Daftar Isi
Siapa bilang cinta itu harus serius? Di antara tawa, makanan enak, dan kekonyolan, Nadine dan Deno menemukan bahwa cinta bisa jadi petualangan yang seru! Yuk, ikuti perjalanan mereka di festival makanan yang penuh kejutan, di mana tawa dan rasa saling bercampur menjadi satu cerita lucu dan mesra. Siap-siap dibuat gemes dan senyum-senyum sendiri!
Cinta Lucu dan Mesra
Ketukan di Tengah Malam
Malam itu, kost di ujung kota kecil masih tenggelam dalam sepi ketika hujan mulai turun lebat. Awalnya hanya gemuruh angin, lalu hujan deras menimpa atap, memecah keheningan malam. Suara gemericik itu semakin lama semakin deras, seolah ingin menyapu semua sisa ketenangan yang tersisa di bangunan kost tua itu.
Di salah satu kamar di ujung lorong, Nadine yang sudah bersiap tidur justru gelisah. Seketika, lampu kost padam, memadamkan semua sumber cahaya di sekelilingnya. Suasana pun berubah menjadi hening dan mencekam. Satu-satunya cahaya yang ada hanyalah kilatan petir yang sesekali menerangi kamar.
Nadine mulai merasakan kegugupannya meningkat. Gelap adalah satu hal yang tak pernah bisa dia tangani. Dari kecil, dia selalu takut kegelapan. Sekarang, di tengah kost yang penuh gema aneh dan lorong-lorong sepi, ketakutannya perlahan menjalar.
Setelah beberapa menit diisi rasa panik, akhirnya ia tak bisa lagi menahan diri. Ia membuka pintu kamarnya dan melangkah pelan-pelan ke ujung lorong. Di kost ini, hanya ada satu orang yang mungkin bisa menolongnya. Seorang penghuni kost lain yang tak pernah banyak bicara, selalu dengan wajah serius, dan entah kenapa punya aura seram yang membuatnya tampak… tak tersentuh. Deno.
Dengan hati-hati, Nadine melangkah di lorong yang gelap. Dia mengetuk pintu kamar Deno beberapa kali, tapi tak ada jawaban. Nadine mengetuk lebih keras kali ini. “Deno…? Kamu di dalam?”
Suara gemerisik terdengar dari balik pintu, lalu terdengar suara berat dari dalam, “Siapa sih… tengah malam gini?”
“Ini aku, Nadine. Bukain, Den. Aku takut gelap!” suara Nadine sedikit memelas. Dia memang selalu percaya diri, bahkan kadang suka bercanda berlebihan. Tapi kali ini, tak ada satu pun bercanda yang terlintas di benaknya.
Deno menarik napas panjang dari balik pintu. Ada jeda panjang sebelum akhirnya pintu berdecit terbuka, memperlihatkan wajahnya yang setengah mengantuk dengan ekspresi tak sabar.
“Nadine… ini tengah malam. Kamu kenapa?” tanyanya sambil mengerutkan dahi.
Nadine menggigit bibir, merasa sedikit malu. “Lampu mati… dan, ya, aku takut gelap. Boleh aku duduk di sini sebentar?”
Deno menatapnya, lalu mengangguk dengan ekspresi datar, “Masuk, deh. Tapi jangan berisik.” Ia melangkah masuk dan menyalakan sebuah lilin kecil di mejanya.
Kamar Deno sederhana dan bersih. Tak banyak perabot; hanya ada meja kecil, rak buku dengan beberapa tumpukan novel, dan kasur single yang sudah rapi. Nadine memandangi sekeliling, menyadari betapa tenang dan rapi kamar ini dibandingkan kamarnya sendiri yang lebih mirip kapal pecah.
Deno duduk di kasur, sementara Nadine duduk di lantai, bersila di dekat meja. Suasana menjadi sedikit canggung. Lilin yang berkedip-kedip menjadi satu-satunya sumber cahaya, memberi bayangan aneh di dinding.
“Kenapa kamu takut gelap, sih?” Deno tiba-tiba bertanya, membuat Nadine menoleh.
Nadine mengangkat bahu. “Nggak tahu, sih. Dari kecil aja, kayaknya. Setiap kali gelap, aku langsung merasa kayak ada yang merangkak di belakang. Jadi, ya… kamu tahu, serem aja.”
Deno tersenyum tipis, namun tak menampakkan gigi. Nadine menatapnya, sedikit terkejut melihatnya tersenyum. Biasanya, ekspresi Deno tak pernah berubah; selalu datar dan serius.
“Mungkin kamu kebanyakan nonton film horor,” gumam Deno.
Nadine mendengus, tertawa pelan. “Aku nggak pernah nonton horor! Justru itu masalahnya. Kalau nonton, bisa makin parah!”
Deno menggelengkan kepala, lalu mengulurkan sebungkus permen dari atas meja. “Nih, makan biar kamu tenang.”
Nadine mengambil permen itu dan mulai mengunyah, sedikit heran. “Kamu suka permen?”
Deno mengangkat bahu. “Kadang, kalau lagi pengen aja. Biar nggak bosan.”
Sejenak, keheningan menyelimuti. Hanya terdengar suara rintik hujan yang masih turun di luar. Nadine menatap lilin yang berkedip, membayangkan seandainya ia punya keberanian untuk melewati malam seperti ini sendirian.
“Eh, Deno…” Nadine membuka suara dengan nada santai. “Kamu nggak ngerasa aneh, ya, aku tiba-tiba ke sini?”
Deno menatapnya dengan tenang. “Nggak, kok. Aku tahu kamu nggak bakal datang kalau nggak ada alasan.”
Nadine tersenyum kecil, merasa lega. Ada sesuatu tentang Deno yang entah kenapa membuatnya merasa aman, meskipun ia bukan tipe pria yang terlihat hangat. Bahkan, dari awal tinggal di kost yang sama, mereka jarang sekali berbicara. Tapi, malam ini, Nadine merasa kalau Deno punya sisi lain yang tidak biasa.
“Deno, kamu tahu nggak, mungkin aku ke sini tuh untuk misi mulia,” ujar Nadine tiba-tiba dengan nada serius.
Deno mengerutkan alis. “Misi mulia apaan?”
“Misi untuk bikin kamu ketawa!” jawab Nadine dengan wajah ceria.
Deno menatapnya datar. “Oh ya? Selamat, kamu gagal.”
Bukannya merasa tersinggung, Nadine malah tertawa keras. Dia menutup mulutnya, khawatir kalau tawa itu bakal membangunkan ibu kost. Deno yang tadinya menatap dengan ekspresi malas, mulai tersenyum tipis lagi.
“Coba, kamu ketawa, dong. Pasti lucu kalau kamu ketawa,” goda Nadine.
“Lain kali aja, ya,” jawab Deno santai. Tapi, jauh di dalam hatinya, ia mulai merasa kalau Nadine bukan orang asing yang merepotkan, melainkan seseorang yang membawa sedikit kehangatan dalam hari-harinya yang sunyi.
Waktu terus berlalu, dan mereka terus bercakap-cakap dalam kegelapan, ditemani cahaya lilin dan rintik hujan. Setiap percakapan yang terlontar, meski sederhana, terasa menyenangkan. Nadine terus menggoda Deno dengan segala cara, mulai dari menirukan suara kartun sampai cerita lucu tentang masa kecilnya.
Akhirnya, ketika lilin sudah hampir padam dan Nadine mulai merasa kantuk, ia mendongak, menyadari sesuatu. Dia telah menghabiskan waktu berjam-jam dengan Deno, seorang pria yang bahkan dulu tak pernah dia ajak bicara. Malam itu, ketakutan pada gelap malah membawanya pada perasaan hangat yang tak terduga.
“Den, terima kasih ya… udah ngizinin aku masuk.” Nadine tersenyum kecil. “Kalau bukan kamu, aku mungkin udah panik sendirian di kamar.”
Deno mengangguk, kembali dengan ekspresi datarnya. Tapi kali ini, matanya tampak lebih lembut, seperti ia mulai menerima kehadiran Nadine dalam hidupnya.
“Besok jangan datang lagi cuma buat numpang takut, ya,” canda Deno, meski sebenarnya ia tidak keberatan. Satu bagian dalam dirinya merasa bahwa Nadine mungkin akan datang lagi, dan ia… tidak akan menolak.
Dengan langkah ringan, Nadine keluar dari kamar Deno, menghilang dalam kegelapan lorong. Namun, malam itu telah membawa perubahan besar dalam diri keduanya. Babak baru dalam kehidupan kost itu baru saja dimulai.
Tanpa Disengaja
Semenjak pagi-pagi sarapan bersama di tangga depan kost menjadi rutinitas, Nadine dan Deno tak lagi saling canggung. Setiap pagi, mereka duduk berdua sambil menikmati makanan sederhana buatan Nadine yang kian hari semakin kreatif — kadang roti bakar, kadang omelet, bahkan sekali waktu ada bubur ayam yang Nadine beli di pasar, meskipun ia kelelahan hanya untuk mengantri. Namun, pagi-pagi mereka tak pernah terasa berat atau membosankan; sebaliknya, terasa lebih hidup dan berwarna.
Suatu sore ketika Nadine hendak keluar kost untuk pergi ke minimarket, ia melihat Deno berdiri di depan pintu kamarnya. Deno menatap lurus ke arah sepeda motor tua miliknya yang tampak hampir mirip seperti benda peninggalan sejarah.
“Hei, kamu mau kemana, Den?” Nadine memanggilnya dari pintu sambil tertawa kecil. “Nggak mau berangkat naik benda ajaibmu itu kan?”
Deno menoleh, sedikit kaget melihat Nadine muncul di belakangnya. “Aku mau ke bengkel. Kayaknya harus diservis sedikit… lagi.”
“Oh? Biar aku temenin, mau?” Nadine menawarkannya dengan senyum yang terlalu sulit untuk ditolak, meskipun di wajah Deno tampak sedikit keraguan.
“Kalau kamu nggak keberatan sama bau oli dan suara bising, ya… ayo.”
Tak lama kemudian, mereka berdua berada di atas motor tua Deno yang berderak setiap kali ia mengubah gigi. Nadine duduk di belakang, tangannya memegang erat jaket Deno sementara mereka melaju pelan di jalanan kampus yang mulai sepi sore itu. Sepanjang perjalanan, mereka hanya terdiam, menikmati angin yang berhembus lembut. Nadine sesekali tertawa kecil setiap kali motor mereka bergetar seperti akan mati. Deno hanya tersenyum, diam-diam menikmati suasana tenang yang jarang ia rasakan bersama orang lain.
Sesampainya di bengkel, Nadine dengan santai duduk di bangku kayu tua di depan, mengamati Deno yang sedang sibuk berbicara dengan montir. Nadine mengamati dari jauh, memperhatikan bagaimana cara Deno berinteraksi, wajah seriusnya saat menjelaskan apa yang perlu diperbaiki, cara tangannya menunjuk ke bagian-bagian motor sambil sesekali mengusap keningnya yang berkerut.
“Aku nggak nyangka kamu bisa serius gitu, Den,” goda Nadine sambil tersenyum ketika Deno selesai berbicara dengan montir.
Deno menoleh, tersenyum tipis. “Ini serius, motor ini kan nyawa hidupku. Kalau sampai rusak dan nggak bisa dipakai… bisa jadi kiamat kecil buatku.”
Nadine tertawa, suaranya nyaring dan riang. “Deno yang tenang, ternyata bisa panik juga ya kalau soal motornya!”
“Ya, begitulah,” balas Deno sambil menghela napas, lalu ikut duduk di samping Nadine. “Sebenarnya nggak ada yang spesial dari motor ini… Tapi rasanya banyak kenangan yang tersimpan di sini.”
Deno biasanya jarang bicara tentang hal-hal personal, tapi hari itu, entah kenapa Nadine berhasil membuatnya merasa nyaman. Ia bercerita sedikit tentang masa mudanya, tentang bagaimana motor itu merupakan hadiah dari ayahnya yang kini sudah jarang ia temui. Nadine mendengarkan dengan penuh perhatian, tersenyum simpul mendengar kisah-kisah kecil tentang Deno yang sebelumnya tak pernah ia bayangkan.
“Jadi, Deno si kutu buku ini ternyata juga punya sisi sentimental?” Nadine menggoda, menatap Deno dengan mata berbinar.
“Nadine…” Deno menggeleng kepala sambil tertawa kecil. “Kamu nih, selalu bikin orang ngerasa jadi bahan observasi.”
“Bukan gitu, aku cuma… senang aja denger cerita kamu. Nggak nyangka Deno yang kelihatan cuek ini punya sisi lembut juga.”
Deno menghela napas dalam-dalam. “Kadang ada hal-hal yang cuma bisa disimpan sendiri, Nadine. Kamu kan tahu, nggak semua orang bisa selalu ramah dan terbuka kayak kamu.”
Nadine tersenyum kecil. Ia paham maksud Deno, tapi entah kenapa, ada keinginan besar dalam dirinya untuk lebih dekat dengan Deno, lebih dari sekedar rutinitas pagi atau perjalanan ke bengkel. Ia mengamati sosok Deno yang tampak lebih tenang dan serius, dan menyadari bahwa di balik wajah dinginnya, tersimpan banyak hal yang ingin ia kenal.
Hari sudah hampir gelap ketika motor Deno selesai diperbaiki. Mereka naik motor kembali, menuju kost dengan sedikit lebih cepat dari sebelumnya. Udara malam yang dingin membuat Nadine semakin erat memegang jaket Deno. Tanpa disengaja, ia bersandar sedikit di punggung Deno, dan seakan merasakan Nadine bersandar, Deno memperlambat laju motor, seolah memberinya waktu untuk menikmati momen itu.
Saat mereka tiba di kost, Nadine turun dari motor dengan perasaan sedikit bingung. Ada sesuatu dalam perjalanan tadi yang membuatnya merasa sedikit aneh, mungkin berlebihan, tapi rasanya ada kehangatan yang sulit ia jelaskan.
“Kamu… beneran mau sarapan sama aku lagi besok?” tanya Nadine tiba-tiba.
Deno tersenyum, kali ini lebih tulus. “Tentu aja. Aku nggak sabar mau tahu menu kejutan apalagi yang bakal kamu buat.”
“Oh iya?” Nadine berpura-pura berpikir. “Besok, kayaknya aku mau bikin sesuatu yang beda. Kamu bakal suka, deh.”
Mereka tertawa kecil, lalu berpisah di depan kamar masing-masing. Namun, Nadine tak bisa menghapus senyum di wajahnya sepanjang malam itu. Perasaannya bercampur antara rasa penasaran, kehangatan, dan sedikit gemas. Ada sesuatu yang mulai tumbuh di antara keduanya, sebuah perasaan yang mungkin bahkan mereka sendiri belum berani akui.
Begitu masuk kamar, Nadine membuka jendela dan membiarkan udara malam masuk, menenangkan hati yang berdebar tanpa alasan. Ia teringat perjalanan tadi, tangan Deno yang kokoh saat memegang setang motor, dan punggungnya yang kokoh, memberi rasa aman di perjalanan. Ia tak menyangka, hanya dalam hitungan minggu, Deno berubah dari sekedar tetangga kamar menjadi seseorang yang mulai mengisi pikirannya setiap malam.
Deno di kamarnya sendiri hanya terdiam, berbaring sambil memandang langit-langit. Pikirannya terus saja terbayang sosok Nadine yang ceria, wajahnya yang selalu penuh dengan senyum, dan kecerobohannya yang tak pernah gagal membuatnya tertawa. Ia merasa bodoh, tapi ada perasaan senang saat mengingat betapa Nadine begitu antusias membuatkan sarapan hanya untuknya. Di balik canda tawa mereka, ia sadar bahwa Nadine telah mengisi ruang kosong yang selama ini ia simpan rapat-rapat.
Sambil memejamkan mata, Deno tersenyum kecil, menyadari bahwa esok pagi ia akan kembali bertemu Nadine di tangga depan.
Sarapan yang Tak Terduga
Pagi itu, langit biru bersinar cerah, seolah mengundang kebahagiaan. Nadine bangun dengan semangat baru, teringat janjinya untuk memasak sarapan yang istimewa untuk Deno. Ia melirik jam di dinding; masih cukup waktu sebelum Deno datang menemuinya. Dengan langkah cepat, ia bergegas ke dapur.
“Okay, Nadine! Hari ini, kita bikin sesuatu yang beda,” katanya pada diri sendiri, sambil membuka lemari dan meraih bahan-bahan. Ia memutuskan untuk membuat pancake yang dihias dengan buah-buahan segar, berpikir bahwa itu akan menjadi kejutan manis untuk Deno.
Setelah mengaduk adonan dan memanaskan wajan, aroma manis mulai menyebar di seluruh dapur. Nadine tersenyum puas melihat pancake pertama-nya yang berwarna keemasan, lalu mulai menumpuknya di atas piring. Ia menambahkan irisan stroberi dan pisang di atasnya, lalu menuangkan sedikit madu. “Mudah-mudahan dia suka,” gumamnya sambil mengatur piring di meja.
Tak lama kemudian, Deno muncul dengan wajah yang tampak mengantuk, namun ada senyum yang mengembang di bibirnya saat ia mencium aroma pancake. “Wah, apa ini? Sarapan spesial ya?” tanyanya, matanya berbinar.
“Spesial buat kamu!” Nadine menjawab bangga. “Silakan duduk. Siapa tahu ini bisa bikin harimu lebih cerah.”
Deno duduk di depan meja, tak sabar untuk mencicipi sarapan yang dihidangkan. “Aku selalu suka kejutan dari kamu,” katanya sambil mengambil sepotong pancake. Begitu menggigit, ekspresi Deno langsung berubah; ia terlihat terkejut dan terkesima. “Wow, ini enak banget! Kamu beneran bisa masak, Nad!”
Nadine tertawa kecil, merasakan hatinya berbunga-bunga. “Jadi, kamu suka?”
“Jelas! Pancake ini luar biasa! Bikin aku pengen nambah terus,” Deno balas dengan mulut penuh, dan mereka berdua tertawa.
Sambil menikmati sarapan, mereka mulai bercerita tentang kehidupan sehari-hari. Deno, yang biasanya pendiam, mulai berbagi kisah lucu tentang pengalaman konyolnya saat di kampus. Ia mengingatkan bagaimana ia pernah jatuh dari tangga saat dikejar oleh sekumpulan teman sekelas yang ingin merekamnya. Nadine tidak bisa menahan tawa, bahkan sampai menepuk meja.
“Serius, itu bencana! Kenapa kamu nggak kasih tahu, biar aku bisa ikut ngetawain kamu?” Nadine pura-pura marah, padahal ia sangat senang mendengar cerita Deno.
“Aku juga malu! Tapi semua orang di kampus tahu sekarang, jadi… yaudahlah,” Deno menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Setelah mereka selesai sarapan, Nadine berdiri dan mulai mencuci piring. “Nggak adil banget, aku yang masak, kamu yang makan. Harusnya kamu bantu-bantu, Den!”
Deno berdiri dan membantu mencuci piring sambil sesekali menjahili Nadine, membuatnya tertawa. “Oke, kalau begitu, aku jadi asisten masak. Apa yang harus aku lakukan selanjutnya?”
Nadine tersenyum. “Kamu bisa ambilkan aku beberapa sayur dari lemari es. Kita bisa masak omelet atau salad untuk makan siang.”
Deno melakukan perintah dengan penuh semangat, seolah-olah ia benar-benar asisten dapur. “Aha! Siap, Chef Nadine!”
Ketika mereka kembali ke meja, Deno melihat Nadine yang sedang memotong sayuran. “Kamu tahu, ada yang aneh sama kita berdua,” kata Deno tiba-tiba, membuat Nadine berhenti sejenak.
“Apa itu?” tanya Nadine, penasaran.
“Kita bisa ngobrol dan bercanda seperti ini tanpa rasa canggung. Rasanya, kita sudah kenal bertahun-tahun.”
“Memang! Padahal baru beberapa minggu, ya?” Nadine menjawab sambil tersenyum. “Tapi rasanya kayak kita udah sahabat dari dulu.”
Senyum Deno semakin lebar. “Bener! Mungkin kita memang ditakdirkan untuk jadi partner in crime, ya?”
“Hahaha, iya, betul!” Nadine menyetujui sambil membayangkan bagaimana mereka bisa jadi tim yang solid. “Kita harus mencari petualangan selanjutnya!”
Mereka berdua terus bercerita dan bercanda di dapur, seolah waktu berhenti sejenak. Nadine merasa betapa ringan dan bahagianya saat berbicara dengan Deno. Namun, di dalam hatinya, ia merasakan sesuatu yang lebih — sebuah ketertarikan yang tumbuh dengan cepat. Meski mereka bersenang-senang, Nadine tak bisa menghindari perasaan deg-degan yang muncul saat Deno menatapnya.
“Jadi, kita harus keluar lagi minggu ini. Aku mendengar ada festival makanan di pusat kota. Kita harus coba makanan-makanan aneh,” usul Deno, mengalihkan perhatian Nadine dari perasaannya yang tak menentu.
“Serius? Festival makanan? Itu pasti seru!” Nadine mengangguk dengan semangat. “Kita harus berencana untuk itu! Mungkin kita bisa bawa teman-teman juga.”
“Kenapa harus teman-teman? Kita kan bisa bersenang-senang berdua aja. Lebih seru!” Deno berkata sambil menggoda, senyum nakal di wajahnya.
“Eh, jangan egois! Nanti kalau kita perlu backup, kita bisa minta bantuan teman!” Nadine menjawab sambil tertawa.
Keduanya melanjutkan perbincangan mereka, menciptakan kenangan-kenangan kecil yang membuat hari-hari mereka terasa lebih berarti. Dalam setiap tawa dan cerita, Nadine menyadari bahwa perasaan itu tak mungkin dihindari. Ia merasakan bahwa Deno lebih dari sekedar teman; ada sesuatu yang lebih dalam yang mulai tumbuh di antara mereka.
Hari itu pun berlalu dengan penuh keceriaan dan kehangatan, dan Nadine merasa yakin bahwa minggu depan akan membawa lebih banyak momen indah. Dengan semangat baru, mereka berdua bersiap untuk menjalani petualangan selanjutnya — dan mungkin, menemukan rasa cinta yang lucu dan mesra di antara tawa dan canda.
Festival Cinta dan Makanan
Hari yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Nadine dan Deno berdiri di depan gerbang festival makanan yang ramai, suasana penuh warna dan suara riuh gembira mengelilingi mereka. Bau harum dari berbagai jenis makanan membuat perut Nadine berbunyi, dan ia tidak bisa menahan senyumnya.
“Siap untuk petualangan kuliner, partner in crime?” Deno bertanya sambil melirik Nadine dengan mata yang bersinar.
“Siap! Aku udah siap nyobain semua makanan di sini!” Nadine menjawab dengan semangat, tangannya bergetar tidak sabar.
Mereka berjalan melewati berbagai stan makanan, mencicipi semuanya dari makanan manis hingga gurih. Deno mencoba membuat Nadine tertawa dengan membagi ceritanya tentang pengalamannya saat mencoba makanan yang terlalu pedas.
“Aku ingat waktu itu, aku langsung muntah di depan teman-teman! Mereka semua ngakak!” Deno bercerita sambil menahan tawa, dan Nadine tidak bisa menahan gelaknya. “Sama sekali tidak lucu!”
Mereka terus berkeliling, mencoba berbagai hidangan. Saat melewati stan es krim, Nadine melihat berbagai rasa yang unik. “Deno! Kita harus coba es krim rasa matcha dan durian!”
“Matcha oke, durian? Hmm… bisa nggak ya? Aku pernah dengar itu makanan paling dibenci!” Deno menjawab dengan wajah mencibir, namun tidak bisa menolak ajakan Nadine.
Dengan semangat, mereka membeli es krim dan mencicipinya bersama. Deno mengernyitkan dahi saat mencicipi durian, tetapi segera berubah menjadi tawa. “Rasa ini bikin otakmu berputar! Aku nggak bisa percaya kita beneran makan ini!”
Senyum Nadine semakin lebar. “Rasanya aneh, tapi unik! Kita harus foto!” Ia mengeluarkan ponselnya dan mengarahkan kamera ke arah Deno yang sedang mengerutkan dahi.
“Jangan!” Deno berusaha menutup wajahnya, tapi Nadine berhasil mengambil foto dan mereka berdua tertawa terbahak-bahak.
Setelah berkeliling, mereka menemukan panggung kecil di tengah festival. Sebuah band lokal sedang tampil, mengundang kerumunan untuk berdansa. Nadine merasakan musik yang mengalun dan tidak bisa menahan diri untuk ikut menari. “Ayo, Deno! Kita harus ikut menari!”
“Gila! Aku nggak bisa menari!” Deno berusaha menolak, tetapi Nadine sudah menarik tangannya dan menyeretnya ke tengah kerumunan.
“C’mon! Coba aja! Yang penting kita bersenang-senang!” Nadine mendorongnya, dan Deno tak bisa menahan tawanya.
Mereka mulai menari, meski gerakan Deno terlihat kaku dan lucu. Nadine tertawa terpingkal-pingkal melihatnya, dan Deno pun akhirnya terbahak-bahak, mengikuti gerakan Nadine yang penuh energi. Mereka bergerak mengikuti irama, dan Nadine merasakan ikatan yang semakin kuat di antara mereka saat mereka berbagi momen konyol itu.
Di tengah kerumunan, ketika lagu yang ceria mulai mereda, Deno menatap Nadine dengan serius. “Nadine,” panggilnya, wajahnya tiba-tiba tampak serius.
“Kenapa?” tanya Nadine, merasakan ketegangan yang tak biasa.
“Aku…,” Deno ragu sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku senang bisa bersama kamu. Serius, aku merasa kita bisa jadi lebih dari sekadar teman.”
Nadine terdiam, jantungnya berdegup kencang. “Deno, aku juga merasakan hal yang sama. Setiap kali kita bersama, aku merasa bahagia, dan… ada sesuatu yang lebih dalam di sini.”
Deno tersenyum, terlihat lega mendengar jawaban Nadine. “Jadi… maukah kamu jadi pacarku?”
Nadine tidak bisa menahan senyum lebar di wajahnya. “Iya! Dengan senang hati!”
Deno segera menarik Nadine ke dalam pelukannya, dan mereka berdua tertawa bahagia. Dalam momen manis itu, Nadine merasakan semua rasa lucu dan mesra dalam satu waktu.
Seiring festival berlanjut, mereka berdua menjelajahi lebih banyak makanan, berbagi tawa, dan menikmati kehadiran satu sama lain. Nadine menyadari bahwa festival ini bukan hanya tentang makanan, tetapi tentang bagaimana hubungan mereka tumbuh.
Saat hari mulai gelap dan lampu-lampu festival menyala, Nadine dan Deno duduk di bangku sambil mengawasi kerumunan. “Aku bersyukur bisa bertemu kamu,” Deno berkata pelan, matanya penuh kehangatan.
“Aku juga, Den. Terima kasih sudah membuat setiap hari terasa istimewa,” jawab Nadine sambil memandang ke mata Deno.
Di bawah sinar lampu yang berkelap-kelip, mereka berdua merasakan cinta yang lucu dan mesra. Dalam kehangatan malam itu, Nadine tahu bahwa ini hanyalah awal dari banyak petualangan yang akan mereka jalani bersama. Dengan tawa, cinta, dan makanan, mereka bersiap untuk menyongsong masa depan yang penuh kebahagiaan dan kehangatan.
Dan begitu, petualangan Nadine dan Deno di festival makanan ini bukan hanya sekadar tentang makanan enak atau tawa ngakak, tapi juga tentang bagaimana cinta bisa tumbuh di tengah kehebohan.
Jadi, kalau kamu lagi nyari cinta yang seru, ingatlah: kadang, kamu cuma perlu satu malam penuh makanan, tawa, dan keberanian untuk merasakannya. Siapa tahu, cinta lucu dan mesra bisa datang dari hal-hal yang paling tak terduga! Sampai jumpa dicerita seru lainnya, ya!!!