Cinta Pandangan Pertama di Kampus: Kisah Arlan dan Aruna

Posted on

Jadi, ada cerita seru nih tentang cinta pandangan pertama yang bisa bikin kamu senyum-senyum sendiri. Bayangkan deh, di tengah kesibukan kampus, ada Arlan dan Aruna—dua orang yang sepertinya nggak ada hubungannya, tapi tiba-tiba ketemu dan boom!

Semua berubah. Dari tatapan pertama yang bikin jantung berdebar sampai momen-momen konyol yang bikin kamu ngakak. Siap-siap, karena kita bakal ngerasain perjalanan manis, lucu, dan penuh kejutan dari cinta mereka. Yuk, ikuti ceritanya!

 

Kisah Arlan dan Aruna

Lirikan Pertama di Halaman Kampus

Langit cerah tak berawan, dengan sinar matahari menyorot hangat di halaman kampus yang luas. Banyak mahasiswa berjalan tergesa-gesa, beberapa tampak mengobrol sambil sesekali tertawa keras, sementara sebagian lain menyelinap di antara pepohonan rindang, mungkin berusaha menemukan tempat terbaik untuk sekadar duduk dan menikmati jeda kelas. Di tengah suasana ramai ini, seorang mahasiswa baru bernama Arlan duduk sendirian, memegang map kecil dan sesekali melirik arlojinya. Suara gemuruh dari kerumunan membuatnya merasa asing, meski di tempat ramai seperti ini.

Sejak pagi, Arlan merasa sedikit canggung dengan situasi kampus. Seperti kebanyakan mahasiswa baru, ia masih belum mengenal banyak orang di sini. Pandangannya menerobos kerumunan, menelusuri wajah-wajah yang berlalu-lalang, mencoba mengingat dan mengenal siapa pun yang mungkin jadi teman kelasnya. Saat itulah, matanya tiba-tiba tertumbuk pada sosok seorang gadis. Tanpa aba-aba, dunia seolah membeku sesaat, hanya menyisakan gadis itu di tengah-tengah pemandangannya.

Gadis tersebut berdiri santai di sisi halaman kampus, mengenakan sweater abu-abu yang tampak kebesaran, dengan sepasang headphone di lehernya. Rambut hitam sebahunya tergerai sedikit berantakan tertiup angin, namun wajahnya tampak bersih dan polos. Dia mengunyah permen karet sambil berdiri santai, sesekali melirik layar ponselnya, seperti tidak mempedulikan siapa pun yang berada di sekitarnya. Cara dia berdiri, tatapan acuhnya, semuanya memancarkan sikap penuh percaya diri yang seolah berkata, “Aku di sini, tapi aku tidak peduli pada siapapun.”

Arlan terpaku, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Perasaan aneh bergejolak dalam dadanya—entah kagum, penasaran, atau mungkin ada yang lain yang bahkan ia sendiri tak mampu menjelaskan. Hanya saja, tatapan yang ia berikan pada gadis itu tak bisa begitu saja dialihkan. Ada semacam magnet yang menahannya.

Tepat saat itu, seperti sengaja menyadari dirinya sedang diperhatikan, gadis tersebut menoleh. Tatapan mereka bertemu. Arlan merasa seperti tertangkap basah, namun alih-alih panik, gadis itu justru melayangkan senyum tipis. Bukannya malu atau berpaling, dia malah berjalan ke arah Arlan dengan langkah santai.

“Heh, kamu ngeliatin aku, ya?” tanyanya langsung, tanpa basa-basi.

Arlan terdiam sesaat, kaget dengan sapaan tiba-tiba itu. “Eh… nggak, kok… aku cuma…” jawab Arlan terbata-bata, tidak siap dengan respons cepat gadis itu.

Gadis itu tersenyum kecil, lalu duduk di sampingnya di bangku yang agak reyot di bawah pohon beringin besar. “Nama kamu siapa?” tanyanya sambil membuka permen karet baru, lalu menatap Arlan dengan mata berbinar yang membuatnya kehilangan kata-kata.

“Arlan,” jawabnya akhirnya, berusaha bersikap normal meski jantungnya masih berdegup kencang.

“Arlan, ya?” Gadis itu mengangguk kecil sambil melirik ke sekeliling halaman kampus. “Nama aku Aruna. Boleh kan aku duduk di sini?” tanyanya, meski sebenarnya sudah duduk sejak beberapa menit lalu tanpa izin. Arlan hanya bisa mengangguk sambil menahan tawa.

Aruna menatapnya dengan ekspresi tertarik. “Mahasiswa baru, ya? Ketahuan banget dari cara kamu duduk sendirian kayak gini. Mukanya kayak lagi bingung cari teman,” candanya, namun ada nada lembut di balik kata-katanya yang membuat Arlan merasa nyaman.

Arlan tersenyum, merasa malu tapi tak bisa menyangkal. “Iya, mungkin keliatan jelas ya?” gumamnya pelan sambil menggaruk belakang kepala.

Aruna tertawa kecil. “Kamu nggak salah, kok. Aku juga dulu kayak gitu. Tapi untungnya, di kampus ini, banyak orang-orang yang seru. Lama-lama, kamu bakal ngerasa nyaman.”

Arlan mengangguk, merasa aneh karena begitu mudah berbicara dengan gadis ini. “Eh, kamu udah lama di sini?” tanyanya, mencoba mengalihkan perhatian dari detak jantungnya yang tak menentu.

“Semester tiga,” jawab Aruna santai. “Tapi kayaknya udah bertahun-tahun di sini, soalnya kampus ini luas banget. Percaya deh, kamu bisa tersesat di sini.”

Arlan tertawa, membayangkan dirinya tersesat di kampus yang sepertinya semakin besar dan penuh tikungan aneh. “Wah, beneran segitu besarnya ya?”

“Nggak juga, kok. Hanya butuh kebiasaan aja,” ujar Aruna dengan santai. “Eh, kamu ada kelas setelah ini?”

Arlan melirik arlojinya. “Ada, sih, bentar lagi. Tapi kayaknya masih sempet ngobrol sebentar.”

“Bagus, kalau gitu.” Aruna bersandar, mengayunkan kakinya dengan santai. “Jadi, Arlan si mahasiswa baru, kamu bakal perlu beberapa tips survival buat kampus ini, nih.”

Mereka berdua tertawa, dan Arlan mulai merasa betapa Aruna membawa kenyamanan yang berbeda dari yang ia kira. Obrolan mereka mengalir dari topik kelas hingga cara menghadapi dosen yang terkenal killer di kampus. Aruna berbicara dengan gaya yang santai, ceplas-ceplos, namun ada nada serius saat memberi saran tentang mata kuliah dan ujian. Mungkin terdengar sepele, namun kehadirannya membuat Arlan merasa seperti memiliki sekutu.

Saat sore mulai datang dan matahari semakin condong, Aruna memutar permen karetnya, melirik ke arah Arlan dengan tatapan iseng. “Kamu besok ngampus lagi, kan?”

“Iya,” jawab Arlan. “Mau ketemu lagi?”

Aruna tersenyum jahil. “Kamu yang ngajak, tuh. Tapi boleh juga. Aku biasanya nongkrong di kafe dekat perpustakaan. Kalau mau, dateng aja. Aku nggak gigit, kok.”

Arlan tersenyum kecil, hatinya terasa hangat. “Oke, kalau gitu. Nanti aku coba mampir.”

Saat Aruna berdiri, angin sore menerbangkan sedikit helai rambutnya. Ia mengangguk singkat sebelum pergi meninggalkan Arlan yang masih terdiam, dengan senyum yang entah bagaimana tetap tertinggal di benaknya.

Dan sore itu, ketika matahari mulai tenggelam, Arlan menyadari bahwa hari-hari di kampusnya mungkin tak akan pernah lagi sama.

 

Senyum yang Tertinggal di Sore Hari

Esok paginya, Arlan kembali ke kampus dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Biasanya, ia akan langsung menuju kelas atau duduk di taman sendirian, seperti yang ia lakukan kemarin. Namun kali ini, kakinya malah membawanya ke arah kafe dekat perpustakaan, tempat yang Aruna sebutkan kemarin. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanya untuk “sekadar mampir.” Tapi, jauh di dalam hatinya, ia tahu ada sedikit harapan untuk bertemu lagi dengan gadis yang membuatnya terjaga semalaman.

Kafe itu terletak di sudut yang teduh, dengan jendela besar yang menampilkan pemandangan taman kampus. Saat Arlan melangkah masuk, aroma kopi dan kayu manis menyambutnya hangat. Ia melirik ke sekeliling, mencari sosok Aruna di antara meja-meja yang dipenuhi mahasiswa lain. Namun, tak ada tanda-tanda kehadirannya. Merasa sedikit kecewa, ia memutuskan untuk memesan segelas kopi dan duduk di pojok ruangan.

Tak lama setelah itu, pintu kafe berderit pelan. Arlan melirik refleks, dan di sana, berdiri Aruna dengan jaket kulit hitam dan senyum iseng khasnya. Tanpa basa-basi, ia langsung berjalan ke arah Arlan dan duduk di depannya, seperti sudah tahu bahwa Arlan akan ada di sana.

“Tumben pagi-pagi ke sini. Biasanya, kafe ini nggak terlalu rame,” ujar Aruna sambil menaruh tasnya di atas meja. “Apa jangan-jangan kamu ke sini cuma buat ketemu aku?”

Arlan tersenyum, sedikit tersipu. “Ya, mungkin aja,” jawabnya dengan nada setengah bercanda, meski sebenarnya ada sedikit kejujuran di baliknya.

Aruna tertawa kecil, matanya berbinar, senyumnya melebar. “Kalau gitu, aku nggak salah ngajakin kamu ke sini, ya.”

Obrolan mereka kembali mengalir begitu saja, seperti sudah menjadi kebiasaan. Aruna bercerita tentang kelas-kelas yang menurutnya paling menyenangkan, juga tentang profesor yang katanya punya kebiasaan aneh saat mengajar. Arlan, yang awalnya hanya mendengarkan, mulai merasa nyaman untuk berbicara lebih banyak. Ia bercerita tentang kota asalnya, sahabat-sahabat lamanya, dan harapannya di kampus baru ini. Meski kadang ia terkejut pada dirinya sendiri, karena biasanya ia bukan tipe yang mudah terbuka.

“Jadi, kamu jauh-jauh ke sini sendirian?” tanya Aruna, sambil memutar-mutar sedotan di gelas kopinya.

“Iya, nggak ada yang temenin juga,” jawab Arlan dengan nada ringan, meski ada sedikit kesedihan dalam suaranya. “Awalnya berat juga sih, ninggalin kota yang udah aku kenal. Tapi, aku pengen coba sesuatu yang baru.”

Aruna mengangguk, tatapannya berubah serius. “Aku ngerti. Nggak mudah buat ninggalin kenyamanan, apalagi kalau kamu udah lama di sana.”

Arlan menghela napas, merasa lega karena bisa berbicara dengan seseorang yang mengerti. “Tapi sekarang, aku mulai ngerasa lebih baik. Ketemu kamu juga membantu, entah kenapa.”

Aruna tersenyum tipis, menatapnya tanpa berkata apa-apa, namun tatapan itu terasa lebih dalam dari sekadar ucapan. Di antara mereka, suasana sunyi sesaat, tapi tak ada kecanggungan. Mereka hanya menikmati momen itu, hingga Aruna tiba-tiba meraih ponselnya dan berkata, “Eh, aku mau tunjukin tempat favoritku di kampus ini. Mau ikut?”

Tanpa berpikir panjang, Arlan mengangguk. “Boleh, aku ikut.”

Mereka berdua meninggalkan kafe dan berjalan ke arah taman di bagian belakang kampus, sebuah area yang jarang dikunjungi mahasiswa karena letaknya yang tersembunyi. Di sana ada pohon besar yang berdiri sendiri di tengah lapangan, dengan sebuah bangku kayu di bawahnya. Tempat itu tampak tenang, hanya suara angin yang meniup dedaunan dan sedikit kicauan burung yang terdengar.

“Di sini, aku biasa duduk kalau lagi mau nulis atau sekadar nyari inspirasi,” ujar Aruna sambil duduk di bangku kayu tersebut. “Nggak banyak yang tahu tempat ini, tapi buatku, ini semacam tempat rahasia.”

Arlan duduk di sebelahnya, mengamati suasana sekitar yang begitu damai. “Tempat ini tenang banget. Aku suka,” gumamnya.

Mereka berbicara lagi, kali ini tentang mimpi-mimpi mereka, tujuan hidup, dan hal-hal yang ingin mereka capai di masa depan. Aruna bercerita tentang mimpinya untuk bekerja di luar negeri, menjadi desainer interior yang bisa mengubah suasana sebuah ruangan dengan caranya sendiri. Arlan, di sisi lain, berbagi tentang mimpinya untuk menjadi penulis. Meski ia belum yakin akan menulis apa, ia tahu bahwa dunia kata-kata selalu memberinya kedamaian.

“Aku yakin kamu bisa, Arlan,” kata Aruna dengan nada penuh keyakinan. “Tulisan kamu nanti pasti keren. Mungkin, suatu hari aku bisa baca tulisan kamu di sebuah buku atau artikel terkenal.”

Arlan tertawa kecil, sedikit terkejut dengan kepercayaan yang ditunjukkan Aruna. “Semoga aja, ya. Kadang aku ragu sama diriku sendiri.”

Aruna menatapnya serius. “Kamu nggak harus selalu yakin, tapi yang penting kamu tetap melangkah. Semua orang juga mulai dari ragu. Pelan-pelan, nanti kamu bakal nemu jalan kamu sendiri.”

Kata-kata Aruna seperti suntikan semangat yang baru untuk Arlan. Sore itu, ia merasa seperti menemukan seorang teman yang tak hanya mengerti, tapi juga memberi dorongan. Mereka duduk berdua, berbicara hingga langit mulai berwarna jingga dan matahari hampir terbenam. Saat angin sore berembus lembut, Arlan menyadari bahwa perasaan yang ia rasakan pada Aruna bukan lagi sekadar rasa kagum biasa. Ada sesuatu yang lebih, yang terus tumbuh setiap kali mereka menghabiskan waktu bersama.

“Eh, kamu suka nggak sama suasana kayak gini?” tanya Aruna, memecah keheningan.

Arlan tersenyum dan mengangguk. “Aku suka. Apalagi kalau bareng kamu.”

Aruna tertawa kecil, pipinya sedikit merona. “Ah, jangan gombal.”

“Aku serius,” kata Arlan, kali ini menatap Aruna lebih dalam, tanpa rasa ragu. “Kamu… spesial.”

Suasana hening lagi, tapi kali ini ada kehangatan di antara mereka yang seolah berkata lebih dari sekadar kata-kata. Mereka berdua hanya duduk dalam diam, menikmati senyum yang tertinggal di sore itu, membiarkan hati mereka saling berbicara tanpa harus banyak berkata.

Dan ketika akhirnya mereka berpisah, ada rasa enggan yang menggantung, seperti mereka berdua sama-sama tahu bahwa ini hanyalah permulaan dari cerita yang lebih panjang.

 

Jejak Diam di Antara Kita

Setelah sore yang panjang itu, baik Arlan maupun Aruna merasa ada sesuatu yang berubah dalam kebersamaan mereka. Meski tidak ada kata-kata khusus yang terucap, mereka tahu ada perasaan yang tumbuh di antara senyuman dan tatapan singkat. Pertemuan di kafe maupun obrolan sore itu seolah menjadi benih yang perlahan tumbuh menjadi sesuatu yang mereka sendiri tak bisa definisikan.

Arlan, yang biasanya lebih suka melewati hari sendirian, mulai mencari-cari kehadiran Aruna di sekitar kampus. Ia kerap menengok ke sudut-sudut yang pernah mereka datangi bersama, berharap bisa bertemu dengannya. Tak jarang, ia pun duduk di bangku taman yang mereka jadikan tempat rahasia, berusaha memikirkan alasan untuk bisa bertemu Aruna lagi. Dan setiap kali bertemu, perasaan senang yang ia rasakan menjadi tanda yang sulit ia abaikan.

Di sisi lain, Aruna tidak begitu berbeda. Ia mulai sering melirik ke pintu kelas seolah menunggu seseorang masuk atau keluar. Sesekali, ketika sedang duduk di kafe atau berjalan melewati taman, ia memperhatikan ponselnya, berharap ada pesan atau sekadar sapaan dari Arlan. Namun, ia menyadari bahwa tidak ada kata khusus yang pernah diucapkan di antara mereka, hanya perasaan yang tersimpan di hati masing-masing.

Suatu pagi, ketika Arlan sedang berjalan menuju perpustakaan, ia tiba-tiba mendengar suara yang sangat ia kenali memanggil namanya.

“Arlan! Kamu mau ke perpustakaan?” Aruna berjalan cepat ke arahnya, menyusul dengan senyum yang biasa ia perlihatkan, penuh rasa percaya diri namun tetap lembut.

Arlan mengangguk, sedikit kaget dan senang pada saat yang sama. “Iya, mau nyari buku untuk tugas akhir.”

Aruna tersenyum lebih lebar. “Pas banget. Aku juga lagi nyari referensi buat tugas besar. Mungkin kita bisa bareng?”

Mereka akhirnya berjalan beriringan ke perpustakaan, berbagi cerita ringan di sepanjang perjalanan. Saat mereka sampai, suasana hening menyelimuti, menyisakan suara halaman buku yang dibalik atau langkah kaki yang sesekali terdengar. Mereka memilih meja di pojok ruangan, dan untuk beberapa waktu, masing-masing larut dalam buku yang mereka baca.

Sesekali, Arlan melirik ke arah Aruna, memperhatikan bagaimana wajahnya terlihat serius saat membaca, sesekali alisnya berkerut ketika menemukan sesuatu yang menarik. Ada ketenangan di dalam dirinya yang ia rasakan saat bersama Aruna, ketenangan yang membuatnya merasa nyaman menjadi diri sendiri.

Saat mereka berdua selesai, Aruna meletakkan bukunya dan menatap Arlan dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu. “Eh, Arlan. Kalau kamu nggak sibuk nanti sore, gimana kalau kita nongkrong sebentar? Ada kafe baru di dekat kampus yang pengen aku coba.”

Tanpa ragu, Arlan mengangguk. “Boleh, aku ikut.”

Sore itu, mereka duduk di kafe baru yang Aruna sebutkan. Suasana kafe itu berbeda dari yang biasa mereka datangi; pencahayaan hangat dan hiasan tumbuhan hijau di sana-sini membuat tempat itu terasa nyaman. Aruna memilih tempat di dekat jendela, dengan pemandangan jalan yang cukup ramai. Mereka memesan minuman dan melanjutkan obrolan tentang segala hal yang mereka sukai—film, musik, buku, dan kenangan kecil dari masa lalu yang tidak pernah mereka ceritakan pada orang lain.

Di tengah obrolan, Aruna tiba-tiba tertawa keras. “Kamu tau nggak, dulu waktu SD aku sering dihukum gara-gara suka nggak masuk kelas. Katanya aku terlalu sibuk ‘menjelajah alam,’ padahal cuma lari-lari di kebun belakang sekolah.”

Arlan ikut tertawa mendengar cerita konyol Aruna. “Kamu emang beda, ya. Banyak anak takut dihukum, tapi kamu malah menikmati.”

Aruna tersenyum nakal, mengangkat bahu. “Biasa aja, hukuman kan cuma sebentar. Tapi kenangan yang dibawa jadi lama. Lagian, hidup nggak akan menarik kalau nggak ada sedikit kegilaan, kan?”

Arlan terdiam sejenak, memikirkan perkataan Aruna. Ia baru menyadari betapa keberanian Aruna untuk hidup sesuai dengan keinginannya sendiri adalah sesuatu yang selama ini membuatnya tertarik. Ia merasa, mungkin untuk pertama kalinya, ia bisa membayangkan masa depan bersama seseorang yang begitu berbeda namun begitu mengerti dirinya.

Namun, ketika obrolan mereka mulai mereda, Aruna terlihat seperti ingin mengatakan sesuatu. Ia menatap secangkir minuman di depannya dengan pandangan yang serius, lalu akhirnya mendongak dan menatap Arlan.

“Arlan, kamu pernah punya seseorang yang spesial?” tanyanya pelan.

Pertanyaan itu membuat Arlan sedikit terkejut. Ia tidak menyangka Aruna akan menanyakan hal seperti itu. Ia menatap Aruna sebentar, lalu mengangguk.

“Pernah, tapi itu dulu banget,” jawabnya singkat.

Aruna terlihat berpikir, lalu tersenyum tipis. “Aku cuma penasaran… karena, ya… kadang aku merasa kita punya sesuatu yang spesial. Kamu ngerti maksudku?”

Arlan mengangguk perlahan, jantungnya berdegup lebih cepat. Ia berusaha mencari kata-kata yang tepat, namun rasanya semua kata hilang begitu saja di hadapan Aruna. Aruna tampak menyadari kebingungan Arlan, namun ia hanya tersenyum dan menepuk pundaknya pelan.

“Lupakan aja,” katanya ringan. “Aku cuma iseng nanya.”

Meski Aruna mengucapkannya dengan nada santai, Arlan bisa merasakan ada ketulusan di balik kata-katanya. Ia tahu bahwa momen ini tidak bisa dianggap remeh. Ia merasakan sesuatu yang sama, sesuatu yang ia sendiri tak bisa ungkapkan dengan kata-kata. Namun, ia sadar bahwa perasaan itu tumbuh dengan kuat di dalam hatinya.

Hari-hari berikutnya, mereka semakin sering menghabiskan waktu bersama. Setiap sore menjadi momen yang ditunggu-tunggu oleh Arlan, dan ia mulai merasa bahwa hidupnya tidak lagi sama tanpa kehadiran Aruna. Meski tidak ada pernyataan khusus yang terucap, kedekatan mereka sudah menjadi bahasa yang mereka pahami tanpa harus dijelaskan.

Pada suatu sore yang cerah, ketika mereka duduk di taman belakang kampus, Aruna tiba-tiba menghela napas panjang.

“Arlan, kamu pernah berpikir nggak kalau kita udah jadi lebih dari sekadar teman?”

Arlan menatapnya, dan tanpa ragu menjawab, “Aku pernah, dan aku ngerasa kita punya sesuatu yang nggak bisa ditemukan di sembarang tempat.”

Aruna terdiam, dan seulas senyum tipis muncul di wajahnya. “Aku juga ngerasa hal yang sama.”

Mereka saling bertatapan, diam-diam mengerti bahwa perasaan yang mereka miliki tak perlu dikatakan dengan kata-kata lagi. Hati mereka telah saling mengenali, tanpa harus diberi nama. Di tengah sunyi yang menyelimuti, keduanya tersenyum, seakan tahu bahwa cerita mereka baru saja dimulai.

 

Titik Akhir dan Awal yang Sama

Seiring berjalannya waktu, kedekatan antara Arlan dan Aruna tumbuh semakin dalam. Mereka berbagi tawa, cerita, bahkan keheningan, dan semua itu terasa istimewa. Mereka mungkin tidak pernah merencanakan ini, tetapi perasaan yang dulunya samar-samar kini semakin jelas, meskipun belum ada yang berani mengungkapkan.

Pada suatu senja yang temaram, Arlan mengajak Aruna ke taman belakang kampus. Tempat yang kini telah menjadi saksi dari banyak momen yang mereka lalui bersama. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah dan rerumputan, dan matahari perlahan tenggelam, meninggalkan langit dengan warna oranye yang indah. Arlan, dengan raut wajah serius namun lembut, menatap Aruna. Ada sesuatu dalam tatapannya yang berbeda, sesuatu yang mengisyaratkan sebuah keputusan yang selama ini mungkin ia pendam.

“Aruna, aku…,” suara Arlan terdengar sedikit gemetar, dan ia berhenti sejenak, mencoba merangkai kata-kata yang tepat. “Aku nggak tahu kapan semua ini mulai terasa… tapi aku yakin kalau apa yang kita punya ini nggak biasa.”

Aruna menatapnya, tersenyum lembut. Ia bisa merasakan hatinya berdebar, tetapi ia memilih untuk tetap tenang. “Arlan, aku juga merasa hal yang sama,” ucapnya pelan, lalu mengalihkan pandangan ke arah langit yang mulai gelap. “Dari awal, kita nggak pernah memaksakan apa pun, dan mungkin karena itu semuanya jadi terasa begitu alami.”

Arlan mengangguk, tersenyum kecil. “Tapi… aku nggak mau hubungan ini cuma menggantung. Aku ingin kita berdua tahu arah kita, jadi aku nggak akan ragu untuk bilang… aku sayang kamu, Aruna. Aku ingin kamu tahu itu.”

Kalimat itu terucap dengan pelan, tetapi cukup kuat untuk membuat dunia di sekitar mereka terasa hening. Aruna tertegun sejenak, menatap Arlan dengan mata berbinar. Ia tahu kata-kata itu bukan sekadar rangkaian kalimat, tetapi sebuah pernyataan yang telah lama tersimpan.

Aruna akhirnya tersenyum, matanya penuh haru. “Arlan, aku juga sayang kamu,” jawabnya dengan suara yang lembut namun tegas. “Aku nggak tahu kapan dan bagaimana ini terjadi, tapi aku tahu perasaanku tulus.”

Mereka saling menatap, dan tanpa ragu, Arlan menggenggam tangan Aruna. Sentuhan itu begitu hangat, seolah-olah seluruh perasaan mereka telah tersampaikan dalam genggaman itu. Mereka tak perlu berkata lebih banyak, karena segalanya sudah jelas dalam diam yang menyatukan mereka.

Senja pun akhirnya berganti malam, dan bintang-bintang muncul di langit, seolah menjadi saksi awal dari perjalanan mereka sebagai pasangan. Mereka duduk di sana, membiarkan keheningan malam dan angin lembut menyelimuti kebersamaan mereka, tanpa rasa terburu-buru.

Malam itu, mereka pulang dengan hati yang lebih ringan, perasaan yang lebih tenang, dan harapan baru yang tak terucapkan. Bagi Arlan dan Aruna, semua yang mereka butuhkan hanyalah waktu, kejujuran, dan keberanian untuk mengakui apa yang sebenarnya mereka rasakan. Di bawah langit malam yang penuh bintang, keduanya menemukan titik akhir dan awal yang sama—sebuah cinta yang tumbuh dengan tenang, tanpa perlu keraguan lagi.

Dan dengan itu, cerita mereka baru saja dimulai.

 

Jadi, begitulah cerita tentang Arlan dan Aruna—sebuah cinta pandangan pertama yang mengubah segalanya. Dari momen-momen konyol sampai ungkapan perasaan yang bikin baper, mereka membuktikan bahwa cinta itu bisa datang dari tempat yang tak terduga.

Di tengah kesibukan kampus dan segala drama yang mengikutinya, mereka berhasil menemukan satu sama lain, mengukir kenangan manis yang akan selalu diingat. Siapa tahu, kisah cinta kita juga bisa dimulai dari sebuah tatapan yang tak terduga, kan? Selamat berpetualang dalam kisah cinta kalian sendiri!

Leave a Reply