Daftar Isi
Eh, kamu pernah nggak sih, merasakan cinta yang bikin ketawa sampai perut kram? Nah, siap-siap deh, karena cerita ini bakal bikin kamu senyum-senyum sendiri! Ini dia kisah Cinta Lucu Ala Santri, di mana romansa, tawa, dan sedikit keisengan santri berkumpul jadi satu. Yuk, kita ikuti perjalanan seru Malik dan Maemunah yang berusaha menjaga hati di tengah suasana pesantren yang konyol dan penuh warna!
Cinta Lucu Ala Santri
Senyum di Serambi Pesantren
Di pesantren ini, hidup mengalir dengan tenang. Ada waktu untuk belajar, waktu untuk ibadah, dan tentu saja waktu untuk bersantai bersama teman-teman. Nama saya Malik, santri yang katanya lebih serius dari yang lain. Ya, mungkin benar. Soalnya, entah kenapa, sejak dulu saya selalu merasa lebih nyaman fokus pada kitab dan hafalan daripada ngobrol ngalor-ngidul kayak teman-teman yang lain.
Tapi itu dulu. Sampai suatu hari, ada satu orang yang diam-diam berhasil mengubah hal kecil dalam hidup saya. Namanya Maemunah.
Maemunah ini santri baru, tapi bisa dibilang paling menonjol di angkatannya. Pintar, sering jadi juara hafalan, dan cukup cepat belajar baca kitab kuning. Tapi ada satu hal lagi yang dia punya, yang bikin dia beda: sifatnya yang ceroboh tapi percaya diri. Lucunya, meski sering kelihatan konyol, dia tetap menarik perhatian semua orang.
Kejadian yang bikin saya menyadari keberadaannya terjadi malam itu. Selepas shalat Isya, saat kebanyakan santri lain sudah kembali ke kamar masing-masing, saya melihat Maemunah duduk di serambi masjid. Dari jauh, saya bisa melihat wajahnya yang serius—matanya fokus menatap kitab yang dibacanya.
Penasaran, saya mendekat.
“Assalamu’alaikum,” sapa saya pelan.
Maemunah mendongak kaget, seolah baru sadar ada orang lain di situ.
“Wa-walaikumussalam,” jawabnya, sambil berusaha menyembunyikan sedikit paniknya di balik kitab.
Saya tersenyum kecil. “Kamu masih hafalan?”
“I-iya… belum selesai,” jawabnya sambil menunduk, mukanya mulai memerah. Entah kenapa, saya merasa ada yang lucu dari caranya menatap kitab itu, seakan sedang berusaha keras menghindari tatapan saya.
“Kalau ada yang sulit, tanya aja sama aku,” tawar saya sambil duduk di sebelahnya.
Dia mengangguk pelan, masih tak berani menatap langsung. Tapi tiba-tiba, dia menarik napas dalam-dalam dan menatap saya penuh percaya diri.
“Boleh kok,” jawabnya, “kalau… kalau Kak Malik bisa jawab sambil… sambil senyum.”
Saya terdiam, tidak menyangka permintaannya akan seperti itu. “Maksudnya?”
Dia mengangguk yakin, seakan sedang menantang. “Siapa tahu, kalau Kakak jawab sambil senyum, hafalan ini bisa masuk lebih cepat ke hati sama kepala.”
Saya tertawa kecil, sambil mencoba memahami maksudnya. “Kamu ini ada-ada aja… santri kok pakai senyum buat hafalan!”
Dia ikut tertawa. Senyumnya sederhana, tapi membuat wajahnya tampak lebih cerah. Jujur, saya mulai mengerti kenapa teman-teman sering cerita soal kelucuan Maemunah. Baru beberapa menit bicara dengannya, saya bisa merasakan bahwa ada energi ceria yang ia bawa dalam setiap ucapannya.
Sejak malam itu, tanpa sadar, saya jadi sering mencari-cari kesempatan untuk bicara dengannya. Bukan hanya sekadar bicara soal hafalan atau kitab, tapi obrolan ringan yang tidak biasa saya lakukan dengan santri lain.
Hari demi hari berlalu, sampai tiba suatu sore ketika saya hendak kembali ke kamar seusai dzikir petang, saya melihat Maemunah berdiri di depan pintu kamar saya, menunggu dengan ekspresi serius. Cukup aneh melihatnya di sana, karena biasanya santriwati jarang mendekat ke area kamar santri putra kecuali memang ada hal penting.
“Ada apa, Maemunah?” tanya saya sedikit bingung.
Dia tersenyum sambil melirik kanan kiri, memastikan tidak ada yang memperhatikan. “Aku… mau tanya sesuatu tentang pelajaran minggu depan.”
“Pelajaran apa? Kitab yang mana?” tanya saya sambil melipat tangan di dada.
“Hmm… soal pelajaran di kitab iya, tapi… ada satu pelajaran lain,” katanya pelan.
Saya mengernyitkan dahi, tidak mengerti maksudnya. “Pelajaran lain?”
“Iya, pelajaran tentang gimana cara bikin seseorang yang serius kayak Kak Malik jadi lebih sering senyum,” jawabnya dengan wajah serius, tapi bibirnya tampak menahan tawa.
Saya tidak bisa menahan senyum, merasa geli mendengar jawabannya. “Oh, begitu ya? Kamu ingin aku senyum setiap hari?”
Dia mengangguk sambil tertawa kecil. “Siapa tahu, senyum itu bikin hati kita lebih tenang.”
Entah kenapa, di saat itu, saya merasa Maemunah punya titik pandang yang berbeda. Ada ketulusan dan kelucuan dalam cara dia bicara. Dia membuat saya lupa dengan keseriusan yang biasa saya bawa ke mana-mana. Obrolan kami sore itu berjalan begitu saja, ringan dan menyenangkan, sampai matahari mulai tenggelam dan waktu makan malam tiba.
Malam itu, ketika saya berdoa di penghujung hari, saya menyelipkan permohonan kecil. “Ya Allah, jagalah hati ini agar tetap berada di jalan-Mu. Dan, jika perasaan ini adalah bagian dari rencana-Mu, maka berilah aku ketenangan.”
Senyum yang Tersimpan di Hati
Hari-hari setelah obrolan itu berjalan seperti biasa—atau mungkin lebih tepatnya, nyaris biasa. Ada hal-hal kecil yang mulai terasa berbeda. Setiap kali aku selesai shalat atau mengaji, tanpa sadar mataku bergerak mencari Maemunah di antara para santri. Kalau pun tidak terlihat, aku akan langsung kembali pada hafalan atau kitabku, berusaha menenangkan diri. Tetapi kalau dia ada di sana, entah kenapa suasana serambi masjid terasa lebih ramai dan hidup.
Suatu sore, hujan turun deras mengguyur halaman pesantren. Biasanya, santri putra dan santri putri menghindari kontak dan tidak saling berpapasan. Tapi kali ini keadaan tak bisa dihindari. Banyak dari kami berlarian menuju teras aula untuk berteduh. Tepat saat aku sampai di teras, aku melihat Maemunah berdiri di sudut dengan teman-teman santriwatinya, menunduk, menggosok-gosok kedua tangannya untuk menghangatkan diri.
Tanpa berpikir panjang, aku menyodorkan jaketku ke arahnya.
“Pakailah, biar nggak kedinginan,” kataku, mencoba menjaga nada suara agar tetap netral.
Maemunah tampak kaget, lalu melihat jaket di tanganku sambil mengerjap beberapa kali. Wajahnya tampak ragu, tapi akhirnya dia mengulurkan tangan dan mengambilnya.
“Terima kasih, Kak Malik,” katanya sambil tersenyum kecil.
“Nggak apa-apa. Nanti dikembalikan aja kalau udah kering,” balasku, sambil mencoba terlihat biasa.
Melihat Maemunah mengenakan jaketku, entah kenapa ada perasaan berbeda. Senyumnya yang ceria membuat hujan yang deras seolah terasa lebih hangat. Teman-temanku yang lain bahkan melirikku sambil tertawa pelan, membuat suasana jadi lebih canggung. Tapi aku pura-pura tidak peduli.
Waktu terus berlalu, dan jaket itu benar-benar menjadi alasan bagi kami untuk bertemu lagi. Sore dua hari setelah hujan, Maemunah mendatangiku di ruang perpustakaan. Dia membawa jaket itu yang sudah dilipat rapi.
“Kak Malik, ini jaketnya, sudah kering,” katanya sambil tersenyum.
Aku mengambil jaket itu, tapi kali ini aku melihat dia menatapku dengan mata berbinar, seolah ingin mengatakan sesuatu tapi menahannya.
“Ada yang mau kamu bilang, Maemunah?” tanyaku pelan, mencoba membantunya bicara.
Dia mengangguk pelan sambil tersenyum sedikit malu. “Kak Malik, aku… aku jadi penasaran, apa Kak Malik suka dengan hal-hal yang sederhana kayak gini?”
Aku mengangkat alis, bingung dengan arah pertanyaannya. “Sederhana yang gimana?”
“Ya, maksudku… Kak Malik tuh selalu kelihatan serius, padahal banyak hal kecil yang mungkin bisa bikin kita lebih tenang, lebih… senang,” katanya sambil memainkan ujung jilbabnya. “Seperti senyuman, atau jaket ini misalnya.”
Aku menatapnya, mendadak merasa tersadar bahwa mungkin aku terlalu tenggelam dalam keseriusan. Memang, sejak dulu, aku fokus dengan semua urusan hafalan, belajar, dan ibadah, sampai lupa merasakan hal-hal sederhana. Tapi mendengar ucapan Maemunah, aku jadi melihat sisi lain dari kehidupan pesantren yang selama ini luput dari pandanganku.
“Kadang aku memang lupa, Maemunah,” kataku akhirnya. “Mungkin karena aku pikir hidup di pesantren itu harus penuh kesungguhan.”
Dia mengangguk sambil tersenyum, lalu menatapku dengan pandangan yang sulit dijelaskan. “Aku juga serius, kok. Tapi aku percaya, hidup itu kan juga soal menikmati hal-hal kecil yang bikin hati tenang.”
Kami berdua terdiam sesaat, meresapi obrolan yang sebenarnya ringan, tapi sarat makna. Dia adalah orang pertama yang membicarakan soal kebahagiaan kecil seperti ini denganku. Aku bukan tipe yang mudah terbuka, tapi entah kenapa, dengan Maemunah, aku merasa obrolan tentang apa pun terasa ringan dan menyenangkan.
Sore itu, setelah percakapan kami di perpustakaan, aku melihat dia beranjak pergi sambil melambaikan tangan, meninggalkan aku dengan perasaan yang baru. Di saat itulah aku sadar, bahwa senyum Maemunah dan semangatnya adalah sesuatu yang sudah lama aku cari tanpa aku sadari. Mungkin saja, tanpa aku tahu, dia sedang mengajariku sesuatu tentang ketulusan yang sederhana, tentang kebahagiaan yang ada dalam senyuman.
Dan malam itu, saat aku kembali berdoa, aku menyelipkan permohonan kecil, “Ya Allah, jika perasaan ini adalah ujian-Mu, bantulah aku menjaga hati ini agar tetap dalam kebaikan.”
Rindu di Balik Doa
Sejak percakapan kami di perpustakaan, aku mulai menyadari betapa seringnya pikiran tentang Maemunah muncul di sela-sela kesibukan sehari-hari. Di pesantren, tentu saja, semua harus tetap terjaga. Tapi, hati ini rupanya mulai tak mampu mengikuti kedisiplinan yang sama.
Sampai akhirnya, hari itu tiba. Hari yang membuat perasaan aneh dalam diri ini semakin tak bisa kuabaikan. Selepas shalat Dzuhur, aku sedang berjalan kembali menuju kamar ketika tiba-tiba, aku melihat Maemunah di lorong menuju kelas. Dia terlihat sibuk berbicara dengan teman-temannya, tapi saat dia menoleh dan menyadari aku ada di sana, pandangannya bertemu denganku, dan senyumnya pun merekah.
Senyum itu—sebuah senyum sederhana yang seketika menghangatkan hati. Tanpa sadar, aku ikut tersenyum balik. Tapi, sebelum aku sempat menghampirinya, seorang ustaz memanggilku dari arah aula. Aku menghela napas, menahan keinginan untuk menyapanya dan melangkah menuju aula.
Sesampainya di aula, ternyata ustaz Rafi memintaku untuk membantunya menyusun jadwal kegiatan. Aku mengerjakan semua itu sambil duduk di salah satu pojok aula, berusaha fokus. Namun, sekali lagi, pikiranku melayang ke senyum yang baru saja kulihat.
“Malik, sepertinya pikiranmu ada di tempat lain, ya?” Ustaz Rafi tiba-tiba tersenyum sambil menatapku penuh arti.
Aku tersentak. “Eh, enggak, Ustaz. Saya cuma… sedikit lelah.”
“Benar lelah? Atau lelahnya di hati, Malik?” tanyanya, kali ini dengan nada menggoda.
Aku menunduk sambil tersenyum malu. Meski kutahu Ustaz Rafi hanya bercanda, ucapannya itu seperti menguak sesuatu yang sedang berusaha kututupi dari siapa pun. Mungkin dari luar terlihat biasa saja, tapi di dalam hati, ada sesuatu yang tak bisa kutemukan jawabannya.
Saat itu, Ustaz Rafi duduk di sampingku, wajahnya berubah serius. “Kadang, perasaan itu datang sebagai bagian dari perjalanan iman. Tapi ingat, kalau ada perasaan yang tumbuh, kita harus tetap bisa menjaga diri dan hati,” katanya lembut.
Kata-kata Ustaz Rafi itu menancap dalam. Perasaan yang awalnya hanya ringan kini mulai terasa sebagai tanggung jawab yang besar. Aku harus bisa menjaga hati ini, bukan hanya demi Maemunah, tapi demi Allah.
Hari berganti malam, dan malam itu seperti malam-malam sebelumnya, aku kembali berdoa, mencoba merapalkan doa yang sama: agar hati ini diberi ketenangan. Tetapi, di sela-sela permohonan itu, tanpa sadar aku menyisipkan doa yang khusus.
“Ya Allah, jika perasaan ini Engkau restui, jagalah Maemunah dalam setiap langkahnya. Beri dia kesehatan, kebahagiaan, dan keberkahan di setiap langkahnya.”
Sejak saat itu, doa-doaku seakan memiliki sentuhan yang berbeda. Ada ketulusan dan harapan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Setiap kali menutup doa, ada rasa rindu yang aneh muncul di hati ini.
Hari-hari berikutnya, aku sengaja menghindari serambi masjid tempat kami sering bertemu. Bukan karena tak ingin bertemu, tapi aku merasa perlu menjaga perasaan ini agar tetap dalam koridor yang benar. Namun, rindu itu tumbuh begitu saja, bahkan dalam jarak yang kutempuh untuk menjauh.
Suatu sore, saat aku tengah beristirahat di bangku taman dekat perpustakaan, aku melihat Maemunah berjalan ke arahku. Matanya berbinar dan senyumnya cerah seperti biasa, tetapi kali ini, senyum itu justru membuat hatiku sedikit khawatir.
“Kak Malik, lama nggak lihat di serambi. Kamu ke mana aja?” tanyanya sambil duduk di bangku sebelahku tanpa permisi.
Aku tersenyum sambil mengalihkan pandangan. “Oh, mungkin lagi sibuk aja, Maemunah.”
Maemunah tertawa kecil, membuat suasana jadi lebih ringan. “Sibuk ya… Sibuk atau menghindar?” tanyanya polos, tapi langsung membuatku terdiam.
Aku tertegun. “Kenapa kamu bilang begitu?”
Dia menatapku serius, kali ini tanpa senyum. “Entah kenapa, aku merasa Kak Malik menghindar setelah terakhir kali kita bicara di perpustakaan. Apa… mungkin aku melakukan sesuatu yang salah?”
Aku terdiam, berusaha mencari kata yang tepat. “Nggak ada yang salah, Maemunah. Mungkin aku cuma… terlalu fokus sama hafalan dan kegiatan.”
Maemunah menatapku penuh tanya. Aku tahu dia tidak sepenuhnya puas dengan jawaban itu, tapi dia tetap mengangguk dan tersenyum kecil. “Kalau begitu, aku senang. Aku cuma khawatir kalau tiba-tiba nggak bisa ngobrol sama Kak Malik lagi.”
Kata-katanya itu membekas dalam hati. Rasanya, aku ingin mengatakan bahwa aku juga merindukan obrolan-obrolan ringan itu, bahkan rindu melihat senyum yang selalu membawa ketenangan. Namun, menjaga hati ini adalah komitmen yang sudah kuputuskan.
“Maemunah…” kataku akhirnya. “Terima kasih, ya. Terima kasih karena kamu selalu membawa kebahagiaan di setiap senyumanmu. Mungkin aku tidak bisa selalu ada untuk menemanimu, tapi ketahuilah bahwa dalam setiap doaku, kamu ada di sana.”
Dia menatapku kaget, pipinya merona, dan tanpa sadar ia menundukkan kepala. “Kak Malik… aku nggak tahu harus jawab apa. Tapi… makasih banyak.”
Suasana di antara kami berubah sunyi, namun ada rasa hangat yang mengalir tanpa harus diucapkan. Mungkin ini adalah jawaban dari doa-doaku selama ini, bahwa perasaan ini bisa tetap terjaga dalam batasan yang Allah ridai.
Malam itu, di tengah sunyi setelah semua santri kembali ke kamar, aku berdoa kembali, dengan hati yang lebih tenang.
“Ya Allah, jika Maemunah adalah takdirku, dekatkanlah ia dengan cara yang baik. Namun jika bukan, berikan aku kekuatan untuk menjaga perasaan ini dalam keridhaan-Mu.”
Ketika Takdir Menemukan Jalannya
Malam-malam setelah pertemuan di taman itu terasa berbeda. Setiap kali aku melewati jalan yang sama, senyum Maemunah seolah menggantung di udara, membawa angin sejuk yang menghanyutkan segala kegundahan. Namun, meskipun rindu itu tumbuh, aku masih berpegang pada prinsip untuk menjaga hati.
Suatu sore, saat hujan deras mengguyur pesantren, aku melihat Maemunah berlari menuju masjid dengan payung kecil. Dengan cepat, aku berlari mengejarnya, berharap bisa memberikan payung cadangan yang selalu kubawa. Setiba di sampingnya, aku mengulurkan payung itu.
“Maemunah, ini untuk kamu!” teriakku di tengah suara hujan yang mengguyur.
Dia menghentikan langkahnya dan menoleh. Matanya berbinar, seolah tidak percaya. “Kak Malik! Kamu masih di sini?”
Aku tersenyum sambil mengangguk. “Iya, aku lihat kamu berlari. Nggak mau kamu basah kuyup.”
“Terima kasih!” jawabnya, mengangsurkan payung kecilnya. “Kamu baik banget.”
Kami berdua berjalan di bawah satu payung, meskipun terasa sedikit sempit. Setiap langkah yang kami ambil terasa lebih ringan, dan obrolan ringan mulai mengalir lagi.
“Kak Malik, kamu pasti sering berdoa, ya?” tanya Maemunah, matanya tertuju ke depan.
“Kenapa tanya begitu?” jawabku sambil sesekali mencuri pandang ke arahnya.
“Karena, sepertinya semua yang terjadi ini bukan kebetulan. Doa-doa kita itu, Kak,” ujarnya sambil tersenyum. “Mungkin ini bagian dari rencana Allah.”
“Kalau iya, semoga ini adalah rencana terbaik-Nya,” balasku sambil menahan degup jantung yang terasa lebih cepat.
Setelah sampai di masjid, kami duduk di sudut yang sepi, terpisah dari keramaian santri lain yang bersiap untuk shalat. Hujan masih turun di luar, menciptakan suasana tenang di dalam masjid.
“Malik, aku…,” Maemunah mulai bicara, tetapi terputus saat mendengar suara genta di masjid.
Aku menatapnya, merasa ada yang ingin dia sampaikan. “Kamu mau bilang apa, Maemunah?”
Dia menarik napas dalam-dalam. “Sebenarnya, aku sudah merasa ada yang berbeda sejak kita pertama kali bicara di perpustakaan. Entah kenapa, aku merasa kita ditakdirkan untuk saling mengenal lebih dekat.”
Aku terdiam. Kata-katanya bagaikan petir di siang bolong. Rasanya, semua doa dan harapan mulai menemukan jalannya. “Aku pun merasakannya,” kataku pelan. “Tetapi aku takut perasaan ini tidak bisa kujalani dengan baik. Kita harus bisa menjaga diri.”
Dia tersenyum lagi, senyum yang bisa mengalahkan kilau matahari di luar. “Malik, kita bisa menjaga hati dan perasaan ini bersama-sama. Dan aku yakin, kita akan melaluinya dengan baik, seperti yang diajarkan oleh Allah.”
Kata-katanya memberi harapan baru. Tanpa sadar, aku meraih tangannya, menggenggamnya dengan lembut. “Kalau begitu, mari kita jalani ini dengan sepenuh hati. Kita jaga perasaan ini agar tetap dalam keridhaan-Nya.”
Kami pun berdoa bersama, menundukkan kepala dan mengangkat tangan. Dalam keheningan itu, aku merasakan getaran dalam hatiku, seolah semua doa yang selama ini kuucapkan kini berbalik kepada kami. Doa yang tulus dan ikhlas.
Setelah shalat, kami melanjutkan obrolan dengan lebih santai. Cerita-cerita lucu dan pengalaman di pesantren mengalir tanpa henti. Tawa kami menggema di sudut masjid yang sepi, seolah mengusir hujan yang terus membasahi bumi.
Hari-hari berikutnya menjadi penuh warna. Kami mulai saling mendukung dalam belajar, bercanda, dan terkadang berdebat tentang hal-hal sepele, seperti siapa yang lebih banyak hafalan. Setiap momen terasa berharga, seolah waktu membekukan kebahagiaan itu.
Dan pada suatu malam, di tengah keheningan suasana pesantren, aku mengajaknya duduk di serambi masjid. Bulan bersinar indah, menambah kehangatan dalam hati. “Maemunah, terima kasih sudah ada di sampingku. Semoga kita bisa menjalani semua ini dengan baik,” kataku.
Dia menatapku penuh harap. “Insya Allah, Malik. Kita akan berjalan bersama dalam setiap langkah.”
Malam itu, kami berdoa lagi. Dan di dalam doa, aku memohon agar Allah memberikan jalan terbaik untuk hubungan ini. Dalam hati, aku tahu, cinta yang tulus dan ikhlas adalah jalan menuju kebahagiaan.
Bersama Maemunah, aku belajar bahwa cinta tidak hanya tentang perasaan, tetapi juga tentang menjaga diri, saling mendukung, dan berusaha menjadi lebih baik. Keduanya adalah ikatan suci yang insya Allah bisa bertahan dalam keridhaan-Nya.
Saat senyuman Maemunah menghiasi malam itu, aku yakin bahwa setiap langkah ke depan adalah bagian dari takdir yang indah—cinta lucu ala santri yang penuh berkah dan kasih sayang.
Dan begitulah, cinta kami tumbuh dalam setiap doa, tawa, dan kebersamaan yang tak akan pernah tergantikan.
Jadi, begitulah perjalanan Malik dan Maemunah, dua santri yang menemukan cinta di tengah tawa dan keisengan. Dari hujan deras hingga momen-momen lucu di pesantren, mereka belajar bahwa cinta yang tulus tidak hanya soal rasa, tapi juga tentang saling mendukung dan berusaha menjadi yang terbaik.
Semoga kisah ini bisa bikin kamu senyum dan ingat bahwa cinta, bahkan dalam bentuk paling lucu sekalipun, selalu punya cara untuk menemui kita. Sampai jumpa di cerita cinta selanjutnya, ya!