Langit yang Mendung: Kisah Nehan dan Perpisahan yang Menghantui

Posted on

Hai, semua! Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya pernahkah kamu merasakan kehilangan yang begitu mendalam hingga membuat hidupmu terasa suram? Cerita “Menemukan Cahaya di Ujung Terowongan” ini akan membawa kita mengikuti perjalanan Nehan, seorang gadis SMA yang harus menghadapi kenyataan pahit ditinggal oleh ayahnya.

Meskipun rasa sakit itu nyata, Nehan menunjukkan bahwa harapan dan kebahagiaan masih bisa ditemukan meski dalam kegelapan. Yuk, simak bagaimana Nehan mengubah kesedihan menjadi kekuatan dan menemukan cara untuk menerbangkan layang-layang impian!

 

Langit yang Mendung

Hilang dalam Kebisingan: Kesedihan yang Tak Terucap

Hari-hari berlalu, dan Nehan merasa dunia di sekitarnya semakin ramai, tetapi ia semakin merasa kesepian. Suara tawa dan obrolan teman-temannya di sekolah seakan menjauh darinya, menjadi kebisingan yang tidak berarti. Di dalam hatinya, kesedihan itu bagaikan badai yang tidak pernah reda. Meski ia berusaha menampilkan wajah ceria, di dalam dirinya tersimpan kekosongan yang dalam.

Suatu hari, saat Nehan duduk di kantin sekolah bersama Dinda dan beberapa teman lainnya, mereka membahas acara perpisahan yang akan datang. Dinda berbicara penuh semangat, menjelaskan bagaimana mereka akan merayakan momen tersebut dengan sebuah pesta meriah. “Nehan, kamu harus ikut! Kita bisa buat acara yang super seru,” katanya dengan antusias. Namun, Nehan hanya tersenyum lemah, tidak mampu merasakan semangat yang sama.

Kembali ke rumah, Nehan mendapati dirinya duduk di meja belajarnya, menatap lembaran-lembaran kosong di depannya. Buku catatan yang dulu selalu dipenuhi dengan coretan dan gambar-gambar ceria kini terasa menakutkan. Setiap kali ia mencoba menulis, semua kata-kata terasa tersekat di tenggorokan. Ia merindukan ayahnya, merindukan nasihat dan dukungan yang selalu diberikan. Satu hal yang membuatnya sulit menerima kenyataan adalah bahwa ia tidak bisa lagi mendengarkan suara ayahnya.

Sore itu, Nehan merasa terjebak dalam pikirannya sendiri. Ia mengambil buku catatan dan mulai menulis lagi. “Hari ini adalah hari yang berat,” tulisnya. Ia mulai mencurahkan segala perasaannya ke dalam catatan, mengungkapkan semua kesedihan dan ketidakberdayaannya. “Terkadang, aku merasa tidak ingin pergi ke sekolah. Rasanya seperti aku bersembunyi dari dunia,” lanjutnya.

Sambil menulis, air matanya mengalir tanpa henti. Ia merindukan momen-momen kecil yang tidak pernah ia hargai sebelumnya. Seringkali, ia dan ayahnya pergi ke taman, berjalan-jalan sambil bercerita tentang impian dan harapan. Kini, semua itu hanyalah kenangan yang tersimpan dalam hati. Nehan teringat pada janji ayahnya untuk selalu mendukungnya, tetapi sekarang ia merasa tidak ada yang bisa menghiburnya.

Keesokan harinya, saat perjalanan ke sekolah, Nehan melihat anak-anak lain berjalan beriringan, tertawa, dan bercanda. Ia merasa seperti pengamat, terasing dari kebahagiaan mereka. Meski hatinya berjuang melawan kesedihan, ia masih harus berjalan ke kelas dan bersikap seolah semuanya baik-baik saja. Saat memasuki ruang kelas, ia menemukan tempat duduknya, tetapi kali ini, rasanya sangat sunyi.

Di dalam kelas, pelajaran berlangsung seperti biasa, tetapi Nehan tidak dapat berkonsentrasi. Pikirannya melayang jauh, terjebak dalam kenangan-kenangan yang membuatnya semakin hancur. Tiba-tiba, seorang teman, Arief, yang duduk di sampingnya, menepuk bahunya. “Nehan, kamu baik-baik saja? Sepertinya kamu tidak fokus hari ini.”

Nehan tersenyum lemah, berusaha menutupi kesedihannya. “Iya, hanya sedikit capek,” jawabnya. Tetapi di dalam hati, ia merasa ada sesuatu yang harus ia sampaikan. Ia ingin berterus terang, tetapi kata-kata itu terhenti di bibirnya.

Hari-hari berikutnya, Nehan mencoba menghadiri setiap acara yang diadakan di sekolah. Ia ingin tetap aktif dan terlibat, meskipun kadang-kadang kesedihan itu muncul kembali. Ketika acara perpisahan sekolah akhirnya tiba, Nehan merasa campur aduk. Ia ingin merayakan momen berharga ini, tetapi bayangan ayahnya selalu menghantuinya.

Ketika malam pesta tiba, Nehan berdiri di depan cermin, melihat bayangannya yang tersenyum. Ia mengenakan gaun cantik yang pernah dibeli ayahnya untuknya. Saat memakainya, seolah ada pelukan hangat dari sang ayah yang menyelimuti dirinya. Namun, saat melangkah ke pesta, Nehan merasa berdebar. Ia ingin bersenang-senang, tetapi rasa sedih dan kehilangan tidak bisa ia abaikan.

Saat acara berlangsung, Nehan berusaha tersenyum dan bercanda dengan teman-temannya. Namun, setiap kali ia mendengar lagu yang mengingatkannya pada ayah, air mata itu mengancam untuk tumpah. Dalam suasana ceria itu, ia berusaha menemukan pelarian dari kesedihan. Ia menari, berbicara, dan tertawa, tetapi di sudut hatinya, Nehan merasa seperti menjalani sandiwara.

Ketika malam semakin larut, Nehan menemukan dirinya berdiri di luar gedung, jauh dari keramaian. Di bawah langit berbintang, ia merasakan kesepian yang mendalam. “Ayah, aku merindukanmu,” ucapnya lirih, menatap bintang-bintang yang berkelap-kelip. Ia berharap, di antara bintang-bintang itu, ada ayahnya yang tersenyum padanya, memberi semangat agar ia tidak menyerah.

Nehan menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. Ia tahu bahwa hidup harus terus berjalan, meskipun dengan rasa sakit yang menggerogoti. Ia ingin membuat ayahnya bangga, meskipun di dalam hatinya masih terdapat duka yang mendalam. Malam itu, Nehan berjanji pada dirinya sendiri untuk terus berjuang, untuk menemukan cara agar bisa mengenang ayahnya dengan cara yang baik.

Dengan tekad yang baru, Nehan melangkah kembali ke dalam pesta. Ia berusaha menghangatkan hatinya dengan tawa dan kebahagiaan teman-temannya. Ia tahu perjalanan ini masih panjang, tetapi ia tidak akan menyerah. Setiap detik adalah perjuangan, tetapi di balik semua itu, ada harapan yang menanti untuk ditemukan.

 

Kenangan yang Terukir: Saat Senyuman Ayah Masih Membekas

Hari itu, langit di kota tempat Nehan tinggal tampak kelabu, seperti hati gadis remaja berusia enam belas tahun ini. Cuaca mendung seringkali membuatnya teringat pada sosok ayah yang kini telah tiada. Nehan, dengan gaya gaul dan penuh semangatnya, duduk di bangku taman sekolah bersama teman-temannya. Namun, di balik tawa yang mengalun, ada kesedihan yang menanti untuk diungkapkan.

Beberapa bulan yang lalu, kehidupan Nehan berubah dalam sekejap. Ayahnya, sosok yang selalu menjadi pahlawan dalam hidupnya, menghembuskan nafas terakhirnya setelah berjuang melawan sakit yang tak kunjung sembuh. Hari itu, saat Nehan menerima kabar duka, dunia seakan runtuh. Rasanya, segala keceriaan yang pernah ada menghilang seiring dengan kepergian ayahnya.

Nehan mengenang hari-hari terakhir bersama ayahnya. Di rumah, ia sering melihat ayahnya duduk di sofa, tersenyum sambil membacakan cerita favoritnya sebelum tidur. “Nehan, ingatlah, tidak ada yang lebih kuat dari cintamu pada mimpi-mimpi. Apapun yang terjadi, kamu harus bisa terus berjuang,” kata ayahnya dengan suara yang lembut dan penuh harapan. Kalimat itu kini terngiang di telinganya seperti lagu yang tidak pernah pudar.

Di sekolah, Nehan berusaha keras untuk tetap terlihat ceria. Ia tidak ingin teman-temannya merasa khawatir, meski dalam hati, ia merasakan luka yang dalam. Nehan menjadi sosok yang suka menghibur teman-temannya, tetapi di balik senyum manisnya, ada rasa kosong yang tidak dapat ia isi. Setiap kali ada yang bertanya tentang ayahnya, Nehan hanya tersenyum pahit dan mengalihkan pembicaraan.

“Eh, Nehan! Ayo ikut kita ke cafe setelah sekolah!” ajak Dinda, sahabatnya. Nehan mengangguk sambil tersenyum, meskipun hatinya berat. Ia tahu, kebersamaan dengan teman-temannya bisa sedikit mengalihkan pikirannya dari kesedihan yang menghantuinya.

Namun, saat mereka duduk bersama di meja cafe, Nehan merasa seolah ada dinding pemisah antara dirinya dan teman-temannya. Mereka tertawa, bercerita tentang kehidupan sehari-hari, tetapi Nehan hanya mendengarkan. Ketika Dinda bercerita tentang momen lucu di sekolah, Nehan tidak dapat menahan air matanya. Ia teringat pada momen-momen bahagia bersama ayahnya, saat mereka tertawa bersama di rumah, saat ayahnya bercerita tentang masa kecilnya.

Malam itu, Nehan pulang dengan hati yang berat. Ia berbaring di tempat tidurnya, menatap langit malam melalui jendela. Bintang-bintang berkelap-kelip, dan Nehan merasa seolah ayahnya sedang melihatnya dari jauh, tersenyum bangga. Namun, kesepian menggerogoti hatinya, dan air matanya tak dapat dibendung lagi. Ia merindukan kehangatan pelukan ayahnya, suara lembut yang selalu memberikan semangat saat ia merasa down.

“Seharusnya kamu di sini, Ayah,” bisiknya pelan, seraya membayangkan wajah ayahnya. Ia berusaha mengingat semua kenangan indah, tetapi rasa sakit kehilangan itu seperti bayangan yang terus mengikuti, tak mau pergi.

Di tengah kesedihannya, Nehan merasa terjaga oleh kenangan yang terus mengalir. Ia teringat pada kata-kata ayahnya yang selalu menguatkannya. Mungkin inilah saatnya untuk mencari cara agar kenangan itu tidak memudar, agar cinta ayahnya tetap hidup dalam dirinya. Namun, Nehan tidak tahu harus mulai dari mana.

Hari-hari berikutnya berlalu dengan lambat. Nehan berusaha keras untuk menjalani kehidupan sehari-hari, tetapi rasa kehilangan itu selalu membayanginya. Ia mencari cara untuk mengungkapkan perasaannya, mungkin melalui tulisan atau seni, tetapi terkadang rasa takut dan kesedihan itu menahannya.

Akhirnya, Nehan memutuskan untuk menulis diari. Dengan harapan bahwa dengan menuangkan perasaannya ke dalam kata-kata, ia bisa sedikit meringankan beban yang ada di hatinya. Ia mengambil buku catatan dan mulai menulis. Di saat itu, Nehan merasa seolah bisa berbicara dengan ayahnya, meski hanya melalui tinta di atas kertas.

“Untuk Ayah yang selalu ada dalam hatiku,” tulisnya. Dengan setiap goresan pena, Nehan merasakan sedikit ketenangan. Ia tahu perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi ia bertekad untuk melanjutkan hidupnya dengan membawa semangat ayahnya di dalam setiap langkahnya.

Nehan tidak ingin perpisahan ini menjadi akhir dari segalanya. Ia ingin mengingat ayahnya dengan cara yang indah, dan meskipun hatinya masih terasa hancur, ia berjanji untuk terus berjuang. Sebuah perjalanan panjang menantinya, tetapi ia yakin, suatu saat nanti, langit akan kembali cerah.

 

Cahaya di Ujung Terowongan

Malam perpisahan itu masih terbayang dalam ingatan Nehan, menghangatkan hatinya di tengah rasa kesepian yang sering menghampirinya. Teman-teman telah pergi ke rumah masing-masing, tetapi Nehan tetap merasa betah di tempat itu, mengingat setiap tawa dan cerita yang dibagikan. Ia merasa lebih kuat, lebih berani untuk menghadapi hari-hari mendatang meskipun bayang-bayang kehilangan ayahnya masih menghantuinya.

Keesokan harinya, saat bangun dari tidur, Nehan merasa ada sesuatu yang berbeda. Suara bising dari luar jendela menarik perhatian. Ia melihat anak-anak bermain layang-layang di taman dekat rumah. Tiba-tiba, hati Nehan tergerak. Kenapa ia tidak bisa merasakan kebahagiaan yang sama? Kenapa ia tidak bisa menikmati keindahan hidup meski ada kesedihan yang mengikutinya?

Pikirannya melayang ke satu kenangan indah bersama ayahnya. Saat itu, ayahnya mengajaknya ke taman, dan mereka membuat layang-layang bersama. Nehan bisa merasakan sentuhan lembut tangan ayahnya ketika mengikat benang dan menggambar wajah layang-layang. Saat itu, semua tampak cerah dan menyenangkan. “Nehan, hidup ini seperti layang-layang. Kadang-kadang kita harus terbang tinggi meski ada angin kencang,” kata ayahnya.

Mendengarkan suara-suara ceria di luar, Nehan merasa tergerak. Ia ingin mencoba menghidupkan kembali kenangan itu. Dengan cepat, ia mengambil kuas dan cat yang ada di sudut kamarnya. Kali ini, ia tidak hanya ingin menggambar, tetapi juga ingin membuat layang-layang yang indah untuk melambangkan semangatnya.

Di taman, Nehan melihat banyak anak yang sedang bermain layang-layang. Melihat mereka, sebuah ide muncul di benaknya. Ia akan membuat layang-layang untuk dibagikan kepada teman-temannya, untuk mengingatkan mereka bahwa kebahagiaan bisa hadir meskipun ada kesedihan. Semangat baru mengalir dalam dirinya, dan ia bertekad untuk mewujudkan ide itu.

Hari-hari berlalu, dan Nehan bekerja keras. Ia menggambar layang-layang dengan warna-warni ceria, menggambarkan cita-cita dan impian yang ingin ia capai. Setiap sapuan kuasnya dipenuhi dengan harapan dan kenangan indah bersama ayahnya. Selama proses itu, air mata sering mengalir, tetapi kali ini bukan karena kesedihan semata. Ia merasa bahwa ia sedang menggambarkan perjalanan hidupnya yang penuh perjuangan dan harapan.

Akhirnya, hari yang dinantikan pun tiba. Nehan mengundang semua teman-temannya untuk berkumpul di taman. Dalam hati, ia merasa gugup, tetapi juga bersemangat. Saat mereka tiba, wajah mereka dipenuhi rasa ingin tahu. “Ada apa, Neh?” tanya Dinda sambil tersenyum.

Dengan penuh percaya diri, Nehan mulai menjelaskan. “Aku membuat layang-layang untuk kita semua. Ini adalah simbol harapan dan kebahagiaan, meskipun kadang kita harus melewati badai.”

Teman-temannya terlihat terkejut, tetapi senyum mereka cepat kembali. Mereka membantu Nehan membentangkan layang-layang dan mempersiapkan benang untuk menerbangkannya. Di tengah-tengah kebersamaan itu, Nehan merasakan kebahagiaan yang tulus mengalir dalam dirinya. Ia merasa seperti kembali menemukan jati dirinya.

Ketika semua layang-layang terbang tinggi, Nehan merasa seolah-olah ayahnya sedang melihatnya dari atas. Ia membayangkan senyum bangga di wajah ayahnya. Rasa kehilangan yang selama ini menyakitkan terasa lebih ringan. “Ayah, aku berjanji akan terus berjuang dan membuatmu bangga,” bisiknya dalam hati.

Dari kejauhan, mereka melihat langit biru dengan warna-warni layang-layang yang menari-nari. Setiap layang-layang melambangkan impian dan kebahagiaan yang ingin mereka capai. Tawa dan sorak-sorai menggema di taman, membangkitkan semangat Nehan yang sempat pudar.

Selama berjam-jam mereka bermain dan menerbangkan layang-layang, Nehan merasakan kehangatan persahabatan yang mengelilinginya. Dinda dan Arief tidak hanya teman; mereka adalah keluarga yang selalu siap mendukungnya. “Nehan, kamu hebat! Terima kasih sudah mengajak kami merayakan kebahagiaan ini,” kata Arief dengan tulus.

Nehan tersenyum, hatinya dipenuhi rasa syukur. Ia menyadari bahwa meskipun hidupnya tak lagi sempurna tanpa ayah, ia masih memiliki cinta dari orang-orang di sekelilingnya. Kekuatan baru lahir dalam dirinya, mengingatkan bahwa perjalanan hidup tidak selalu harus tanpa rintangan, tetapi bagaimana cara kita menghadapinya.

Saat senja mulai merayap, Nehan dan teman-temannya duduk di rumput, memandangi layang-layang yang terbang tinggi. “Lihat, Neh! Layang-layang itu seolah-olah menari di langit,” seru Dinda dengan kegembiraan. Nehan menatap langit, matanya berkaca-kaca. “Iya, mungkin ini cara ayahku untuk memberi tahu bahwa aku tidak sendirian.”

Malam itu, Nehan pulang dengan hati yang lebih ringan. Ia tahu perjuangannya tidak akan berhenti di sini, tetapi ia merasa siap menghadapi apa pun yang datang. Di ujung terowongan gelap, ia akhirnya menemukan cahaya—cahaya harapan dan kebahagiaan yang akan menuntunnya menjalani hidup dengan penuh semangat. Nehan berjanji pada dirinya sendiri, ia akan terus terbang, seperti layang-layang di langit.

 

Jejak Langkah yang Hilang

Setelah malam pesta yang penuh haru, Nehan kembali ke rutinitasnya di sekolah. Meskipun ia mencoba untuk bersikap ceria, bayang-bayang kesedihan tetap mengikuti langkahnya. Ketika melihat foto-foto dari pesta, ia merasa seolah-olah ada kekosongan di dalam diri yang tak bisa diisi. Teman-teman terdekatnya, Dinda dan Arief, sering mengajaknya berkumpul, tetapi Nehan lebih suka menyendiri. Di balik senyum yang ia paksa, ia merasa terkurung dalam kesedihan yang tak tertahankan.

Di sekolah, Nehan menghadapi kenyataan pahit bahwa tahun ajaran akan segera berakhir. Berita itu membuatnya semakin gelisah. Ia akan berpisah dengan teman-temannya, dan semua kenangan indah di sekolah akan menjadi kenangan belaka. Terkadang, ketika semua orang berbicara tentang rencana masa depan mereka, Nehan merasa seolah-olah hidupnya tidak memiliki arah. Semua impiannya terasa membosankan dan hampa. Ia merindukan ayahnya yang selalu memberikan dorongan untuk mengejar impian.

Suatu hari, saat pelajaran seni, guru meminta setiap siswa untuk membuat poster tentang impian mereka di masa depan. Semua teman-temannya terlihat bersemangat, menggambar dan menulis tentang apa yang mereka inginkan. Ketika guru menanyakan kepada Nehan, ia terdiam. Ia merasa seolah-olah tidak memiliki impian lagi. “Nehan, ada yang ingin kamu katakan?” tanya Bu Rita, guru seni mereka.

“Um… aku belum tahu, Bu,” jawab Nehan pelan, tidak mampu memandang ke arah teman-temannya yang menunggu.

Di tengah kelas, ia merasakan tatapan teman-temannya yang penuh harapan, tetapi ia hanya bisa tersenyum kecil. Dinda, yang duduk di sampingnya, menepuk bahunya. “Ayo, Neh! Pikirkan sesuatu. Kamu pasti bisa!”

Semua itu hanya membuatnya merasa semakin tertekan. Pulang dari sekolah, Nehan mengurung diri di kamarnya, menatap poster kosong di dinding. Ia berusaha mencari inspirasi, tetapi semua ide terasa kabur. Dalam momen kesepian itu, Nehan mulai teringat pada ayahnya. Bagaimana ayahnya selalu mengajaknya menggambar, mengajarinya untuk mengungkapkan perasaan melalui seni. Teringat itu, air mata kembali mengalir di pipinya.

“Mengapa aku harus merasakan semua ini sendirian?” gumam Nehan, mencoba menghapus air mata yang membasahi pipinya.

Keesokan harinya, saat duduk di taman sekolah, Nehan melihat Dinda dan Arief sedang berbicara dengan penuh semangat. Mereka mendiskusikan rencana untuk mengadakan acara perpisahan di rumah Dinda. Melihat kebahagiaan mereka, Nehan merasakan rasa bersalah dan cemburu. “Kenapa aku tidak bisa merasakan kebahagiaan seperti mereka?” pikirnya.

Namun, ketika Dinda mendekatinya, Nehan berusaha menyembunyikan perasaannya. “Nehan, kamu harus ikut! Ini adalah momen terakhir kita bersama. Kita akan membuatnya sangat spesial!” Dinda memohon, matanya berbinar penuh harapan.

Mendengar kata-kata Dinda, Nehan merasa tergerak. Mungkin, ini adalah kesempatan untuk menemukan kembali diri dan menikmati momen yang tersisa. Dengan ragu, ia mengangguk. “Baiklah, aku akan ikut.”

Hari-hari menjelang acara perpisahan itu diisi dengan persiapan yang penuh warna. Nehan mencoba ikut terlibat, membantu Dinda merencanakan segala sesuatunya. Ia bahkan membantu menyiapkan dekorasi dan makanan. Meski hatinya masih terasa berat, perlahan-lahan, ia mulai merasakan semangat yang tertidur di dalam dirinya.

Malam acara perpisahan pun tiba. Semua teman-teman berkumpul dengan semangat. Ketika Nehan melihat wajah-wajah bahagia mereka, ia merasa tergerak untuk ikut berbahagia. Semua kenangan indah dari masa-masa sekolah mengalir kembali dalam ingatannya. Ia menari, tertawa, dan berbagi cerita dengan teman-temannya.

Di tengah keramaian, Dinda mengajak Nehan untuk berbagi kata-kata terakhir. “Nehan, kamu adalah sahabat yang sangat berarti bagi kami. Ayo, katakan sesuatu!”

Dengan hati yang berdebar, Nehan berdiri di depan semua teman-temannya. Di hadapan mereka, ia merasakan kombinasi antara kebahagiaan dan kesedihan. “Terima kasih sudah menjadi bagian dari hidupku. Ini adalah momen yang tidak akan pernah aku lupakan. Aku merindukan ayahku, tapi aku berjanji akan terus berjuang dan membuatnya bangga.”

Semua teman-temannya mendengarkan dengan seksama. Dinda dan Arief menatapnya dengan penuh pengertian, seakan-akan memberikan dukungan yang kuat. Saat Nehan menyelesaikan kata-katanya, teman-teman memberikan aplaus meriah. Nehan merasa hangat di dalam hati, merasakan cinta dan dukungan dari teman-temannya.

Malam itu, Nehan menyadari bahwa meskipun ia kehilangan ayahnya, ia masih memiliki teman-teman yang siap mendukungnya. Ia tidak sendirian dalam perjuangannya. Dengan semangat yang baru, Nehan bertekad untuk melanjutkan hidupnya dengan penuh warna, menyimpan semua kenangan indah dan perjuangan di dalam hatinya. Dalam perjalanan hidupnya ke depan, ia tahu bahwa ayahnya akan selalu bersamanya, dalam setiap langkah yang diambil.

Satu langkah kecil yang diambil malam itu menjadi tonggak kebangkitan bagi Nehan. Ia merasa siap untuk menatap masa depan, untuk melanjutkan impian dan harapan yang telah ia simpan dalam hatinya.

 

Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? “Kisah Haru Nehan: Perjuangan Seorang Gadis SMA Menghadapi Kehilangan”. Melalui cerita ini, kita belajar bahwa meskipun kehilangan terasa begitu berat, kita bisa menemukan kekuatan untuk melanjutkan hidup. Jangan ragu untuk berbagi pengalaman dan dukungan dengan teman-temanmu, karena setiap orang memiliki cerita yang bisa menginspirasi. Ingat, setiap kesedihan pasti ada harinya untuk menemukan kebahagiaan. Sampai jumpa di cerita berikutnya, dan tetap semangat menjalani hidup!

Leave a Reply