Daftar Isi
Pernah nggak sih, kamu ngerasa jatuh cinta yang bikin kamu melayang, tapi di sisi lain, semuanya terasa begitu menyakitkan? Nah, inilah kisah Ahmad dan Bella, dua orang yang terjebak dalam cinta galau yang bikin nangis. Mereka berjuang dengan perasaan yang rumit, harapan yang memudar, dan akhirnya harus menghadapi kenyataan pahit. Siapkan tisu, karena cerita ini bakal bikin hati kamu bergetar!
Perpisahan yang Menghancurkan Hati
Cinta yang Tak Terucap
Malam itu, bulan bersinar terang di atas taman, menciptakan suasana yang tenang namun penuh kerinduan. Ahmad duduk sendirian di bangku kayu, tangan terlipat di dada. Di sekelilingnya, suara desiran angin dan kicauan burung yang mulai mereda mengisi kesunyian malam. Hatinya terasa berat, seolah ada beban yang tak tertanggung. Di benaknya, hanya ada satu nama: Bella.
Ahmad mengingat semua momen berharga yang mereka lewati bersama. Dari bermain sepeda di taman, sampai berbagi cerita tentang impian dan harapan di malam-malam panjang. Bella selalu bisa membuatnya tertawa, bahkan di saat-saat terkelam sekalipun. Namun, malam ini berbeda. Jarak yang telah terjalin selama ini terasa semakin mencolok.
“Ahmad!” suara ceria Bella memecah keheningan. Dia melangkah dengan semangat, mengenakan gaun floral yang menari-nari di sekeliling kakinya. Senyumnya yang menawan seakan menerangi suasana. “Kamu di sini? Aku nyariin kamu!”
Ahmad tersenyum, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang menggerogoti hatinya. “Iya, aku di sini. Kenapa? Ada yang mau kamu bilang?”
Bella duduk di sampingnya, mendekat. “Kamu tahu, aku baru saja mendapatkan beasiswa ke luar negeri! Bayangkan, aku bisa belajar di sana selama dua tahun!” Wajahnya berbinar-binar, dan Ahmad merasa hatinya terjepit.
“Selamat, Bella! Itu luar biasa!” ucap Ahmad, meski dalam hatinya berkecamuk rasa takut kehilangan. “Kamu pantas dapat semua ini.”
“Terima kasih, Ahmad! Tapi aku juga sedih. Aku akan merindukan semua ini. Kamu tahu kan, kita udah banyak banget melewati waktu bersama?” Bella menatapnya dengan mata berbinar, seolah berharap dia bisa merasakan apa yang ada di hati Ahmad.
“Iya, aku tahu,” jawabnya pelan, merasakan hatinya terdesak. Ahmad mengalihkan pandangannya, menatap bulan yang bersinar cerah, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah. “Kita masih bisa video call kan, setelah kamu pergi?”
“Pastinya! Kita harus tetap terhubung. Aku akan cerita semua hal baru di sana. Kamu harus denger, oke?” Bella menggenggam tangan Ahmad, dan dia merasakan aliran energi dari sentuhan itu. Tapi di saat yang sama, ada rasa sakit yang menyentuh hatinya.
Ahmad mengangguk. “Iya, aku pasti dengerin semua ceritamu.” Dia ingin sekali mengatakan, “Aku mencintaimu,” tetapi kata-kata itu terperangkap di tenggorokannya. Saat-saat seperti ini seharusnya menjadi momen yang penuh makna, tapi yang ada hanya ketakutan akan perpisahan.
“Kenapa kamu terlihat melankolis, Ahmad? Seharusnya kita merayakan!” Bella berusaha mengangkat suasana hati, namun hatinya sendiri pun merasa berat.
“Cuma… aku gak tahu, Bella. Rasanya aneh aja, kamu pergi jauh. Kita udah sering banget bareng, dan sekarang…” Ahmad terhenti, suara terbatuk oleh perasaan yang tak terkatakan.
“Ahmad,” Bella mengusap lengan Ahmad dengan lembut, “aku janji kita tetap bisa menjaga semua ini. Kita adalah teman terbaik, kan? Meskipun jarak memisahkan, persahabatan kita gak akan pudar.”
Tapi pernyataan itu justru membuat Ahmad semakin merasa hampa. Dalam hatinya, dia ingin lebih dari sekadar teman. “Iya, teman terbaik,” jawabnya, berusaha tersenyum meski hati ini terasa pecah.
Malam itu berlanjut dengan tawa dan canda, tapi di dalam hati Ahmad, ada perasaan kosong yang terus menggerogoti. Dia ingin menyimpan momen ini dalam ingatan selamanya, tetapi setiap detiknya terasa semakin menyakitkan.
Ketika Bella mengangkat tangan untuk melihat jam tangannya, Ahmad tahu waktu mereka semakin sedikit. “Aku harus pulang. Besok aku ada acara di sekolah,” katanya, sedikit enggan.
“Okay, aku antar kamu pulang. Tapi sebelum itu, kita harus foto bersama. Ini adalah momen yang harus diabadikan!” Bella menyarankan, dan Ahmad hanya bisa mengangguk.
Mereka berpose di bawah sinar bulan. Bella dengan senyumnya yang ceria, dan Ahmad berusaha menampilkan senyum terbaiknya meskipun hatinya bergetar. “Senyummu yang itu, Ahmad! Lebih lebar!” Bella tertawa, menggerakkan tangannya. Ahmad merasa terperangkap antara bahagia dan sedih.
Setelah beberapa foto, Bella melihat Ahmad dengan serius. “Kamu akan selalu jadi sahabat terbaikku, kan?”
“Selalu, Bella. Aku janji,” jawab Ahmad dengan suara yang hampir tak terdengar, tapi di dalam hatinya, dia ingin berteriak, “Aku mencintaimu!” Namun, saat itu, semua kata-kata itu tertinggal di tepi bibirnya, tak pernah terucap.
Setelah berpamitan, Ahmad menatap punggung Bella yang menjauh. Setiap langkahnya semakin membuat Ahmad merasa hampa. “Selamat tinggal, Bella,” bisiknya dalam hati. Dia tahu, ini bukan hanya perpisahan sementara, tetapi sebuah awal dari kerinduan yang tak akan pernah usai.
Malam itu, Ahmad kembali ke bangku kayu, menatap bulan yang bersinar terang. Hatinya penuh dengan rasa sakit dan kerinduan yang tak terungkap. Dia menghela napas dalam-dalam, berharap suatu saat nanti, dia bisa mengungkapkan semua perasaan ini sebelum terlambat. Namun saat itu, semua yang ada hanya kesunyian yang mengiris hati.
Momen yang Hilang
Hari-hari berlalu, dan kehadiran Bella mulai terasa seperti bayangan yang mengikutinya di setiap langkah. Ahmad berusaha untuk tetap sibuk, mengalihkan pikirannya dari kerinduan yang menyesakkan. Namun, setiap kali melihat teman-teman sekelasnya bercanda dan tertawa, hatinya merindukan senyuman Bella yang ceria.
Kembali ke rutinitas, Ahmad menemukan diri melakukan hal-hal yang biasa mereka lakukan bersama. Dia pergi ke kafe yang mereka sukai, duduk di sudut yang sama, dan memesan minuman favorit mereka. Tapi sekarang, minuman itu terasa pahit, tak ada lagi canda tawa yang menghangatkan suasana.
“Bro, kamu kenapa? Kayak nggak ada semangat gitu,” tanya Rizky, sahabat Ahmad yang duduk di depan meja. Ahmad hanya menggeleng, berusaha menghindari topik yang menyentuh hati. “Ya udah, terus mau ngapain? Bosen nih.”
“Entahlah. Mungkin aku mau belajar, menyiapkan tugas yang belum selesai,” jawab Ahmad sambil mengalihkan perhatian ke buku catatannya, meski pikiran dan hatinya tak bisa lepas dari Bella.
Setiap pesan dari Bella di media sosial seolah menghidupkan kembali semangatnya, tetapi ketika balasan tidak datang dengan cepat, kegelisahan mulai mengisi rongga hatinya. “Apakah dia baik-baik saja di sana? Atau mungkin sudah menemukan teman baru?” pikiran-pikiran negatif itu menghantuinya.
Suatu malam, saat sedang duduk di kamarnya, Ahmad mengumpulkan keberanian untuk menghubungi Bella. Jari-jarinya menari-nari di atas layar ponsel. “Hey Bella, gimana kabarmu di sana? Aku rindu kamu,” tulisnya, menghela napas sebelum menekan tombol kirim.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti selamanya, ponselnya bergetar. “Hai Ahmad! Aku baik-baik aja. Banyak kegiatan di sini, tapi semuanya menyenangkan. Kapan-kapan kita video call ya?”
Ahmad tersenyum membaca balasan itu. Namun, dalam hati, ada rasa cemas. “Kapan-kapan?” Apa maksudnya? Dia ingin saat itu juga, mendengar suara Bella dan melihat senyumnya yang menawan.
Setelah beberapa kali balasan, mereka sepakat untuk melakukan video call malam itu. Ahmad menunggu dengan penuh harap. Ketika layar ponselnya menyala, wajah Bella muncul, memancarkan keceriaan yang telah lama dirindukannya.
“Ahmad! Kamu tetap ganteng seperti biasanya!” Bella melambaikan tangannya, dan Ahmad merasakan hatinya bergetar melihat senyum itu.
“Terima kasih, kamu juga. Gimana suasana di sana?” tanya Ahmad, berusaha mengeluarkan pertanyaan yang terdengar ringan meskipun hatinya bergejolak.
“Wow, banyak banget yang baru. Kampusku gede banget, teman-teman baru, makanan enak, tapi… tetap aja, rasanya kurang tanpa kamu di sini.” Bella berkata sambil menggaruk kepalanya, seolah mencoba menggambarkan kerinduan yang sama.
Ahmad menatapnya, merasa ada kehangatan yang menyentuh hatinya. “Kita kan bisa saling cerita, meski terpisah jauh. Aku jadi pengen denger semua hal baru dari kamu.”
“Banyak yang ingin aku ceritakan! Seperti ketika aku di kelas seni. Kita harus menggambar, dan aku ingat kamu pernah bilang kalau kamu benci menggambar. Hahaha!” Bella tertawa, dan Ahmad merasa bahwa tawa itu seolah menghangatkan hatinya yang dingin.
Namun, di balik tawa dan cerita ceria itu, Ahmad merasakan bayang-bayang kerinduan yang semakin kuat. Ada sesuatu yang ingin ia katakan, sesuatu yang selalu terpendam di dalam hatinya. Namun, rasa takut kehilangan Bella semakin menghantuinya.
“Bella,” Ahmad mulai, suaranya hampir tak terdengar. “Aku… aku ingin bilang sesuatu.”
Bella menatapnya dengan penuh perhatian, “Apa? Kamu bisa bilang apa saja.”
Ahmad menggigit bibirnya, mencoba mengumpulkan kata-kata yang tepat. “Kamu tahu kan, kita udah sahabat lama. Aku…” Dia terdiam sejenak, meneguk ludahnya, berjuang melawan perasaannya sendiri. “Aku… sangat merindukanmu.”
“Rindu juga!” jawab Bella cepat, tetapi ada nada kelegaan di suaranya. “Aku juga merasa sama, Ahmad. Bukan hanya tentang kita sebagai teman, tapi aku merasa… ada yang lebih.”
Detak jantung Ahmad berdetak lebih cepat. “Lebih?” dia bertanya dengan penuh harap.
“Tapi…” Bella terlihat ragu, matanya berkelip seolah mencari-cari kata yang tepat. “Aku takut perasaan ini mengubah segalanya. Kita sudah terlalu nyaman sebagai teman. Jika kita melangkah lebih jauh, dan kemudian…”
“Jika kemudian?” potong Ahmad, berusaha untuk tidak menunjukkan keraguannya. “Aku… aku bisa bertanggung jawab atas perasaan kita. Kita bisa saling mengerti dan… dan…” kata-katanya terputus.
Bella menghela napas, tampak bingung. “Ahmad, kadang aku berpikir tentang ini, tetapi ketika aku di sini, semuanya terasa berbeda. Aku harus memikirkan banyak hal.”
“Jadi, kita gak bisa?” tanya Ahmad, suara hatinya seolah remuk. Kerinduan dan ketakutan menumpuk dalam dadanya.
Bella hanya terdiam, pandangannya beralih ke sesuatu di luar layar. Ahmad merasakan jiwanya kosong. Di saat paling krusial ini, harapan yang sudah ia bangun seakan hancur berkeping-keping.
“Aku tidak tahu, Ahmad. Mungkin kita bisa mencari waktu untuk berbicara lebih dalam nanti. Tapi saat ini, aku harus fokus pada kuliah dan kehidupanku di sini,” Bella menjawab dengan nada menyesal.
Ahmad hanya bisa mengangguk, meski hatinya hancur. “Iya, aku mengerti. Fokuslah pada dirimu sendiri. Aku akan mendukungmu.”
Mereka melanjutkan percakapan, tapi kali ini terasa berat. Setiap tawa dan senyum Bella terasa samar, seolah ada tembok tak terlihat yang dibangun di antara mereka. Setelah beberapa saat, mereka pun mengakhiri percakapan dengan janji untuk bertukar pesan lagi.
Ahmad menutup layar ponselnya dengan berat hati. Perasaan hampa kembali menyelimuti hatinya. Dia tahu, mungkin semua ini adalah awal dari akhir dari segalanya. Momen yang seharusnya bisa menjadi jalan menuju kebahagiaan justru berubah menjadi momen kehilangan yang tidak terduga.
Sambil menatap langit malam yang dipenuhi bintang, Ahmad merasakan kerinduan yang semakin dalam. Dia ingin sekali meraih Bella, mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya, tetapi semua itu terasa semakin jauh. Kini, dia hanya bisa berharap bahwa cinta mereka takkan pernah pudar, meski jarak dan waktu seolah ingin memisahkan mereka selamanya.
Keputusan yang Menyakitkan
Hari-hari berlalu, dan setiap detik terasa semakin berat bagi Ahmad. Waktu seolah berjalan lambat, seakan mengingatkannya pada rasa sakit yang tertinggal setelah percakapan malam itu. Setiap pesan dari Bella di media sosial membuatnya bahagia, tetapi sekaligus menyakitkan. Di satu sisi, dia merindukan sahabatnya, di sisi lain, hatinya semakin menginginkan lebih.
Di kampus, Ahmad mencoba untuk menjalani hidupnya dengan normal. Dia sering menghabiskan waktu di perpustakaan, berkumpul dengan teman-teman, dan bahkan mencoba hobi baru, tapi semua itu terasa hampa tanpa Bella di sampingnya. Dia seringkali terjebak dalam pikirannya sendiri, merindukan saat-saat indah ketika mereka berbagi cerita dan mimpi.
Suatu sore, saat duduk sendirian di taman kampus, Ahmad melihat sekelompok mahasiswa tertawa dan bermain. Senyum-senyum ceria mereka mengingatkannya pada Bella. Di saat itu, ponselnya bergetar, dan dia langsung melihat notifikasi. Pesan dari Bella.
“Hey Ahmad! Tadi aku baru selesai ujian dan semua berjalan lancar! Bagaimana kabarmu? Kangen kita ngopi bareng!”
Ahmad tersenyum membaca pesan itu, tetapi ada rasa sakit di dalam hatinya. “Bella, aku juga kangen. Tapi… apakah kita bisa bicarakan hal yang lain? Hal yang lebih serius?” tulisnya dengan perasaan campur aduk.
Menunggu balasan dari Bella adalah siksaan tersendiri. Saat akhirnya ponselnya bergetar kembali, hatinya berdegup kencang. “Tentu saja! Kita bisa bicara, tapi kapan?”
Ahmad merasa ada harapan baru. “Bagaimana kalau besok sore? Kita video call lagi?”
“Setuju! Aku tunggu!”
Setelah menunggu sepanjang malam, Ahmad merasa tidak sabar untuk berbicara dengan Bella. Ketika sore tiba, ia mengatur waktu dan menyiapkan diri sebaik mungkin, berharap bisa mengungkapkan perasaannya yang terdalam.
Ketika layar ponsel menampilkan wajah Bella, hati Ahmad berdebar kencang. “Hey! Kamu terlihat ceria!” katanya mencoba menahan perasaan.
“Haha, terima kasih! Ini semua karena kamu. Gimana, ada yang baru?” Bella tampak lebih bersinar dari sebelumnya, tetapi ada sesuatu yang membuat Ahmad khawatir.
“Aku… aku mau bicara tentang kita, Bella. Tentang perasaan kita.”
“Perasaan kita?” Bella tampak ragu, matanya sedikit melebar. “Ahmad, apa kamu yakin tentang ini? Aku tidak ingin kita kehilangan persahabatan kita.”
“Justru itu, Bella. Aku sudah merasa tidak nyaman dengan hanya menjadi teman. Rasa ini sudah berkembang lebih dari sekadar persahabatan. Aku merindukanmu, dan aku ingin lebih dari ini.” Suara Ahmad bergetar, berusaha menyampaikan apa yang ada di hatinya.
Bella terdiam sejenak, wajahnya menunjukkan ekspresi yang tidak bisa Ahmad pahami. “Ahmad, aku juga merasakan hal yang sama. Tapi di sini, hidupku berjalan cepat. Aku tidak ingin mengacaukan semua yang sudah aku bangun.”
“Jadi, apa kita hanya bisa diam-diam merasakan semua ini?” Ahmad merasa kesedihan melanda dirinya. “Kalau begini terus, aku tidak akan sanggup.”
Bella menggigit bibirnya, terlihat bimbang. “Aku tidak ingin membuat keputusan yang salah. Jika kita mulai lebih dari teman, bagaimana jika semuanya tidak berjalan baik? Kita mungkin bisa kehilangan satu sama lain.”
“Jadi, kita tidak akan pernah tahu?” Ahmad merasakan sakit di dadanya. “Bella, aku tidak ingin menunggu lagi. Ini bukan hanya tentang kita. Ini tentang perasaanku yang tulus padamu.”
Bella menunduk, seolah mencari jawaban di dalam pikirannya. “Ahmad, aku… aku takut. Takut jika ini akan menghancurkan kita. Tapi di lain sisi, aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa kamu.”
Satu pertanyaan membara dalam hati Ahmad. “Tapi, bukankah lebih baik kita mencoba, ketimbang hanya diam dalam perasaan ini? Hidup terlalu singkat untuk menunggu waktu yang tepat.”
Bella menghela napas panjang, dan Ahmad bisa melihat air mata mulai menggenang di matanya. “Ahmad, aku… aku harus memikirkan ini lebih dalam. Aku tidak bisa terburu-buru membuat keputusan yang bisa mengubah segalanya.”
Hati Ahmad terjatuh. Dia merasa seolah harapannya hancur berkeping-keping. “Jadi, ini berarti kamu tidak mau?” suaranya bergetar, dan Bella tidak bisa menyembunyikan kesedihannya.
“Aku tidak bilang begitu. Aku hanya ingin memastikan bahwa apapun yang kita pilih, itu benar-benar yang kita inginkan. Kita sudah lama berteman. Aku tidak mau kehilangan kamu, Ahmad.”
“Aku juga tidak mau kehilangan kamu,” jawab Ahmad, suara hatinya seolah mencakar-cakar rasa sakit. “Tapi kita tidak bisa terus-menerus seperti ini. Satu-satunya hal yang bisa menyelamatkan kita adalah kejujuran tentang perasaan kita.”
Bella terlihat semakin gelisah, matanya mulai berkaca-kaca. “Kamu tahu, kadang aku berpikir bahwa kita seharusnya tidak terlalu mendalami perasaan ini. Hidup kita sudah cukup rumit.”
Ahmad merasakan hatinya patah. “Jadi, kamu lebih memilih untuk mundur dan menyakiti kita berdua? Untuk berpura-pura tidak ada apa-apa?”
“Tidak! Bukan itu maksudku! Aku hanya…” Bella terdiam, air matanya menetes. “Aku hanya takut pada apa yang akan terjadi selanjutnya. Bagaimana jika semua ini berakhir buruk?”
Ahmad merasa bingung. “Bella, tidak ada yang bisa memastikan masa depan. Kita hanya bisa berusaha. Dan aku bersedia untuk berjuang jika kamu mau.”
“Tapi aku belum siap untuk itu, Ahmad.” Bella menggelengkan kepalanya, penuh penyesalan. “Maafkan aku jika aku menyakiti perasaanmu. Mungkin aku hanya butuh waktu.”
Mendengar itu, hati Ahmad terasa hancur. Dia mengerti betul apa artinya. “Jadi, kita akan terus terjebak di sini? Dalam ketidakpastian dan keraguan?”
Bella menutup wajahnya dengan tangan, air mata mengalir di pipinya. “Aku tidak ingin menyakiti kamu, Ahmad. Tapi saat ini, aku perlu waktu untuk berpikir.”
Setelah percakapan yang menegangkan itu, mereka berpisah dengan hati yang penuh keraguan. Ahmad menutup layar ponselnya dengan perasaan hampa. Kekecewaan memenuhi pikirannya, menimbulkan rasa sakit yang mendalam. Dia ingin bertarung untuk cinta mereka, tetapi kenyataan yang pahit seolah membawanya ke dalam kegelapan.
Sambil menatap langit malam, Ahmad merasakan air mata mengalir di pipinya. Dia tahu bahwa apapun yang terjadi selanjutnya, perasaannya untuk Bella tidak akan pernah pudar. Namun, satu hal yang pasti: cinta itu tidak selalu cukup. Dan kadang, waktu dan jarak bisa menjadi musuh terburuk bagi hati yang saling mencintai.
Akhir yang Pahit
Malam-malam berlalu, dan Ahmad terus menjalani hari-harinya dengan perasaan kosong. Setiap langkah terasa berat, dan setiap sudut kampus mengingatkannya pada Bella. Dia mencoba mencari kesibukan, mulai dari kuliah hingga aktivitas ekstra, tetapi semua itu tidak bisa mengusir bayang-bayang Bella dari pikirannya.
Suatu malam, saat duduk sendirian di kafe favorit mereka, Ahmad teringat kembali kenangan indah saat mereka menghabiskan waktu bersama. Tawanya, candanya, dan bahkan pandangan matanya yang cerah ketika berbicara tentang impian-impian mereka. Semua itu kembali menghantui hati Ahmad, membuatnya semakin merasa kehilangan. Dia meneguk kopi pahitnya, mencoba menetralkan rasa sakit yang terus menghimpit dada.
Namun, ada satu hal yang terus membayangi pikirannya: keputusan yang diambil Bella. Meskipun mereka sepakat untuk memberikan waktu, Ahmad merasa ada sesuatu yang hilang dalam hubungan mereka. Dia sudah menunggu selama berhari-hari, tetapi Bella tidak kunjung menghubunginya. Ketika dia membuka media sosial, dia melihat foto Bella bersama teman-temannya, tertawa dan bersenang-senang. Setiap kali melihatnya, hatinya terasa dicabik-cabik.
Keberanian Ahmad untuk menghubungi Bella semakin menipis. Dia takut mendengar jawaban yang tidak ingin dia terima. Suatu sore, saat duduk di taman, ponselnya bergetar. Pesan dari Bella. Dengan rasa cemas, Ahmad membukanya.
“Hey, Ahmad! Maaf aku sudah lama tidak menghubungimu. Bisa kita bicara?”
Rasa harap Ahmad kembali muncul. “Tentu. Kapan?”
“Bagaimana kalau malam ini? Di kafe kita?”
Malam itu, Ahmad datang lebih awal, duduk di tempat yang sama di mana mereka biasa bercerita. Dengan jantung berdebar, ia menunggu kedatangan Bella. Ketika Bella masuk, senyumnya terlihat canggung, dan itu membuat Ahmad semakin gelisah.
“Hey,” ucap Ahmad, berusaha menampilkan wajah tenang.
“Hey,” jawab Bella, duduk di depannya. “Maaf aku tidak menghubungimu lebih cepat. Aku butuh waktu untuk berpikir.”
“Semua baik-baik saja?” Ahmad mencoba menahan napas. “Kau terlihat… berbeda.”
Bella menghela napas panjang. “Ahmad, aku ingin jujur. Selama ini, aku merasa bingung. Aku menyayangimu, tapi aku takut untuk mengambil langkah lebih jauh.”
“Apakah itu berarti kita tidak bisa bersama?” Pertanyaan itu terucap tanpa bisa ia tahan.
Bella menunduk, tampak berjuang melawan emosinya. “Aku sudah banyak berpikir, dan aku menyadari bahwa saat ini aku tidak siap untuk komitmen. Mungkin aku lebih cocok dengan kehidupan yang aku jalani saat ini. Tanpa adanya beban untuk memikirkan hubungan.”
Ahmad merasa seperti terjatuh ke dalam jurang yang dalam. “Jadi, kamu lebih memilih untuk mundur?”
“Bukan itu maksudku! Aku ingin kita tetap berteman. Aku sangat menghargai semua yang kita miliki,” jawab Bella, air mata menggenang di matanya.
“Bella, itu bukan yang aku inginkan,” suara Ahmad mulai bergetar. “Aku tidak bisa berpacaran denganmu di satu sisi, dan di sisi lain kita hanya berteman. Itu terlalu menyakitkan.”
“Tapi aku tidak bisa memberi lebih dari itu. Sekarang, aku merasa harus fokus pada diriku sendiri. Aku… aku ingin kamu mengerti.”
Hati Ahmad hancur mendengar itu. “Jadi, apa yang harus aku lakukan? Melupakan semua yang kita bangun?”
“Tidak, tidak seperti itu. Aku tidak ingin kita kehilangan satu sama lain, Ahmad,” ucap Bella dengan suara pelan.
“Bella, kita tidak bisa kembali seperti dulu. Cinta kita tidak bisa diabaikan hanya karena kamu takut pada komitmen,” balas Ahmad dengan rasa sakit yang mendalam.
Mendengar itu, Bella tidak bisa menahan air matanya. “Aku tahu, dan itu yang membuatku merasa bersalah. Aku tidak ingin menyakiti kamu. Tapi hidupku sekarang sangat berbeda. Dan aku tidak ingin merusak hubungan kita yang sudah terjalin.”
“Jadi, ini adalah keputusanmu?” tanya Ahmad, suaranya sudah pecah.
Bella mengangguk, air matanya mulai mengalir. “Aku minta maaf, Ahmad. Aku benar-benar minta maaf.”
Suasana di antara mereka terasa semakin berat. Ahmad menatap mata Bella, dan dalam sekejap dia bisa merasakan perpisahan yang semakin dekat. “Aku… aku tidak bisa melanjutkan ini,” ungkapnya, suaranya bergetar.
“Ahmad, aku benar-benar tidak ingin kehilangan kamu,” Bella meraih tangan Ahmad, tetapi dia menariknya kembali.
“Kadang kita harus membiarkan orang yang kita cintai pergi, meskipun hati kita menjerit untuk mempertahankannya,” jawab Ahmad, merasa sakit yang mendalam di dadanya.
Akhirnya, mereka berdua terdiam, hanya saling menatap. Keheningan itu menyiratkan akhir dari segalanya. Ahmad merasa bahwa hubungan yang indah itu telah pudar dalam sekejap. Dia menyadari bahwa cinta mereka yang seharusnya bisa indah, kini berakhir dengan pahit.
Ketika Bella meninggalkan kafe, Ahmad menatap ke luar jendela, melihat bayangannya yang semakin menjauh. Hatinya terasa seperti terkoyak, tetapi di dalam dirinya, ada satu keyakinan: cinta tidak selalu berakhir bahagia. Kadang, cinta harus berkorban demi kebahagiaan orang yang kita cintai, meskipun itu menyakitkan.
Malam itu, Ahmad pulang dengan hati yang kosong dan pikiran penuh kenangan manis dan pahit. Dia tahu, hidup harus terus berjalan, tetapi jejak Bella akan selalu tersisa di hatinya. Saat berbaring di tempat tidur, dia menatap langit-langit, merindukan saat-saat bersama Bella. Meskipun mereka tidak lagi bersatu, rasa cintanya tidak akan pernah padam.
Dengan air mata yang mengalir, Ahmad berjanji pada dirinya sendiri, dia akan belajar untuk merelakan dan mengikhlaskan. Karena dalam cinta, terkadang hal yang terbaik adalah membiarkan orang yang kita cintai pergi demi kebahagiaan mereka.
Akhirnya, semua cerita cinta memang punya jalan cerita sendiri. Ahmad dan Bella mungkin harus berpisah, tapi cinta mereka akan selalu tersimpan dalam kenangan yang tak terlupakan.
Kadang, mencintai berarti merelakan, meskipun hati kita terasa hancur. Semoga kita bisa belajar dari mereka, bahwa cinta yang tulus tetap indah, meski berujung pada kesedihan. Ingat, dalam setiap akhir pasti ada awal baru yang menanti.