Cinta Terhalang Keyakinan: Kisah Nevala dan Bintang di SMA

Posted on

Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya pernahkah kamu merasakan cinta yang begitu dalam, tapi tahu itu tak mungkin dimiliki? Cerita Nevala mungkin akan membawa kamu kembali ke momen-momen penuh emosi saat berjuang antara cinta dan perbedaan.

Dalam cerpen ini, Nevala, seorang gadis SMA yang gaul dan ceria, harus menghadapi kenyataan bahwa cinta pertamanya, Bintang, terhalang oleh perbedaan agama. Dengan bahasa yang menyentuh, cerita ini mengajak kamu merasakan lika-liku perjalanan Nevala yang harus belajar merelakan. Mari simak bagaimana perjuangan hati bisa memberikan pelajaran berharga, meskipun kadang, tak semua cinta bisa berakhir bersama.

 

Cinta Terhalang Keyakinan

Tatapan Pertama di Sudut Koridor

Nevala melangkah masuk ke aula sekolah dengan riang, seperti biasanya. Gadis berwajah cerah dan selalu bersemangat itu menikmati setiap detik di sekolah. Teman-teman selalu mengelilinginya, membuatnya merasa istimewa dan diterima. Namun hari itu, ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Di salah satu sudut ruangan, seorang pemuda berdiri dengan sikap tenang, namun penuh wibawa. Namanya Bintang. Siswa yang terkenal dengan senyum ramahnya, kepintaran, dan sikapnya yang kalem. Meski mereka sudah pernah satu kelas, tak banyak kesempatan bagi mereka untuk benar-benar saling mengenal. Namun, saat mata mereka bertemu, ada sesuatu yang membuat Nevala tak bisa menepis pandangannya.

“Ada apa, Val?” tanya Mira, sahabatnya yang memperhatikannya melamun.

“Oh, nggak, nggak ada apa-apa, kok,” jawab Nevala dengan senyum tipis, mencoba menutupi kegugupannya. Namun, tatapan itu masih membekas di pikirannya. Tatapan yang dalam dan seolah memiliki arti.

Tak lama kemudian, pengumuman dibacakan melalui pengeras suara bahwa akan ada proyek besar yang melibatkan seluruh siswa. Nevala langsung merasa bersemangat; ia senang terlibat dalam kegiatan apa pun. Namun saat ia melihat daftar nama anggota kelompok, hatinya sedikit berdebar. Namanya tertera di sana bersama nama Bintang.

Hari pertama mereka bekerja sama pun tiba. Di ruang perpustakaan yang sunyi, Nevala melihat Bintang tengah duduk di sudut ruangan, serius membaca buku sambil mencatat. Ada ketenangan dalam dirinya yang berbeda dari kebanyakan siswa lain, dan itu menarik perhatian Nevala.

“Hei, lagi baca apa?” sapa Nevala sambil mencoba tersenyum biasa saja.

“Oh, Nevala, ya? Aku lagi cari-cari ide buat proyek ini,” jawab Bintang, tersenyum sekilas sambil menatap Nevala. Tatapan itu kembali menghanyutkan hati Nevala.

Mereka mulai berdiskusi tentang proyek, membicarakan ide-ide dan membagi tugas. Dalam waktu singkat, Nevala merasa nyaman berada di dekat Bintang. Meski Bintang tak banyak bicara, ada sesuatu dalam sikapnya yang penuh perhatian dan ketulusan. Setiap kali Nevala berbicara, Bintang mendengarkan dengan seksama, memperhatikan setiap kata yang diucapkannya. Mereka bahkan mulai berbagi cerita tentang hal-hal pribadi yang tak pernah Nevala kira akan ia bagi dengan seseorang yang belum lama dikenalnya.

“Kamu tahu, aku punya impian bisa sekolah ke luar negeri,” kata Nevala, matanya berbinar penuh harapan.

“Wah, hebat! Semoga itu tercapai ya. Aku percaya kalau kamu pasti bisa,” sahut Bintang dengan nada yang tulus.

Percakapan itu berlangsung dengan begitu alami. Mereka tertawa bersama, saling berbagi mimpi, dan Nevala merasa seperti menemukan sahabat baru yang benar-benar bisa memahaminya. Namun, ketika percakapan mulai memasuki hal-hal yang lebih dalam, Bintang tiba-tiba terlihat sedikit ragu.

“Kamu tahu kan, Val, kalau kita punya latar belakang yang sangat berbeda?” ucap Bintang pelan, suaranya yang terkesan hati-hati.

Nevala tertegun. Ia paham maksud Bintang. Mereka memang berasal dari latar belakang agama yang berbeda. Orang tua mereka mungkin tidak akan pernah merestui, bahkan mungkin akan menganggap pertemanan mereka berlebihan. Nevala berusaha untuk mengabaikan kenyataan itu, tapi hati kecilnya mengingatkan bahwa perasaan ini mungkin tidak akan berujung.

“Yah, aku ngerti, kok,” jawab Nevala sambil tersenyum samar. Namun, dalam hati, ia mulai merasakan adanya perasaan yang berlawanan. Ada rasa hangat saat ia bersama Bintang, tetapi ada juga kekhawatiran yang membuatnya waswas. Meskipun baru kenal, Nevala tahu bahwa hatinya sedang berada di ambang sesuatu yang ia sendiri tak bisa kendalikan.

Seiring berjalannya waktu, Nevala dan Bintang semakin dekat. Mereka sering menghabiskan waktu bersama setelah sekolah, mengerjakan proyek dan berbincang tentang hal-hal yang ringan, namun penuh makna. Semakin lama, Nevala merasa tak hanya sekadar nyaman, namun juga bahagia bersama Bintang. Namun, setiap kali ia melihat Bintang tersenyum padanya, selalu ada bayangan di pikirannya tentang batasan yang tak bisa ia langkahi.

Suatu sore di koridor sekolah, setelah menyelesaikan tugas proyek mereka, Nevala merasa keberanian memuncak di hatinya. Ia ingin tahu apa yang Bintang pikirkan, apakah ia juga merasakan hal yang sama.

“Bintang, aku pengen tahu…,” Nevala menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri, “…menurut kamu, apa mungkin kita terus begini?”

Bintang menatapnya dalam, seperti menimbang setiap kata yang hendak ia ucapkan. Wajahnya tampak sendu, tak seperti biasanya.

“Jujur, aku pun ngerasain hal yang sama, Val. Kamu bikin aku nyaman, tapi…” Bintang berhenti sejenak, suaranya bergetar. “Aku nggak bisa ngelupain sebuah kenyataan kalau perbedaan ini bisa sangat menyakiti kita nanti.”

Kata-kata itu menembus hati Nevala seperti jarum yang menghujam perlahan. Ia tahu Bintang benar. Semakin mereka dekat, semakin sulit nantinya mereka berpisah. Namun, perasaan itu terlanjur dalam.

Seiring hari berganti, perasaan mereka tumbuh di antara keraguan dan ketakutan. Setiap pertemuan menjadi lebih berarti, dan setiap percakapan penuh harapan. Namun, di balik tawa dan cerita mereka, ada kecemasan yang perlahan merayapi hati Nevala. Ia tahu cinta ini tidak akan mudah, bahkan mungkin tak akan berakhir indah. Tetapi, Nevala belum siap untuk melepaskan semua ini, belum siap untuk kehilangan Bintang yang telah memberinya begitu banyak makna.

 

Perasaan yang Tak Tergapai

Senja semakin dekat saat Nevala dan Bintang berjalan beriringan di koridor sekolah yang mulai sepi. Setelah pembicaraan mereka di perpustakaan beberapa waktu lalu, banyak hal berubah di antara mereka, meski keduanya berpura-pura tidak ada yang terjadi. Hati Nevala terasa semakin berat. Semakin ia berusaha melupakan perasaannya pada Bintang, semakin dalam pula ia terjerumus dalam bayangan tatapan hangat dan suara lembutnya. Mereka sering bertemu untuk mengerjakan proyek, tetapi semakin sering pula mereka saling menghindari pandangan, seolah ada jarak yang tak bisa diabaikan.

Di dalam kelas, Nevala mencoba memusatkan perhatiannya pada papan tulis. Namun, bayangan Bintang yang duduk tak jauh darinya tak pernah lepas dari pandangannya. Matanya tanpa sadar mencuri-curi pandang, mencoba mengingat senyumnya dan suara lembut yang sudah tak bisa ia hindari.

Suatu hari setelah pelajaran selesai, Nevala dan Bintang kembali bertemu di perpustakaan. Mereka sudah terbiasa duduk di tempat yang sama di dekat jendela, berhadapan dengan deretan rak buku. Meskipun mereka bertemu hanya untuk proyek, mereka sudah tak bisa mengelak bahwa percakapan mereka selalu menyentuh lebih dalam dari sekadar tugas sekolah.

“Kamu suka nggak, duduk di sini?” tanya Bintang tiba-tiba, matanya menerawang keluar jendela. “Kadang aku ngerasa tempat ini punya banyak cerita yang belum terungkap.”

Nevala tersenyum tipis, hatinya bergetar mendengar nada suaranya yang mendalam. “Aku suka. Mungkin karena tempat ini selalu punya kedamaian yang nggak aku temuin di tempat lain,” jawab Nevala sambil menatap keluar, mencoba menyembunyikan getaran perasaannya.

Ada keheningan di antara mereka, namun keheningan itu tidak membosankan. Di situlah mereka menemukan kedamaian, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Namun, di balik keheningan itu, tersimpan banyak perasaan yang tak terucapkan. Nevala sadar bahwa ia semakin sulit mengendalikan hatinya. Meski hatinya terluka menyadari kenyataan bahwa mereka berasal dari dua dunia yang berbeda, ia tak ingin menyerah pada kebahagiaan kecil yang mereka bagi bersama.

“Nevala…” panggil Bintang dengan nada lirih.

Nevala menoleh, dan saat itulah ia melihat ekspresi wajah Bintang yang penuh kekhawatiran. Seperti ada sesuatu yang hendak ia katakan, tetapi tertahan di ujung bibir.

“Ada apa, Bintang?” tanya Nevala, penasaran.

Bintang menghela napas panjang, lalu menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba menyampaikan apa yang tersimpan di hatinya. “Aku takut, Val. Aku takut kalau sebuah perasaan ini aka terus tumbuh, maka kita akan semakin tersakiti. Kita ini berbeda… dan aku nggak tahu bagaimana caranya menyelamatkan kita dari sakit hati di masa depan.”

Kata-kata itu seperti duri yang menusuk hati Nevala. Ia tahu Bintang benar, tetapi mendengarnya diucapkan langsung membuat hatinya hancur. Meski demikian, Nevala mencoba tegar, berusaha menenangkan perasaannya yang berkecamuk.

“Bintang, aku juga merasakan hal yang sama. Tapi… kadang aku berpikir, apa salahnya kita menikmati kebersamaan ini, selagi masih bisa?” ujar Nevala dengan suara pelan, nyaris berbisik. “Aku tahu semua ini mungkin nggak akan bisa berakhir seperti yang kita harapkan, tapi sebuah perasaan ini… perasaan ini yang nyata.

Bintang hanya menunduk, terdiam. Ia tahu mereka berdua sedang menghadapi sesuatu yang tak terelakkan, sebuah kenyataan pahit yang akan selalu menghalangi mereka. Namun, hatinya juga tak mampu melepaskan Nevala begitu saja. Dalam hati, ia ingin terus bersama Nevala, bahkan jika hanya untuk beberapa saat saja.

Hari-hari berlalu, dan kedekatan mereka semakin dalam. Namun, setiap kebersamaan yang mereka nikmati juga menambah perih di hati masing-masing. Suatu hari, ketika mereka berdua duduk di bangku taman sekolah yang sepi, Bintang menggenggam tangan Nevala untuk pertama kalinya. Sentuhan itu terasa hangat, penuh arti, namun juga menyakitkan.

“Nevala… apa kamu nggak takut kalau kita akan tersakiti nantinya?” tanya Bintang, suaranya penuh kegundahan.

Nevala merasakan kehangatan dalam genggaman itu, namun juga getir yang menyelusup di hatinya. “Takut, Bintang. Aku takut. Tapi aku lebih takut kehilangan kamu sekarang. Aku tahu kita nggak bisa mengubah takdir, tapi aku ingin menikmati kebahagiaan ini, meski cuma sebentar.”

Bintang menatap Nevala, matanya menyiratkan banyak hal. Ia memahami perasaan Nevala, dan dalam hati ia juga ingin menjaga kebersamaan ini selama mungkin. Namun, setiap hari mereka bertambah dekat, ia juga semakin menyadari betapa rapuh cinta mereka. Cinta ini seperti ilusi yang akan lenyap begitu kenyataan menghampiri.

Perasaan mereka adalah rahasia yang hanya mereka ketahui, rahasia yang disembunyikan dari teman-teman dan keluarga. Mereka berdua berusaha menyembunyikan rasa ini, berpura-pura bahwa mereka hanya teman, bahwa tak ada yang istimewa di antara mereka. Namun, semakin mereka menyembunyikannya, semakin mereka tersiksa oleh cinta yang tak tergapai ini.

Suatu malam, Nevala tak bisa menahan air matanya. Ia duduk di kamarnya, merenungi setiap momen yang ia habiskan bersama Bintang. Pikirannya terus dipenuhi oleh wajah Bintang, senyumnya, tatapan matanya. Ia tahu, ia harus merelakan semua ini sebelum semuanya semakin menyakitkan, namun hatinya tak sanggup. Cinta ini begitu kuat, begitu nyata, dan ia tak ingin menyerah.

“Kenapa harus seperti ini?” gumam Nevala dalam tangisnya. Ia sadar bahwa ia jatuh cinta pada seseorang yang tak mungkin ia miliki, namun hatinya menolak untuk menyerah.

Di sekolah, hubungan mereka semakin rumit. Teman-teman mulai memperhatikan kedekatan mereka, menanyakan apakah ada sesuatu yang istimewa di antara mereka. Nevala dan Bintang hanya bisa tersenyum, berpura-pura bahwa semuanya biasa saja. Namun, dalam hati mereka, perasaan ini semakin sulit disembunyikan.

Pada suatu sore, setelah pulang sekolah, Bintang mengajak Nevala berbicara serius di taman sekolah yang sudah sepi. Di sana, di bawah langit senja yang merona, Bintang menatap Nevala dengan penuh kesedihan.

“Nevala… aku tahu semua ini berat untuk kamu. Mungkin sebaiknya kita…”

Namun, sebelum Bintang sempat menyelesaikan kalimatnya, Nevala memotong dengan suara bergetar, “Aku tahu, Bintang. Aku tahu apa yang kamu mau bilang. Tapi aku nggak mau kamu bilang itu. Aku nggak siap untuk mengucapkan selamat tinggal.”

Bintang menarik napas panjang, mencoba menahan emosinya. Ia ingin mengatakan bahwa perasaan ini harus berakhir, namun tatapan Nevala membuatnya tak sanggup. Ada cinta, ada harapan, namun juga ada perih yang tak bisa ia hindari.

“Nevala, aku sayang sama kamu. Tapi aku nggak tahu bagaimana cara untuk mencintai kamu tanpa menyakiti kita berdua.”

Kata-kata itu membuat hati Nevala hancur, namun ia tak bisa memaksa Bintang untuk tetap bertahan. Ia tahu cinta ini hanya akan membawa kesakitan di masa depan, namun perasaannya terlalu kuat untuk dilupakan begitu saja.

Di bawah senja yang beranjak gelap, mereka berdua duduk dalam keheningan, saling memahami tanpa kata-kata. Kebersamaan mereka seperti butiran pasir yang perlahan jatuh dari genggaman, semakin sulit untuk dipertahankan. Namun, di hati Nevala, ia tahu bahwa cinta ini, meski tak tergapai, akan selalu menjadi kenangan yang tak pernah hilang.

 

Perasaan yang Tak Tergapai

Senja semakin dekat saat Nevala dan Bintang berjalan beriringan di koridor sekolah yang mulai sepi. Setelah pembicaraan mereka di perpustakaan beberapa waktu lalu, banyak hal berubah di antara mereka, meski keduanya berpura-pura tidak ada yang terjadi. Hati Nevala terasa semakin berat. Semakin ia berusaha melupakan perasaannya pada Bintang, semakin dalam pula ia terjerumus dalam bayangan tatapan hangat dan suara lembutnya. Mereka sering bertemu untuk mengerjakan proyek, tetapi semakin sering pula mereka saling menghindari pandangan, seolah ada jarak yang tak bisa diabaikan.

Di dalam kelas, Nevala mencoba memusatkan perhatiannya pada papan tulis. Namun, bayangan Bintang yang duduk tak jauh darinya tak pernah lepas dari pandangannya. Matanya tanpa sadar mencuri-curi pandang, mencoba mengingat senyumnya dan suara lembut yang sudah tak bisa ia hindari.

Suatu hari setelah pelajaran selesai, Nevala dan Bintang kembali bertemu di perpustakaan. Mereka sudah terbiasa duduk di tempat yang sama di dekat jendela, berhadapan dengan deretan rak buku. Meskipun mereka bertemu hanya untuk proyek, mereka sudah tak bisa mengelak bahwa percakapan mereka selalu menyentuh lebih dalam dari sekadar tugas sekolah.

“Kamu suka nggak, duduk di sini?” tanya Bintang tiba-tiba, matanya menerawang keluar jendela. “Kadang aku ngerasa tempat ini punya banyak cerita yang belum terungkap.”

Nevala tersenyum tipis, hatinya bergetar mendengar nada suaranya yang mendalam. “Aku suka. Mungkin karena tempat ini selalu punya kedamaian yang nggak aku temuin di tempat lain,” jawab Nevala sambil menatap keluar, mencoba menyembunyikan getaran perasaannya.

Ada keheningan di antara mereka, namun keheningan itu tidak membosankan. Di situlah mereka menemukan kedamaian, seolah dunia hanya milik mereka berdua. Namun, di balik keheningan itu, tersimpan banyak perasaan yang tak terucapkan. Nevala sadar bahwa ia semakin sulit mengendalikan hatinya. Meski hatinya terluka menyadari kenyataan bahwa mereka berasal dari dua dunia yang berbeda, ia tak ingin menyerah pada kebahagiaan kecil yang mereka bagi bersama.

“Nevala…” panggil Bintang dengan nada lirih.

Nevala menoleh, dan saat itulah ia melihat ekspresi wajah Bintang yang penuh kekhawatiran. Seperti ada sesuatu yang hendak ia katakan, tetapi tertahan di ujung bibir.

“Ada apa, Bintang?” tanya Nevala, penasaran.

Bintang menghela napas panjang, lalu menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba menyampaikan apa yang tersimpan di hatinya. “Aku takut, Val. Aku takut kalau sebuah perasaan ini aka terus tumbuh, maka kita akan semakin tersakiti. Kita ini berbeda… dan aku nggak tahu bagaimana caranya menyelamatkan kita dari sakit hati di masa depan.”

Kata-kata itu seperti duri yang menusuk hati Nevala. Ia tahu Bintang benar, tetapi mendengarnya diucapkan langsung membuat hatinya hancur. Meski demikian, Nevala mencoba tegar, berusaha menenangkan perasaannya yang berkecamuk.

“Bintang, aku juga merasakan hal yang sama. Tapi… kadang aku berpikir, apa salahnya kita menikmati kebersamaan ini, selagi masih bisa?” ujar Nevala dengan suara pelan, nyaris berbisik. “Aku tahu semua ini mungkin nggak akan bisa berakhir seperti yang kita harapkan, tapi sebuah perasaan ini… perasaan ini yang nyata.

Bintang hanya menunduk, terdiam. Ia tahu mereka berdua sedang menghadapi sesuatu yang tak terelakkan, sebuah kenyataan pahit yang akan selalu menghalangi mereka. Namun, hatinya juga tak mampu melepaskan Nevala begitu saja. Dalam hati, ia ingin terus bersama Nevala, bahkan jika hanya untuk beberapa saat saja.

Hari-hari berlalu, dan kedekatan mereka semakin dalam. Namun, setiap kebersamaan yang mereka nikmati juga menambah perih di hati masing-masing. Suatu hari, ketika mereka berdua duduk di bangku taman sekolah yang sepi, Bintang menggenggam tangan Nevala untuk pertama kalinya. Sentuhan itu terasa hangat, penuh arti, namun juga menyakitkan.

“Nevala… apa kamu nggak takut kalau kita akan tersakiti nantinya?” tanya Bintang, suaranya penuh kegundahan.

Nevala merasakan kehangatan dalam genggaman itu, namun juga getir yang menyelusup di hatinya. “Takut, Bintang. Aku takut. Tapi aku lebih takut kehilangan kamu sekarang. Aku tahu kita nggak bisa mengubah takdir, tapi aku ingin menikmati kebahagiaan ini, meski cuma sebentar.”

Bintang menatap Nevala, matanya menyiratkan banyak hal. Ia memahami perasaan Nevala, dan dalam hati ia juga ingin menjaga kebersamaan ini selama mungkin. Namun, setiap hari mereka bertambah dekat, ia juga semakin menyadari betapa rapuh cinta mereka. Cinta ini seperti ilusi yang akan lenyap begitu kenyataan menghampiri.

Perasaan mereka adalah rahasia yang hanya mereka ketahui, rahasia yang disembunyikan dari teman-teman dan keluarga. Mereka berdua berusaha menyembunyikan rasa ini, berpura-pura bahwa mereka hanya teman, bahwa tak ada yang istimewa di antara mereka. Namun, semakin mereka menyembunyikannya, semakin mereka tersiksa oleh cinta yang tak tergapai ini.

Suatu malam, Nevala tak bisa menahan air matanya. Ia duduk di kamarnya, merenungi setiap momen yang ia habiskan bersama Bintang. Pikirannya terus dipenuhi oleh wajah Bintang, senyumnya, tatapan matanya. Ia tahu, ia harus merelakan semua ini sebelum semuanya semakin menyakitkan, namun hatinya tak sanggup. Cinta ini begitu kuat, begitu nyata, dan ia tak ingin menyerah.

“Kenapa harus seperti ini?” gumam Nevala dalam tangisnya. Ia sadar bahwa ia jatuh cinta pada seseorang yang tak mungkin ia miliki, namun hatinya menolak untuk menyerah.

Di sekolah, hubungan mereka semakin rumit. Teman-teman mulai memperhatikan kedekatan mereka, menanyakan apakah ada sesuatu yang istimewa di antara mereka. Nevala dan Bintang hanya bisa tersenyum, berpura-pura bahwa semuanya biasa saja. Namun, dalam hati mereka, perasaan ini semakin sulit disembunyikan.

Pada suatu sore, setelah pulang sekolah, Bintang mengajak Nevala berbicara serius di taman sekolah yang sudah sepi. Di sana, di bawah langit senja yang merona, Bintang menatap Nevala dengan penuh kesedihan.

“Nevala… aku tahu semua ini berat untuk kamu. Mungkin sebaiknya kita…”

Namun, sebelum Bintang sempat menyelesaikan kalimatnya, Nevala memotong dengan suara bergetar, “Aku tahu, Bintang. Aku tahu apa yang kamu mau bilang. Tapi aku nggak mau kamu bilang itu. Aku nggak siap untuk mengucapkan selamat tinggal.”

Bintang menarik napas panjang, mencoba menahan emosinya. Ia ingin mengatakan bahwa perasaan ini harus berakhir, namun tatapan Nevala membuatnya tak sanggup. Ada cinta, ada harapan, namun juga ada perih yang tak bisa ia hindari.

“Nevala, aku sayang sama kamu. Tapi aku nggak tahu bagaimana cara untuk mencintai kamu tanpa menyakiti kita berdua.”

Kata-kata itu membuat hati Nevala hancur, namun ia tak bisa memaksa Bintang untuk tetap bertahan. Ia tahu cinta ini hanya akan membawa kesakitan di masa depan, namun perasaannya terlalu kuat untuk dilupakan begitu saja.

Di bawah senja yang beranjak gelap, mereka berdua duduk dalam keheningan, saling memahami tanpa kata-kata. Kebersamaan mereka seperti butiran pasir yang perlahan jatuh dari genggaman, semakin sulit untuk dipertahankan. Namun, di hati Nevala, ia tahu bahwa cinta ini, meski tak tergapai, akan selalu menjadi kenangan yang tak pernah hilang.

 

Mengikhlaskan Hati yang Tak Pernah Pulih

Hari-hari berlalu sejak pertemuan terakhir Nevala dengan Bintang di taman belakang sekolah. Meskipun ia berusaha keras menjalani hidup seperti biasa, perasaan kehilangan itu tak pernah benar-benar menghilang. Dalam setiap langkahnya, ia merasakan hampa yang tak bisa diisi oleh siapa pun. Bahkan setelah perpisahan yang begitu menyakitkan, setiap kenangan tentang Bintang masih tergantung di setiap sudut pikirannya.

Nevala mencoba berbagai cara untuk mengalihkan pikirannya. Ia terlibat dalam kegiatan ekstrakurikuler, bergabung dalam proyek-proyek sekolah, bahkan menjadi ketua panitia acara perpisahan. Namun, semakin sibuk ia mencoba, semakin besar rasa kesepiannya. Setiap kali ia pulang ke rumah, ia kembali teringat pada sore itu, ketika Bintang dengan suara bergetar mengatakan kata-kata terakhir yang menyakitkan namun penuh cinta, “Selamat tinggal, Nevala. Aku berharap kamu bahagia, apa pun yang terjadi.”

Suatu sore yang tenang, ketika ia sedang duduk di kamarnya, Nevala mendengar ketukan di pintu. Ibunya masuk dengan senyum lembut, wajahnya penuh perhatian. Ia tahu ibunya memperhatikan perubahan sikapnya sejak beberapa minggu terakhir, meskipun Nevala berusaha keras menutupinya.

“Neva, Ibu merasa kamu akhir-akhir ini sering kelihatan sedih. Ada yang ingin kamu ceritakan?” tanya ibunya sambil duduk di sebelahnya.

Nevala menunduk, menggigit bibirnya, menahan air mata yang mulai menggenang. Ia tak pernah membicarakan perasaannya tentang Bintang dengan siapa pun, bahkan dengan sahabat terdekatnya sekalipun. Tapi sekarang, berada di samping ibunya, ia merasa ingin melepaskan segala perasaan yang selama ini dipendam.

“Ibu, aku… aku hanya merasa kehilangan sesuatu yang penting, sesuatu yang nggak bisa aku dapatkan lagi,” bisiknya sambil menahan tangis.

Ibunya mengusap pundaknya dengan lembut. “Cinta pertama memang selalu begitu, Neva. Terkadang dia datang dan membuat kita merasa utuh, tapi pada akhirnya dia juga bisa pergi tanpa kita sadari.”

Nevala terdiam. Kata-kata ibunya menenangkan, namun di saat yang sama juga membuat luka di hatinya terasa semakin dalam. Ia tahu ia harus merelakan Bintang, tapi itu terasa seperti menghapus bagian dari dirinya sendiri.

“Aku masih nggak ngerti, Bu. Kenapa rasanya sakit sekali?” tanya Nevala, suaranya gemetar.

Ibunya tersenyum pahit, seolah mengerti sepenuhnya apa yang dirasakan putrinya. “Karena cinta pertama adalah tentang belajar, Neva. Belajar mengasihi, belajar kehilangan, dan yang paling penting, belajar mengikhlaskan. Mungkin saat ini kamu merasa terluka, tapi Ibu yakin, seiring waktu, luka itu akan sembuh. Hanya saja, butuh waktu, Nak.”

Seminggu kemudian, Nevala mencoba melanjutkan hidupnya. Ia mulai melibatkan diri lebih dalam dengan teman-teman sekelasnya, berharap tawa mereka bisa mengurangi rasa sakit di hatinya. Salah satu sahabatnya, Alia, sering mengajaknya berlibur atau sekadar jalan-jalan di akhir pekan. Meskipun Nevala tak sepenuhnya bisa melupakan Bintang, perlahan ia mulai merasa lebih tenang.

Namun, ada satu hal yang tak bisa ia hindari ia masih melihat Bintang setiap hari di sekolah. Dan, meskipun mereka tak lagi bertegur sapa, setiap kali melihatnya dari kejauhan, hati Nevala kembali bergetar. Ia merasakan luka yang sama, kenangan yang masih segar, dan rasa sakit yang tak pernah benar-benar pergi.

Di tengah perasaan itu, suatu hari, saat ia sedang berjalan pulang dari sekolah, Nevala tanpa sengaja bertemu dengan Bintang di sebuah perempatan jalan. Bintang juga tampak terkejut melihat Nevala, namun ia mencoba tersenyum tipis.

“Hai, Nevala,” sapanya, suaranya terdengar ragu namun hangat, seperti dulu.

Nevala hanya tersenyum, mencoba menahan getaran di hatinya. Mereka berbicara singkat tentang sekolah, tugas-tugas, dan hal-hal kecil lainnya. Tapi di balik kata-kata mereka yang ringan, ada perasaan yang masih menggantung perasaan yang tak pernah benar-benar tersampaikan.

Setelah beberapa saat, Bintang berkata, “Aku dengar kamu jadi ketua panitia perpisahan. Pasti kamu bakal bikin acara yang seru, kan?”

Nevala hanya mengangguk, tersenyum kecut. “Aku coba yang terbaik. Mungkin, ini juga cara aku mengalihkan pikiran.”

Bintang tertawa kecil, namun Nevala bisa melihat kesedihan di balik tawanya. “Aku harap kamu menemukan kebahagiaanmu, Neva. Aku juga berusaha untuk melakukan hal yang sama.”

Ketika Bintang pergi, Nevala kembali merasa hampa. Meski ia tahu kata-kata Bintang tulus, rasanya perpisahan ini tak pernah benar-benar terasa nyata. Bintang masih ada di sekitarnya, tapi di saat yang sama, ia terasa begitu jauh. Dan Nevala sadar, bahwa ia harus berhenti menunggu.

Dalam kesedihannya yang dalam, Nevala mulai menemukan kekuatan baru dalam dirinya. Ia menyadari bahwa cinta, meski menyakitkan, juga mengajarinya untuk menjadi pribadi yang lebih kuat. Perlahan, ia mulai membuka hatinya untuk kebahagiaan yang datang tanpa Bintang.

Setiap hari, ia berusaha menemukan alasan untuk tersenyum. Meskipun bayang-bayang Bintang masih ada, Nevala mulai belajar menerima bahwa hidup harus terus berjalan. Cinta pertamanya mungkin akan selalu meninggalkan jejak di hatinya, tapi ia tahu, suatu hari nanti, luka itu akan sembuh.

Di hari perpisahan sekolah, Nevala berdiri di depan teman-teman sekelasnya, mengumumkan acara dengan senyuman yang tulus, senyuman yang penuh ketulusan dan penerimaan. Di tengah-tengah keramaian itu, ia menangkap tatapan Bintang dari jauh. Mereka bertukar senyuman yang tak butuh kata-kata. Saat itu, Nevala tahu bahwa ia telah merelakan, telah menerima bahwa cinta tak selamanya harus dimiliki.

Dengan langkah mantap, Nevala melangkah maju, meninggalkan masa lalunya dengan penuh ketabahan. Cinta pertama yang dulu menghiasi hidupnya kini menjadi pelajaran berharga yang ia simpan dalam hatinya, sebagai kenangan indah yang tak akan pernah ia lupakan.

 

Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Kisah Nevala bukan sekadar cerita tentang cinta yang tak bisa dimiliki ini adalah pelajaran tentang ikhlas, tentang berjuang menerima kenyataan tanpa kehilangan diri. Meskipun terkadang cinta harus berakhir dalam perpisahan, Nevala menunjukkan bahwa dari situ kita bisa menjadi lebih kuat, lebih dewasa. Jadi, kalau kamu juga pernah merasakan cinta yang penuh perjuangan, ingatlah, seperti Nevala, mungkin kita tidak selalu bisa memiliki apa yang kita cintai, tapi kita selalu bisa menyimpan kenangannya dalam hati.

Leave a Reply