Daftar Isi
Jadi, pernah nggak sih kamu merasakan getaran aneh saat pertama kali melihat seseorang? Kayak, yang lainnya hilang, dan dunia cuma berputar di sekeliling kalian berdua?
Nah, inilah kisah Jovan dan Hana, dua anak SMP yang terjebak dalam drama cinta pertama yang lucu, menggemaskan, dan pastinya bikin kamu senyum-senyum sendiri. Siap-siap ketawa bareng mereka dan merasakan manisnya cinta remaja yang penuh tawa dan tantangan!
Cinta Pandangan Pertama di SMP
Senyum Asam di Hari Pertama Sekolah
Hari pertama masuk SMP, udara pagi masih segar dengan bau rumput yang baru saja disiram. Meski begitu, Jovan memilih duduk sendirian di pojokan taman sekolah, agak jauh dari hiruk-pikuk para murid baru yang sibuk berbasa-basi dan saling mengenal. Jovan tidak begitu tertarik. Matanya malah tertuju pada pohon besar di pinggir lapangan, sembari sesekali memainkan tali sepatu yang mulai usang. Namun, dari ujung mata, ada sesuatu yang mencuri perhatian.
Dari kejauhan, sosok seorang gadis mendekat dengan bando berbentuk kupu-kupu merah muda yang menyala di antara seragam putih abu-abu. Di tangannya, ia memegang cup es krim yang tampaknya sudah setengah mencair. Gadis itu tersenyum lebar, tertawa pelan sembari mengobrol dengan temannya di sebelah. Satu hal yang mencolok, ia punya poni rapi yang tebal. Entah kenapa, itu membuat Jovan teringat iklan sampo di TV.
“Jovan,” panggil suara dari belakang yang langsung membuatnya tersentak. Itu Yugo, temannya sejak TK. “Ngeliatin siapa sih? Naksir hari pertama?”
Jovan cepat-cepat menoleh sambil berdeham canggung. “Nggak, cuma lihat-lihat aja. Siapa tahu dapet es krim gratis.”
Yugo mengerutkan kening, tapi langsung tersenyum iseng sambil melirik ke arah gadis berponi yang menjadi fokus perhatian Jovan. “Alah, alasan. Yaudah, tuh, dia mau ke sini.”
Mata Jovan membelalak, hampir saja ia menelan ludahnya sendiri. Gadis itu memang berjalan ke arah mereka! Semakin dekat, Jovan bisa melihat tawa kecil yang masih tersisa di wajahnya. Tanpa pikir panjang, ia pura-pura menunduk dan sibuk merapikan tali sepatu.
“Hai!” suara gadis itu terdengar ceria. Tanpa basa-basi, ia berhenti tepat di depan Jovan, lalu menatapnya seolah sudah kenal lama. “Kamu Jovan, kan?”
Deg! Jovan kaget bukan main. Bagaimana bisa gadis ini tahu namanya? Ia mencoba memasang ekspresi santai, tapi rasanya seluruh otot wajahnya malah jadi kaku. “E-eh, iya. Aku Jovan… Kamu siapa?”
Gadis itu tersenyum lebar, kali ini sambil mengacungkan jempol. “Hana! Aku Hana. Tadi aku nebak aja namamu Jovan, eh ternyata bener!” katanya sambil tertawa puas, seolah baru memenangkan sebuah taruhan. Di sebelah, Yugo nyaris tak bisa menahan tawanya.
Jovan mencoba membalas senyum, tapi yang keluar lebih mirip cengiran kaku. “Oh, ya… emangnya kamu nebak asal-asalan gitu?”
“Ya kan aku jago,” sahut Hana ringan, lalu menunjuk es krimnya. “Nih, buat kamu aja. Aku kira rasanya vanilla, tapi ternyata asam banget. Gak suka.”
Jovan tertegun, lalu tanpa pikir panjang menerima es krim dari tangan Hana. “Oh, makasih, ya…”
“Nggak usah pake makasih segala, biasa aja kali,” kata Hana sambil tersenyum. Gadis berponi itu benar-benar penuh kejutan. Baru pertama kali bertemu, tapi sudah berani memberikan es krim—walaupun es krim yang katanya asam, tetap saja, itu es krim, kan?
Yugo melirik ke arah Jovan, lalu mendekat. “Tuh, Jov, mau makan gak?” bisiknya sambil cekikikan. “Kalau gak, aku yang abisin deh.”
“Heh, jangan, ini punya aku,” sahut Jovan cepat-cepat. Secepat itu pula, ia menyendok es krim dan mencicipinya, berharap rasanya tidak seburuk yang dikatakan Hana.
Seketika, wajahnya berubah masam. Es krim itu memang asam luar biasa. “Ugh… kok kayak gini?”
Hana tertawa lepas, suara tawanya terdengar riang. “Makanya, aku kasih ke kamu! Serius, gak kuat banget rasanya.”
Jovan nyaris memuntahkan es krim itu kembali ke cup, tapi ia berusaha menahannya agar tidak terlihat canggung di depan Hana. “Hmm… iya, bener juga. Rasanya… ya, unik.”
Hana melipat tangan, tersenyum puas. “Nah, kamu juga setuju. Jangan bohong, ya. Terima kasih udah bantuin aku ‘membuang’ es krim yang bikin sakit perut ini.”
“Ya, kapan-kapan beli yang beneran enak, deh,” kata Jovan, lalu terdiam sesaat sebelum menambahkan, “Nggak nyangka kamu langsung baik gini hari pertama…”
Hana mengangguk-angguk, lalu menepuk bahunya sendiri sambil bercanda. “Memang aku ini baik. Buktinya aku bahkan ‘berani’ kasih es krim aneh ke orang yang baru aku temui!”
Kali ini, Jovan tertawa, suasana canggung tadi mulai hilang. Hana benar-benar berbeda dari bayangan Jovan tentang murid baru. Di depan gadis ini, Jovan merasa seperti dihadapkan pada teka-teki yang menarik untuk dipecahkan.
Tak lama kemudian, bel berbunyi, tanda semua siswa harus kembali ke kelas masing-masing. Hana menatap Jovan dan Yugo sekali lagi sebelum pamit.
“Kalian kelas apa, sih?” tanya Hana.
“Kita satu kelas, 7-B,” jawab Yugo sambil merapikan tasnya.
“Oh, aku di 7-A! Deket-deket, kan? Kalo ketemu lagi di kantin atau di mana, jangan segan-segan sapa, ya!”
Jovan mengangguk dengan senyum kecil. “Iya, iya… sampai ketemu lagi, ya.”
Hana melambai, meninggalkan mereka di taman sambil melangkah ringan. Jovan menatap punggungnya yang semakin menjauh, entah kenapa, ada perasaan aneh yang bergejolak dalam dirinya. Ia sendiri tak tahu apakah ini rasa penasaran atau ketertarikan. Tapi satu hal yang pasti—sejak pertemuan pertama ini, sosok Hana berponi dengan es krim asamnya telah berhasil mencuri perhatiannya.
Ketika Yugo menyenggol bahunya sambil berkata, “Sudah, Jovan. Jangan sampai lupa sama jadwal latihan, ya,” Jovan hanya bisa mengangguk pelan. Pikirannya sudah terbang entah ke mana, sibuk memikirkan Hana yang ceria dengan poni dan senyuman manisnya.
Di sepanjang hari itu, kelas terasa lebih berwarna dari biasanya, seolah-olah bayangan Hana terus mengisi benaknya. Mungkin ini hanya sekadar ketertarikan biasa, atau mungkin… justru awal dari sesuatu yang lebih istimewa.
Dan begitulah hari pertama Jovan di sekolah menengah pertama. Hari yang dimulai dengan tawa, es krim asam, dan gadis berponi yang secara tak terduga, berhasil membuatnya ingin tahu lebih dalam.
Pertemuan Tak Terduga di Kantin
Hari-hari pertama di sekolah baru biasanya penuh kejutan, dan untuk Jovan, kejutan itu bernama Hana. Meskipun baru sekali bertemu di taman, gadis berponi itu seakan sudah memenuhi pikirannya. Tapi tentu saja, Jovan mencoba bersikap biasa saja. Di kelas, ia tetap fokus mendengarkan guru, meski sesekali melamun saat ingat tawanya Hana yang lepas dan senyumnya yang ceria.
Suatu siang, Jovan dan Yugo memutuskan untuk istirahat di kantin. Waktu makan siang selalu jadi waktu favorit siswa, terutama mereka yang belum sepenuhnya nyaman dengan lingkungan baru. Begitu masuk ke kantin, bau mie goreng dan aroma jus melon yang manis langsung menyambut mereka. Sambil membawa baki makanan masing-masing, Jovan dan Yugo mencari tempat duduk di pojokan.
“Nih, Jov, dapet meja!” Yugo menunjuk meja kosong dengan semangat, sambil duduk dan mulai mengunyah mie gorengnya.
“Bentar, gue beli minum dulu,” sahut Jovan sambil mengangguk dan berjalan ke barisan antrean jus. Ketika sedang mengantri, dari sudut matanya, ia melihat sosok berponi yang sangat familiar.
Itu Hana, sedang berdiri di depan kasir dengan baki makanan yang tampaknya lebih penuh dari biasanya. Ada nasi goreng, jus jeruk, bahkan sebungkus keripik kentang.
“Hana?” panggil Jovan tanpa sengaja, tak menyadari ia mengucapkannya cukup keras hingga membuat beberapa orang menoleh.
Gadis itu menoleh dan langsung tersenyum lebar begitu melihat Jovan. “Eh, Jovan! Lagi beli minum juga, ya?”
Jovan hanya mengangguk sambil tersenyum kecil. Rasanya aneh, mereka hanya bertemu sekali tapi gadis ini langsung membuatnya merasa seperti teman lama. “Iya, aku mau beli jus. Eh, kamu kok makannya banyak banget?”
Hana tertawa pelan sambil mengangkat bahu. “Ya, buat jaga-jaga aja, siapa tahu lapar lagi.”
Jovan terkekeh, lalu akhirnya mengambil jus melon dari rak dan membayarnya di kasir. Begitu selesai, Hana malah melirik baki makanan Jovan dan berkata, “Eh, duduknya sama aku aja, gimana?”
Kaget dengan ajakan langsung itu, Jovan menoleh, memastikan bahwa ia tak salah dengar. “Sama kamu? Ya, boleh aja sih…”
Hana langsung berjalan mendahuluinya, memilih tempat di tengah kantin yang cukup ramai. Jovan melirik ke arah Yugo yang sudah melihat kejadian itu dengan senyuman nakal di wajahnya. Yugo mengangkat alis, seakan menyiratkan, “Ya, lanjut aja, Jov!”
Dengan langkah agak ragu, Jovan duduk di hadapan Hana, menaruh baki makanannya di meja. Hana langsung menyeruput jus jeruknya dan menyelipkan rambutnya di balik telinga. Melihat hal itu, Jovan merasa sedikit gugup, tapi ia mencoba santai.
“Jadi, gimana hari-harimu di sekolah ini?” tanya Hana sambil mulai menyuap nasi gorengnya.
“Ya… lumayan,” jawab Jovan sambil ikut mengunyah makanannya. “Masih penyesuaian, sih. Kamu gimana?”
“Seru, sih. Aku kan suka suasana baru, jadi sekolah ini kayak taman bermain buatku. Banyak orang baru, tempat baru, terus—” Hana berhenti sejenak, menatap Jovan dengan tatapan yang sulit dijelaskan, “…terus ketemu orang kayak kamu.”
Kata-kata itu membuat Jovan tersedak sedikit. Cepat-cepat ia meneguk jusnya sambil berusaha menyembunyikan wajahnya yang mendadak memanas. “O-oh, gitu ya… Maksudnya orang kayak aku tuh, gimana?”
Hana tersenyum, kali ini dengan ekspresi yang agak misterius. “Ya, orang yang bisa bikin aku ketawa pas hari pertama masuk sekolah. Gak banyak yang kayak kamu, Jovan.”
Jawaban itu membuat Jovan diam sejenak. Di satu sisi, ia senang mendengarnya, tapi di sisi lain ia bingung harus merespons bagaimana. “Oh, makasih… mungkin kamu yang gampang diajak ketawa aja.”
“Bisa jadi!” Hana tertawa pelan, lalu tiba-tiba mengeluarkan keripik kentang dari bungkusnya dan menyodorkannya pada Jovan. “Nih, mau coba?”
Jovan mengambil satu keripik, mengunyahnya dengan hati-hati. Saat itu, ia mulai merasa bahwa obrolan sederhana ini terasa menyenangkan. Hana bukan tipe orang yang ribet atau jaim, semuanya mengalir begitu saja.
“Eh, kamu tahu nggak,” Hana melanjutkan sambil menaruh bungkusan keripik di tengah meja. “Dulu pas SD aku paling males makan di kantin. Pasti ada aja anak yang suka rebut makanan, sampai akhirnya aku mending makan di kelas sendirian.”
“Oh ya? Terus kenapa sekarang makan di kantin?” tanya Jovan penasaran.
“Karena di sini nggak ada yang aku kenal, jadi nggak ada yang berani usil,” jawab Hana sambil tertawa.
Jovan ikut tertawa, kali ini lebih lepas. Entah kenapa, bersama Hana, semuanya terasa mudah. Ia bahkan tak menyadari kalau dari kejauhan, Yugo masih mengawasinya sambil tersenyum penuh arti.
“Jadi,” Jovan mencoba bertanya lagi, “kamu udah kenal siapa aja di sekolah ini?”
“Hmm, selain kamu? Belum ada lagi,” jawab Hana sambil mengangkat bahu. “Tapi mungkin nanti ada. Sekolah kan baru mulai.”
Perkataan itu terdengar biasa saja, tapi buat Jovan, ada sedikit rasa bangga yang muncul. Entah kenapa, ia merasa beruntung jadi orang pertama yang dikenal Hana di sekolah ini.
Tiba-tiba, Yugo datang menghampiri mereka, duduk di samping Jovan sambil melirik ke arah Hana. “Eh, kenalin, aku Yugo, temennya Jovan sejak TK.”
“Oh, hai, Yugo!” Hana langsung menjabat tangannya dengan semangat. “Aku Hana.”
Mereka bertiga melanjutkan obrolan santai, kebanyakan Yugo yang bercerita tentang masa kecil mereka, tentang bagaimana Jovan pernah terjatuh dari sepeda gara-gara terlalu fokus ngejar layang-layang. Hana tertawa sambil memandangi Jovan yang sudah salah tingkah mendengar cerita itu.
“Jadi kamu udah banyak pengalaman memalukan, ya, Jovan?” goda Hana sambil tersenyum.
Jovan hanya bisa menggaruk kepala, cengengesan sambil berkata, “Ya… bisa dibilang begitu. Tapi gak banyak kok, cuma… beberapa aja.”
Hana hanya tertawa sambil menatap Jovan dengan cara yang berbeda, seolah-olah ada rasa penasaran di matanya yang sulit diungkapkan.
Ketika bel masuk berbunyi, Hana berdiri sambil merapikan seragamnya. “Oke, aku balik ke kelas dulu, ya. Seru ngobrol sama kalian!”
“Ya, sampai ketemu lagi,” sahut Jovan, meski dalam hatinya ia merasa tak ingin momen ini berakhir.
Hana melambai sambil berjalan ke arah kelasnya. Jovan menatap punggungnya hingga hilang di balik pintu kantin. Yugo, yang masih duduk di sampingnya, menyikut Jovan sambil tertawa kecil.
“Wah, Jov, serius deh, kamu kelihatan banget senengnya. Jangan bohong lagi, ya.”
Jovan menghela napas, berusaha menyangkal tapi senyum kecil di wajahnya sudah menjelaskan semuanya. Rasanya, ada sesuatu yang berbeda setiap kali bertemu Hana. Ia tak sabar menunggu hari-hari berikutnya, berharap bisa mengenal Hana lebih dekat.
Dan tanpa disadari, dalam hati kecilnya, Jovan mulai merasakan sesuatu yang baru—perasaan yang mungkin bisa menjadi awal cerita panjang mereka di sekolah ini.
Cinta yang Tak Terduga
Hari-hari berlalu, dan Jovan merasa semakin nyaman dengan rutinitas barunya. Sekolah, meskipun belum sepenuhnya familiar, menjadi lebih ceria karena Hana selalu mengisi pikirannya. Mereka mulai berinteraksi lebih sering, bahkan Jovan mulai merasa bahwa dirinya lebih terbuka, lebih percaya diri, dan lebih… senang.
Suatu hari, setelah beberapa jam pelajaran yang melelahkan, Jovan duduk di bangkunya, mengerjakan tugas matematika. Yugo, yang duduk di sebelahnya, tampak lebih fokus pada layar ponselnya dibandingkan dengan tugas. Tiba-tiba, Hana muncul di depan kelas, senyumnya menyinari ruangan yang biasanya suram karena tugas yang menumpuk.
“Jovan!” panggil Hana sambil melambaikan tangan. “Bisa bantu aku sebentar?”
Jovan segera menegakkan badan, senyum tak bisa ditahan muncul di wajahnya. “Bisa, ada apa?”
“Aku butuh catatan pelajaran yang kita pelajari tadi. Kebetulan aku kelupaan bawa buku,” ungkap Hana sambil sedikit menggigit bibirnya, seakan meminta maaf.
“Ya, tentu. Tunggu sebentar.” Jovan mengambil catatan yang ada di mejanya dan mengeluarkannya. Saat ia menyerahkan catatan itu, telapak tangan mereka bersentuhan, dan Jovan merasakan sensasi hangat yang tak pernah ia alami sebelumnya.
Hana sepertinya merasakan hal yang sama, matanya membelalak sejenak sebelum cepat-cepat menarik tangannya kembali. “Makasih, Jovan! Kamu ini baik banget.”
“Eh, sama-sama,” jawab Jovan dengan wajah memerah. “Kalau ada yang lain, bilang aja.”
Hana tersenyum dan menepuk bahu Jovan. “Kamu ini kayak superhero di sekolah. Nanti aku pinjam buku lain, ya!”
Begitu Hana pergi, Jovan menoleh ke Yugo yang sudah menatapnya dengan ekspresi yang jelas-jelas menggoda. “Wah, wah, wah! Ini udah kayak scene drama romantis, Jov!”
“Udah deh, Yugo. Jangan mulai,” Jovan menjawab sambil berusaha menahan senyum. “Dia kan cuma butuh catatan.”
“Cuma butuh catatan, katanya,” Yugo mengulang dengan nada menggoda. “Kamu beruntung, sih, punya cewek secerdas dan seimut Hana. Coba deh, sempetin waktu buat dia. Mungkin aja itu jadi awal cinta pandangan pertama kamu!”
Jovan hanya bisa menggelengkan kepala, meskipun hatinya berdebar-debar memikirkan kemungkinan itu. Setiap kali mereka bertemu, rasanya selalu ada sesuatu yang membuatnya semakin tertarik pada Hana. Bahkan saat mereka bercanda atau ketika Hana bercerita tentang hal-hal konyol yang dialaminya, Jovan merasa senang mendengarnya.
Seiring waktu, Jovan dan Hana mulai sering belajar bersama, entah itu di perpustakaan atau sekadar berkumpul di taman. Suatu sore, saat mereka duduk di bawah pohon rindang, Jovan menatap Hana yang sedang membaca buku dengan serius. Rambutnya yang berponi menutupi sedikit wajahnya, dan ia terlihat sangat fokus.
“Eh, Hana,” Jovan mencoba memecah keheningan. “Kamu suka buku-buku ini, ya?”
Hana menoleh, matanya berbinar. “Iya! Aku suka baca novel fantasi. Kamu tahu nggak, ada satu buku yang menceritakan tentang seorang pahlawan yang berjuang melawan kejahatan. Aku suka banget! Kamu suka baca buku juga?”
“Lumayan. Lebih suka nonton film sih,” jawab Jovan sambil tersenyum. “Tapi buku yang kamu sebut itu menarik. Ceritanya tentang apa?”
Hana mulai menjelaskan alur ceritanya dengan semangat, gestur tangannya yang hidup membuat Jovan terpesona. Lalu, mereka mulai bercerita tentang film favorit mereka dan saling bertukar rekomendasi.
“Kalau kamu mau, kita bisa nonton bareng. Aku tahu film bagus yang baru rilis,” ucap Jovan, berusaha menunjukkan ketertarikan.
Hana memandangnya, dan sepertinya ia berpikir sejenak sebelum mengangguk. “Oke! Kapan kita bisa nonton? Tapi, kamu jangan nyasar ke jalan pulang kayak waktu itu, ya?”
Jovan langsung teringat pada kejadian lucu saat ia tersesat jalan menuju rumah Hana beberapa hari lalu. “Hey, itu kan karena GPS-nya bermasalah!”
Hana tertawa terbahak-bahak. “Tapi kamu kan yang pegang, jadi salahmu juga!”
“Ya, ya, okay, I accept it! Tapi kalau kita nonton bareng, aku berjanji akan lebih hati-hati!” Jovan menjawab sambil tersenyum lebar.
Pertemuan-pertemuan itu mulai memberikan Jovan semangat baru. Ia bahkan tak menyadari bahwa perasaannya kepada Hana semakin mendalam. Setiap tawa, setiap canda, seolah mengikat mereka dalam satu benang tak terlihat.
Namun, di sisi lain, ada hal yang mengganjal. Jovan merasakan persaingan di antara teman-teman sekelasnya. Beberapa di antara mereka juga menunjukkan ketertarikan pada Hana, dan ia tak bisa mengabaikan tatapan cemburu yang kadang-kadang menghampiri dirinya ketika melihat Hana berbincang akrab dengan teman lain.
Suatu hari, saat mereka berjalan pulang bersama, Jovan merasa perlu membuka perasaannya. “Hana, ada yang mau aku tanya,” ujarnya sambil berusaha mengumpulkan keberanian.
Hana menoleh, tampak tertarik. “Apa?”
Jovan menarik napas dalam-dalam. “Kamu, maksudku, kita ini temenan deket. Kamu merasa… ada sesuatu yang lebih dari sekadar teman?”
Hana terdiam sejenak, dan Jovan merasa jantungnya berdegup kencang. Tak ada jawaban, hanya suara angin yang berdesir di antara mereka. Jovan menyesal telah mengungkapkan pertanyaannya, takut jika jawaban yang didapatkan tak seperti yang diharapkan.
“Kenapa, Jov?” tanya Hana akhirnya, suaranya lembut. “Kamu nanya gitu karena ada yang kamu suka?”
“Ya, aku… maksudku, kamu ini spesial buatku. Aku suka ngeliat kamu senyum, dan kita asyik ngobrol. Jadi, aku berharap kita bisa jadi lebih dari teman,” ungkap Jovan dengan sedikit keraguan.
Hana tersenyum, tapi senyumnya kali ini tampak manis sekaligus penuh arti. “Aku juga merasakan hal yang sama. Setiap kali kita bersama, aku merasa nyaman. Kita bisa jadi lebih dekat, kan?”
Kedua wajah mereka mendekat, dan suasana semakin tegang. Jovan bisa merasakan getaran di udara, seakan-akan waktu berhenti sejenak.
“Jadi… kita bisa coba untuk lebih dari teman, ya?” Hana menambahkan, suaranya nyaris berbisik.
“Ya, aku ingin itu,” jawab Jovan, hatinya berdebar tak karuan.
Di tengah perasaan yang tak terduga, mereka tersenyum. Jovan merasa bahwa cinta pandangan pertamanya di SMP ini mungkin memang nyata. Namun, tanpa disadari, ada tantangan lain yang harus mereka hadapi—dan itu akan menguji seberapa kuat perasaan yang baru saja terbangun di antara mereka.
Menghadapi Tantangan
Waktu berlalu, dan Jovan serta Hana semakin dekat. Setiap hari di sekolah terasa lebih ceria. Mereka menjadi pasangan yang tak terpisahkan, meskipun kadang diwarnai dengan keributan kecil dan canda tawa yang membuat mereka semakin kompak. Namun, kebahagiaan itu tak selalu berjalan mulus.
Suatu hari, saat Jovan dan Hana sedang menikmati waktu istirahat di kantin, salah satu teman sekelas mereka, Arka, mendekati mereka dengan ekspresi yang serius. Arka dikenal sebagai siswa yang pandai, namun sikapnya terkadang sedikit angkuh.
“Hana, ada yang ingin aku bicarakan,” ujar Arka, mengabaikan Jovan.
“Eh, Arka, ada apa?” tanya Hana, sedikit bingung dengan nada serius yang ditunjukkan Arka.
“Aku lihat kamu dekat banget sama Jovan. Kamu yakin itu yang kamu inginkan? Dia bukan tipe orang yang bisa diandalkan,” Arka berkata, mengabaikan keberadaan Jovan. “Dia itu cuma suka cari perhatian.”
Jovan merasa darahnya mendidih mendengar pernyataan itu. Dia berusaha untuk tetap tenang dan tidak memperlihatkan emosinya. “Tunggu dulu, Arka. Apa maksudmu dengan mengatakan aku suka cari perhatian?”
Arka menoleh ke arah Jovan. “Kamu tahu, kan, bahwa ada beberapa cewek lain yang lebih baik darimu? Hana bisa dapat yang lebih dari kamu.”
Hana merasakan ketegangan yang meningkat antara mereka. “Arka, itu tidak seharusnya kamu katakan. Jovan itu baik dan kita saling suka.”
“Bisa jadi, tapi aku cuma memberi saran. Kamu berhak mendapatkan yang lebih baik,” Arka balas menatap Jovan dengan sinis.
Jovan merasa tak terima dengan komentar itu, tetapi dia berusaha untuk tetap tenang. “Hana dan aku punya hubungan yang kami buat sendiri. Kita berhak untuk memilih satu sama lain tanpa campur tangan orang lain.”
Hana tampak cemas, dia merangkul tangan Jovan. “Aku percaya sama Jovan. Kita saling menyukai, dan itu yang terpenting.”
Arka mengangkat bahu, seakan tak peduli. “Kalau kalian merasa begitu, itu urusan kalian. Tapi ingat, kalau ada masalah, jangan salahkan aku.”
Setelah Arka pergi, Jovan dan Hana saling memandang, suasana menjadi sedikit tegang. “Maafkan dia, Hana. Aku tahu dia punya reputasi, tapi aku nggak mau kita terpengaruh oleh omongannya,” kata Jovan, berusaha menenangkan Hana.
Hana menggigit bibirnya. “Nggak apa-apa, Jovan. Aku percaya sama kita. Tapi aku jadi khawatir. Apakah kamu akan baik-baik saja dengan semua ini?”
“Pasti. Kita akan hadapi ini berdua. Dan jangan lupa, aku superhero di matamu, kan?” Jovan mencoba tersenyum lebar untuk meredakan ketegangan.
Hana tertawa, meski ada raut cemas di wajahnya. “Iya, iya. Superhero yang lucu!”
Sejak saat itu, meskipun mereka terus berusaha menjalani hubungan dengan bahagia, ancaman dari Arka dan pernyataan sinisnya mulai mengganggu pikiran mereka. Jovan berusaha menunjukkan yang terbaik, namun terkadang dia merasa tertekan dengan harapan yang harus dipenuhi.
Di luar sekolah, Jovan memutuskan untuk mengajak Hana pergi ke bioskop untuk menonton film yang mereka rencanakan sebelumnya. Mereka memilih film komedi yang ringan agar suasana hati mereka kembali ceria. Saat menonton, Jovan bisa melihat Hana tertawa lepas, dan hatinya kembali tenang.
“Jovan, kamu lihat nggak? Itu bagian lucu!” seru Hana sambil tertawa terbahak-bahak.
“Iya! Tapi aku lebih suka lihat kamu tertawa,” jawab Jovan, tanpa merasa malu.
Hana memandang Jovan dengan mata berbinar. “Kamu ini manis banget, sih. Tapi ingat, aku bisa jadi lebih lucu dari ini.”
“Tantangan diterima!” Jovan menjawab, merasa lebih optimis.
Setelah menonton, mereka pergi makan es krim. Hana duduk di samping Jovan, dan mereka berbagi cerita sambil menggerogoti es krim yang semakin meleleh. Saat Jovan mencolek es krimnya dan mengoleskannya di hidung Hana, tawa Hana memenuhi udara.
“Jovan!” teriak Hana, sambil mengusap hidungnya dengan cepat. “Dasar nakal!”
“Tapi kan kamu lucu kayak gini!” balas Jovan sambil tertawa.
Ketika suasana menjadi lebih santai, Jovan merasa saat yang tepat untuk membuka percakapan yang telah mengganjal di pikirannya. “Hana, kita perlu bicara serius sebentar.”
“Serius? Kenapa?” tanya Hana, terkejut.
“Tentang Arka. Aku nggak ingin kita terpengaruh sama omongannya. Kita bisa atasi ini, kan? Aku ingin kita fokus satu sama lain,” jelas Jovan.
Hana menatapnya dengan serius, kemudian mengangguk. “Kamu benar, kita nggak boleh biarkan orang lain memengaruhi hubungan kita. Kita ini tim, kan?”
“Betul! Dan tim kita harus kuat!” Jovan menjawab, senyum lebar di wajahnya.
Akhirnya, mereka memutuskan untuk tidak membiarkan apa pun mengganggu kebahagiaan mereka. Setelah malam yang menyenangkan itu, hubungan mereka semakin kuat, meskipun tantangan pasti masih ada di depan.
Beberapa hari setelah itu, saat mereka bertemu di sekolah, Arka kembali menghampiri mereka. Kali ini, dia tampak lebih tenang. “Hana, aku mau minta maaf tentang kemarin. Mungkin aku terlalu berlebihan. Jovan, kamu orang yang baik. Semoga kalian bisa bahagia.”
Jovan terkejut, namun dia berusaha untuk tetap sopan. “Terima kasih, Arka. Kita hanya ingin fokus satu sama lain.”
Hana tersenyum, dan Jovan merasa lega. Mungkin, sedikit keberanian dari mereka berdua dan pengertian dari Arka bisa membawa hubungan ini ke arah yang lebih baik.
Dalam perjalanan pulang, Jovan memegang tangan Hana dengan erat. “Kita berhasil, kan? Kita bisa lewati ini berdua.”
“Iya, kita tim yang hebat!” Hana menjawab sambil tersenyum manis.
Jovan tersenyum, hatinya penuh kebahagiaan. Cinta pandangan pertama yang dimulai di SMP ini tak hanya tentang ketertarikan, tetapi juga tentang menghadapi rintangan bersama. Dan saat mereka berjalan pulang, Jovan tahu satu hal pasti: cinta ini adalah petualangan yang akan diingat selamanya.
Dan begitulah, Jovan dan Hana, dua anak SMP yang awalnya cuma saling melirik, kini telah menulis bab-bab manis dalam kisah cinta pertama mereka. Meskipun ada omongan sinis dari orang lain dan tantangan yang menghadang!
Mereka tahu bahwa cinta sejati itu bukan hanya tentang perasaan, tapi juga tentang saling mendukung dan tertawa bersama. Jadi, buat kamu yang pernah merasakan cinta pandangan pertama, ingatlah, itu bisa jadi awal dari petualangan yang penuh warna. Siapa tahu, cinta itu juga menanti di tikungan selanjutnya!