tahu tentang surat cinta yang dikirim ke sini. Apakah kamu tahu siapa pengirimnya?”

Sofia tersenyum, tampak tidak terkejut. “Oh, surat itu! Aku sudah menduganya.” Dia menatap Mikael dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. “Kamu pasti Mikael, kan? Dia selalu bercerita tentang kamu.”

“Dia?” Mikael mengernyitkan dahi, bingung.

“Ya! Dia adalah teman baikku, dan dia menyukai kamu. Sebenarnya, dia sedang berada di luar sekarang. Dia terlalu malu untuk masuk,” Sofia menjelaskan dengan senyum yang menawan.

Satu kata yang terlintas di pikiran Mikael: “Serius?”

“Serius. Aku sudah berusaha membujuknya untuk datang, tapi dia tetap tidak berani,” Sofia menjawab, seolah membaca pikiran Mikael.

Livia kembali ke meja, kebingungan melihat suasana. “Ada apa? Kenapa kalian terlihat tegang?”

“Sofia di sini, dan dia tahu tentang pengirim suratnya!” Mikael menjawab dengan semangat.

“Pengirim surat? Siapa?” tanya Livia, langsung tertarik.

“Dia adalah teman baikku, tapi dia malu,” Sofia menjelaskan.

Livia menoleh ke Mikael, senyumnya lebar. “Mikael, ini kesempatanmu! Kita harus membujuknya masuk.”

Tanpa menunggu lama, Livia menoleh ke Sofia. “Coba kita lakukan sesuatu. Ajak dia masuk, dan kita akan membuatnya merasa nyaman!”

Sofia tersenyum. “Baiklah, aku akan mencoba,” jawabnya.

Dengan penuh harapan, Sofia berjalan keluar untuk memanggil temannya. Sementara itu, Mikael merasa jantungnya berdebar. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya bertemu dengan seseorang yang telah mengaguminya dari jauh.

Tak lama kemudian, Sofia kembali dengan seorang wanita berambut panjang dan wajah manis yang tampak sangat canggung. “Ini dia, Rina,” katanya sambil memperkenalkan.

Mikael merasa terkesima. Rina tampak sangat cantik, dan ada sesuatu dalam tatapannya yang membuat jantungnya berdebar lebih kencang.

“Hai, Mikael,” Rina menyapa pelan, menghindari tatapan langsung.

“Hai… Rina, kan?” Mikael menjawab, berusaha terlihat santai meski rasanya seperti jantungnya mau melompat. “Sofia bilang kamu yang mengirim surat itu.”

Rina tersipu. “Iya, itu aku. Maaf jika surat itu terlalu konyol. Aku hanya… ingin memberitahumu bahwa aku suka menggambarmu setiap kali aku datang ke sini,” ucapnya dengan suara pelan.

“Jadi, kamu seniman yang digambarkan Rino?” Livia menambahkan, penuh antusias. “Kami sangat ingin tahu tentang gambarmu!”

Rina tampak lebih tenang mendengar pujian itu. “Aku memang suka menggambar di sini. Suasana kafenya sangat inspiratif.”

Mikael tersenyum, merasakan ketegangan mulai mereda. “Kalau begitu, aku sudah lama ingin tahu, kenapa kamu memilih untuk menggambarku?”

Rina tertawa ringan, “Karena kamu selalu terlihat… misterius, dan ada sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak tentangmu.”

Mikael merasa senang mendengar itu. “Kalau begitu, kita mungkin bisa saling mengenal lebih baik. Bagaimana kalau kita duduk bersama dan berbagi cerita?”

Rina mengangguk, wajahnya bersinar. “Itu terdengar bagus.”

Sejak saat itu, ketiga orang ini mulai merajut percakapan hangat, berbagi cerita, dan tawa yang membuat suasana semakin akrab. Mikael merasa seolah-olah mereka sudah berteman sejak lama.

Waktu berlalu, dan malam semakin larut. Mereka bertiga menikmati secangkir kopi dan berbagai kisah lucu yang membuat tawa menggema di dalam kafe. Rina dan Mikael saling bertukar pandangan, merasakan chemistry yang tak terduga.

“Jadi, bagaimana kalau kita membuat ini menjadi rutinitas? Kalian bisa datang setiap minggu, dan aku akan menggambar sambil ngobrol dengan kalian,” Rina menawarkan, matanya berkilau penuh harap.

“Setuju!” jawab Livia cepat, sambil melirik Mikael. “Ayo kita buat ini menjadi momen yang berkesan.”

Mikael mengangguk setuju, senyumnya merekah. “Aku suka ide itu.”

Sofia dan Rino tersenyum melihat betapa akrabnya mereka. Rina dan Mikael berbagi tawa, dan dari situ, sebuah ikatan baru dimulai. Dari pengaguman yang sederhana, kini tumbuh menjadi persahabatan yang penuh kemungkinan.

Di antara tawa dan candaan, saat itu, Mikael tahu satu hal pasti: cinta bisa datang dari tempat yang paling tidak terduga, dan dalam tawa yang menggemaskan, sebuah kisah cinta romantis yang lucu telah dimulai di “Kopi Rindu.”

 

Dan begitulah, dari sebuah surat dan secangkir kopi, Mikael dan Rina menemukan cinta yang penuh tawa. Di Kafe Kopi Rindu, mereka belajar bahwa kebahagiaan bisa muncul dari hal-hal kecil dan tak terduga. Siapa sangka, cinta bisa tumbuh di tengah huru-hara hidup? Jadi, siapkan cangkirmu, karena kisah cinta selanjutnya bisa saja menunggu di sudut kafe!

Leave a Reply