Daftar Isi
Siapa sih yang sangka, cinta bisa tumbuh di antara kucing nakal dan jambu manis? Ini bukan sekadar cerita biasa, guys! Si Tazki, si pemuda yang nggak pernah menyangka bakal jatuh cinta, terjebak dalam dunia Ranya yang penuh warna dan tawa.
Dengan Tumpul, kucing yang lebih banyak bikin ulah daripada membantu, perjalanan cinta mereka penuh dengan kejutan yang bikin ngakak. Yuk, simak petualangan seru mereka di kebun jambu yang nggak ada habisnya!
Cinta di Antara Kucing dan Jambu
Jambu Manis dan Kucing Lucu
Di tengah keramaian pasar Ceria, aroma segar jambu merah memenuhi udara. Setiap pagi, Tazki sudah berada di tempatnya, menjajakan jambu-jambu manisnya yang bersinar di bawah sinar matahari. Senyumnya yang cerah menarik perhatian banyak orang, dan setiap kali dia melontarkan lelucon, tawa pelanggan tidak pernah berhenti. Dia memang ahli dalam membuat suasana hati orang-orang di sekitarnya menjadi ceria.
Di sudut pasar, terdapat seorang gadis dengan rambut hitam panjang yang tergerai, bernama Ranya. Dia tampak seperti bintang yang bersinar di tengah keramaian, selalu membawa kanvas dan catnya untuk menggambarkan kehidupan pasar. Ranya adalah sosok yang pemalu, tapi saat berhadapan dengan cat dan kuas, dia seolah menemukan kebebasan. Setiap kali Tazki melihatnya, hatinya bergetar, dan dia selalu berusaha mencari cara untuk mendekatinya.
Suatu pagi, saat Tazki sedang menyusun jambu-jambunya, Tumpul, kucing peliharaannya yang berbulu putih, melompat dari pangkuan Tazki dan berlari menuju arah Ranya. “Hey, Tumpul! Kembali ke sini!” Tazki berteriak sambil berusaha mengejar kucingnya yang sepertinya tidak peduli dengan panggilan pemiliknya.
Ranya menatap Tumpul yang berlarian dengan tingkah lucunya. “Kucingmu lucu banget! Namanya siapa?” tanyanya sambil membelai Tumpul yang kini duduk manis di kakinya.
“Dia namanya Tumpul,” jawab Tazki, merasakan warna merah menjalar ke wajahnya. Tidak tahu harus berkata apa lagi, dia hanya bisa tersenyum canggung. Namun, senyum Ranya membuatnya berani mengambil langkah selanjutnya.
“Dia imut sekali, ya? Apa dia selalu begitu?” Ranya tertawa, suaranya melodi yang menenangkan. Tazki merasakan jantungnya berdebar. “Iya, dia memang suka mencari perhatian. Kalau tidak, dia akan merusak lapak jambu aku.”
“Wah, jadi Tumpul ini nakal juga ya?” Ranya berkata sambil tertawa.
Tazki mengangguk, “Nakal dan manis sekaligus. Sama seperti jambu ini!” Dia mengangkat sebutir jambu merah yang berkilau, berusaha tampil lebih percaya diri. “Mau coba?”
“Boleh! Tapi aku harus lukis dulu, ya?” jawab Ranya sambil mengeluarkan kanvas kecilnya dan mulai menggambar jambu di tangan Tazki. Tazki terpesona melihat cara Ranya melukis. Setiap goresan kuasnya penuh perasaan dan detail, seolah-olah jambu itu hidup di kanvasnya.
Selama beberapa menit, mereka berbincang, Tazki berusaha menambahkan lelucon di antara percakapan mereka. “Kamu tahu, Ranya, jambu ini bisa bikin kamu makin cantik!” ujarnya dengan nada bercanda.
Ranya tertawa, “Oh, begitu? Berarti aku harus beli banyak jambu, nih!”
Tazki merasa beruntung bisa membuatnya tertawa. Dia terus berbincang dengan Ranya, dan dalam hati, dia berharap agar momen ini tidak segera berakhir. Sayangnya, saat itu ada seorang pelanggan yang datang meminta beberapa jambu, dan Tazki harus melayani mereka.
“Maaf, ya. Aku harus melayani pelanggan dulu,” katanya, sedikit menyesal.
“Tidak apa-apa! Aku akan terus melukis di sini,” jawab Ranya dengan senyum yang manis.
Tazki mengangguk dan kembali ke lapaknya. Namun, dia terus mencuri pandang ke arah Ranya yang tampak asyik dengan lukisannya. Dalam benaknya, muncul keinginan untuk mendekati Ranya lebih dekat, tetapi rasa canggung selalu menghalanginya.
Setelah beberapa saat, dia melihat Tumpul sedang mengais di dekat kaki Ranya, seolah berusaha merebut perhatian gadis itu. “Tumpul! Jangan nakal!” Tazki berteriak, tapi kucingnya tampaknya lebih tertarik kepada Ranya.
“Dia suka sekali sama aku, ya?” Ranya berkomentar sambil mengelus kepala Tumpul. “Sepertinya dia memilihku daripada kamu!”
“Wah, tidak adil, dong!” Tazki berusaha berkelakar, namun hatinya merasakan kegembiraan yang tidak bisa dia ungkapkan.
Ketika siang menjelang, keramaian pasar mulai mereda. Ranya menutup kanvasnya dan berkata, “Aku harus pergi sekarang. Senang sekali bisa berbincang dengan kamu dan Tumpul.”
“Senang juga bisa ngobrol dengan kamu, Ranya. Besok aku ada di sini lagi, ya?” Tazki berusaha terdengar santai meskipun hatinya berdebar.
“Pasti! Aku akan menggambar lebih banyak jambu dan… mungkin aku bisa membuat lukisan Tumpul yang lebih besar?” jawab Ranya sambil melirik kucing putih yang kini sedang tidur di lapak jambu.
“Wah, Tumpul jadi model terkenal, nih!” Tazki menjawab dengan tertawa. “Aku akan bawa lebih banyak jambu untuk kamu besok.”
Ranya tersenyum, “Aku tunggu, ya! Sampai jumpa, Tazki!”
Saat Ranya pergi, Tazki merasa seperti ada bagian dari dirinya yang hilang. Tumpul bangkit dan menggeserkan tubuhnya, seolah menanyakan kenapa Tazki tampak murung. “Jangan khawatir, Tumpul. Kita akan bertemu lagi besok!”
Hari itu berakhir dengan kenangan indah. Momen-momen kecil bersama Ranya memberikan Tazki semangat baru untuk menjalani harinya. Meski dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, dia yakin, ini baru permulaan dari sesuatu yang luar biasa.
Tazki melihat ke arah matahari yang mulai tenggelam, berpikir tentang senyuman Ranya dan tawa cerianya. “Besok akan jadi lebih baik,” gumamnya, penuh harapan.
Cinta yang Tak Terduga
Hari berikutnya, suasana pasar Ceria kembali ramai seperti biasanya. Tazki sudah tidak sabar untuk bertemu Ranya lagi. Sejak pertemuan kemarin, pikirannya tak lepas dari senyumnya yang ceria dan tawa lembutnya. Dia merasa seolah jambu-jambu yang dijualnya hari itu lebih manis dari biasanya, seolah penuh harapan dan kebahagiaan.
Tazki menata jambu-jambunya dengan rapi, sambil sesekali melirik ke arah pintu masuk pasar. Setiap kali seseorang lewat, hatinya berdebar, berharap itu adalah Ranya. “Tumpul, kamu juga harus siap! Siapa tahu Ranya bawa teman, ya?” katanya kepada kucingnya yang terkulai malas di bawah meja.
Namun, menunggu ternyata tidak semenyenangkan yang dia bayangkan. Menit demi menit berlalu, dan Ranya belum juga muncul. Tazki berusaha tetap positif, menghibur dirinya sendiri dengan mencicipi sebutir jambu. “Mmm, enak sekali! Ranya pasti suka,” gumamnya sambil membayangkan bagaimana wajah Ranya saat mencicipi jambu manis.
Akhirnya, setelah satu jam berlalu, dia melihat sosok yang sangat dinantinya itu. Ranya muncul dengan senyuman yang cerah, memegang kanvas dan catnya seperti biasanya. Namun, ada yang berbeda hari itu; dia terlihat lebih ceria, seolah ada sesuatu yang menyenangkan yang baru saja terjadi.
“Hey, Tazki! Maaf telat! Aku harus menyelesaikan lukisan di rumah,” Ranya berkata, dan suara cerianya membuat jantung Tazki berdegup kencang.
“Tidak masalah, Ranya! Aku baru saja mencicipi jambu ini. Kamu harus coba!” Tazki menjawab dengan bersemangat, berusaha menyembunyikan kegugupannya.
“Bagaimana kalau kita pilih jambu bareng?” Ranya mengusulkan, dan Tazki merasa matanya berbinar. “Aku mau jambu yang paling manis!”
Mereka mulai memilih jambu bersama. Tazki berusaha menjelaskan cara memilih jambu yang baik sambil mengamati Ranya yang dengan serius memeriksa setiap buah. “Yang ini bagus banget!” Ranya menunjukkan sebutir jambu dengan warna merah cerah. “Kamu harus ikut pilih juga, Tazki!”
“Jadi kamu juga yang jadi juri rasa, ya?” Tazki menggodanya, dan mereka tertawa bersama. Dalam hati, dia merasa beruntung bisa berada di dekat Ranya.
Setelah beberapa saat, Ranya memilih beberapa jambu yang terlihat lezat, dan Tazki mulai mengemasnya untuknya. “Aku ingin kamu coba jambu yang ini. Katanya paling manis!” Tazki memberikan sebutir jambu besar dengan bangga.
Ranya mengangguk dengan penuh semangat, “Baik! Tapi kamu harus coba juga!”
Tazki dan Ranya duduk di bangku kayu dekat lapak jambu, menikmati jambu yang mereka pilih. “Enak banget! Kamu benar, Tazki. Rasa manisnya bikin nagih!” Ranya berkata, wajahnya berseri-seri saat menggigit jambu.
Tazki tersenyum lebar, merasa bahagia melihat Ranya senang. “Suka, kan? Ini rahasia kesuksesan lapak jambu aku!”
“Ternyata, kamu bukan cuma ahli menjual jambu, tapi juga ahli dalam memilih jambu!” Ranya menambahkan sambil tertawa.
Tak lama setelah itu, mereka mulai berbagi cerita tentang hobi dan impian masing-masing. Ranya bercerita tentang cita-citanya menjadi pelukis terkenal dan bagaimana dia mulai melukis sejak kecil. “Aku selalu membawa kanvas kemanapun aku pergi. Kapan pun ada yang menarik perhatian, aku ingin melukisnya,” jelasnya dengan antusias.
“Lukisanmu di pasar kemarin itu bikin aku terkesan. Kamu benar-benar berbakat!” Tazki memujinya, dan Ranya terlihat tersipu malu.
“Terima kasih! Tapi, aku masih banyak belajar. Kadang-kadang, aku merasa masih jauh dari impianku,” Ranya mengaku, matanya menatap kosong ke arah tanah.
“Jangan khawatir! Setiap orang punya jalannya masing-masing. Yang penting adalah kamu terus berusaha,” Tazki berusaha memberikan semangat.
“Tapi, kamu tahu? Melihatmu selalu menjual jambu dengan senyuman bikin aku berpikir, kadang kebahagiaan itu bisa ditemukan di hal-hal kecil,” Ranya menjawab sambil tersenyum.
Mendengar kata-kata itu, Tazki merasa hangat di hatinya. “Kalau begitu, aku senang bisa membuat kamu bahagia,” katanya, berusaha tidak terdengar terlalu berlebihan.
Setelah berbincang-bincang, mereka kembali ke lapak jambu, dan Tazki meminta Ranya untuk melukis dirinya dan Tumpul bersama-sama. “Ayo, kita berpose!” serunya, sedikit bersemangat.
Ranya mengambil kanvasnya dan menyiapkan cat. Tazki dan Tumpul berdiri di sampingnya, berusaha menampilkan pose terbaik. “Jadi, kita harus bikin pose yang konyol, ya? Supaya bisa bikin lukisan ini unik!” Tazki berkata, berusaha mencairkan suasana.
Ranya tertawa, “Kamu mau pose konyol, ya? Oke, kita coba!” Mereka pun mulai berpose dengan gaya konyol, dan Tumpul pun ikut berperan, seolah tahu bahwa dia sedang berpose untuk lukisan.
Tawa dan kebahagiaan mengisi udara saat Ranya mulai melukis. Dalam hati, Tazki berjanji untuk selalu membuat Ranya tersenyum dan merasakan kebahagiaan yang sama. Momen itu terasa sangat berharga, dan dia berharap bisa mengulanginya lagi dan lagi.
Saat senja tiba, dan cahaya matahari mulai redup, Ranya selesai melukis. Dia memutar kanvasnya, menunjukkan hasil karya yang menakjubkan: Tazki dengan Tumpul di sampingnya, berpose konyol dengan jambu di tangan.
“Wah, ini luar biasa! Kamu benar-benar berbakat, Ranya!” Tazki mengagumi lukisan tersebut.
“Terima kasih, Tazki! Ini adalah lukisan terbaikku. Tapi, aku merasa ada sesuatu yang kurang,” Ranya berkata, matanya berbinar.
“Kurang apa?” Tazki penasaran.
“Kurang… waktu bersamamu!” Ranya menjawab dengan serius namun diakhiri dengan senyuman.
“Kalau begitu, kita harus sering bertemu!” Tazki menjawab dengan semangat, berharap bahwa harapannya akan terwujud.
Saat mereka berpisah, Tazki merasa hatinya berdebar lebih dari sebelumnya. “Besok kita ketemu lagi, ya?” Ranya bertanya.
“Pasti! Aku akan siap dengan lebih banyak jambu dan, siapa tahu, mungkin ada kejutan lainnya,” Tazki menjawab dengan penuh harapan.
Ranya tersenyum manis, “Aku tunggu! Sampai jumpa, Tazki!”
Saat Ranya pergi, Tazki memandangi lukisan yang indah itu, merasa bahagia dan penuh harapan. Di dalam hatinya, dia menyimpan keinginan untuk membuat setiap momen bersamanya berharga, seperti jambu yang manis dan berkilau di bawah sinar matahari.
Kejutan yang Tak Terduga
Keesokan harinya, Tazki bangun dengan semangat yang menggebu. Dia tidak sabar untuk bertemu Ranya lagi dan sudah mempersiapkan beberapa kejutan kecil untuknya. Tumpul, kucing kesayangannya, terlihat lebih aktif dari biasanya, seolah merasakan semangat Tazki. “Hari ini kita akan jadi tim terbaik, Tumpul! Siap untuk menggoda Ranya?” Tazki berbisik sambil mengelus kepala Tumpul yang berbulu lembut.
Setelah menyiapkan lapak jambu, Tazki memutuskan untuk membawa beberapa jambu yang sudah dipilihnya dengan cermat untuk diberikan kepada Ranya. “Kita butuh jambu spesial hari ini,” katanya, menyusun jambu-jambu itu dengan rapi. Dia ingin membuat Ranya merasa istimewa, seperti yang dirasakannya ketika mereka bersama.
Setelah lapak terbuka, Tazki menunggu dengan penuh harapan. Namun, hari itu terasa lambat. Pelanggan silih berganti, tapi hatinya tetap menginginkan Ranya. “Ayo, Ranya! Cepat datang!” dia berkata dalam hati, berharap agar waktu bisa berlari lebih cepat.
Sekitar dua jam kemudian, saat matahari sudah tinggi, Tazki melihat sosok yang sudah sangat dinantikannya. Ranya datang dengan kanvas dan cat di tangan, senyumnya bersinar di bawah sinar matahari. “Hai, Tazki! Aku bawa cat baru!” serunya sambil melambaikan tangan.
“Hai! Selamat datang! Dan, lihat, aku sudah menyiapkan jambu spesial untukmu!” Tazki menjawab dengan antusias, memperlihatkan jambu-jambu yang berkilau di bawah sinar matahari.
“Wah, kamu selalu tahu cara membuatku senang! Terima kasih, Tazki!” Ranya menjawab, matahari bersinar di wajahnya, membuatnya terlihat lebih cantik dari sebelumnya.
Mereka duduk di bangku kayu, di mana Tazki mulai membagikan jambu kepada Ranya. “Coba ini, yang satu ini paling manis!” dia mengatakan sambil menyerahkan sebutir jambu yang terlihat sangat menggiurkan.
“Hmm, enak sekali! Kamu memang ahli memilih jambu!” Ranya menjawab dengan gembira, lalu mengambil sebutir jambu lagi.
“Ranya, aku punya ide! Bagaimana kalau kita melukis jambu ini bersama-sama?” Tazki mengusulkan, terinspirasi oleh momen indah yang mereka ciptakan bersama.
“Bagus! Aku suka ide itu!” Ranya berseri-seri, matanya berbinar penuh semangat. Mereka pun mulai mengatur kanvas Ranya, dan Tazki berusaha membantu, meski sedikit canggung.
Saat Ranya mulai melukis, Tazki tidak bisa mengalihkan pandangannya darinya. Keahliannya menciptakan keindahan di kanvas membuatnya terpesona. “Ranya, kamu tahu? Melihatmu melukis bikin aku merasa inspirasi untuk menjual lebih banyak jambu,” dia berkata sambil tersenyum lebar.
“Kalau begitu, kita harus sering melukis bersama! Mungkin aku bisa menggambar jambu yang kamu jual!” Ranya menjawab, membuat Tazki merasa bangga.
Di tengah kesibukan mereka, Ranya mengajak Tazki untuk berpose lagi. “Ayo, kita buat pose lucu lagi! Kali ini aku ingin kamu yang jadi model utama!” katanya sambil tertawa.
“Baik! Aku siap! Mari kita buat pose paling konyol!” Tazki menjawab penuh semangat. Mereka pun mulai berpose dengan jambu di tangan, berusaha mengeluarkan ekspresi yang paling konyol dan lucu.
Setelah beberapa saat, mereka kehabisan napas karena tertawa. Ranya memperlihatkan hasil lukisan yang sudah mulai terbentuk. “Lihat, ini lukisan jambu kita! Keren, kan?” dia berkata dengan bangga.
“Wah, keren banget! Kamu pasti bisa jadi pelukis terkenal, Ranya!” Tazki memujinya dengan tulus.
“Terima kasih! Tapi ini semua karena inspirasi dari kamu dan jambu-jambumu yang luar biasa,” Ranya menjawab sambil tersenyum manis.
Saat mereka melanjutkan kegiatan melukis, Tazki teringat sesuatu. “Oh ya, Ranya! Aku ingin memberimu kejutan kecil,” dia berkata sambil mencari sesuatu di tasnya.
“Kejujuran? Apa itu?” Ranya penasaran, melihat Tazki dengan penuh rasa ingin tahu.
“Ini!” Tazki mengeluarkan kotak kecil berwarna cerah dari tasnya. “Aku buatkan kamu jambu dalam bentuk boneka! Kecil dan lucu!” Dia membuka kotak tersebut, memperlihatkan boneka berbentuk jambu yang imut.
“Wah, lucu banget! Kamu bikin ini sendiri?” Ranya berkata sambil mengagumi boneka itu.
“Iya! Aku harap ini bisa jadi teman kamu setiap kali kamu melukis,” Tazki menjawab dengan bangga.
“Terima kasih, Tazki! Ini sangat berarti bagiku!” Ranya berkata, matanya berbinar dengan senyuman tulus. Dia merasa sangat bahagia menerima hadiah yang dibuat dengan cinta itu.
Mereka menghabiskan sisa hari itu dengan tertawa dan berbagi cerita. Tazki merasa beruntung bisa bersama Ranya, dan dia mulai menyadari bahwa rasa suka yang tumbuh dalam hatinya bukan hanya sekadar ketertarikan biasa. Ini adalah sesuatu yang lebih dalam.
Ketika matahari mulai terbenam, Ranya mengangkat kanvasnya untuk menunjukkan hasil karya mereka. “Lihat, Tazki! Ini lukisan jambu kita! Apa kamu suka?”
“Bisa dibilang aku sangat menyukainya!” Tazki menjawab dengan penuh antusias. “Ini adalah salah satu hari terindah dalam hidupku!”
Saat mereka berpisah, Tazki merasa jantungnya berdebar lebih kencang. “Besok kita ketemu lagi, ya?” Ranya bertanya, tampak berharap.
“Pasti! Dan aku akan menyiapkan kejutan lainnya!” Tazki menjawab sambil tersenyum.
Dengan hati yang penuh harapan dan kebahagiaan, Tazki pulang ke rumah. Hari itu adalah momen berharga yang akan selalu diingatnya.
Kebahagiaan yang Tak Terduga
Hari-hari berlalu, dan Tazki dan Ranya semakin dekat. Setiap pertemuan menjadi momen berharga yang mereka tunggu-tunggu. Di lapak jambu, keduanya tidak hanya berbagi jambu segar, tetapi juga tawa dan cerita yang semakin mengikat hati mereka. Tumpul, si kucing, bahkan mulai menjadi bagian dari momen-momen indah itu, bermain-main di kaki Ranya setiap kali mereka bertemu.
Satu hari, saat mereka sedang duduk di bangku kayu, Ranya terlihat sedikit cemas. “Tazki, aku ada sesuatu yang ingin aku bicarakan,” katanya sambil menunduk, memainkan ujung kanvasnya.
Tazki merasakan ada sesuatu yang berbeda. “Apa ada yang salah? Kamu terlihat tegang,” dia bertanya, mencoba memberikan dukungan.
“Enggak, sih. Cuma… aku berpikir, kita sudah dekat banget dan aku ingin melukis sesuatu yang spesial untuk kita,” Ranya menjelaskan, lalu menghela napas. “Tapi, aku enggak yakin apakah kamu setuju dengan idenya.”
“Mau melukis apa?” Tazki penasaran. “Aku mau tahu!”
“Jadi, aku mau melukis momen-momen indah kita. Tapi, aku ingin menambahkan sedikit imajinasi… misalnya, kita berdua ada di tengah kebun jambu yang penuh warna!” Ranya menjawab, mata berbinar penuh semangat.
“Itu ide yang keren! Aku suka! Tapi kita juga harus berpose dengan cara yang lucu, kan?” Tazki menambahkan sambil tertawa, membayangkan momen itu.
“Pastinya! Dan jangan lupa, aku mau kamu pakai topi jambu yang aku buat!” Ranya berkata, berusaha menahan tawa.
Tazki mengangguk, merasa bersemangat. “Oke, kita buat hari ini jadi spesial! Aku akan siapkan semua jambu terbaik untuk latar belakangnya!”
Setelah beberapa jam menyiapkan latar, Tazki dan Ranya mulai berpose. Ranya mengarahkan Tumpul untuk ikut berpose, membuat semua menjadi lebih lucu. Mereka berdiri di tengah kebun yang diciptakan Ranya dengan penuh warna dan keceriaan.
Saat sesi foto selesai, Tazki berbalik dan melihat Ranya dengan penuh kekaguman. “Ranya, kamu luar biasa! Ini akan jadi lukisan terindah yang pernah ada,” katanya.
“Semua ini berkat kamu, Tazki. Tanpa jambu dan keberanianmu untuk beraksi, aku enggak akan bisa melukis seperti ini!” Ranya menjawab dengan tulus.
Hari itu mereka habiskan dengan bercanda, melukis, dan berbagi mimpi. Tazki merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Kebahagiaan yang terpancar di mata Ranya membuatnya bertekad untuk mengatakan apa yang dia rasakan.
Ketika matahari mulai terbenam, Tazki merasakan jantungnya berdegup kencang. “Ranya, ada yang ingin aku katakan,” dia mulai, sedikit ragu.
“Apa itu?” Ranya bertanya, menatapnya penuh perhatian.
“Aku merasa… aku merasa sangat beruntung bisa mengenalmu. Sejak kita bertemu, setiap hariku terasa lebih cerah. Aku suka kamu, Ranya,” Tazki mengungkapkan perasaannya, wajahnya sedikit memerah.
Ranya terdiam sejenak, lalu tersenyum lebar. “Aku juga merasakan hal yang sama, Tazki! Setiap detik kita bersama membuatku bahagia. Kamu adalah jambu terindah yang pernah aku temui!” dia menjawab, menambah rasa percaya diri Tazki.
“Jadi… kita resmi, ya?” Tazki bertanya, sedikit tidak percaya.
“Resmi!” Ranya mengangguk, membuat Tazki merasa melayang di udara. Mereka saling berpelukan, merasakan hangatnya cinta yang baru saja terungkap.
Sejak saat itu, keduanya semakin sering bertemu. Ranya terus melukis, dan Tazki tetap menjual jambu dengan cara yang lebih ceria. Mereka berbagi mimpi, tawa, dan cinta yang tulus.
Di suatu sore, saat mereka duduk di bawah pohon jambu yang rindang, Tazki membuka sebuah kotak kecil. “Ranya, ini untukmu,” katanya sambil tersenyum.
“Eh? Apa ini?” Ranya penasaran, membuka kotak itu.
Di dalamnya terdapat sepasang cincin kecil berbentuk jambu. “Ini sebagai simbol dari kebun jambu kita. Aku ingin kita selalu mengenang setiap momen bersama,” Tazki menjelaskan.
Ranya terharu. “Tazki, ini sangat indah! Aku tidak tahu harus berkata apa…”
“Cukup satu kata: ya! Katakan ya untuk selalu bersamaku,” Tazki menggoda.
Ranya tertawa, lalu menjawab, “Ya, Tazki! Ya untuk selamanya!”
Mereka berdua tersenyum bahagia, mengikat cinta mereka dengan tawa dan jambu. Di bawah sinar matahari yang hangat, mereka tahu bahwa kebahagiaan ini adalah awal dari sebuah perjalanan indah yang penuh warna, seperti lukisan yang Ranya buat—penuh cinta, tawa, dan kebun jambu yang tak akan pernah pudar.
Dan di situlah mereka, Tazki dan Ranya, menanti masa depan yang penuh warna dengan cinta yang tak terduga, mengukir setiap momen dengan senyuman dan kebahagiaan.
Jadi, di antara kucing nakal dan jambu yang manis, Tazki dan Ranya menemukan cinta yang lebih dari sekadar kata-kata. Mereka belajar bahwa kebahagiaan bisa ditemukan di tempat yang paling tak terduga, dan terkadang, cinta itu datang dengan tawa dan kejutan.
Siapa bilang cinta tidak bisa lucu? Dengan Tumpul di samping mereka dan kebun jambu yang selalu menghangatkan hati, petualangan mereka baru saja dimulai. Jadi, siap-siap ya, jangan kaget kalau suatu hari kalian menemukan cinta di tempat yang sama sekali tidak kalian duga, mungkin di kebun jambu juga!