Daftar Isi
Hai, guys! Siapa yang bilang cinta itu selalu manis dan gampang? Yuk, ikuti kisah Rania dan Gibran, si ketua OSIS yang bikin jantung berdebar. Dari festival seni yang bikin hujan datang tiba-tiba, sampai momen-momen konyol yang bikin kamu pengen ketawa, mereka berdua buktikan bahwa cinta bisa datang dari tempat yang paling nggak terduga. Jadi, siap-siap baper, ya!
Cinta Tak Terduga
Pertemuan Tak Terduga
Hari itu, sekolah dipenuhi riuh rendah suara siswa yang berlarian kesana-kemari. Senja perlahan menghampiri, sinar matahari mulai meredup, memberikan nuansa hangat di halaman sekolah. Namun, bagi Gibran, suasana yang ceria ini terasa berbeda. Dia baru saja kembali dari kota tempatnya pindah dan berusaha menyesuaikan diri kembali di sekolah lamanya. Dalam benaknya, banyak kenangan manis yang terus membayangi, terutama kenangan bersama Rania, gadis yang pernah jadi teman dekatnya.
Gibran berdiri di sudut lapangan, matanya melingkari area tersebut. Banyak wajah familiar, tapi satu wajah yang paling dia rindukan adalah Rania. Setiap kali dia berpikir tentang Rania, hatinya berdebar. Mungkin ini saat yang tepat untuk bertemu lagi. Dengan tekad, dia melangkah ke arah gedung utama, berharap bisa melihatnya di sana.
Sesampainya di depan ruang kelas, Gibran melihat sekumpulan siswa yang sedang bercengkerama. Di tengah keramaian itu, dia melihat sosok yang sudah lama tidak ia lihat—Rania. Dia sedang berbincang dengan teman-teman sekelasnya, wajahnya bersinar dengan senyuman ceria yang selalu menghangatkan hati.
“Rania!” Gibran memanggil pelan, berharap dia mendengar.
Rania menoleh, dan matanya seolah berbinar saat mengenali Gibran. “Gibran! Kamu kembali!” teriaknya, langsung menghampiri. Mereka berdua berpelukan hangat, seolah semua waktu yang hilang terbayar dengan satu pelukan.
“Ya, aku kembali. Rasanya aneh juga bisa ada di sini lagi,” jawab Gibran, masih tertegun oleh perubahannya. Rania kini terlihat lebih dewasa, dan keanggunannya membuatnya sulit berpaling.
“Duh, kamu enggak berubah sama sekali! Masih saja wajahmu mengingatkanku pada kenangan zaman dulu,” Rania tertawa kecil, dan Gibran merasakan kehangatan yang membuatnya merasa di rumah.
“Ya, tapi kamu semakin cantik!” Gibran membalas dengan senyum, sedikit gugup. Dalam hatinya, dia berharap kata-katanya tidak terdengar terlalu klise.
“Makasih! Ayo, gabung sama kita!” Rania mengajak, dan Gibran mengikuti langkahnya ke arah kelompok yang sedang berkumpul.
Setelah beberapa saat berbincang-bincang, Rania mendapatkan panggilan untuk rapat OSIS. Dengan sigap, dia menegaskan, “Oke, semua! Kita harus segera berangkat ke ruang serba guna untuk rapat. Gibran, kamu mau ikut?”
Gibran mengangguk dengan antusias. “Tentu! Aku penasaran dengan dunia OSIS yang kamu ceritakan.”
Rania tersenyum lebar, senyuman yang membuat jantung Gibran berdegup lebih cepat. Begitu mereka masuk ke ruang serba guna, suasana yang tadinya ramai mendadak tenang. Semua siswa menatap Rania dengan penuh hormat. Sebagai ketua OSIS, dia memang punya karisma yang sulit ditandingi.
“Selamat datang di rapat OSIS!” Rania memulai, dan Gibran takjub melihat bagaimana dia memimpin dengan percaya diri. “Kita punya banyak agenda untuk festival sekolah, jadi mari kita diskusikan rencananya.”
Sementara rapat berlangsung, Gibran melihat Rania dengan penuh perhatian. Dia benar-benar mengagumi cara Rania berbicara di depan umum, seolah-olah seluruh dunia ada di tangannya. Namun, perhatian Gibran teralihkan saat Rania menunjukkan sketsa layout untuk festival.
“Dan ini dia! Kita akan memulai dengan panggung di sini, dan area bazar di sebelah kanan,” Rania menjelaskan dengan antusias. Dia melanjutkan hingga dia tidak sadar bahwa kursinya agak terlalu dekat dengan meja. Dalam sekejap, tanpa peringatan, Rania terjatuh!
“Rania!” Gibran berteriak dan segera berlari menghampiri. Dia berlutut di sampingnya, membantu Rania bangkit. “Kamu baik-baik saja?”
Dengan wajah memerah, Rania tertawa kikuk. “Ya, mungkin aku terlalu bersemangat.”
Semua siswa di ruangan itu tertawa, suasana yang tadinya tegang menjadi ceria kembali. Gibran tidak bisa menahan senyum. “Ini mungkin cara yang menarik untuk memulai rapat, ya?”
“Benar! Ini juga jadi pelajaran penting: jangan terlalu bersemangat saat menjelaskan!” Rania menjawab dengan nada menggoda. Gibran merasakan momen itu menjadi lebih dekat, seolah-olah mereka kembali ke masa kecil saat sering menghabiskan waktu bersama.
Setelah rapat, Gibran dan Rania berjalan beriringan menuju kantin. Saat mereka berbincang, Gibran merasakan getaran aneh di hatinya. “Rania, kenapa kamu jadi ketua OSIS?” tanyanya ingin tahu.
Rania mengangkat bahu, “Aku rasa aku memang suka berorganisasi. Lagipula, bisa bertemu orang-orang baru dan belajar banyak hal itu seru!”
“Kalau begitu, aku harus banyak belajar dari kamu!” Gibran mengalihkan perhatian, ingin berusaha lebih dekat.
Di tengah pembicaraan, Rania tiba-tiba terdiam, memandang ke arah jendela kantin. “Eh, lihat! Ada yang aneh di luar!”
Gibran mengikuti arah pandangnya. Dia melihat sekelompok siswa lain berlarian sambil membawa balon besar. “Hah? Apa itu? Kenapa mereka berlarian seperti itu?” Gibran bingung.
“Entahlah, sepertinya mereka sedang membuat kekacauan,” Rania menjawab, lalu tertawa. “Kita harus ikut meramaikan!”
Tanpa ragu, mereka berdua melangkah keluar. Gibran merasa bahwa dengan Rania, setiap momen terasa lebih hidup, lebih menyenangkan. Mereka terjebak dalam kekacauan balon itu, berlari dan tertawa, seolah-olah mereka kembali menjadi anak-anak.
Hari itu berlalu dengan tawa dan keceriaan. Gibran merasakan kehadiran Rania dalam hidupnya adalah sesuatu yang sangat berarti. Dia tahu bahwa pertemuan ini adalah awal dari banyak hal yang tak terduga. Namun, saat senja mereda dan gelap mulai menyelimuti, Gibran tidak bisa menghindari rasa bingung yang mengganggu pikirannya.
“Gibran, kamu kenapa?” tanya Rania tiba-tiba, menyadarkan Gibran dari lamunannya.
“Aku… hanya berpikir, kita harus melakukan ini lagi. Bersama,” jawabnya, mencoba menutupi keraguan dalam hatinya.
“Pastinya! Kita bisa bekerja sama di OSIS,” Rania menjawab penuh semangat, tanpa menyadari bahwa hati Gibran menginginkan lebih dari sekadar kerja sama.
Malam itu, saat Gibran pulang, dia tidak bisa menahan senyum. Rania telah kembali ke hidupnya, dan dia merasakan bahwa cinta yang terpendam mungkin akan segera terungkap. Namun, petualangan mereka baru saja dimulai.
Rapat yang Konyol
Hari-hari setelah rapat OSIS terasa begitu bersemangat bagi Gibran. Setiap kali dia bertemu Rania, hatinya berdebar-debar, seolah-olah dia menginjakkan kaki di taman yang penuh bunga. Mereka berdua semakin sering menghabiskan waktu bersama, berbincang, dan tertawa. Rania, dengan energi positifnya, mampu membuat segala hal menjadi lebih menyenangkan. Hari itu, Gibran dan Rania berencana mengadakan rapat untuk membahas persiapan festival sekolah yang semakin dekat.
Pagi itu, suasana di sekolah sangat ramai. Semua siswa terlihat bersemangat, dan Gibran merasakan euforia yang menggelora. Dia bergegas menuju ruang OSIS, tempat mereka biasa berkumpul. Sesampainya di sana, Rania sudah menunggu, mengenakan kaos putih bertuliskan “Ketua OSIS”, dengan senyuman cerah yang selalu membuatnya terpesona.
“Gibran! Ayo, kita mulai!” seru Rania, sambil menggerakkan tangannya seolah memanggil semangat dari dalam.
“Siap, Ketua! Apa agenda kita hari ini?” Gibran bertanya dengan nada menggoda.
Rania menggelengkan kepalanya, “Pertama-tama, kita harus membahas penempatan booth untuk bazar. Kemudian, kita perlu memikirkan siapa yang akan bertanggung jawab untuk setiap area.”
Gibran mengangguk, menyimak. “Aku bisa bantu dengan penempatan booth. Yang lain bisa bantu mencatat.”
“Bagus! Kita butuh kreativitas untuk membuat semuanya menarik,” Rania menambahkan, seolah berbicara pada seorang rekan kerja.
Saat rapat dimulai, suasana ruang OSIS terasa konyol. Ada beberapa siswa yang terlalu serius, sementara yang lain tampak lebih santai. Gibran dan Rania berusaha membuat suasana menjadi lebih menyenangkan. Rania mengeluarkan beberapa ide lucu yang membuat semua orang tertawa.
“Bagaimana kalau kita bikin booth yang bisa ‘memprediksi’ masa depan? Siapa tahu, bisa menarik pengunjung!” ucap Rania sambil terkekeh.
“Jadi, kita semua harus jadi peramal? Keren! Aku bisa pakai jubah hitam dan menambahkan bola kristal,” Gibran menyahut, berusaha ikut bercanda.
Rapat berlanjut dengan pembicaraan dan tawa. Namun, saat semua siswa bersemangat berdiskusi, Rania tidak sengaja menggeser gelas berisi air di atas meja. Dalam sekejap, air tumpah, menyiprat wajah Gibran!
“Eh, maaf! Gibran, kamu baik-baik saja?” Rania tampak panik, matanya membelalak.
Gibran tertawa lepas. “Ya, segar banget! Mungkin aku perlu mandi sehabis ini.”
“Benar, jangan lupa tambahkan sabun untuk aroma wangi!” jawab Rania, membuat semua orang tertawa.
Keberadaan tawa itu membuat suasana semakin hangat. Gibran merasa semakin dekat dengan Rania. Setiap lelucon yang mereka lontarkan semakin menambah kedekatan di antara mereka. Bahkan, saat rapat berakhir, mereka tidak langsung pergi. Sebaliknya, Gibran mengajak Rania untuk tinggal sebentar.
“Rania, bisa enggak kita bicarakan beberapa hal lagi?” Gibran meminta, wajahnya sedikit bersemu merah.
“Pasti! Ada apa?” Rania menjawab, menatapnya dengan penuh perhatian.
“Jadi, aku kepikiran untuk membuat sesuatu yang berbeda untuk festival. Mungkin kita bisa kolaborasi bikin booth seni, biar kita bisa mengekspresikan diri,” Gibran berkata, berusaha terdengar santai.
“Wow, itu ide bagus! Kita bisa ajak teman-teman lain juga,” Rania menjawab dengan semangat. “Tapi kita perlu latihan untuk menggambar.”
“Latihan? Apa kamu ingin berlatih di rumah?” Gibran menantang, mengalihkan perhatian dari rasa gugupnya.
Rania tertawa. “Tentu! Tapi, jangan harap aku bisa menggambar yang bagus. Aku lebih sering menggambar bunga daripada pemandangan!”
Gibran memikirkan hal itu sejenak. “Bisa jadi, kita buat booth bunga dan jual hasil gambar kita sendiri.”
“Kayaknya lucu! Tapi kita harus memikirkan konsepnya,” Rania menjawab, senyumnya tidak pernah pudar.
Mereka berdua merancang konsep booth seni yang konyol dan kreatif, membayangkan apa yang bisa mereka lakukan. Semakin dalam mereka berbincang, Gibran merasakan kedekatan yang tak terduga. Hatinya bergetar saat Rania mengusulkan ide-ide baru, dan ia semakin yakin bahwa dia ingin lebih dari sekadar teman dengan gadis ini.
Namun, saat mereka mengakhiri pembicaraan, Rania tiba-tiba terdiam. “Gibran, aku ingin tanya sesuatu. Kamu masih ingat masa-masa kita kecil?”
Gibran mengangguk, teringat masa-masa indah saat mereka sering bermain bersama. “Tentu! Aku ingat kita sering membangun rumah dari karton dan berhayal jadi raja dan ratu.”
Rania tersenyum nostalgia. “Ya, waktu itu sangat menyenangkan. Tapi… aku rasa kita tidak bisa kembali ke masa itu, kan?”
“Kenapa tidak?” Gibran menanggapi, ingin memastikan apa yang ada di benaknya. “Kita bisa menciptakan kenangan baru sekarang!”
Rania mengangguk, tampak sedikit bingung. “Kamu benar, tapi aku juga tidak ingin membuat segalanya jadi rumit.”
“Siapa bilang cinta itu rumit?” Gibran berani bertanya, melihat Rania dengan serius.
Hanya sejenak, Rania terdiam. “Mungkin kamu benar, tapi kadang aku bingung dengan perasaanku.”
“Kalau begitu, kita cari tahu bersama-sama, ya?” Gibran tersenyum, berusaha memberi kepercayaan pada Rania.
Setelah momen hening itu, mereka berdua memutuskan untuk berjalan pulang. Malam itu, saat mereka berpisah di depan gerbang sekolah, Gibran merasakan sebuah keyakinan baru. Mungkin, semua ini adalah tanda bahwa perasaan mereka akan semakin berkembang.
“Besok kita bertemu lagi, ya?” tanya Rania dengan penuh harap.
“Pasti! Aku sudah tidak sabar untuk merencanakan lebih banyak hal untuk festival,” jawab Gibran dengan semangat.
Saat Rania melambaikan tangan dan melangkah pergi, Gibran merasakan semangat baru. Dia tahu bahwa perjalanan cinta mereka baru saja dimulai, dan dia tidak sabar untuk melihat ke mana arah semua ini.
Rencana Gila
Hari-hari setelah pertemuan itu membuat Gibran dan Rania semakin dekat. Setiap pagi, mereka tidak hanya bertemu di ruang OSIS, tetapi juga menghabiskan waktu di kafe kecil dekat sekolah. Kafe tersebut menjadi tempat favorit mereka untuk berdiskusi tentang festival, sambil menikmati secangkir cokelat panas yang hangat. Momen-momen sederhana ini membuat Gibran semakin jatuh cinta pada Rania.
Suatu pagi, saat mereka duduk di sudut kafe, Gibran melihat Rania dengan wajah ceria. “Hari ini cerah, ya? Cocok banget buat kita buat rencana gila!” ucapnya, ingin menggugah semangat Rania.
“Rencana gila? Apa maksudnya?” Rania bertanya, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
Gibran melanjutkan, “Gimana kalau kita bikin booth seni itu di atas atap sekolah? Kita bisa mengundang teman-teman untuk datang dan menggambar dengan kita!”
“Wow, itu ide keren! Tapi, apa kita bisa? Bukankah atap sekolah biasanya ditutup?” Rania tampak bersemangat namun ragu.
“Kita bisa minta izin sama kepala sekolah! Lagipula, festival ini kan untuk merayakan kreativitas,” Gibran menjawab penuh percaya diri.
“Hmm, oke. Tapi kita harus benar-benar meyakinkan kepala sekolah,” Rania menjawab, mengangguk pelan.
Setelah sepakat, mereka pun merancang rencana untuk mengajukan izin kepada kepala sekolah. Rania terlihat begitu bersemangat, dan Gibran tidak bisa tidak terpesona melihatnya. Ketika Rania menjelaskan detail rencana mereka, Gibran merasa hatinya bergetar. Dia tahu, setiap detik yang dihabiskan bersamanya adalah berharga.
Mereka memutuskan untuk bertemu dengan kepala sekolah setelah jam pelajaran. Keduanya berdiri di depan ruangan kepala sekolah, saling memberikan semangat sebelum memasuki ruangan. Gibran mengetuk pintu, dan suara tegas dari dalam mempersilakan mereka masuk.
“Kalian ada apa?” tanya Kepala Sekolah, menatap mereka dengan serius.
“Selamat pagi, Pak! Kami ingin mengajukan izin untuk membuat booth seni di atas atap sekolah saat festival,” Rania menjelaskan, wajahnya bersemangat.
Kepala Sekolah tampak berpikir sejenak. “Atap sekolah? Itu bukan tempat yang biasa digunakan untuk kegiatan. Kenapa kalian memilih tempat itu?”
“Karena kami ingin memberikan pengalaman baru bagi siswa. Kami ingin menciptakan suasana yang berbeda, dan kami percaya itu akan membuat festival lebih berkesan,” Gibran menambahkan, berusaha menunjukkan keyakinan di matanya.
Kepala Sekolah terdiam, memikirkan semua argumen mereka. “Baiklah, tapi dengan satu syarat. Kalian harus menjamin keamanan semua peserta. Tidak boleh ada yang melanggar aturan.”
“Siap, Pak! Kami akan memastikan semuanya aman,” Rania menjawab penuh semangat.
Setelah mendapatkan izin, mereka berdua keluar dengan senyuman lebar. “Kita berhasil! Kita benar-benar bisa melakukannya!” Gibran melompat kegirangan.
“Rencana gila kita jadi kenyataan!” Rania ikut bersemangat, melompat kecil dalam kegembiraan.
Mereka memutuskan untuk segera merancang booth dengan tema yang menyenangkan. Dalam beberapa hari ke depan, Gibran dan Rania semakin terlibat dalam persiapan. Mereka mendesain poster, mencari perlengkapan seni, dan membagi tugas kepada teman-teman mereka.
“Gibran, kamu bisa gambar lebih baik daripada aku. Kenapa tidak kamu buat poster utama untuk booth kita?” Rania mengusulkan sambil memperlihatkan sketsa sederhana yang dia buat.
“Bisa! Tapi kamu harus membantu aku memilih warna yang tepat. Tanpa kamu, semuanya mungkin terlihat membosankan,” jawab Gibran sambil tersenyum.
Saat mereka berkumpul dengan teman-teman di ruang OSIS, suasana semakin ramai. Mereka semua tampak antusias dan bersemangat untuk berkontribusi pada booth seni tersebut. Gibran dan Rania merasa seperti pemimpin tim yang berfungsi dengan baik.
Hari demi hari berlalu, dan saat festival pun tiba. Suasana sekolah dipenuhi dengan kegembiraan. Semua siswa mengenakan kostum kreatif, dan banyak booth yang menarik perhatian. Gibran dan Rania sudah siap di atap sekolah, menunggu pengunjung datang.
“Gibran, kita sudah siap! Lihat, semua alat gambar sudah siap!” Rania berteriak gembira.
Gibran memeriksa semua perlengkapan, “Ini bakal jadi pengalaman yang seru! Ayo, kita sambut pengunjung pertama!”
Namun, saat festival mulai ramai, tiba-tiba langit mendung dan suara guntur menggelegar. Hujan turun dengan deras, membuat semua orang berlari mencari perlindungan. Gibran dan Rania saling pandang, panik.
“Kita tidak bisa biarkan ini menghancurkan semuanya!” Gibran berteriak di atas suara hujan. “Kita harus tetap semangat!”
“Benar! Ayo, kita pindah ke aula sekolah! Kita bisa tetap menggambar di sana!” Rania memberi ide cemerlang.
Dengan cepat, mereka berlari menuju aula, mengumpulkan semua perlengkapan. Dalam perjalanan menuju aula, Rania tersandung dan hampir jatuh, tetapi Gibran sigap menangkapnya.
“Hati-hati! Jangan sampai kamu terjatuh lagi!” Gibran mengingatkan dengan cemas.
Rania tertawa kecil, “Kamu benar-benar superhero-ku, ya?”
“Superhero yang basah kuyup!” Gibran membalas sambil tertawa, merasakan kebahagiaan meski dalam situasi yang tak terduga.
Setelah sampai di aula, mereka dan teman-teman lainnya mulai mengatur ulang perlengkapan. Meski sedikit kacau, semangat mereka tak surut. Gibran dan Rania tetap melukiskan senyum di wajah setiap pengunjung, membuat pengalaman menggambar menjadi tidak terlupakan.
Ketika semua tampak kembali normal, Rania menatap Gibran dengan penuh rasa terima kasih. “Gibran, terima kasih sudah bersamaku dalam semua ini. Kamu selalu tahu bagaimana membuatku merasa lebih baik.”
Gibran hanya tersenyum, “Aku akan selalu ada untukmu. Kita masih punya banyak rencana seru ke depannya.”
Saat festival berlanjut, Gibran merasakan kedekatan yang lebih dalam dengan Rania. Hari itu bukan hanya tentang seni, tetapi juga tentang kebersamaan mereka. Dalam setiap tawa dan keceriaan yang dibagikan, Gibran tahu bahwa ini adalah awal dari perjalanan cinta yang tak terduga.
Momen yang Tak Terduga
Festival seni di aula sekolah berlangsung dengan meriah meskipun cuaca di luar tidak mendukung. Rania dan Gibran merasakan energi positif dari semua peserta yang antusias menggambar. Satu demi satu pengunjung datang, berpartisipasi dalam booth mereka, dan suasana semakin hangat. Tawa, obrolan, dan suara pensil yang menggesek kertas menjadi latar belakang yang sempurna untuk kebersamaan mereka.
Setelah beberapa jam, Rania dan Gibran beristirahat sejenak, menikmati minuman dingin yang mereka bawa. “Kamu lihat? Booth kita berhasil! Semua orang senang,” kata Rania, tersenyum lebar.
Gibran mengangguk, merasakan kebanggaan atas apa yang mereka capai. “Ini semua berkat kamu, Rania. Tanpa ide dan semangatmu, kita tidak akan sampai sejauh ini.”
Rania hanya tersipu, tidak terbiasa menerima pujian. “Kita bekerja sama, kan? Kalau bukan karena kita berdua, semua ini tidak mungkin terjadi.”
Tiba-tiba, suara gemuruh dari luar mengalihkan perhatian mereka. Hujan yang sebelumnya reda kini mulai turun lagi, lebih deras dari sebelumnya. “Aduh, hujan lagi!” Rania tampak gelisah. “Aku harap semua orang tidak langsung pulang.”
“Tenang saja, Rania. Kita bisa mengalihkan perhatian mereka dengan menggambar bersama,” jawab Gibran, berusaha menenangkan.
Ketika Rania mengangguk setuju, mereka kembali ke meja booth dan mengajak teman-teman serta pengunjung untuk menggambar bersama di dalam aula. Saat semua berkumpul, Gibran dan Rania memimpin kegiatan tersebut. Hujan di luar menciptakan suasana intim di dalam aula.
Satu per satu, mereka mulai menggambar. Rania menggambar sketsa kucing lucu, sementara Gibran mencoba menggambar pemandangan. Keduanya saling menyela dengan komentar lucu, mengundang tawa dari semua peserta. Rania melihat Gibran yang serius menggambar, dan dia pun tidak bisa menahan tawanya. “Gibran, apa itu? Pemandangan atau monster?”
Gibran mengangkat kepalanya dan menjawab dengan nada canda, “Hey, ini adalah seni! Setiap orang punya cara sendiri untuk mengekspresikan diri.”
Keceriaan tersebut berlanjut hingga mereka kehabisan kertas. Semua orang tampak senang, dan suasana kebersamaan membuat Rania merasa hangat. Saat festival mulai mereda dan orang-orang mulai meninggalkan aula, Gibran dan Rania masih sibuk merapikan perlengkapan.
“Gibran, terima kasih ya. Aku tidak menyangka festival ini bisa seru seperti ini,” ucap Rania dengan tulus.
Gibran tersenyum, “Aku senang kamu menikmatinya. Ini bukan hanya festival, ini adalah awal dari semua petualangan kita, Rania.”
Setelah merapikan semua barang, mereka duduk di tangga dekat pintu keluar aula, menikmati momen tenang setelah keramaian. Hujan di luar mulai reda, dan mereka melihat pelangi mulai muncul di langit.
“Lihat! Pelangi!” seru Rania, matanya berbinar penuh rasa kagum. “Ini luar biasa!”
Gibran mengangguk sambil memandang Rania. “Seperti kita, kan? Setelah badai, selalu ada pelangi.”
Rania menatap Gibran dengan tatapan penuh makna. “Aku senang kita bisa melewati semua ini bersama.”
Tiba-tiba, Gibran teringat sesuatu. “Oh iya, Rania. Aku punya kejutan buat kamu.”
“Jsurprise? Apa itu?” Rania tampak penasaran.
Gibran mengeluarkan lencana kecil dari saku. “Ini lencana OSIS. Aku ingin memberikannya padamu sebagai simbol kerja keras kita di festival ini.”
Rania tertegun, tidak menyangka. “Gibran, ini… sangat berarti. Terima kasih!”
Gibran menempelkan lencana itu di jas Rania, menatapnya dengan serius. “Kamu layak mendapatkannya. Kita telah melakukan hal-hal luar biasa bersama, dan aku tidak sabar untuk melakukan lebih banyak lagi.”
Momen itu terasa semakin intim. Rania merasakan perasaan hangat di dalam hatinya. “Aku juga merasakan hal yang sama, Gibran. Setiap detik bersamamu membuatku merasa spesial.”
Gibran tersenyum, merasakan harapan yang sama. “Jadi, bagaimana kalau kita membuat rencana lain setelah festival ini? Misalnya, menggambar bersama di taman, atau bahkan membuat proyek seni yang lebih besar?”
Rania meliriknya dengan senyuman manis. “Tentu saja! Aku sangat ingin, Gibran.”
Saat mereka berbincang, suara derap langkah kaki mendekat. Teman-teman mereka muncul, terlihat kelelahan namun bahagia. “Kalian berdua, ini luar biasa! Kita harus mengulangi momen ini lagi!” teriak salah satu teman mereka.
Gibran dan Rania saling tatap, merasakan kebahagiaan dalam kerumunan itu. Rania mengangguk setuju, “Kita akan membuat lebih banyak kenangan bersama!”
Di tengah keramaian, di antara tawa dan keceriaan, Gibran meraih tangan Rania dan menggenggamnya erat. Momen kecil itu terasa besar bagi mereka. Semua yang terjadi selama festival ini, dari hujan hingga pelangi, mengikat mereka dalam sebuah ikatan yang tak terduga.
Akhirnya, di bawah sinar pelangi, mereka berdua tahu bahwa ini adalah awal dari perjalanan cinta yang indah. Dan dengan semangat dan keberanian yang baru, mereka siap menghadapi semua rencana yang menanti di depan.
Nah, gimana? Cerita Rania dan Gibran ini emang bikin baper, ya? Dari semua konyolnya momen di festival sampai pelangi yang muncul setelah hujan, mereka nunjukin bahwa cinta bisa datang dengan cara yang paling nggak terduga. Jadi, siap-siap untuk perjalanan cinta kalian sendiri, karena siapa tahu, cinta itu justru ada di lencana OSIS yang kamu lihat sehari-hari!