Daftar Isi
Eh, kamu pernah nggak sih ngerasain cinta yang bikin hati kamu bergetar tapi juga sakit banget? Ya, seperti nonton film sedih yang bikin kamu nangis, tapi kali ini, ini beneran terjadi di kehidupan nyata!
Cerita ini tentang Aira, cewek yang jatuh cinta sama Alvano, cowok idaman yang mungkin kamu juga bakal suka. Siap-siap baper dan bawa tissue, karena kisah mereka pasti bikin kamu terhanyut dalam perasaan!
Mengikhlaskan Cinta Pertama
Rasa yang Tak Terucap
Aira duduk di sudut taman, memandangi riak air yang memantul cahaya matahari sore. Wajahnya tampak tenang dari jauh, namun pikirannya penuh percakapan yang tak pernah terucap, dan hati yang selalu ia simpan rapat. Setiap sore sepulang sekolah, taman ini jadi tempat pelariannya, tempat ia bisa berbicara dengan dirinya sendiri tanpa suara.
Suara langkah kaki yang mendekat membuat Aira tersadar dari lamunannya. Ia mengenal langkah itu—langkah yang selalu ringan dan tak pernah terburu-buru, seakan dunia berputar dengan tenang di sekitarnya. Alvano datang dengan senyum tipisnya yang khas, membawa sebungkus roti yang ia genggam di tangannya.
“Kamu udah lama nunggu, Ra?” Alvano menyapanya sambil duduk di sebelahnya tanpa menunggu jawaban.
Aira menggeleng, menunduk sebentar sebelum akhirnya menatap ke depan, pura-pura sibuk memandang burung yang berkicau di dahan pohon. “Enggak, kok. Aku baru juga sampai.”
Alvano tersenyum lagi, seolah paham betul kebiasaan Aira yang tak pernah mau terlihat lemah atau terlalu mengharapkannya. “Baguslah. Aku tadi ketemu Pak Arman di gerbang, jadi agak lama. Dia nyuruh aku bantuin beresin beberapa buku.”
“Oh, bapak galak itu?” Aira terkekeh pelan, mencoba mencairkan suasana, meski hatinya berdebar tak karuan.
“Ya,” balas Alvano sambil tertawa kecil. “Untung aku masih selamat dari omelannya hari ini. Dapat satu roti gratis dari kantin buat pengorbananku.” Alvano mengangkat roti di tangannya dan menyodorkannya ke arah Aira. “Nih, kamu ambil aja.”
Aira menggeleng lagi, tersenyum tipis. “Enggak usah, buat kamu aja.”
Alvano menatapnya dengan tatapan yang seakan bisa menembus seluruh isi hatinya. “Kamu suka roti cokelat, ‘kan? Ambil aja, Ra. Toh kita sering berbagi, jadi sama aja.”
Aira akhirnya menyerah dan meraih roti itu, mengelus bungkusnya sebelum akhirnya membuka pelan-pelan. Baginya, hal kecil ini saja sudah cukup membuatnya merasa spesial, meski hanya sesaat. Di matanya, Alvano adalah pusat dunianya, sosok yang ia tahu tidak akan bisa ia gapai namun selalu ia rindukan.
Angin sore berembus lembut, menggoyangkan ranting-ranting pohon di sekitar mereka. Alvano membuka obrolan dengan cerita-cerita ringan, seperti biasa, mulai dari guru yang membosankan sampai anak-anak kelas sebelah yang selalu ribut saat istirahat. Aira mendengarkan dengan senyuman di bibirnya, meski perasaannya tak sepenuhnya tenang. Ada begitu banyak hal yang ingin ia ucapkan, namun semuanya tertahan di tenggorokan, terjebak dalam rasa takut dan ragu.
Di saat-saat seperti ini, ia ingin bisa bicara jujur pada Alvano, mengatakan bahwa ia menyukainya. Namun, bayangan bahwa Alvano akan menanggapinya dengan tatapan kosong atau, lebih buruk lagi, dengan tawa kecil, membuatnya memilih diam.
“Ra, kamu kenapa? Dari tadi kayak melamun aja,” tanya Alvano tiba-tiba, mengerutkan kening. “Ada yang kamu pikirin?”
Aira terkesiap, buru-buru menggeleng. “Enggak, kok. Mungkin aku cuma capek,” jawabnya dengan senyum yang terpaksa.
Namun Alvano tetap menatapnya, memperhatikan dengan serius. “Kalau ada yang mau kamu ceritain, aku siap dengerin, kok.”
Aira terdiam, menunduk lagi, berpura-pura sibuk dengan rotinya. Ada rasa hangat di hatinya setiap kali mendengar Alvano berkata seperti itu. Kalimat-kalimat sederhana yang seharusnya biasa saja, tapi baginya adalah perhatian yang membuatnya terus berharap.
Tapi Aira tahu, berharap lebih dari ini hanya akan membuatnya tenggelam dalam luka yang lebih dalam.
“Kamu tahu, aku seneng banget punya sahabat kayak kamu, Al,” kata Aira akhirnya, mencoba menyembunyikan apa yang sebenarnya ia rasakan di balik kata ‘sahabat’. “Kamu selalu ada buat aku, enggak pernah ninggalin aku sendirian.”
Alvano tersenyum, menepuk punggung tangan Aira pelan. “Ya iyalah. Kita ‘kan udah sahabatan lama. Kamu juga selalu ada buat aku.”
Aira tersenyum miris dalam hati. Kata ‘sahabat’ itu kembali menusuknya, kata yang menjadi batas yang tak mungkin ia langgar. Bagi Alvano, mereka memang sahabat, tak lebih dari itu, dan kata itu adalah pengingat bahwa perasaannya hanya akan berakhir di satu arah.
Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, meninggalkan semburat jingga keemasan di langit. Aira melirik Alvano yang kembali terdiam, entah memikirkan apa. Ia tahu, kebersamaan mereka hari ini mungkin berakhir dalam diam seperti ini lagi, seperti hari-hari sebelumnya.
“Al, kamu pernah mikir enggak… kalau kita enggak selamanya bisa bareng-bareng kayak gini?” suara Aira terdengar lirih, hampir seperti bisikan.
Alvano mengerutkan kening, menatapnya bingung. “Kenapa ngomong kayak gitu? Kita pasti bisa, Ra. Kamu aneh-aneh aja, deh.”
Aira tersenyum getir, menahan perih di dadanya. “Iya… mungkin aku cuma aneh aja.”
Aira memandang ke depan, matanya menatap jauh melampaui taman, seolah mencari masa depan yang lebih jelas. Namun, di dalam hatinya, ia tahu. Ia tahu ia harus merelakan sesuatu yang ia pegang terlalu erat, sesuatu yang tak pernah bisa ia miliki.
Dan sore itu, dalam senja yang semakin meredup, Aira menyadari satu hal yang pasti: perasaan ini harus ia simpan, apa pun yang terjadi.
Menunggu dalam Diam
Hari-hari bergulir, dan Aira semakin pandai menyembunyikan perasaannya di balik senyuman. Baginya, setiap detik bersama Alvano adalah kebahagiaan sekaligus siksaan. Ia tahu bahwa rasa ini hanya akan melukai dirinya sendiri, namun di sisi lain, ia tak punya kekuatan untuk melepaskannya.
Suatu hari, Alvano mengajak Aira ke kafe kecil di dekat sekolah. Kafe ini tidak terlalu ramai, tapi punya nuansa hangat dengan jendela besar yang menghadap ke jalanan sibuk. Biasanya, mereka menghabiskan waktu di taman atau perpustakaan, namun hari ini Alvano tampak semangat mencoba tempat baru.
“Aku suka tempat ini,” kata Alvano sambil mengamati sekeliling kafe. “Kamu tahu, Ra, kadang aku ingin punya tempat seperti ini sendiri. Mungkin suatu hari nanti bisa punya kafe kecil, tempat orang-orang datang buat santai, ngobrol, atau sekadar menikmati kopi.”
Aira tersenyum mendengarnya. Ada sesuatu yang menenangkan saat Alvano bercerita tentang mimpinya. Di matanya, Alvano selalu punya tujuan, selalu tahu apa yang ia inginkan. Itu membuat Aira semakin terikat, meski ia sadar betapa jauhnya ia dari impian Alvano.
“Kamu cocok banget, Al, buat jadi pemilik kafe,” ucap Aira sambil menatapnya, berusaha menyembunyikan perasaan yang memuncak dalam pandangannya. “Kamu punya aura yang bikin orang nyaman.”
“Ah, kamu bisa aja.” Alvano tertawa kecil, sembari menggulung lengan bajunya. “Tapi iya, kalau suatu hari aku beneran punya kafe, kamu bakal jadi pengunjung tetapku, kan?”
Aira mengangguk mantap. “Selalu. Aku bakal jadi pelanggan yang paling setia,” ujarnya, menahan diri agar tak terdengar terlalu berharap.
Di sela-sela obrolan mereka, Aira mencoba menikmati setiap momen kecil yang hadir. Namun, bayangan tentang apa yang mungkin terjadi di masa depan terus menghantui pikirannya. Bagaimana kalau suatu hari Alvano menemukan seseorang yang ia cintai? Mungkinkah Aira akan tetap ada di sisinya, tetap menjadi “sahabat” yang setia, meski hatinya remuk?
“Aku dengar kamu ikut jadi panitia di acara sekolah minggu depan,” kata Alvano tiba-tiba, membuyarkan lamunan Aira.
“Oh, iya. Aku ditunjuk jadi seksi acara, jadi ya… harus siap-siap banget dari sekarang,” balas Aira sambil tersenyum kecil. “Kamu enggak ikutan?”
Alvano menggeleng. “Aku males ribet, tahu sendiri, ‘kan?”
Aira tertawa mendengar jawabannya, mencoba menyembunyikan kekosongan yang tiba-tiba menyelimuti hatinya. Ia tahu, acara sekolah itu akan jadi hari yang penting. Ada sesuatu yang ia persiapkan khusus untuk Alvano—sesuatu yang ia rencanakan dengan penuh harapan, meski ada rasa takut terselip di sana.
Hari yang dinanti akhirnya tiba. Aula sekolah dipenuhi oleh lampu-lampu kecil yang menggantung di dinding, menciptakan suasana yang hangat dan meriah. Suara musik mengalun pelan, menciptakan harmoni yang sempurna dengan gemerlap lampu. Aira berdiri di depan panggung, memastikan segalanya berjalan sesuai rencana.
Ketika Alvano masuk ke aula, Aira bisa merasakan detak jantungnya meningkat. Alvano terlihat berbeda malam itu, mengenakan kemeja putih yang membuatnya tampak lebih dewasa dari biasanya. Ia tersenyum ke arah Aira dari kejauhan, dan Aira merasa dunia berhenti berputar untuk sesaat.
“Kamu keren banget, Ra. Semua ini, acaranya, dekorasinya… kamu hebat,” puji Alvano ketika akhirnya mereka berdua berdiri di dekat panggung.
“Terima kasih. Aku senang kamu suka,” jawab Aira dengan senyum yang tulus.
Alvano menatapnya dengan penuh kekaguman, dan Aira tahu ini adalah saatnya. Dengan gugup, ia menyodorkan sebuah amplop kecil yang sudah ia siapkan sejak lama. Hatinya berdebar kencang saat Alvano menerimanya, memandangnya dengan tatapan penuh tanda tanya.
“Apa ini?” tanya Alvano, mengangkat amplop itu dengan alis terangkat.
“Buka aja nanti, kalau kamu udah pulang,” jawab Aira, berharap suaranya terdengar normal. Ia tak berani menjelaskan isi amplop itu sekarang. “Itu… cuma sesuatu yang pengen aku kasih ke kamu.”
Alvano tersenyum kecil, memasukkan amplop itu ke saku kemejanya. “Oke, aku buka nanti.”
Malam itu, Aira tidak bisa fokus lagi. Setiap detik yang berlalu terasa begitu lambat dan penuh ketidakpastian. Ia terus memandangi Alvano dari kejauhan, menghafal setiap detailnya, berharap malam ini tak akan segera berakhir.
Ketika acara selesai dan semua orang mulai pulang, Aira berjalan keluar aula dengan langkah gontai. Ia tak berani bertanya apakah Alvano sudah membaca suratnya atau belum. Isi surat itu adalah seluruh perasaannya yang selama ini terpendam—kata-kata yang tak pernah ia ucapkan langsung. Ia tahu bahwa keputusannya ini mungkin akan mengubah segalanya, namun ia tak ingin menyesal hanya karena tak pernah mencoba.
Malam itu, Aira menunggu balasan dari Alvano. Ponselnya tergeletak di samping bantal, layar tetap menyala, menampilkan chat terakhir mereka tanpa balasan. Hanya pesan singkat dari Aira yang tertulis di sana: “Jangan lupa baca, ya. Selamat malam, Al.”
Namun, hingga larut malam, tak ada satu pun pesan yang masuk. Setiap detik yang berlalu hanya semakin memperberat hatinya, dan akhirnya, Aira tertidur dalam kecemasan yang menggantung.
Keesokan paginya, Aira datang ke sekolah dengan hati yang tidak tenang. Seluruh harapannya menggantung pada hari ini, berharap ia akan mendapatkan jawaban, entah itu baik atau buruk.
Namun, ketika ia melihat Alvano di lapangan basket bersama teman-temannya, hatinya jatuh begitu saja. Alvano tampak seperti biasa, tertawa dan bercanda, seolah tak ada yang berubah. Aira mencoba menyembunyikan rasa kecewanya, meski dalam hati ia bertanya-tanya: apakah ia benar-benar telah membaca surat itu?
Ketika bel istirahat berbunyi, Aira beranikan diri mendekati Alvano yang sedang minum di pinggir lapangan.
“Al, kamu udah baca suratnya, kan?” tanyanya dengan suara gemetar, berusaha terdengar santai.
Alvano menatapnya, sedikit terkejut, namun kemudian tersenyum tipis. “Oh, maaf, Ra. Aku belum sempet baca, kemarin aku ketiduran. Tapi aku janji aku bakal baca malam ini, ya.”
Aira mengangguk dengan senyum yang dipaksakan. Di dalam hati, ia tahu ini bukanlah jawaban yang ia harapkan, namun ia tak ingin memaksa. Sore itu, ia pulang dengan hati yang lelah, menahan semua pertanyaan yang hanya bisa ia pendam sendiri.
Malam itu, Aira kembali menunggu. Ponselnya tetap di samping bantal, seperti malam sebelumnya. Ia berharap, malam ini akan ada balasan, sebuah jawaban yang bisa memberinya kepastian—apakah perasaannya akan dibalas atau berakhir dengan luka.
Namun sekali lagi, pesan itu tak pernah datang.
Pesan yang Tak Terucap
Pagi berikutnya, Aira memulai hari dengan langkah yang terasa semakin berat. Seluruh minggu itu, ia menunggu dalam ketidakpastian yang menyiksanya perlahan-lahan. Setiap pagi ia berharap akan melihat Alvano menunggunya di depan kelas, mengucapkan kata-kata yang bisa menenangkan hatinya. Tapi Alvano tetap datang seperti biasa—tersenyum, menyapa, dan bertanya tentang hal-hal kecil tanpa menyinggung soal surat.
Hingga suatu hari di kantin, ketika Aira sedang duduk sendirian di meja belakang, Alvano datang membawa nampan makan siangnya. Tanpa ragu, ia duduk di samping Aira dan langsung tersenyum lebar. Senyumnya selalu memiliki cara tersendiri untuk menghapus lelah di hati Aira, meskipun tak sepenuhnya.
“Aku udah baca surat kamu, Ra,” ucapnya tiba-tiba, pelan, tanpa menatap langsung ke arah Aira.
Dada Aira terasa begitu sesak mendengar kata-kata itu. Ia berusaha meredam debar jantungnya yang berdegup tak karuan. Perasaannya bercampur aduk antara lega dan takut, berusaha menebak-nebak apa yang akan Alvano katakan selanjutnya.
“Terima kasih,” lanjut Alvano sambil menatap meja di depannya. “Aku beneran tersentuh, Ra… Kamu orang yang luar biasa.”
Aira menahan napas, menunggu kelanjutan kalimat itu. Namun, Alvano hanya terdiam, tampak berpikir keras. Ia meneguk minumannya dengan perlahan, seolah memberi jeda pada suasana yang semakin tak menentu. Aira merasakan ketegangan yang membuat setiap detik terasa begitu panjang.
“Tapi aku…” Alvano menggantungkan kalimatnya, kemudian menatap Aira dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Ra, aku… aku enggak mau kamu terluka karena aku. Kamu ngerti kan maksudku?”
Aira mencoba tersenyum, meski hatinya remuk. Kata-kata Alvano terdengar lembut, penuh perhatian, namun sekaligus membuatnya semakin menyadari bahwa ia hanya bisa menjadi seseorang yang berharga di hati Alvano—sebagai sahabat, bukan lebih.
“Aku ngerti, Al. Aku… aku enggak pernah berharap lebih, kok.” Suaranya terdengar bergetar, dan ia segera meraih gelas minumannya untuk menyembunyikan emosi yang hampir meluap.
Alvano mengangguk pelan, tampak lega namun juga sedikit sedih. “Kamu tahu kan, kamu teman terbaikku, Ra. Aku enggak mau kehilangan kamu.”
Kalimat itu menghujam hati Aira seperti pisau tajam. Baginya, menjadi teman terbaik mungkin adalah pujian, namun sekaligus kutukan yang harus ia terima tanpa bisa menolak. Dalam diam, ia menguatkan diri untuk tersenyum lagi, berusaha menerima kenyataan yang baru saja terungkap.
Seminggu berlalu sejak percakapan itu, dan Aira mulai terbiasa dengan luka yang ia sembunyikan di balik senyuman. Namun, ia tahu bahwa perasaannya tak akan hilang begitu saja. Meski Alvano tak pernah mengucapkan kata cinta, perhatian dan kebaikan yang ia berikan membuat Aira tetap terikat, tak bisa melepaskan dirinya dari rasa yang semakin menyesakkan.
Suatu malam, Aira duduk di tepi ranjangnya, memandangi foto-foto yang ia ambil bersama Alvano di ponselnya. Dalam setiap foto, senyum mereka tampak bahagia, seolah-olah tidak ada satu pun beban di hati. Hanya saja, bagi Aira, setiap senyuman itu menyimpan rasa yang tak akan pernah ia ungkapkan lagi.
“Aira…,” suara pelan terdengar dari seberang pintu kamarnya. Ibunya, yang biasanya jarang masuk ke kamar tanpa izin, malam itu tampak berdiri di depan pintu dengan raut wajah prihatin.
“Ya, Bu?” Aira buru-buru menyeka air matanya, mencoba bersikap biasa saja.
Sang ibu masuk, duduk di sampingnya, dan meraih tangan Aira dengan lembut. “Kamu lagi kenapa, nak? Ibu lihat akhir-akhir ini kamu sering melamun. Ada masalah di sekolah?”
Aira tersenyum kecil, berusaha menutupi kegelisahannya. “Enggak, Bu. Aku cuma lagi capek aja. Banyak tugas di sekolah.”
Namun, tatapan ibunya yang lembut seolah mampu melihat jauh ke dalam hatinya. Ia mengelus rambut Aira dengan penuh kasih sayang, lalu berkata, “Ibu tahu, nak, kadang perasaan kita ke seseorang enggak selalu harus terucap. Tapi percayalah, waktu akan membantu kamu untuk mengerti apa yang terbaik.”
Kalimat itu membuat hati Aira sedikit tenang, meskipun luka di dalam hatinya belum benar-benar sembuh. Setelah ibunya keluar dari kamar, Aira berbaring di tempat tidur dan menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Kata-kata ibunya terngiang di benaknya, membawa sedikit penghiburan di tengah kegelapan hatinya.
Keesokan harinya, Aira datang ke sekolah dengan hati yang sedikit lebih kuat. Meski sulit, ia bertekad untuk tetap menjaga hubungannya dengan Alvano, meski hanya sebagai sahabat. Namun, hari itu, saat sedang berjalan menuju kelas, ia melihat Alvano berdiri bersama seorang gadis di dekat pintu kelas. Gadis itu tampak tersenyum malu-malu, sedangkan Alvano terlihat tertawa dan memasukkan tangan ke saku dengan ekspresi yang tidak biasa ia tunjukkan.
Aira berusaha untuk tetap tenang dan melangkah masuk ke kelas tanpa mempedulikan mereka. Tapi di dalam hati, rasa sakitnya kembali membara. Pertemuan singkat dengan gadis itu membuatnya semakin sadar bahwa posisinya di sisi Alvano mungkin tak akan pernah berubah.
Sepanjang jam pelajaran, Aira tidak bisa fokus. Pikirannya terus dipenuhi oleh bayangan Alvano dan gadis tadi. Berbagai pertanyaan dan dugaan muncul di benaknya. Siapa gadis itu? Apakah Alvano tertarik padanya? Ia mencoba untuk tidak memikirkannya, namun bayangan itu tak henti-hentinya mengganggunya.
Saat pulang sekolah, Aira berjalan menuju halte sendirian. Biasanya, Alvano selalu menemaninya, namun hari itu ia tak melihatnya. Ia duduk di halte dengan perasaan hampa, memandang jalanan yang mulai dipenuhi kendaraan. Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Alvano masuk.
“Maaf, Ra. Aku gak bisa bareng pulang hari ini. Ada yang perlu aku bicarain sama temen.”
Aira menarik napas dalam-dalam, lalu mengetik balasan yang singkat. “Gak apa-apa, Al. Hati-hati ya.”
Di rumah, Aira mencoba mengalihkan pikirannya dengan belajar, namun tetap saja tak ada yang masuk ke otaknya. Ia akhirnya menyerah dan menutup bukunya, membiarkan dirinya larut dalam perasaan yang terus menghantui.
Malam itu, Aira duduk di meja belajarnya, menulis diari seperti biasanya. Namun, kali ini, kalimat yang ia tuliskan berbeda.
“Alvano, jika suatu hari nanti kamu menemukan seseorang yang bisa buat kamu bahagia, aku akan tetap ada di sini, melihat dari kejauhan. Kamu mungkin nggak akan pernah tahu seberapa besar kamu berarti untukku, tapi aku akan terus menyimpan rasa ini, meski harus menyimpannya sendirian.”
Setelah menutup diari itu, Aira merasa sedikit lebih lega, meski ia tahu luka itu masih ada, dan mungkin akan tetap ada untuk waktu yang lama.
Ia sadar, mencintai Alvano bukanlah hal yang mudah. Namun, ia juga sadar, mungkin suatu hari nanti, ia akan menemukan cara untuk berdamai dengan rasa itu—meski harus menunggu dalam kesendirian dan keheningan yang hanya ia sendiri yang tahu.
Melepas yang Tak Tergenggam
Hari-hari berikutnya, Aira mencoba berdamai dengan perasaannya. Ia tahu mencintai Alvano bukanlah pilihan yang bisa ia tentukan untuk berhenti atau lanjut. Namun, satu hal yang ia yakini—ia harus menemukan cara untuk merelakannya. Di antara canda tawa yang mereka bagi, Aira mulai belajar untuk mencintai tanpa harap, untuk merasakan bahagia dalam melihat senyum Alvano, meski bukan untuknya.
Pada suatu pagi yang cerah, Aira berjalan menuju perpustakaan sendirian. Namun, langkahnya terhenti ketika ia melihat Alvano dan gadis yang sama seperti kemarin, sedang duduk di bawah pohon besar di halaman sekolah. Gadis itu tertawa kecil, dan Alvano menatapnya dengan pandangan hangat yang pernah ia berikan pada Aira.
Sebuah rasa yang begitu dalam menghantam hatinya, tapi Aira berusaha keras untuk menenangkan dirinya. Ia menatap mereka dalam diam, tanpa sepotong kata pun yang terucap. Ketika gadis itu menyandarkan kepalanya di bahu Alvano, Aira merasa sesuatu di dalam dirinya patah, terputus tanpa bisa tersambung kembali.
Hari itu, Aira duduk di dalam perpustakaan, menatap kosong ke luar jendela. Bayangan Alvano dan gadis itu terus terulang di benaknya. Hingga akhirnya, Aira sadar, sudah saatnya ia benar-benar melepaskan.
Malamnya, Aira memutuskan untuk menulis satu surat terakhir. Bukan lagi surat cinta seperti yang dulu ia berikan pada Alvano, melainkan surat perpisahan yang hanya ditujukan untuk dirinya sendiri. Di atas selembar kertas putih, ia menuliskan kata-kata yang selama ini tersimpan di hatinya.
“Alvano, aku pernah jatuh cinta sama kamu, dengan cara yang mungkin kamu enggak pernah tahu. Aku pernah bermimpi kita bisa berjalan bersama, saling berbagi cerita dan kebahagiaan. Tapi, mungkin kebahagiaanku adalah melihat kamu bahagia, meskipun aku enggak ada di sisi kamu.”
Selesai menulis, Aira menutup surat itu tanpa meneteskan air mata. Ia tahu, air mata tak akan mengubah apapun. Rasa cinta ini adalah bagian dari dirinya, dan ia akan menyimpannya sebagai kenangan yang indah. Setelah menatap kertas itu untuk terakhir kalinya, ia melipatnya dan menyimpannya di laci mejanya.
Keesokan harinya, Aira pergi ke sekolah dengan perasaan yang sedikit lebih ringan. Pagi itu, ia bertemu Alvano di depan kelas, seperti biasa. Alvano tersenyum padanya dan menyapanya dengan ceria, tak ada yang berubah dari sikapnya. Namun, di dalam hati Aira, segalanya sudah berbeda.
Di sela obrolan mereka, Aira menyadari bahwa mungkin, cinta yang tulus adalah yang tak memaksa untuk dimiliki. Ia belajar bahwa ia bisa tetap mencintai Alvano tanpa harus memiliki dirinya. Cinta, ia sadari, adalah soal keikhlasan, bukan soal kepemilikan.
Ketika bel pulang berbunyi, Aira melihat Alvano melangkah ke arah gadis itu. Dengan senyum yang tulus, ia berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan mereka dalam kebersamaan. Hatinya masih terasa perih, namun kali ini, ia merasa lebih kuat untuk menerima kenyataan.
Aira menyadari, mungkin ia belum siap melupakan sepenuhnya, tetapi setidaknya ia sudah siap melepaskan. Melepaskan harapan yang pernah ia bangun sendiri, dan memaafkan dirinya karena mencintai seseorang yang tak bisa ia miliki.
Malam itu, Aira berdiri di depan jendela kamarnya, menatap bintang-bintang yang berkelip di langit. Ia tersenyum kecil, menyadari bahwa mungkin luka ini akan tetap ada di hatinya untuk waktu yang lama, tapi bukan berarti ia harus terus merasa sakit. Ia bisa menyimpan kenangan itu tanpa kehilangan dirinya sendiri.
Di dalam hatinya, Aira mengucapkan kata-kata perpisahan yang tak pernah ia sampaikan pada Alvano. Kata-kata yang menjadi penutup dari sebuah kisah yang hanya ia yang tahu akhirnya.
“Selamat tinggal, Alvano. Terima kasih karena pernah menjadi seseorang yang aku cintai dengan sepenuh hati, meski hanya dalam diam.”
Dengan satu helaan napas panjang, Aira menutup matanya, membiarkan angin malam menyapu sisa-sisa kenangan yang tertinggal. Sebuah cerita cinta yang berakhir tanpa kata, namun menyisakan kekuatan untuk melanjutkan hidupnya. Aira tahu, ia telah menemukan akhir yang ia butuhkan—bukan pada Alvano, tetapi pada dirinya sendiri.
Jadi, itulah kisah Aira dan Alvano—sebuah perjalanan cinta yang mungkin bikin kamu pengen nangis, tapi juga bikin kamu sadar bahwa kadang kita harus melepaskan yang nggak bisa kita miliki. Cinta itu indah, meski sering kali menyakitkan.
Jangan lupa, meski hati terasa hancur, selalu ada harapan baru yang menunggu di depan sana. Siapa tahu, di balik kesedihan ini, ada kebahagiaan yang siap menyambutmu. Jadi, tetap semangat, ya!