Daftar Isi
Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya siapa sih yang nggak pernah ngerasain cinta dalam diam, apalagi pada sahabat sendiri? Terkadang, perasaan yang dipendam lama-lama jadi beban yang nggak mudah buat dilepaskan.
Di cerpen ini, kita bakal diajak melihat perjuangan Marshanda, seorang remaja SMA yang berani menembus batas persahabatan demi jujur pada hatinya sendiri. Gimana sih perasaan itu akhirnya ia ungkapkan ke Rian, sahabat sekaligus cinta pertamanya? Yuk, ikuti kisah manis yang penuh emosi dan keberanian Marshanda dalam menaklukkan cinta di cerpen ini!
Diam-Diam Cinta
Senyum yang Tersembunyi
Di pagi yang cerah itu, Marshanda melangkah masuk ke sekolah dengan penuh semangat. Hawa pagi yang segar menyapanya, dan ia menikmati setiap langkah melewati lorong-lorong yang ramai dengan canda tawa dan obrolan teman-teman. Bagi Marshanda, sekolah bukan hanya tempat belajar ini adalah tempat di mana ia bisa mengekspresikan diri, bercanda, dan bertemu dengan teman-teman dekat yang sudah seperti keluarga.
Tapi ada satu hal yang selalu membuat jantungnya berdebar, hal kecil namun tak bisa ia hindari. Setiap kali matanya tanpa sengaja menangkap sosok Rian, teman sekelasnya, ia merasakan sesuatu yang berbeda di hatinya. Sejak pertama kali mereka satu kelas, Rian sudah mencuri perhatian Marshanda. Bukan karena penampilannya yang mencolok, atau sikapnya yang menonjol, tapi justru karena ketenangannya. Rian berbeda dari teman-temannya yang lain yaitu ia lebih pendiam, namun selalu punya pandangan bijaksana dalam setiap diskusi. Ada aura tenang dalam setiap senyumnya, dan itu yang membuat Marshanda terpesona tanpa ia sadari.
Hari ini, seperti biasa, Marshanda duduk di bangkunya yang tak jauh dari Rian. Dari sudut matanya, ia melihat Rian tenggelam dalam buku, mungkin membaca materi pelajaran yang akan dipelajari nanti. Rian memang siswa yang pintar, selalu siap di setiap pelajaran. Entah bagaimana, setiap kali Marshanda melihat Rian serius seperti itu, ia merasakan kekaguman yang aneh, perasaan hangat yang sering membuatnya bingung sendiri.
“Marsha!” panggil Nina, teman sebangkunya, membuyarkan lamunannya. “Eh, liatin Rian lagi ya?” goda Nina sambil tersenyum jahil.
“Wah, apaan sih, Nin! Enggak kok,” kilah Marshanda sembari mencoba menahan senyum yang tersipu. Marshanda memang cukup pintar menyembunyikan perasaannya, atau setidaknya, itulah yang ia pikirkan. Di depan semua orang, ia tetap menjadi Marshanda yang ceria dan penuh percaya diri, yang terlihat tak punya kekhawatiran. Tapi di dalam hatinya, perasaannya pada Rian selalu menjadi rahasia yang ia simpan erat-erat.
Hari itu, saat jam pelajaran selesai, pengumuman tentang pentas seni terdengar di seluruh sekolah. Semua siswa diwajibkan berpartisipasi, dan kelas mereka akan menampilkan drama bertema romantis. Seisi kelas langsung riuh, semua sibuk membahas siapa yang akan menjadi pemeran utama.
“Eh, gimana kalau Marshanda yang jadi pemeran utamanya?” usul Andre, salah satu teman mereka yang sudah terkenal sebagai ketua kelas. “Dia kan jago akting dan gampang buat dekat sama semua orang!” Mendengar itu, teman-teman lain serempak untuk menyetujui ide tersebut, bisa membuat Marshanda tak punya pilihan selain setuju.
“Ya ampun, Andre, enggak usah lebay kaya gitu juga kali!” kata Marshanda sambil tertawa. Namun, sebenarnya, ia cukup senang mendapat peran utama, meskipun sedikit gugup. Tapi pertanyaan terbesarnya adalah: siapa yang akan menjadi lawan mainnya?
Tak lama kemudian, Andre melanjutkan, “Lawan mainnya… gimana kalau Rian?” Mendengar nama itu, Marshanda masih merasa jantungnya hampir berhenti berdetak. Seketika, rasa senangnya bercampur dengan gugup yang tak terkira.
Wajah Rian terlihat kaget, tetapi ia sudah bisa menanggapinya dengan senyum yang tenang. “Aku? Wah, aku enggak yakin bisa akting, nih,” kata Rian sambil menggaruk kepalanya, sedikit malu. Namun, teman-teman lain meyakinkannya hingga akhirnya, Rian setuju. Dan di situlah, Marshanda merasakan perasaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya antara takut dan senang, cemas namun bahagia.
Latihan dimulai seminggu setelah pengumuman itu. Mereka semua sibuk menyiapkan properti, mengatur latar panggung, dan membuat kostum sederhana. Setiap sore, setelah sekolah usai, mereka berkumpul di aula untuk berlatih. Setiap hari, Marshanda dan Rian dipasangkan dalam adegan-adegan yang penuh dengan percakapan manis yang menuntut mereka untuk bertatapan lama. Di sinilah Marshanda sering kali merasa perasaannya semakin sulit ia sembunyikan.
Di salah satu sesi latihan, ada adegan di mana Rian harus memegang tangan Marshanda. Saat itu, jantung Marshanda berdegup kencang. Tangan Rian terasa hangat, membuat debaran di dadanya semakin menjadi-jadi. Ia mencoba tetap tenang, namun sulit menahan wajahnya agar tak berubah merah.
“Hmm… Maaf ya kalau tanganku dingin,” ucap Marshanda mencoba mencairkan suasana.
Rian hanya tersenyum, lalu mengangguk. “Santai saja, Marsha. Kita hanya berakting, kok,” balas Rian. Namun, di balik ketenangan Rian, Marshanda merasakan tatapan lembut yang cukup dalam. Sejenak, ia merasa tatapan itu bukan hanya sekadar untuk akting.
Saat latihan terus berjalan, Marshanda semakin sulit menahan perasaannya. Ia tahu ini hanya akting, tetapi ada momen-momen di mana ia berharap, mungkin saja perasaannya bukan hanya perasaannya sendiri. Mungkin saja, Rian juga merasakan hal yang sama.
Latihan demi latihan berjalan, dan waktu Marshanda bersama Rian terasa seperti mimpi kecil yang ia nikmati setiap hari. Ia menyadari bahwa perjuangannya bukanlah soal memenangkan pementasan, tapi bagaimana ia harus bertarung melawan perasaannya sendiri, bagaimana ia bisa terus menyembunyikan rasa yang begitu kuat ini agar tak terlihat.
Di satu sisi, Marshanda merasa senang karena bisa dekat dengan Rian. Tetapi di sisi lain, ada rasa takut bahwa ini semua hanya akan berakhir sebagai kisah yang diam-diam. Di akhir setiap latihan, Marshanda selalu pulang dengan hati yang berdebar-debar, terbayang senyum Rian dan kebersamaan mereka selama latihan. Namun ia tahu, rasa ini harus tetap ia simpan seperti senyum yang tersembunyi, di hati seorang gadis yang hanya bisa mencintai dalam diam.
Hari-hari latihan terus berlalu, dan pementasan semakin dekat. Marshanda menyadari bahwa momen-momen indah ini tak akan berlangsung lama. Tapi baginya, bisa menyukai seseorang seperti Rian, meski dalam diam, adalah kebahagiaan yang ia rasakan sepenuh hati. Ia berjanji pada dirinya sendiri, apa pun yang terjadi, perasaannya akan selalu tulus.
Dan itulah awal dari kisah cinta dalam diamnya kisah yang ia nikmati dalam keheningan, berharap suatu hari Rian bisa merasakan apa yang selama ini ia pendam.
Antara Teman dan Perasaan
Waktu terasa berlalu begitu cepat sejak Marshanda dan Rian ditunjuk sebagai pemeran utama dalam drama sekolah. Setiap sore, mereka berlatih di aula bersama teman-teman sekelas, dan bagi Marshanda, saat-saat latihan itu seperti hadiah tak ternilai. Namun, ada pergolakan di dalam dirinya yang semakin tak bisa ia abaikan.
Seperti biasa, sore itu aula ramai dengan suara tawa dan semangat teman-teman yang mempersiapkan kostum dan tata panggung. Marshanda sudah tiba lebih awal dari teman-temannya. Ia berdiri di dekat panggung kecil sambil memeriksa dialognya, meski dalam hati ia sudah menghafalnya luar kepala. Namun, tak ada yang bisa menghentikan debaran di hatinya ketika ia mendengar langkah kaki Rian mendekat.
“Hei, sudah hafal dialognya?” Rian bertanya sambil tersenyum tipis, meletakkan tasnya di samping kursi.
Marshanda tersenyum, mencoba terlihat tenang meski sebenarnya pikirannya kacau. “Iya, kayaknya aku sudah hafal. Kamu gimana?” jawabnya sambil menahan senyum. Rian terlihat santai, bahkan sesekali bercanda saat latihan, sementara di dalam hati Marshanda, perasaannya semakin berat.
“Aku hafal… berkat kamu yang selalu ingetin!” jawab Rian dengan sedikit tertawa. Satu hal yang Marshanda sadari, Rian selalu memperhatikan meski ia tak sering menunjukkan perasaannya dengan kata-kata. Ada perhatian kecil yang ia rasakan, tapi tetap saja membuat Marshanda ragu apakah ini hanya kebaikan seorang teman?
Latihan mereka hari itu dimulai dengan adegan paling romantis dalam drama. Dalam adegan ini, Rian harus menyatakan perasaan pada Marshanda, sang tokoh utama wanita, dan memegang tangannya sambil berjanji untuk selalu ada di sampingnya. Meskipun hanya latihan, hati Marshanda berdegup kencang, apalagi saat tangan Rian meraih tangannya dengan lembut.
“Maukah kau selalu di sampingku, apa pun yang terjadi?” kata Rian dengan suara yang rendah, mata mereka bertemu dalam sebuah tatapan yang begitu sangat intens.
Di momen itu, Marshanda seolah lupa bahwa mereka hanya berakting. Kata-kata itu seperti benar-benar ditujukan untuknya. Tanpa sadar, ia terlarut dalam adegan tersebut, dan ia hanya bisa mengangguk pelan, mencoba menyembunyikan emosi yang mulai bergejolak di dalam hatinya.
Setelah latihan selesai, Marshanda duduk di sudut aula, merenungi apa yang baru saja ia rasakan. Setiap hari, perasaannya terhadap Rian semakin sulit ia sembunyikan, namun ia tahu ia harus tetap menjaga jarak. Ia tak ingin menghancurkan persahabatan mereka, tak ingin Rian merasa terbebani jika mengetahui perasaannya.
Namun, di saat yang bersamaan, hatinya mulai dipenuhi dengan keinginan yang semakin besar keinginan untuk mengungkapkan perasaan itu, meski hanya sekali. Mungkin, jika ia bisa jujur pada dirinya sendiri, ia akan lebih lega. Tapi, apa yang akan Rian pikirkan? Bagaimana jika Rian menganggapnya aneh atau malah menjauhinya?
Saat Marshanda tenggelam dalam pikirannya, Nina datang dan duduk di sampingnya. “Kamu kelihatan serius banget, Marsha. Lagi mikirin apa sih?” tanya Nina dengan nada penasaran.
Marshanda tersenyum, mencoba menutupi kegelisahannya. “Enggak ada apa-apa, kok. Cuma capek aja,” katanya, berusaha terdengar meyakinkan. Tapi Nina, sebagai sahabat terbaiknya, tentu tak mudah dibohongi.
“Jangan bilang kalau ini gara-gara Rian,” goda Nina sambil tersenyum jahil.
Marshanda terdiam sesaat, merasa pipinya memerah. Ia bingung harus berkata apa, namun akhirnya ia hanya tersenyum kecil, yang malah semakin membuat Nina tertawa.
“Sudah jelas banget, Marsha! Kamu tuh suka sama dia, kan?” kata Nina sambil menatapnya penuh kepercayaan.
Marshanda hanya mengangguk pelan. “Iya, Nin. Aku suka sama Rian. Tapi aku bingung. Aku nggak mau persahabatan kita rusak hanya karena perasaanku ini,” ucap Marshanda dengan suara pelan, nyaris seperti bisikan.
Nina tersenyum lembut, menepuk bahu Marshanda. “Kamu tahu, kadang kita harus berani menghadapi perasaan kita sendiri. Aku ngerti kok, kamu takut, tapi siapa tahu perasaanmu justru bisa membawa kamu ke tempat yang lebih baik.”
Mendengar kata-kata Nina, Marshanda merasa sedikit lega, namun keraguan itu masih ada. Ia mulai bertanya-tanya, apakah perjuangannya untuk menyembunyikan perasaan ini benar-benar layak? Ataukah ia seharusnya berani mengungkapkannya?
Di akhir latihan sore itu, Rian mendekatinya lagi. Mereka berjalan beriringan menuju gerbang sekolah, membahas sedikit tentang latihan. Saat itu, Marshanda hanya bisa tersenyum sambil mendengarkan cerita Rian tentang mimpinya menjadi seorang penulis. Meskipun Marshanda ingin sekali mengungkapkan isi hatinya, ia memilih untuk tetap tersenyum dan menyimpan rahasia itu dalam-dalam.
“Marshanda, terima kasih sudah mau jadi lawan main aku. Kamu tahu, kamu tuh hebat banget. Bikin aku nggak merasa grogi setiap kali di panggung,” kata Rian sambil tersenyum.
Perkataan itu membuat hati Marshanda bergetar. Bagaimana mungkin Rian bisa begitu tulus, begitu baik, hingga semakin sulit baginya untuk tetap diam? Ia tahu perasaannya tak mungkin terpendam selamanya, namun hingga saat ini, perjuangan untuk terus menyembunyikannya adalah hal terbaik yang bisa ia lakukan.
Malam itu, Marshanda merenungi kata-kata Nina dan perasaannya sendiri. Di satu sisi, ia ingin tetap bersahabat dengan Rian dan mempertahankan kebahagiaan sederhana ini. Tapi di sisi lain, perasaannya ingin sekali meluap, mengungkapkan semua rasa yang selama ini ia simpan.
Marshanda menyadari, perjuangannya sebenarnya bukan hanya soal mencintai dalam diam, tapi juga tentang keberanian untuk menerima risiko, baik itu senyum yang terselip di balik persahabatan mereka, atau kejujuran yang akan mengubah segalanya. Bagi Marshanda, ini adalah kisah tentang bagaimana ia belajar memahami perasaannya sendiri, berjuang antara rasa takut kehilangan dan harapan kecil untuk kebahagiaan.
Di akhir malam, Marshanda memejamkan mata dengan sebuah janji pada dirinya sendiri. Suatu hari, mungkin tidak hari ini, tapi suatu hari, ia akan menemukan saat yang tepat untuk mengungkapkan segalanya. Hingga saat itu tiba, ia akan menikmati momen-momen kecil bersama Rian, merasakan setiap detak jantung yang ia simpan dalam hati, dalam senyum yang tak pernah terlihat.
Dan di sanalah, Marshanda menemukan kekuatan baru dalam hatinya kekuatan untuk mencintai dalam diam, namun dengan harapan dan kejujuran yang ia jaga.
Tanda-Tanda di Balik Senyuman
Hari-hari menuju pentas drama semakin dekat, dan setiap latihan membuat Marshanda dan Rian semakin sering bersama. Mereka saling berbagi tawa, keseriusan, dan bahkan obrolan-obrolan ringan yang terasa begitu hangat. Bagi Marshanda, setiap momen itu menjadi seperti teka-teki kecil yang memberi harapan, meski tetap terbungkus ragu. Namun, dari sekian banyak percakapan mereka, Marshanda merasa ada sesuatu yang aneh di hati Rian. Ia tampak bahagia, tapi sesekali, seperti ada kesedihan yang tersembunyi di balik senyumnya.
Sore itu, mereka kembali berlatih adegan romantis di mana tokoh yang diperankan Rian harus menyatakan cinta. Saat Rian berdiri di depan Marshanda, matanya menatap dalam-dalam ke arah Marshanda, seolah-olah ada pesan yang ingin ia sampaikan melalui kata-kata yang terucap dalam adegan itu. Marshanda hampir merasa seperti berada dalam kisah nyata, dan hanya saja, kali ini ada sesuatu yang berbeda dalam pandangan Rian. Namun, Marshanda menahan diri. Ini hanya akting, pikirnya, berusaha meyakinkan hatinya yang berdebar.
Setelah latihan usai, Rian dan Marshanda memutuskan untuk berjalan pulang bersama. Mereka melewati taman kecil di dekat sekolah, di mana angin sore bertiup lembut, membuat suasana terasa menenangkan. Mereka berbicara tentang berbagai hal, mulai dari drama hingga impian mereka setelah lulus SMA. Dalam percakapan itu, tiba-tiba Rian berhenti berjalan dan menghela napas dalam.
“Marsha, kamu pernah nggak, merasa bingung antara perasaan dan keadaan?” tanya Rian sambil menatap sebuah langit yang sudah mulai merona jingga. Ada keraguan dalam suaranya, sesuatu yang Marshanda rasakan berbeda dari biasanya.
Pertanyaan itu membuat Marshanda terdiam. Ia tahu persis apa yang Rian maksudkan karena itulah yang selama ini ia rasakan. Namun, ia tak ingin Rian tahu perasaannya yang sebenarnya, jadi ia menjawab dengan suara lembut, mencoba terdengar netral. “Maksudmu, bingung soal perasaan? Mungkin, kadang aku merasa begitu… seperti ada sesuatu yang ingin aku ungkapkan tapi takut dengan konsekuensinya.”
Rian tersenyum, namun senyum itu tak sepenuhnya bahagia. “Iya, mungkin sesuatu seperti itu…” katanya lirih. Mereka terdiam sejenak, hanya suara langkah mereka yang terdengar di sepanjang jalan setapak taman. Marshanda merasakan getaran dalam hatinya, keraguan dan harapan bercampur menjadi satu.
Beberapa hari kemudian, saat istirahat di sekolah, Nina, sahabat Marshanda, menghampirinya dengan wajah penasaran. Ia tampak seperti menyimpan sebuah rahasia yang tak sabar ia bagi.
“Marsha! Tahu nggak, aku lihat Rian sama Lia kemarin. Mereka kelihatan dekat banget, kamu nggak penasaran?” tanya Nina sambil tersenyum jahil, mengintip dengan reaksi Marshanda.
Mendengar itu, hati Marshanda seketika bergetar. Nama Lia adalah sesuatu yang sensitif baginya, mengingat Lia adalah salah satu siswi populer di sekolah yang juga terkenal dengan kecantikannya. Meski ia tak pernah mau mengakui pada siapapun, ada rasa cemas yang diam-diam selalu mengusik pikirannya tentang hubungan Rian dan Lia.
Marshanda mencoba tersenyum, meski hatinya sedikit nyeri. “Oh ya? Mungkin mereka cuma ngobrol biasa, Nin. Nggak perlu dibesar-besarkan, kali…” ucap Marshanda, berusaha terdengar santai, namun dalam hatinya ia merasa tak tenang.
Namun, takdir seakan menguji perasaannya. Dalam beberapa hari berikutnya, Marshanda memang sering melihat Rian dan Lia bersama. Mereka terlihat akrab, tertawa bersama di lorong, dan bahkan saling mengirimkan senyuman yang, bagi Marshanda, terasa begitu menusuk. Setiap kali ia melihat itu, hatinya merasakan kekecewaan yang sulit ia jelaskan. Namun, Marshanda berusaha untuk tetap tersenyum, menyembunyikan semua yang ia rasakan agar tak terlihat oleh Rian atau bahkan teman-temannya yang lain.
Suatu hari, saat mereka sedang berlatih, Marshanda melihat Rian sedikit melamun di antara jeda latihan. Ini bukan pertama kalinya ia melihat Rian seperti itu, namun ada sesuatu yang membuatnya memberanikan diri bertanya. Dengan hati-hati, ia mendekati Rian dan bertanya, “Rian, kamu kenapa? Belakangan ini, kamu kelihatan agak berbeda… nggak kayak biasanya.”
Rian menoleh, sedikit terkejut, lalu tersenyum dengan raut wajah yang terlihat lelah. “Aku cuma lagi banyak pikiran, Marsha. Kadang, aku bingung dengan perasaanku sendiri…”
Mendengar itu, hati Marshanda semakin bimbang. Ia ingin sekali mengatakan perasaannya, menyampaikan bahwa ia ada untuk mendukung Rian, tapi ia juga takut akan kemungkinan bahwa perasaannya tak terbalas. Ia hanya tersenyum dan menepuk bahu Rian pelan. “Kalau ada yang bisa aku bantu, jangan ragu buat cerita, ya.”
Perkataan Marshanda membuat Rian menatapnya dalam-dalam. Ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan itu, namun sebelum Marshanda bisa mencari tahu lebih lanjut, mereka kembali dipanggil untuk melanjutkan latihan.
Ketika malam tiba, Marshanda merenungkan kembali semua kejadian yang telah mereka lalui. Hubungannya dengan Rian semakin dekat, namun ia tak bisa menahan rasa cemas setiap kali memikirkan kedekatan Rian dengan Lia. Baginya, ini adalah perjuangan yang sulit, antara menjaga persahabatan dan menghadapi perasaan yang semakin kuat di dalam hatinya. Apakah ia cukup kuat untuk terus mencintai Rian dalam diam? Ataukah sudah waktunya ia mengungkapkan semuanya?
Malam itu, Marshanda akhirnya memutuskan untuk menuliskan perasaannya dalam sebuah surat. Ia mencurahkan semua yang ia rasakan, setiap harapan, keraguan, dan ketakutannya. Ia menulis surat itu dengan penuh kejujuran, tanpa berharap surat itu akan sampai ke tangan Rian. Baginya, ini hanyalah cara untuk mengungkapkan semua beban yang selama ini ia simpan.
Di akhir surat, Marshanda menuliskan satu kalimat yang sangat dalam bagi dirinya: “Meskipun aku mencintaimu dalam diam, aku ingin kau tahu bahwa aku selalu ada di sini, mendukungmu dari kejauhan, walau aku hanya sebatas teman bagimu.”
Surat itu, bagi Marshanda, adalah penguat untuk melanjutkan perjuangannya. Ia menyadari bahwa perasaannya adalah bagian dari dirinya, sesuatu yang harus ia terima dan hadapi dengan keberanian.
Saatnya Jujur pada Hati
Malam semakin larut, dan Marshanda masih terjaga di kamarnya, menatap surat yang telah ia tulis beberapa hari lalu. Di atas kertas itu, tertulis semua perasaannya terhadap Rian, setiap harapan yang tersimpan dalam hatinya, namun tak pernah ia berani ungkapkan. Sekuat tenaga, ia selalu berusaha meredam rasa itu dan menjaga jarak agar Rian tak pernah menyadarinya. Namun, semakin lama, ia merasa bahwa cinta yang ia simpan justru semakin menyesakkan, membuatnya sadar bahwa mungkin sudah waktunya untuk tidak lagi berdiam diri.
Hari itu, persiapan pentas drama sudah selesai dan hari pementasan pun tiba. Pagi yang biasanya penuh keceriaan terasa berbeda bagi Marshanda. Setiap persiapan yang dilakukan membuatnya berpikir, Apakah ini kesempatan terakhir untuk mengungkapkan perasaanku? Sebuah pertanyaan yang terus bergema di pikirannya sepanjang hari.
Di panggung, Marshanda dan Rian memainkan peran mereka dengan sepenuh hati. Mereka berbagi dialog yang penuh makna, seakan-akan kata-kata itu berasal dari hati masing-masing, bukan sekadar naskah. Dan saat adegan romantis tiba, di mana Rian harus menyatakan cinta pada tokoh yang diperankan Marshanda, mata mereka saling bertemu dalam keheningan sesaat. Rian menatapnya dengan begitu dalam, dan entah mengapa, saat itu Marshanda merasakan seolah ada perasaan lain yang ingin disampaikan Rian. Namun, momen itu berlalu begitu cepat, dan pertunjukan pun berakhir dengan tepuk tangan meriah dari penonton.
Setelah pentas selesai, semua pemain berkumpul untuk perayaan kecil di aula sekolah. Ada tawa, canda, dan juga rasa lega karena pentas berjalan dengan sukses. Namun, di balik semua itu, ada perasaan yang terus mengusik hati Marshanda. Melihat Rian berbicara dan tertawa dengan yang lain, membuat hatinya bergemuruh. Ia tahu, bahwa jika ia tetap diam, ia akan selalu dibayangi oleh penyesalan.
Saat semua orang mulai sibuk dengan pesta, Marshanda memberanikan diri untuk mendekati Rian. Dengan suara yang agak gugup, ia memanggilnya, “Rian, bisa ngobrol sebentar?”
Rian, yang terlihat sedikit terkejut, mengangguk sambil tersenyum. Mereka berjalan ke taman sekolah, tempat di mana mereka sering berlatih dan berbagi cerita. Malam itu, angin berhembus lembut, membawa ketenangan yang memberi Marshanda keberanian lebih.
“Ada apa, Marsha?” tanya Rian lembut, sambil melihat Marshanda yang sedang tampak ragu.
Marshanda menarik napas dalam, merasakan detak jantungnya yang semakin cepat. Ia mengingat semua perjuangannya selama ini, semua momen yang mereka lalui bersama, dan surat yang masih tersimpan di tasnya. Akhirnya, dengan suara bergetar namun penuh kejujuran, ia berkata, “Rian… ada sesuatu yang ingin aku sampaikan. Mungkin ini aneh, dan aku tahu, aku bisa saja salah, tapi… aku merasa ini sudah waktunya.”
Rian mendengarkan dengan serius, memperhatikan Marshanda dengan penuh perhatian. Marshanda merasakan keberanian yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, dan ia melanjutkan, “Aku… aku selama ini menyimpan perasaan terhadapmu, Rian. Perasaan yang mungkin tak pernah kamu sadari karena aku selalu berusaha menyembunyikannya.”
Sejenak, ada keheningan yang sangat menegangkan. Rian tak langsung menjawab, hanya memandang Marshanda dengan tatapan yang sulit diartikan. Marshanda merasa dadanya sesak, namun ia menahan air matanya, mencoba tetap tegar meskipun takut akan penolakan.
Setelah beberapa saat, Rian menarik napas panjang dan mulai berbicara. “Marsha… aku sebenarnya nggak pernah menyangka kamu menyimpan perasaan seperti itu,” katanya pelan. “Aku pikir, kita juga sahabatan dan… mungkin ini yang bisa membuatku menjadi ragu juga. Aku takut menghancurkan apa yang sudah kita miliki.”
Marshanda tersenyum lemah, merasa lega setidaknya sudah bisa jujur pada dirinya sendiri. “Aku mengerti, Rian. Mungkin ini memang aneh, dan aku tahu kita selalu bersahabat. Tapi aku merasa, aku harus jujur… walaupun, aku siap menerima apa pun jawabannya.”
Rian terdiam sejenak, lalu mengambil tangan Marshanda dengan lembut. “Marsha, aku… aku juga punya sebuah perasaan yang sama, tapi aku terlalu takut dalam mengungkapkan. Aku takut kalau kita gagal, persahabatan kita akan hancur. Tapi, setelah kamu jujur seperti ini, aku sadar, aku nggak ingin terus-terusan bersembunyi.”
Mendengar kata-kata itu, mata Marshanda perlahan berkaca-kaca. Ia tak pernah menyangka bahwa perasaan yang selama ini ia simpan ternyata berbalas. Rasa haru dan bahagia menyelimuti hatinya, membuat senyum di wajahnya begitu tulus.
“Aku… nggak percaya kamu juga merasakan hal yang sama, Rian,” bisiknya, hampir tak percaya dengan apa yang didengarnya.
Rian tersenyum sambil mengangguk, “Iya, Marsha. Selama ini, aku menyimpan perasaanku sendiri, dan melihat kamu dengan teman-teman lain membuatku sering merasa cemburu. Tapi aku selalu berpikir, lebih baik aku menjaga jarak daripada merusak persahabatan kita. Ternyata, selama ini aku salah.”
Dengan perasaan yang penuh kelegaan dan bahagia, mereka berdua tertawa kecil, merasakan betapa perasaan yang terpendam selama ini akhirnya terungkap. Marshanda merasa seolah-olah bebannya terangkat, dan ia merasakan ketenangan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Malam itu menjadi sebuah momen yang tak akan bisa terlupakan bagi mereka berdua. Rasa senang, perjuangan, dan keberanian yang akhirnya mereka tunjukkan membawa mereka pada titik ini, di mana mereka bisa saling memahami dan menerima perasaan satu sama lain.
Sebelum mereka kembali ke aula, Rian menggenggam tangan Marshanda, menatap matanya sambil berkata dengan lembut, “Marsha, apa kamu mau jadi bagian dari hidupku… lebih dari sekedar teman?”
Marshanda tersenyum, dan dengan penuh kebahagiaan menjawab, “Iya, Rian. Aku mau.”
Malam itu, mereka kembali ke aula dengan hati yang penuh kebahagiaan, kini tak lagi ragu dan tak lagi terjebak dalam diam. Mereka tahu, kisah cinta mereka mungkin baru saja dimulai, tapi mereka siap menghadapi apa pun yang ada di depan. Di tengah teman-teman mereka, di dalam keramaian pesta itu, ada dua hati yang kini saling memahami dan mendukung, tak lagi takut untuk mencintai satu sama lain.
Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Itulah kisah Marshanda dan perjuangannya untuk jujur dengan hatinya sendiri, bahkan ketika risikonya bisa merusak persahabatan. Cerita ini mengajarkan kita bahwa kadang, keberanian untuk mengungkapkan perasaan adalah langkah pertama untuk bahagia. Jadi, buat kamu yang mungkin lagi merasakan cinta diam-diam, siapa tahu kisah Marshanda bisa jadi inspirasi untuk nggak terus berdiam diri. Berani jujur pada perasaan? Siapa tahu, akhirnya juga manis seperti cerita mereka!