Daftar Isi
Jadi, pernah nggak sih kamu ngerasa kayak cinta lama itu bagaikan boomerang? Begitu kamu pikir udah pergi selamanya, eh, dia muncul lagi tiba-tiba! Nah, di cerita ini, kita bakal ikuti perjalanan Keisha dan Abim, dua orang yang pernah merasakan pahitnya perpisahan, tapi siap berjuang untuk cinta mereka yang ternyata belum benar-benar hilang. Siapkan hati kamu, karena kisah ini penuh drama, harapan, dan semua yang bikin cinta itu rumit! Let’s go!
inta Lama Datang Kembali
Jejak di Masa Lalu
Hujan terus mengguyur kota dengan deras, menciptakan suasana sendu yang seakan menyatu dengan perasaan Keisha. Ia berjalan tergesa-gesa di trotoar, menghindari genangan air yang mengintai di setiap langkahnya. Kafe kecil di sudut jalan menunggu dengan lampu-lampu hangat yang bersinar melalui jendela berembun. Aroma kopi dan pastry yang baru dipanggang memanggilnya masuk.
“Ah, semoga masih ada tempat duduk,” gumamnya sambil bergegas melangkah masuk ke dalam kafe. Suara derap kakinya menggema di antara suara alat pembuat kopi yang berdengung dan obrolan para pengunjung. Keisha melepas mantel basahnya, merasakan hangatnya suasana kafe. Meskipun dia sudah sering ke sini, hari itu terasa berbeda—seolah ada sesuatu yang menunggu untuk terungkap.
Ia memilih meja di sudut, di mana cahaya lembut mengelilinginya. Setelah memesan secangkir cappuccino, ia meraih buku catatan dan pensilnya. Kegiatan menulis menjadi pelarian dari kerumitan hidup yang ia hadapi, terutama saat kembali ke kota asal setelah berita mengejutkan tentang ibunya. Melihat halaman kosong di depannya, ia mulai menulis tentang kerinduannya yang mendalam, bukan hanya pada ibunya, tetapi juga pada masa lalu.
“Cinta itu seperti hujan, kadang mengalir lembut, kadang datang mendadak, membuatmu terbasahi tanpa peringatan,” tulisnya, terhanyut dalam pikirannya sendiri.
Saat ia mulai tenggelam dalam aliran kata-kata, pintu kafe terbuka. Suara lonceng kecil menandakan kedatangan seseorang. Tanpa sadar, Keisha menoleh. Jantungnya serasa terhenti ketika sosok itu memasuki pandangannya. Abim. Mantan kekasihnya yang sudah lama pergi. Pria dengan senyum hangat dan tatapan yang pernah mencuri hatinya.
Dia tidak mengenakan jas formal seperti yang biasa ia pakai ketika mereka bersama. Sebaliknya, ia tampil sederhana dengan jaket hitam dan celana jeans, tetapi aura percaya diri itu masih melekat. Abim tidak melihatnya; ia langsung berjalan ke konter untuk memesan kopi. Keisha merasa seperti terjebak di antara keinginan untuk bersembunyi dan hasrat untuk menyapa.
“Ini gila,” bisiknya pada diri sendiri. Rasa yang campur aduk muncul kembali, kenangan indah dan sakit hati saling beradu. Keisha mengalihkan pandangannya, berusaha untuk tetap tenang, tetapi hati kecilnya terus berdesir.
Setelah beberapa menit, Abim mengambil tempat duduk tidak jauh dari meja Keisha. Ia mengeluarkan laptop dan tampak mulai bekerja. Keisha tidak bisa mengalihkan pandangannya. Momen-momen indah ketika mereka masih bersama kembali menghantui pikirannya. Tawa, canda, dan kerinduan yang tak pernah terucap.
Ketika tidak kuat menahan rasa penasarannya, Keisha memberanikan diri untuk bangkit dari kursinya. “Eh, Abim?” suaranya bergetar saat memanggil.
Abim menoleh, dan wajahnya seolah terkejut melihatnya. “Keisha?” Seulas senyum mulai terbentuk di wajahnya, membuat Keisha merasakan pelukan hangat dari kenangan-kenangan lama.
“Kamu di sini?” tanya Abim, masih tidak percaya.
“Iya, aku kembali ke sini karena… ya, ada urusan keluarga,” jawab Keisha, berusaha menjaga nada suaranya tetap stabil.
“Mudah-mudahan semuanya baik-baik saja,” ucap Abim, menggigit bibirnya. Mereka berdua terdiam sejenak, kata-kata tampak terjebak di antara mereka.
Keisha mencoba meresapi momen ini, berusaha menenangkan jiwanya yang bergetar. “Kamu tampak baik-baik saja. Bagaimana dengan hidupmu?”
Abim mengangguk, “Aku baru saja kembali dari luar negeri. Bekerja sebagai fotografer. Rasanya… menantang.”
“Wow, itu hebat!” jawab Keisha, sedikit terkejut. Ia tidak menyangka Abim akan meraih mimpinya. “Jadi kamu benar-benar berhasil?”
“Ya, bisa dibilang begitu,” sahut Abim, senyum di wajahnya menampakkan kebanggaan. Namun, Keisha bisa merasakan ketulusan di balik senyuman itu.
Obrolan mereka berlanjut dengan canggung, tetapi ada kehangatan yang kembali muncul di antara mereka. Topik-topik kecil seperti makanan, tempat tinggal, dan hobi membangun suasana yang lebih nyaman. Keisha tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa saat Abim bercerita tentang kesalahan-kesalahan lucu saat memotret.
Namun, saat kebersamaan itu mulai terasa akrab, kenangan lama mulai menenggelamkan Keisha dalam kerinduan yang mendalam. “Maaf, aku harus pergi ke toilet sebentar,” ujarnya, beranjak dari kursi, berusaha menyembunyikan perasaannya yang bergejolak.
Di dalam toilet, Keisha menatap cermin, menghela napas dalam-dalam. Ia merasa seperti terperangkap di antara dua dunia—dunia yang ingin ia lupakan dan dunia yang tampaknya ingin ia jalani kembali. Air mata menggenang di pelupuk matanya, tetapi ia segera mengusapnya, berusaha mengembalikan ketenangan.
Ketika ia kembali ke meja, Abim sudah menunggu dengan secangkir kopi di tangannya. “Kamu suka kopi yang aku pesan?” tanyanya, matanya penuh harapan.
“Yup, terima kasih. Itu favoritku,” jawab Keisha, sedikit tersenyum. “Kamu selalu ingat ya?”
“Beberapa hal sulit untuk dilupakan,” jawab Abim, tatapannya serius.
Keisha merasa jantungnya berdegup kencang. Ada sesuatu dalam tatapan itu yang membuatnya merasa rentan. Ia ingin bertanya tentang semua yang terjadi di antara mereka, tentang kepergiannya yang menyakitkan, tentang harapan yang hilang.
“Abim, kita perlu bicara tentang kita…” Keisha memulai, tetapi kata-katanya terputus. Ia tidak tahu bagaimana melanjutkan.
Abim menatapnya intens, seolah bisa membaca pikirannya. “Aku tahu kita punya banyak yang harus dibicarakan,” jawabnya, nada suaranya lembut. “Tapi, bisa kita mulai dengan yang sederhana? Mungkin… kita bisa menjadwalkan waktu untuk bertemu lagi?”
Keisha merasa terjepit di antara keinginan untuk melanjutkan dan rasa takut akan luka lama yang bisa kembali terbuka. “Baiklah,” ucapnya pelan, berusaha tidak menunjukkan keraguannya.
Percakapan mereka berlanjut, tetapi tidak ada yang lebih mendalam dari yang telah mereka ucapkan. Keisha merasakan bahwa ini adalah pertemuan pertama dari banyak pertemuan yang akan datang, tetapi bayang-bayang masa lalu masih menghantui mereka berdua.
Saat matahari terbenam, Keisha berpamitan pada Abim, tetapi hatinya penuh dengan rasa ingin tahu dan kerinduan yang terpendam. Mereka berpisah dengan pelukan hangat yang menyentuh jiwa, meninggalkan perasaan yang belum sepenuhnya terungkap. Keisha merasa seperti menginjak jembatan menuju masa lalu, dan ia tidak tahu seberapa jauh ia akan melangkah.
Menggali Kenangan
Hari-hari berlalu, dan Keisha merasakan getaran baru dalam hidupnya. Setiap kali ia melihat pesan dari Abim di ponselnya, hatinya berdebar. Mereka berdua sepakat untuk bertemu lagi, dan itu membuatnya bersemangat sekaligus cemas. Terkadang, rasa ingin tahunya membangkitkan kerinduan akan masa lalu, saat segala sesuatu terasa lebih sederhana, sebelum dunia memisahkan mereka.
Suatu pagi, Keisha memutuskan untuk mengunjungi tempat-tempat yang mereka sering datangi bersama. Kafe itu kini menjadi salah satu sudut favoritnya, tetapi hari ini, ia ingin melihat taman kota yang sering mereka jelajahi. Setelah bersiap, ia berjalan menuju taman, mengenang momen-momen indah saat mereka duduk di bangku, tertawa, dan berbagi mimpi.
Sesampainya di taman, Keisha melihat pohon-pohon yang mulai berdaun lebat, mengingatkannya pada pertemuan pertama mereka. Abim, dengan wajah ceria dan senyum menawannya, saat itu duduk di bawah pohon itu, menawarinya sepotong cokelat. “Ini adalah favoritku,” katanya, mempersembahkan cokelat itu seolah itu adalah harta berharga.
Dengan segenap kerinduan yang menggulung di dalam hati, Keisha melangkah ke arah bangku yang sama, dan teringat akan momen ketika mereka berbagi impian. “Bisa kita ulang lagi?” pikirnya sambil tersenyum, membayangkan Abim sedang duduk di sampingnya.
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Pesan dari Abim muncul di layar, membuatnya tersenyum lebar. “Hai, Keisha! Aku ada waktu kosong siang ini. Mau ketemu?”
Keisha merasa energinya bertambah. “Tentu! Di taman? Aku sudah di sini.”
Setelah beberapa saat, Abim muncul dengan senyuman lebar. Ia mengenakan kaos putih dan celana jeans, sama seperti dulu. “Suka sekali melihatmu di sini. Tempat ini selalu penuh kenangan,” katanya, duduk di samping Keisha.
Keisha merasa jantungnya berdegup cepat. “Ya, aku juga berpikir sama. Banyak kenangan indah di sini,” jawabnya, merasakan hangatnya kehadiran Abim.
Mereka menghabiskan waktu berbincang-bincang, membahas mimpi-mimpi yang hilang dan kehidupan masing-masing. Keisha tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. “Jadi, apa yang membuatmu kembali setelah semua waktu itu?”
Abim terdiam sejenak, menatap jauh ke arah danau. “Kadang, kita harus kembali untuk menemukan bagian dari diri kita yang hilang,” ucapnya, suaranya penuh makna. “Aku merasa butuh kembali ke tempat yang membuatku merasa hidup.”
Keisha mengangguk, merasakan kedalaman kata-katanya. “Aku mengerti. Terkadang, kita hanya perlu kembali untuk mengingat siapa kita sebenarnya.”
Pembicaraan mereka berlanjut, menyentuh berbagai topik, mulai dari kenangan manis hingga pelajaran hidup yang mereka dapatkan selama bertahun-tahun berpisah. Keisha merasakan kehangatan di hatinya, seolah-olah waktu tidak pernah memisahkan mereka. Namun, di balik setiap tawa dan cerita, ada ketegangan yang tak terucapkan, pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka.
Saat matahari mulai terbenam, Abim mengeluarkan kamera dari tasnya. “Aku ingin mengabadikan momen kita hari ini. Sebuah kenangan baru,” katanya dengan senyum, seolah ingin menghapus rasa canggung di antara mereka.
Keisha merasa senang sekaligus gugup saat berdiri di sampingnya, memposisikan diri untuk foto. “Bagaimana kalau kita berpose seperti dulu?” saran Keisha, mengingat pose-pose konyol yang biasa mereka lakukan.
“Setuju! Mari kita lakukan!” jawab Abim, terlihat bersemangat. Mereka berpose dengan gaya lucu, saling menghibur dan tertawa hingga perut mereka sakit.
Setelah beberapa foto, Abim mengajak Keisha untuk berjalan-jalan di sekitar taman. “Keisha, aku merasa seperti ada sesuatu yang belum kita bicarakan. Tentang kita,” katanya, mengalihkan topik ke arah yang lebih serius.
Keisha menelan ludah, merasa jantungnya berdegup kencang. “Kita sudah cukup banyak bicara tentang masa lalu. Tapi… ya, aku tahu kita perlu membahasnya,” jawabnya, mencoba menata kata-katanya.
“Sejujurnya, aku merasa sangat menyesal tentang apa yang terjadi di antara kita. Waktu itu, aku terlalu egois untuk melihat betapa berharganya kita satu sama lain,” ucap Abim, menatap dalam-dalam ke mata Keisha.
Keisha merasakan emosinya meluap. “Aku juga merasa begitu, Abim. Setiap hari yang berlalu, aku selalu bertanya-tanya bagaimana jika kita tidak berpisah. Tapi… kita sudah memiliki kehidupan masing-masing sekarang.”
“Aku tahu, dan aku menghargai semua yang telah kita lalui. Namun, aku tidak bisa menafikan bahwa perasaanku padamu tidak pernah hilang. Mungkin ini terdengar gila, tapi aku merasa kita ditakdirkan untuk kembali,” ucap Abim, suaranya penuh harapan.
Keisha menggigit bibirnya, terombang-ambing antara rasa takut dan harapan. “Aku juga merasa ada benang merah yang menghubungkan kita. Tapi, bagaimana kita bisa memastikan bahwa ini bukan hanya nostalgia?”
“Dengan memberi diri kita kesempatan,” jawab Abim, berusaha meyakinkan Keisha. “Kita bisa mulai perlahan, tanpa tekanan. Siapa tahu, mungkin kita bisa menemukan kembali apa yang pernah kita miliki.”
Matahari terbenam di belakang mereka, menyalakan langit dengan warna oranye dan ungu yang menakjubkan. Keisha merasa hatinya dipenuhi rasa ragu, tetapi juga harapan. “Baiklah, aku bersedia mencoba. Tapi kita harus terbuka tentang semua ini. Tidak ada rahasia,” ucapnya, menyusun keinginan untuk saling memahami.
Abim mengangguk, senyumnya menampakkan kelegaan. “Aku janji, Keisha. Kita akan jujur satu sama lain.”
Mereka melanjutkan perbincangan dengan semangat baru, membahas impian-impian yang ingin dicapai dan harapan-harapan yang ingin diraih. Keisha merasakan jalinan yang kuat di antara mereka, seolah waktu yang telah berlalu tidak pernah ada.
Saat mereka meninggalkan taman, keinginan untuk menjelajahi masa lalu dan masa depan bersatu, dan Keisha tahu bahwa perjalanan ini baru saja dimulai. Dia merasa terlahir kembali, seakan menemukan kembali bagian dari dirinya yang hilang. Namun, bayangan masa lalu yang menyakitkan masih mengintai, menanti saat yang tepat untuk kembali muncul.
Pertemuan yang Tak Terduga
Hari-hari berlalu dengan cepat sejak pertemuan mereka di taman, dan Keisha merasakan angin segar yang mengalir dalam hidupnya. Abim dan dia semakin sering berkomunikasi, berbagi cerita, dan merencanakan untuk bertemu lagi. Meski ada keraguan yang mengendap di dalam hati Keisha, dia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa perasaan mereka seolah terbangun kembali.
Suatu malam, ketika Keisha sedang bersantai di rumah, dia menerima pesan dari Abim. “Hei, ada acara musik live di kafe lama kita besok malam. Mau ikut? Aku sudah membeli tiketnya,” tulis Abim.
Keisha tidak bisa menahan senyum. Acara musik itu selalu menjadi salah satu hal favorit mereka, tempat di mana mereka merasakan kebebasan dan kehangatan dalam satu tempat. “Tentu! Aku sangat ingin. Ini jadi momen nostalgia!” balasnya.
Hari yang dinanti pun tiba. Keisha mengenakan gaun simpel yang membuatnya merasa percaya diri. Dia sudah lama tidak merasa semangat seperti ini. Setelah menatap dirinya di cermin, dia berangkat menuju kafe dengan perasaan campur aduk—rindu, harapan, dan sedikit ketakutan.
Sesampainya di kafe, suasana begitu hidup dengan alunan musik yang menggetarkan jiwa. Keisha langsung melihat Abim di sudut kafe, tersenyum lebar sambil melambaikan tangan. Dia mengenakan jaket kulit favoritnya, sama seperti dulu. Hatinya berdebar melihat Abim yang tampak lebih dewasa, namun tetap dengan pesona yang sama.
“Malam, Keisha! Kamu terlihat cantik!” puji Abim saat dia mendekat, membuat Keisha merona.
“Terima kasih! Kamu juga, seperti biasa,” jawab Keisha, berusaha menutupi kegugupannya.
Mereka berdua bergerak ke arah panggung, dan suara penyanyi mulai menggema di seluruh ruangan. Dengan setiap lagu yang dinyanyikan, kehadiran Abim di samping Keisha menghangatkan hatinya. Lagu-lagu yang dimainkan membawa kembali kenangan indah, dan Keisha merasa seolah kembali ke masa-masa ketika semuanya terasa lebih sederhana.
Setelah beberapa lagu, mereka memutuskan untuk mengambil minuman. Sambil duduk di sebuah meja dekat panggung, mereka mulai berbicara tentang kehidupan masing-masing. Abim mengungkapkan rencananya untuk kembali kuliah dan bagaimana dia ingin mengejar passion-nya dalam musik. “Musik selalu menjadi bagian dari diriku. Aku ingin mengembangkan kemampuan ini,” katanya dengan semangat.
“Bagus sekali! Aku selalu tahu kamu berbakat. Apa kamu akan tampil di panggung suatu saat nanti?” tanya Keisha, terpesona oleh semangat Abim.
“Itu salah satu tujuanku. Mungkin suatu hari nanti, aku bisa tampil di tempat ini,” jawab Abim, tatapannya penuh harapan. “Bagaimana denganmu? Apa yang kamu lakukan sekarang?”
Keisha menceritakan tentang pekerjaannya dan bagaimana dia mencoba menemukan makna dalam setiap harinya. “Tapi, kadang aku merasa ada yang kurang. Mungkin aku butuh sesuatu yang lebih dari sekadar rutinitas,” ungkapnya, mengingat kembali percakapan mereka tentang menemukan bagian dari diri yang hilang.
Abim tersenyum, seolah mengerti apa yang Keisha rasakan. “Kadang, kita memang harus berani melangkah keluar dari zona nyaman kita untuk menemukan hal-hal baru.”
Keisha mengangguk, merasa terhubung dengan Abim lebih dari sebelumnya. Namun, di tengah kehangatan suasana, sebuah suara mengganggu perhatian mereka. Seorang wanita tiba-tiba menghampiri meja mereka, dengan senyum manis dan penampilan yang mencolok.
“Hey, Abim! Senang sekali melihatmu di sini!” sapanya, menatap Keisha sekilas sebelum kembali fokus pada Abim. “Kamu belum memberi tahu kalau ada teman baru.”
Keisha merasakan gelombang ketidaknyamanan mengalir di dalam dirinya. Wanita itu tampak akrab dengan Abim, dan kehadirannya seolah menambah ketegangan di antara mereka.
“Ini Keisha, teman lama,” jawab Abim, terlihat sedikit canggung.
“Ah, Keisha. Senang bertemu denganmu. Aku Lila,” ucap wanita itu, tanpa memperhatikan ekspresi Keisha yang mulai kaku. “Kamu sudah mengenal Abim cukup lama, ya? Kalian pasti memiliki banyak kenangan.”
“Ya, kami teman baik,” jawab Keisha, berusaha tersenyum meskipun rasa cemburu menggerogoti hatinya.
Lila duduk di sebelah Abim tanpa diminta, membuat Keisha merasa terasing. “Jadi, bagaimana hubungan kalian sekarang? Apa ada yang baru?” tanya Lila dengan nada santai, seolah itu adalah pertanyaan biasa.
Keisha menahan napas. “Kami baru saja bertemu lagi setelah beberapa tahun berpisah,” ucapnya, berusaha terdengar tenang.
“Oh, itu menarik! Abim selalu bilang dia merindukan masa lalu. Mungkin kalian bisa menjalin kembali hubungan kalian,” sahut Lila, senyumnya mengandung nada menggoda.
Keisha merasakan kemarahan dan rasa tidak nyaman bercampur aduk. “Kami hanya bersenang-senang, tidak ada yang spesial,” ucapnya cepat, merasa perlu untuk melindungi dirinya sendiri.
Abim mencoba meredakan ketegangan, “Lila, Keisha dan aku baru saja mulai mengenal satu sama lain lagi. Kami tidak terburu-buru.”
Tapi Lila tidak tampak terpengaruh. “Tentu saja! Tapi kamu tahu, Abim, ada banyak kesempatan di luar sana. Mungkin kamu harus menjelajahi semuanya,” katanya dengan nada menantang.
Keisha merasa hatinya semakin tertekan. Dia tidak ingin berada dalam situasi ini, merasa seperti orang ketiga dalam percakapan. “Maaf, aku perlu ke toilet,” ucapnya, berdiri dengan terburu-buru, berusaha menenangkan diri.
Saat berjalan menjauh dari meja, dia merasakan tatapan Lila di punggungnya dan tidak bisa mengabaikan perasaan tidak nyaman yang melanda. Di toilet, Keisha membasuh wajahnya, berusaha mengendalikan emosinya. “Kenapa aku merasa cemburu?” pikirnya.
Dia mengambil napas dalam-dalam dan melihat ke cermin. “Keisha, kamu harus tetap tenang. Ini baru awal. Jangan biarkan siapapun mengganggu apa yang mungkin terjadi antara kamu dan Abim,” ucapnya pada diri sendiri, bertekad untuk tidak membiarkan keraguan menguasai perasaannya.
Setelah beberapa menit menenangkan diri, Keisha kembali ke tempat mereka duduk. Dia berusaha tersenyum, meskipun hatinya masih bergejolak. Abim terlihat khawatir saat melihatnya. “Kamu baik-baik saja?” tanyanya dengan nada lembut.
“Ya, maaf. Hanya butuh sedikit waktu untuk diri sendiri,” jawabnya, berharap bisa mengubah suasana hati mereka.
Lila tampak terganggu, tetapi Abim menanggapi dengan senyum. “Bagaimana kalau kita kembali menikmati musik? Lagunya seru!”
Keisha mengangguk, berusaha mengabaikan perasaan cemburu yang masih mengganjal. Saat mereka kembali ke panggung, lagu-lagu yang dinyanyikan mengisi kekosongan di hatinya, dan dia berusaha untuk sepenuhnya menikmati malam itu.
Tapi bayangan Lila dan ketegangan yang terbangun antara mereka membuat Keisha menyadari bahwa meski mereka kembali bertemu, ada banyak hal yang harus diselesaikan. Sebuah perjalanan baru dimulai, tetapi penuh dengan tantangan yang tidak terduga.
Di akhir malam, Keisha merasa lega saat mereka melangkah keluar dari kafe. Abim memegang tangannya, memberi rasa aman yang menghangatkan hati. Namun, Keisha tahu bahwa mereka perlu menghadapi kenyataan yang tersimpan di antara mereka—perasaan yang rumit dan hubungan yang belum sepenuhnya pulih.
“Malam yang seru, ya?” Abim mencoba memecah keheningan saat mereka berjalan di trotoar yang tenang.
“Ya, sangat seru. Tapi kita perlu bicara tentang Lila,” ucap Keisha, bertekad untuk tidak menghindari masalah.
Abim menatapnya serius. “Aku akan menjelaskan segalanya. Jangan khawatir. Kita bisa menyelesaikan ini bersama,” katanya, mengulurkan tangan untuk menggenggamnya.
Keisha merasakan harapan, meskipun keraguan masih menyelimuti hatinya. Malam itu mungkin baru saja dimulai, tetapi dia tahu mereka harus menghadapi berbagai lapisan emosi yang rumit agar bisa melanjutkan kisah mereka ke arah yang lebih baik.
Jalan Menuju Kesembuhan
Keisha dan Abim melanjutkan langkah mereka menyusuri trotoar yang sepi. Suara langkah kaki mereka menjadi satu-satunya bunyi yang menghiasi malam itu, diiringi dengan detak jantung Keisha yang semakin cepat. Dia tahu bahwa pembicaraan ini adalah hal yang penting, dan semua keraguan harus diselesaikan sebelum mereka bisa melangkah lebih jauh.
“Jadi, tentang Lila…” Keisha memulai, berusaha untuk terdengar tenang meskipun hatinya berdebar. “Dia terlihat dekat denganmu. Apa ada yang perlu aku ketahui?”
Abim menghela napas, seolah-olah mencari kata-kata yang tepat. “Lila dan aku memiliki sejarah. Kami sempat dekat di masa lalu, tapi itu sudah lama sekali. Aku tidak ingin kamu merasa terancam oleh keberadaannya.”
Keisha mendengarkan, merasakan beban di dalam dadanya sedikit terangkat. “Tapi tadi, dia tampak sangat akrab denganmu. Seolah dia ingin lebih dari sekadar teman.”
Abim menghentikan langkahnya dan berbalik untuk melihat Keisha. “Keisha, saat ini aku di sini bersamamu. Aku ingin fokus pada kita. Lila adalah bagian dari masa laluku, dan aku sudah memutuskan untuk melanjutkan hidupku.”
Mendengar kata-kata Abim, Keisha merasa sedikit lebih tenang. “Aku mengerti. Tapi aku tidak ingin ada yang mengganggu hubungan kita. Kita harus jujur satu sama lain.”
“Setuju. Komunikasi adalah kuncinya. Kita harus terbuka tentang perasaan kita,” jawab Abim, tangannya meraih tangan Keisha dan menggenggamnya erat.
Mereka berjalan kembali, menyusuri jalanan yang bersinar di bawah cahaya bulan. Keisha merasa hati mereka mulai bersatu kembali. Mereka berhenti di sebuah bangku taman, di tempat yang sama di mana mereka sering duduk bertahun-tahun lalu. “Ingat waktu kita di sini? Saat kita bercanda dan merencanakan masa depan?” Abim tersenyum, mengingat kenangan indah itu.
Keisha mengangguk. “Ya, saat itu terasa seperti dunia milik kita. Tapi aku ingat juga, saat kita berpisah, rasanya sangat menyakitkan. Kita tidak siap menghadapi perpisahan itu.”
“Aku juga merasakannya,” jawab Abim dengan nada serius. “Aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya. Tapi sekarang, aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin kita memulai kembali, dengan cara yang benar.”
Keisha menatap mata Abim, merasakan kejujuran dalam kata-katanya. “Aku ingin itu juga, Abim. Tapi kita perlu memberi ruang untuk saling memahami. Mungkin ada keraguan yang harus kita hadapi.”
“Mungkin kita perlu menjelajahi perasaan kita satu sama lain. Coba untuk tidak terburu-buru,” ujar Abim, dengan lembut menyentuh pipi Keisha. “Aku ingin kamu merasa aman bersamaku. Kamu adalah orang yang berarti bagiku.”
Kata-kata Abim menembus jantungnya. Keisha merasa ada harapan baru yang tumbuh di dalam dirinya. Mereka berdua memiliki masa lalu yang rumit, tetapi keinginan untuk melanjutkan masa depan bersama terasa kuat.
Saat malam semakin larut, mereka duduk di sana, berbagi cerita, tawa, dan kadang keheningan yang nyaman. Setiap detik terasa berharga, seolah-olah mereka memulai lembaran baru dalam hidup mereka.
Tiba-tiba, Abim bertanya, “Keisha, apa yang kamu inginkan di masa depan?”
Keisha terdiam sejenak, berpikir sejenak. “Aku ingin hidup yang lebih bermakna. Mungkin menemukan passion-ku, menggapai mimpi yang selama ini tertunda. Dan, tentunya, ingin seseorang yang bisa aku percayai di sampingku.”
“Lalu, apakah aku termasuk di dalamnya?” Abim menatapnya dengan penuh harapan.
Keisha tersenyum, merasakan hatinya bergetar. “Iya, aku ingin kamu ada di sana. Tapi kita perlu saling berkomitmen untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.”
“Janjiku,” Abim berjanji, mengulurkan jari pinknya untuk menjalin jari Keisha. “Kita akan sama-sama berjuang untuk hubungan ini.”
Malam itu terasa lebih cerah. Keisha merasakan beban di hatinya mulai menghilang, digantikan dengan rasa harapan. Mereka berdua tahu bahwa perjalanan ke depan tidak akan selalu mulus, tetapi dengan komunikasi yang terbuka dan keinginan untuk saling memahami, mereka bisa melewati semua rintangan.
Ketika mereka akhirnya berpulang ke rumah masing-masing, Keisha merasa hidupnya telah berubah. Dia tidak lagi merasa sendirian, dan satu hal yang pasti—dia dan Abim akan berjuang bersama untuk cinta yang baru, cinta yang telah terbangun kembali dari sisa-sisa kenangan lama.
Cinta lama datang kembali, namun kali ini, dengan pelajaran yang lebih berarti. Mereka berdua siap untuk menghadapi tantangan yang akan datang, melangkah bersama dengan penuh keyakinan. Keisha menatap bulan yang bersinar cerah, mengingat semua yang telah terjadi, dan merasa optimis untuk masa depan yang lebih baik.
Jadi, gitu deh cerita Keisha dan Abim—perjalanan dari sakit hati ke harapan baru. Cinta lama bisa aja datang kembali, dan kali ini mereka bener-bener siap buat menjaga hubungan ini. Cinta itu nggak gampang, tapi dengan jujur dan saling pengertian, semuanya jadi mungkin. Siapa tahu, kamu juga punya pengalaman serupa? Sampai jumpa dicerita seru lainnya, ya!!