Daftar Isi
Siapa bilang cinta pertama itu selalu manis? Yuk, intip kisah Kian dan Lyra yang penuh tawa, pertengkaran lucu, dan momen-momen menggemaskan di SMP!
Dari berdebat soal tugas seni sampai mengukir kenangan yang bikin baper, perjalanan cinta mereka dijamin bikin kamu senyum-senyum sendiri. Siap-siap terbawa suasana, karena cinta pertama mereka benar-benar unik dan pasti menghangatkan hati!
Cinta Pertama di SMP
Pertaruhan di Kelas Seni
Hari itu, matahari bersinar cerah, mengalirkan cahaya lembut ke dalam kelas seni yang berwarna kuning cerah. Suasana kelas dipenuhi dengan suara tawa dan suara cat yang beradu di kanvas. Di sudut kelas, Kian duduk dengan gaya yang santai, mengacaukan rambut keritingnya yang sudah acak-acakan. Di sebelahnya, Lyra sibuk menyiapkan alat lukisnya, wajahnya menampilkan ekspresi serius, seolah dia sedang menyiapkan diri untuk perang.
“Ayo, Lyra! Kali ini kamu pasti kalah!” seru Kian, sambil melirik lukisan yang sedang dikerjakan Lyra. Dia berusaha menyembunyikan senyum lebar di wajahnya. “Jangan-jangan lukisanmu itu cuma gambar bunga yang mati lagi.”
Lyra mengangkat alisnya, wajahnya berubah serius. “Bunga yang mati jauh lebih indah daripada lukisanmu yang mirip monster, Kian!” jawabnya, menggerakkan kuasnya dengan semangat. “Kamu tahu, ada seninya menggambar sesuatu yang hidup, bukan hanya gambaran kucing jatuh dari pohon.”
Mendengar tantangan itu, Kian melipat tangannya, pura-pura berpikir. “Hmm, mungkin aku harus menggambar kucing terbang agar lebih menantang, ya? Setidaknya kucingku bisa terbang, sedangkan bunga kamu itu… ya, tetap di tanah!”
Kelas yang penuh warna itu mulai riuh dengan tawa teman-teman mereka. Mereka semua sudah terbiasa melihat pertikaian seru antara Kian dan Lyra yang tak pernah surut. Bagaikan pertunjukan komedi yang selalu dinanti, pertarungan mereka selalu menarik perhatian. Namun, di balik semua lelucon dan perdebatan, ada ketegangan yang sulit dijelaskan—suatu rasa yang mereka berdua tidak mau akui.
“Gimana kalau kita adakan pertaruhan?” Kian tiba-tiba mengusulkan, matanya bersinar dengan antusiasme. “Siapa pun yang lukisannya kalah harus mengerjakan tugas rumah untuk yang menang selama seminggu penuh!”
Lyra terdiam sejenak, memikirkan tawaran itu. “Kamu yakin? Kalau kamu kalah, berarti aku bisa menyuruhmu melakukan apapun,” ujarnya sambil tersenyum nakal, memberi tantangan kembali.
“Deal! Tapi kalau aku yang menang, kamu harus memberikan perawatan ekstra untuk lukisan kucingku yang terbang!” jawab Kian dengan nada menggoda, berusaha memikat Lyra untuk menerima tantangan itu.
Akhirnya, dengan sorakan teman-teman sekelas yang bersemangat, Kian dan Lyra sepakat untuk bertarung dalam lukisan. Kian dengan percaya diri mulai menuangkan semua imajinasinya ke dalam kanvasnya. Dia melukis kucing terbang dengan sayap besar berwarna pelangi, berusaha keras untuk tidak tertawa saat melihat bagaimana gambarnya mulai terlihat konyol.
Di sisi lain, Lyra dengan fokus dan ketelitian menyiapkan palet warna, memilih dengan cermat warna yang akan ia gunakan. Wajahnya tampak serius, seolah dia mengerjakan proyek yang sangat penting. Saat dia mulai melukis pemandangan taman yang dipenuhi bunga-bunga berwarna-warni, Kian tidak bisa menahan tawa.
“Lyra, kenapa kamu melukis taman? Ini kelas seni, bukan taman kanak-kanak!” Kian menggoda, melirik ke arah kanvasnya yang mulai mengering.
“Apa salahnya melukis taman? Setidaknya lukisanku terlihat cantik!” jawab Lyra, menyemprotkan cat hijau cerah di kanvasnya. “Kalau kamu tidak mau dibully, buatlah lukisan yang lebih baik, Kian!”
Kian tidak mau kalah. “Baiklah! Nanti kita lihat siapa yang akan menjadi raja atau ratu seni di kelas ini!” dia menjawab dengan semangat, membuat gurauan untuk menghibur teman-teman sekelas yang menonton. Suasana semakin ramai dengan canda tawa saat mereka saling mengejek satu sama lain.
Setelah beberapa jam berlalu, akhirnya saat yang ditunggu-tunggu pun tiba. Kian dan Lyra diminta untuk memperlihatkan hasil lukisan mereka di depan kelas. Kian melangkah ke depan dengan penuh percaya diri, memperlihatkan lukisannya yang nyeleneh. “Ini adalah ‘Kucing Terbang di Atas Pelangi!’” serunya, tidak bisa menahan tawanya sendiri saat melihat ekspresi bingung teman-temannya.
Teman-teman sekelas mulai tertawa terbahak-bahak, beberapa bahkan tidak bisa menahan air mata saking lucunya lukisan itu. Namun, Kian merasa bangga—setidaknya dia bisa menghibur teman-temannya, meski hasilnya tidak sebaik yang dia harapkan.
Kini giliran Lyra. Dengan tenang, dia mempersembahkan lukisannya yang indah, pemandangan taman yang hidup dengan warna cerah. Semua teman-teman sekelas terpesona, tak henti-hentinya mengagumi betapa cantiknya karya Lyra. “Ini adalah ‘Taman Impianku,’” ucapnya bangga, sambil tersenyum lebar.
Suara riuh mulai menggema ketika teman-teman mereka melakukan pemungutan suara. Kian merasa berdebar-debar menunggu hasilnya. Dalam hati, dia berharap dia bisa mengalahkan Lyra, meskipun dia tahu lukisannya tampak konyol.
Akhirnya, saat suara ditabulasi, guru kelas mereka mengumumkan hasilnya. “Dengan suara terbanyak, lukisan Lyra adalah yang terbaik!” serunya sambil tersenyum.
Kian menghela napas, sedikit kecewa, tetapi lebih banyak merasa bangga terhadap Lyra. “Selamat, kamu menang. Aku akan jadi pembantumu selama seminggu,” ujarnya, menjulurkan tangan dengan senyum yang tulus.
Lyra, yang tidak dapat menahan kegembiraannya, mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Kian. “Aku tidak akan memperlakukanmu dengan terlalu kejam, Kian. Tapi ingat, aku bisa sangat menuntut!” katanya sambil tertawa, wajahnya cerah seolah kemenangan itu adalah segalanya.
Bel berbunyi, menandakan akhir pelajaran, tetapi Kian dan Lyra saling tatap. Mereka merasakan ikatan yang aneh; meski mereka bertengkar setiap hari, ada rasa persahabatan yang semakin mendalam. Saat mereka berjalan keluar kelas, Kian tidak bisa menahan senyum. Hari itu, mereka bukan hanya sekadar musuh, tetapi teman yang lebih dekat dari sebelumnya. Namun, apakah pertempuran antara mereka akan berlanjut? Itu semua masih menunggu untuk terungkap di bab selanjutnya.
Kekalahan yang Manis
Hari-hari setelah pertaruhan di kelas seni itu terasa berbeda. Kian dan Lyra, meskipun tidak mengubah kebiasaan bertengkar mereka, mulai merasakan kehadiran satu sama lain dengan cara yang baru. Kian merasa bahwa setiap kali mereka bertemu di koridor sekolah, ada sedikit rasa canggung yang membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Sementara itu, Lyra berusaha menutupi senyum setiap kali mereka beradu argumen, seolah-olah pertikaian mereka itu adalah bagian dari permainan yang lebih besar.
Suatu pagi, ketika matahari baru saja muncul di ufuk timur, Kian sedang duduk di bangkunya saat dia melihat Lyra mendekati meja. Di tangannya terdapat sekotak kue kecil, aroma manisnya menguar memenuhi ruangan. “Hei, Kian! Ini untukmu,” katanya, sambil menyerahkan kotak itu dengan ekspresi wajah yang misterius.
Kian mengernyit, bingung. “Kue? Dari mana ini?” tanyanya sambil membuka kotak tersebut. Dia menemukan sepotong kue cokelat yang tampak sangat menggoda.
“Dari ibuku. Dia bilang kue ini bikin bahagia, jadi aku pikir aku akan memberikannya padamu sebagai pengganti mengerjakan tugas rumah selama seminggu,” jawab Lyra, matanya berkilau nakal. “Lagipula, kamu sudah kalah, kan?”
Kian tertawa, terharu sekaligus bingung. “Kamu tidak perlu bersikap baik hanya karena aku kalah. Ini aneh, Lyra,” ujarnya, tetapi dia tidak bisa menahan senyumnya saat mengangkat potongan kue dan mengambil satu gigitan. “Hmm, ini enak!”
“Ya, tahu kan, aku selalu punya cara untuk membuatmu terkesan,” balas Lyra dengan percaya diri, membuat Kian merasa sedikit terpesona. Dia tidak bisa mengabaikan betapa lucunya Lyra saat dia berusaha tampil keren, padahal mereka berada di kelas yang sama seperti biasanya.
Hari-hari berlalu, dan pertemanan mereka semakin dekat. Lyra sering mengajak Kian untuk membantu mengerjakan tugas sekolah, dan tanpa sadar, mereka menghabiskan waktu bersama lebih banyak daripada sebelumnya. Kian yang biasanya cuek, kini mulai tertawa mendengarkan candaan Lyra, dan Lyra merasa nyaman saat berbagi cerita tentang kehidupan sehari-harinya.
Suatu sore, setelah jam sekolah berakhir, mereka duduk di taman sekolah, berbagi makanan ringan dan berbincang-bincang. Di bawah pohon besar yang rindang, Kian menatap Lyra yang sedang melahap camilan dengan lahap. “Kamu tidak akan berhenti makan, ya?” tanyanya sambil menggoda.
Lyra mengangkat wajahnya, menatap Kian dengan mata berbinar. “Kamu tahu, makanan adalah teman terbaik. Lebih baik dari berdebat denganmu!” ujarnya sambil tertawa, mengunyah sisa kue cokelat. “Ngomong-ngomong, kapan kamu mau melukis lagi? Mungkin kali ini kita bisa melukis bersama!”
Kian merasakan getaran aneh di dalam dadanya. “Melukis bersama? Itu ide yang bagus, tapi… aku tidak ingin kamu merasa terintimidasi jika lukisanku jauh lebih baik dari milikmu!” ujarnya dengan nada menantang, berusaha mempertahankan semangat kompetitif mereka.
“Bisa saja kamu mimpi,” jawab Lyra, mencondongkan kepala ke depan, membuat Kian tertawa. “Ayo, kita rencanakan saja. Nanti kita buat lukisan kolaborasi! Keren, kan?”
Mereka sepakat untuk melukis di akhir pekan, dan Kian tidak sabar untuk melihat hasilnya. Ketika hari yang ditunggu tiba, mereka pergi ke studio seni di dekat sekolah, tempat yang penuh dengan cat, kanvas, dan alat lukis lainnya. Ruangan itu dihiasi dengan lukisan-lukisan yang mengagumkan, menginspirasi Kian dan Lyra untuk berkreasi.
Ketika mereka mulai melukis, suasana menjadi penuh dengan keceriaan. Mereka saling membantu memilih warna, tertawa saat kuas Kian terlalu penuh cat dan hampir membuatnya terkena wajahnya sendiri. “Kamu ini, Kian! Kenapa selalu canggung begini?” Lyra menertawakan Kian yang berusaha membersihkan wajahnya dengan tisu, tetapi hanya menambah kekacauan.
“Jangan salahkan aku! Kamu yang memilih warna-warna yang bikin bingung,” jawab Kian, mencoba kembali fokus pada lukisannya yang mulai berbentuk. Saat mereka mulai membaurkan warna, mereka menemukan irama yang unik—lukisan yang secara tak terduga mengungkapkan sisi kreatif mereka yang belum pernah muncul sebelumnya.
Setelah beberapa jam, ketika lukisan mereka hampir selesai, Lyra menatap karya mereka dengan puas. “Kita benar-benar bisa melakukan ini, Kian! Ini keren banget!” serunya, bersemangat melihat kombinasi warna yang mereka buat.
“Ya, aku tidak menyangka kita bisa bekerja sama dengan baik seperti ini,” jawab Kian, wajahnya bersinar dengan kebanggaan. “Mungkin kita bisa jadi duo seniman terkenal, siapa tahu?”
Lyra tersenyum lebar. “Tapi jangan lupakan satu hal, ya. Aku masih juara di kelas seni!” dia mengingatkan, membuat Kian terkekeh.
Hari itu di studio seni tidak hanya menghasilkan lukisan yang indah, tetapi juga memperkuat ikatan mereka. Saat mereka berkemas untuk pulang, Kian merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan yang terjalin. Mungkin, hanya mungkin, rasa suka itu mulai tumbuh di antara mereka.
Di malam hari, ketika Kian pulang, dia merenungkan hari itu. Dia merasa bersemangat dengan semua kenangan yang mereka ciptakan. Rasa canggung dan rasa suka itu tidak bisa diabaikan lagi. Apakah ini yang disebut cinta pertama? Dia meraba-raba perasaannya, berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi di hatinya.
Malam itu, saat dia terlelap, satu hal yang pasti: perjalanan mereka berdua baru saja dimulai, dan Kian tidak sabar untuk melihat ke mana arah ini akan membawa mereka.
Perayaan yang Tak Terduga
Hari-hari di sekolah semakin ceria bagi Kian dan Lyra. Setiap pertemuan di kelas diwarnai dengan tawa dan canda, meskipun mereka tetap tak pernah melewatkan kesempatan untuk saling menggoda. Terlebih saat mendekati perayaan ulang tahun Lyra yang tinggal beberapa hari lagi, suasana semakin ramai.
Kian tidak bisa menahan diri untuk memikirkan hadiah yang tepat untuk Lyra. Dia ingin memberikan sesuatu yang spesial, sesuatu yang menunjukkan bahwa dia menghargai semua momen menyenangkan yang mereka lalui. Namun, dia juga tahu, apapun yang dia pilih harus lebih dari sekadar kado biasa. “Apa ya yang bisa bikin Lyra senang?” gumamnya sambil berjalan di koridor sekolah, mengamati sekeliling.
Teman-teman sekelasnya menyadari kegundahan Kian dan tidak segan-segan untuk memberikan saran. “Coba kasih dia sesuatu yang unik, Kian! Dia pasti suka yang berhubungan dengan seni,” ucap Ria, teman sekelas mereka yang selalu bersemangat. “Atau mungkin lukisan kalian berdua? Itu bisa jadi kenang-kenangan yang manis!”
Kian mengangguk, terinspirasi oleh ide itu. “Iya, itu bagus! Lukisan kita berdua… tapi lebih dikemas dengan baik,” ujarnya penuh semangat. Dia pun segera berencana untuk menciptakan sesuatu yang lebih spesial.
Ketika hari ulang tahun Lyra tiba, Kian sudah menyiapkan segalanya. Dia datang lebih awal ke sekolah dengan membawa kanvas dan cat, lalu pergi ke studio seni untuk menyelesaikan lukisan kolaborasi mereka yang sudah mereka buat sebelumnya. Dengan sepenuh hati, dia menambahkan detail-detail kecil yang membuat lukisan itu terlihat lebih hidup, sambil membayangkan senyum Lyra ketika melihatnya.
Saat bel sekolah berbunyi, Kian berdiri di depan kelas sambil menunggu kedatangan Lyra. Beberapa teman sekelasnya bersiap-siap untuk merayakan. Mereka mengumpulkan kue dan snack di sudut kelas, siap untuk memberikan kejutan.
Lyra datang tepat pada waktunya, dengan ekspresi terkejut saat melihat teman-temannya berkumpul. “Apa ini? Kenapa semua orang ada di sini?” tanyanya, sedikit bingung namun terlihat senang.
“Selamat ulang tahun, Lyra!” teriak mereka serentak, membuat Lyra tersenyum lebar. Kian melangkah maju, hatinya berdebar. “Ini untukmu,” katanya sambil mengulurkan lukisan yang sudah selesai.
Lyra membuka lukisan itu dan menghela napas. “Kian, ini… ini luar biasa! Kalian benar-benar melakukannya?” Matanya berbinar, dan dia tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Lukisan itu menunjukkan mereka berdua, tersenyum di bawah pohon besar yang mereka cat beberapa waktu lalu, dengan warna-warna cerah yang mencerminkan semangat mereka.
“Ya, aku hanya ingin memberi sesuatu yang bisa kamu ingat,” kata Kian, tersenyum malu. “Jadi… bagaimana menurutmu?”
Lyra tampak terharu, “Ini adalah hadiah terbaik yang pernah aku dapatkan! Terima kasih, Kian!” Dia berlari dan memeluk Kian erat, membuat jantungnya berdebar lebih cepat. Kian tidak menyangka akan merasakan hangatnya pelukan itu—seolah semua keraguan dan kecemasan menghilang seketika.
Perayaan berlanjut dengan kue ulang tahun, tawa, dan candaan. Kian merasa sangat senang melihat Lyra bahagia, dan setiap kali dia mencuri pandang ke arah Lyra, dia merasakan getaran yang tidak bisa dijelaskan. Ketika semua teman-teman mereka menyanyikan lagu selamat ulang tahun, Lyra tampak berseri-seri.
Setelah selesai, mereka semua berkumpul di sekitar meja, menikmati kue dan makanan ringan. “Eh, Kian, kamu harus melukis lebih banyak lagi! Kamu bisa jadi seniman terkenal!” celetuk salah satu temannya, membuat semua orang tertawa.
“Dia kan hanya pelukis amateur, susah mengalahkan aku!” Lyra menimpali dengan nada menggoda, lalu menyenggol bahu Kian. “Tapi serius, Kian. Terima kasih untuk semua ini. Kamu benar-benar berusaha keras, ya?”
Kian tertawa dan menggelengkan kepala, berusaha merendah. “Ah, itu cuma sedikit usaha. Kamu yang bikin semuanya jadi menyenangkan,” balasnya, merasa semakin nyaman dengan Lyra di sampingnya.
Setelah perayaan berakhir, saat semua orang pergi, Kian dan Lyra masih tinggal di kelas. Kian melihat Lyra dengan serius. “Tapi aku serius, Lyra. Aku merasa kita berdua bisa melakukan hal-hal hebat bersama. Mungkin kita bisa terus melukis, atau… lebih banyak lagi?”
Lyra tersenyum, tatapannya menatap Kian dalam-dalam. “Aku juga merasakannya, Kian. Kita punya chemistry yang keren. Apakah kamu ingin kita jadi… lebih dari sekadar teman?”
Kian merasa jantungnya berdebar. “Maksudmu… kita bisa menjadi sepasang seniman?” tanyanya, berusaha bercanda, tetapi wajahnya menunjukkan harapan yang tulus.
Lyra menggelengkan kepala, senyum lebar menghiasi wajahnya. “Lebih dari itu, Kian. Kita bisa jadi pasangan. Apa kamu mau?”
Kian merasakan suasana di sekelilingnya berubah menjadi lebih cerah, lebih ceria. “Iya, aku mau,” jawabnya, tidak sabar untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
Dengan langkah ringan, mereka meninggalkan kelas bersama, berjanji untuk terus menghabiskan waktu bersama dan menjelajahi dunia yang penuh warna—dunia yang kini terasa lebih menyenangkan dan penuh kemungkinan. Kian tahu, perjalanan mereka baru saja dimulai, dan setiap detik bersamanya terasa semakin berharga.
Mengukir Kenangan
Hari-hari setelah ulang tahun Lyra berlalu dengan cepat, dan hubungan mereka semakin erat. Setiap momen di sekolah diisi dengan tawa, menggoda, dan kebersamaan yang manis. Kian dan Lyra menjadi tak terpisahkan, melengkapi satu sama lain dengan cara yang tidak pernah mereka duga sebelumnya.
Dengan seniman yang tersimpan dalam diri mereka, setiap hari adalah kesempatan untuk menciptakan sesuatu yang baru. Mereka sering berkumpul di studio seni, menggambar dan melukis sambil bercanda. Kian selalu berusaha membuat Lyra tertawa, dan Lyra dengan senang hati merespons setiap leluconnya. Mereka seakan terjebak dalam dunia kecil yang hanya milik mereka.
Suatu hari, saat duduk di bangku taman sekolah, Lyra mengeluarkan cat air dari tasnya. “Kian, ayo kita lukis pemandangan ini! Aku ingin menciptakan sesuatu yang indah,” katanya sambil menunjuk ke arah taman yang dipenuhi bunga-bunga berwarna-warni. Kian mengangguk antusias. “Bagus! Kita bisa menggambarkan semua warna ini.”
Mereka mulai melukis dengan penuh semangat, tetapi tidak lama kemudian, cuaca mendadak berubah. Awan gelap menggantung di atas kepala mereka, dan hujan mulai turun. “Aduh, Kian! Kita harus cepat-cepat,” teriak Lyra, mencoba mengemas perlengkapan mereka.
Namun, hujan turun semakin deras, dan mereka berlari mencari tempat berteduh. Saat mereka menemukan sebuah gazebo di ujung taman, mereka terpaksa berdesak-desakan di dalamnya. “Ini buruk!” keluh Kian, berusaha melindungi cat air mereka agar tidak terkena air hujan.
Lyra tertawa, air hujan membasahi rambutnya yang berkilau. “Setidaknya kita bisa menikmati momen ini, kan?” Dia menatap Kian dengan tatapan ceria.
“Haha, kamu benar! Kita malah bisa melukis hujan, lho,” balas Kian, merasa lega meski tetap basah kuyup.
Saat hujan mereda, suasana menjadi tenang. Mereka duduk bersebelahan di gazebo, menikmati ketenangan setelah badai. “Kian, terima kasih ya karena selalu ada untukku. Aku merasa beruntung punya kamu,” ujar Lyra, menatap Kian dengan tulus.
Kian tersenyum, hatinya terasa hangat. “Aku yang seharusnya berterima kasih. Kamu bikin hidupku lebih berwarna. Tanpa kamu, semuanya akan terasa membosankan,” katanya sambil menyentuh bahu Lyra dengan lembut.
Lyra mengernyitkan dahi, “Bosan? Seriusan? Padahal kita kan sering berdebat.”
“Tapi itu bagian terbaiknya! Aku tidak ingin berdebat dengan siapa pun kecuali kamu,” Kian berkata dengan nada penuh keseriusan, membuat Lyra terdiam sejenak.
Akhirnya, Lyra mencubit lengan Kian, “Tapi kita berdebat karena kamu terlalu keras kepala!”
“Haha, mungkin. Tapi… kamu juga tidak kalah keras kepalanya,” Kian menjawab sambil tertawa, menyadari betapa lucunya mereka.
Tak lama, sinar matahari mulai memancar di antara awan, dan mereka melangkah keluar dari gazebo. “Ayo kita melanjutkan lukisan kita!” ajak Kian. Mereka pun kembali ke tempat asal, melanjutkan karya seni mereka dengan semangat baru.
Kian menyaksikan bagaimana Lyra mencampurkan warna dengan penuh perhatian, tangannya bergerak cepat di atas kanvas. Dia terpesona melihatnya, mengagumi dedikasi Lyra. “Kamu memang berbakat!” puji Kian dengan nada serius.
Lyra menoleh dan tersenyum, “Makasih, Kian! Tapi aku rasa kita harus melukis lebih banyak lagi bersama.”
“Setuju! Dan mungkin, kita juga bisa mengikuti lomba seni di sekolah!” usul Kian, rasa percaya diri membara dalam dirinya.
“Lomba seni? Itu ide bagus! Tapi kita harus berlatih lebih keras!” balas Lyra dengan semangat.
Hari demi hari berlalu, mereka semakin kompak. Setiap pelajaran di kelas tidak pernah lagi membosankan karena Kian dan Lyra selalu bisa menemukan cara untuk membuatnya menyenangkan. Bahkan saat guru menjelaskan materi sulit, mereka sering kali saling memberi catatan lucu untuk menghibur satu sama lain.
Mereka pun terdaftar dalam lomba seni yang akan berlangsung dua minggu lagi. Malam itu, mereka berdua berada di rumah Lyra, menyelesaikan lukisan yang akan mereka ajukan. Kian merasa berdebar saat melukis bersama Lyra. Setiap kali melihat wajahnya yang bersemangat, dia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan.
Saat lukisan mereka hampir selesai, Lyra menyentuh lengan Kian, membuatnya terhenyak. “Kian, aku ingin kita melanjutkan perjalanan ini. Mungkin, bukan hanya di seni, tapi juga di hidup kita.”
Kian menatap Lyra, merasakan sesuatu yang mendalam di hatinya. “Kita pasti akan terus bersama. Aku ingin melukis banyak kenangan bersamamu, Lyra. Semuanya akan jadi lebih indah bersamamu.”
Lyra tersenyum lebar, seolah kata-kata itu adalah harapan yang mereka berdua dambakan. “Berarti kita sudah sepakat, ya?”
“Iya, sepakat!” jawab Kian, dan untuk sesaat, dunia di sekitar mereka terasa sempurna.
Malam itu ditutup dengan tawa dan canda, merangkai kenangan manis yang akan mereka ingat selamanya. Kian tahu, meski mereka akan menghadapi berbagai tantangan di depan, bersama Lyra, semuanya akan terasa lebih ringan dan penuh warna. Dan di dalam hatinya, dia percaya, inilah cinta pertamanya—sesuatu yang takkan pernah dia lupakan.
Dan begitulah, kisah cinta pertama Kian dan Lyra berlanjut dengan berbagai warna dan tawa. Meski mereka masih sering berdebat dan saling menggoda, satu hal yang pasti: cinta mereka sudah terukir dalam setiap kenangan manis yang mereka buat.
Siapa bilang cinta pertama itu gampang? Justru, di sinilah letak keindahannya—dari pertengkaran kecil yang menggemaskan hingga momen-momen tak terlupakan yang akan selalu mereka ingat. Jadi, siap-siaplah, karena di setiap langkah mereka, cinta ini akan terus tumbuh dan mengubah segalanya menjadi lebih berwarna! Sampai jumpa dicerita seru lainnya, ya!!