Daftar Isi
Hai, guys! Siapa sih yang nggak pernah naksir teman sekelas? Kadang, rasa suka itu datang diam-diam kayak ninja, tanpa kamu sadari. Di cerpen kali ini, kita bakal ikutin kisah Galih dan Liora!
Dua orang yang terjebak dalam perasaan canggung tapi menggemaskan di sekolah. Siap-siap ketawa dan baper, karena cinta mereka bukan cuma lucu, tapi juga bikin kita merenung! Ayo, kita masuk ke dalam dunia mereka yang penuh tawa dan harapan! Let’s go!!!
Cinta Diam-Diam di Sekolah
Di Balik Papan Pengumuman
Lorong utama SMA Sejuta Pesona selalu ramai di pagi hari. Suara langkah sepatu dan obrolan para siswa membaur jadi satu. Matahari baru saja naik, menyinari seluruh ruangan melalui jendela-jendela besar di sepanjang lorong. Di sana, berdiri sebuah papan pengumuman kayu dengan warna cokelat tua yang sudah mulai memudar, menjadi saksi bisu segala informasi penting yang dipasang oleh sekolah—dan juga menjadi alasan kenapa aku selalu datang pagi-pagi.
Setiap hari, aku berdiri di depan papan pengumuman itu, berpura-pura membaca pengumuman jadwal ujian yang sudah aku hafal sejak minggu lalu. Sebenarnya, aku hanya menunggu satu hal—Liora. Gadis itu selalu datang pagi-pagi sekali, memegang secarik kertas yang akan dia tempel di papan pengumuman. Biasanya, puisi-puisinya yang membuatku tersenyum sendiri.
Aku melihat arlojiku. Pukul tujuh kurang sepuluh menit. Harusnya Liora sudah datang, tapi… belum ada tanda-tandanya. Aku menoleh ke kanan dan kiri, memeriksa lorong yang semakin ramai. Beberapa siswa yang melewati aku menatap heran, mungkin bingung kenapa aku masih berdiri di situ.
“Galih, kamu ngapain di situ? Lagi baca pengumuman, ya?” tanya Ridwan tiba-tiba. Dia muncul entah dari mana, menyeret tas punggungnya yang sepertinya terlalu berat.
Aku tersenyum tipis dan mengangkat bahu. “Iya, cuma ngecek. Mungkin ada pengumuman baru soal lomba atau apa.”
“Setiap hari kamu ngecek hal yang sama. Apa kamu nggak bosen?” Ridwan tertawa sambil menepuk pundakku. “Atau… jangan-jangan kamu nunggu seseorang, ya?”
“Enggak lah! Aku cuma suka puisi yang ditempel di sini,” sahutku defensif, mencoba menahan panas di wajahku yang tiba-tiba memerah.
Ridwan menatapku curiga sambil menaikkan satu alis. “Puisi? Oh, ya ampun… kamu suka sama puisi-puisi Liora? Haha! Jangan bilang kamu naksir dia?”
Aku terdiam sejenak, lalu memutuskan untuk pura-pura cuek. “Hah? Nggak. Aku cuma… ya, suka baca puisi aja. Dia nulisnya bagus.”
Sebelum Ridwan sempat menggodaku lagi, aku mendengar suara yang aku tunggu-tunggu. Liora datang, dengan langkah yang ringan dan rambut ikalnya yang berayun pelan mengikuti gerak tubuhnya. Dia berjalan mendekat, membawa kertas yang sudah aku duga akan ditempel di papan pengumuman.
Ridwan menyikut lenganku. “Itu, tuh, Liora. Jangan ngiler, ya.”
Aku pura-pura mengabaikan Ridwan dan kembali melihat ke arah papan pengumuman seolah itu adalah hal paling menarik di dunia. Dari sudut mataku, aku bisa melihat Liora mendekat dan mulai memasang puisinya. Dia tersenyum kecil saat menempelkan kertasnya dengan selotip. Kali ini, puisinya berjudul “Langkah yang Tak Berjejak”.
“Sudah selesai?” tanya Liora tiba-tiba, membuat aku terlonjak kaget. Dia tersenyum padaku, membuat pipiku terasa panas.
“Oh… iya, sudah. Kamu nulis puisi baru lagi?” tanyaku, mencoba terdengar biasa.
“Ya, aku nulis ini tadi malam. Lagi terinspirasi sama hal-hal yang nggak jelas,” jawab Liora sambil tertawa kecil. Dia tampak sedikit malu, seolah-olah mengakui bahwa menulis puisi adalah hal yang memalukan.
Aku mengangguk sambil menatap kertas itu. “Aku suka puisi-puisimu. Mereka selalu… unik.”
Liora tampak sedikit terkejut, kemudian tersenyum. “Makasih, Galih. Aku nggak tahu kalau kamu suka puisi.”
“Ya, aku suka… baca, sih.” Aku merasa suara yang keluar dari mulutku terdengar aneh, tapi Liora tampak tidak peduli. Dia hanya tersenyum lagi, kemudian melambai sambil pamit pergi.
“Aku harus ke kelas dulu. Sampai nanti, ya!” katanya sambil melangkah menjauh.
Aku hanya bisa mengangguk dan melihat punggungnya menghilang di antara kerumunan siswa. Ketika aku yakin Liora sudah jauh, aku segera mendekati puisinya dan membaca baris demi baris dengan cepat, mencoba memahami pesan tersembunyi di setiap kalimatnya. Kata-katanya seolah memiliki makna yang lebih dalam, seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan di balik metafora yang rumit.
“Langkah yang tak berjejak, ya?” gumamku pelan sambil mengulang judulnya. Aku tak tahu apakah aku terlalu berharap, tapi ada bagian dari diriku yang ingin percaya bahwa puisi-puisi itu mungkin, entah bagaimana, ada kaitannya denganku.
Bel tanda masuk berbunyi, tapi aku tetap di sana, menatap puisi yang tertempel di papan kayu itu. Aku tahu aku harus pergi, tapi kakiku seolah-olah tertancap di lantai. Mungkin, aku hanya menunggu keajaiban kecil yang membuat Liora berbalik lagi dan tersenyum padaku. Tapi, tentu saja itu tidak terjadi.
Saat aku hendak beranjak pergi, Ridwan tiba-tiba muncul lagi. Dia memasang senyum lebar seolah baru saja menemukan rahasia besar.
“Jadi, gimana, pangeran penggemar puisi? Apa kamu sudah siap mengungkapkan perasaan?” Ridwan bertanya dengan nada menggoda.
Aku menatapnya dengan tatapan tajam. “Diam, Van. Aku nggak mau kamu bikin gosip aneh-aneh.”
Ridwan tertawa keras, cukup keras hingga beberapa siswa yang lewat menoleh penasaran. “Oh, ayolah. Kamu udah kayak patung di depan papan pengumuman setiap pagi cuma buat lihat dia. Aku cuma mau nunggu kapan kamu akhirnya bilang kalau kamu suka sama dia.”
Aku menunduk, menatap lantai, mencoba menghindari sorotan mata Ridwan. “Mungkin… aku nggak akan pernah bilang,” jawabku pelan.
Ridwan terdiam, mungkin karena dia tidak menduga jawaban itu keluar dari mulutku. Tapi, aku tahu ini kebenarannya. Diam-diam mengagumi seseorang dari kejauhan jauh lebih mudah daripada menghadapinya langsung. Di papan pengumuman itu, aku merasa aman—seolah aku memiliki alasan untuk ada di sana, walaupun sebenarnya aku hanya berharap bisa melihat Liora sebentar saja.
“Galih, kamu harus lebih berani,” kata Ridwan akhirnya dengan nada serius, yang jarang sekali keluar darinya. “Kalau kamu terus diam kayak gini, kamu bakal nyesel.”
Aku mengangguk pelan, tapi tidak mengatakan apa-apa. Dalam hati, aku tahu Ridwan benar. Tapi aku juga tahu bahwa keberanian itu bukan sesuatu yang bisa dipaksakan. Mungkin, suatu hari nanti, ketika aku sudah siap… atau mungkin tidak pernah sama sekali.
Untuk saat ini, aku hanya bisa berdiri di sini, di depan papan pengumuman yang sepi, menunggu kedatangan Liora dengan perasaan yang aku simpan rapat-rapat di dalam dada.
Puisi yang Tak Terungkap
Hari-hari berlalu seperti angin yang membawa daun-daun kering di halaman sekolah. Setiap pagi, aku tetap datang lebih awal, berdiri di depan papan pengumuman sambil berpura-pura membaca kertas-kertas yang sudah aku hafalkan isinya. Tapi kini ada sesuatu yang berbeda; setiap kali aku menatap puisi terbaru Liora, ada perasaan asing yang makin menguat di dadaku. Satu persatu, puisi itu mengisi ruang kosong di kepalaku, membentuk rangkaian kata yang seolah berbicara langsung kepadaku.
Suatu pagi, aku tiba lebih awal dari biasanya. Lorong masih sepi, hanya terdengar suara langkah-langkah ringan dari siswa yang baru datang. Aku melihat selembar kertas yang baru tertempel di papan pengumuman, lalu segera menghampirinya. Kali ini, judulnya adalah “Bayang di Balik Jendela”. Baris pertama tertulis jelas di sana:
“Ada mata yang menatap dalam hening,
Tersirat makna yang tak pernah diungkapkan.”
Aku tersentak. Baris itu terasa terlalu familiar, seolah mencerminkan perasaanku sendiri yang selama ini berusaha aku sembunyikan. Pikiranku mulai berkelana, menebak-nebak apakah puisi itu ada kaitannya denganku. Tapi aku tahu aku tak mungkin berani bertanya langsung pada Liora. Aku hanya bisa diam, merasakan denyut jantungku semakin cepat setiap kali mengingat senyumnya.
Tepat saat itu, Liora muncul. Aku merasakan kehadirannya sebelum dia menyapaku. Aroma parfumnya yang manis selalu mendahului langkah-langkahnya. Aku menoleh pelan, mencoba menyembunyikan rasa gugup yang tiba-tiba menyeruak.
“Hai, Galih! Lagi-lagi kamu lebih dulu di sini,” katanya dengan senyuman yang membuatku nyaris lupa cara bernapas. Dia mendekat, berdiri di sebelahku sambil membaca puisinya sendiri.
“Ehm… puisi yang bagus,” kataku kaku, berusaha mengalihkan perhatian dari detak jantungku yang memburu.
“Terima kasih. Aku nggak yakin kali ini puisiku bisa dimengerti banyak orang,” katanya sambil tertawa kecil. “Apa kamu suka?”
Aku mengangguk cepat. “Iya, aku suka… maksudnya, puisimu selalu bagus, sih.”
Liora tersenyum, tapi ada sesuatu di matanya yang tidak biasa. “Kamu tahu, aku kadang merasa ada seseorang yang membaca puisi-puisiku lebih dalam daripada yang lain. Rasanya… seperti aku sedang menulis untuk seseorang,” ucapnya pelan, seperti bicara pada dirinya sendiri.
Aku terdiam, menahan napas. Ada ketegangan yang tak terjelaskan di antara kami. Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-kata itu macet di tenggorokanku. Jadi aku hanya berdiri di sana, membiarkan rasa gugup menenggelamkanku.
Sepulang sekolah, aku merasa gelisah. Aku tidak bisa berhenti memikirkan kata-kata Liora tadi pagi. Rasanya seperti dia tahu, tapi aku juga tidak yakin. Aku mengayuh sepeda dengan pelan di jalan pulang, melewati taman kecil di dekat sekolah yang sepi. Sambil termenung, aku mengeluarkan sebuah buku catatan dari dalam tas—buku yang sudah menjadi teman setia tempat aku mencatat segala pikiran yang tak bisa kuungkapkan.
Di sana, aku menulis baris-baris puisi tentang Liora. Tulisanku tak sehebat miliknya, tapi setiap kata adalah perasaan yang tidak pernah kuberani utarakan. Aku menulis puisi untuk Liora, tentang senyumnya, tentang tatapan matanya yang selalu membuatku terdiam. Di balik semua itu, ada satu perasaan yang terus mengganggu: perasaan bahwa aku dan Liora mungkin merasakan hal yang sama, tapi tak ada yang cukup berani untuk mengungkapkannya.
Di malam hari, aku berbaring di tempat tidur dengan cahaya lampu meja yang redup. Aku memandang kertas berisi puisi yang baru saja kutulis:
“Ada senyum di balik kata yang terucap,
Seperti cahaya yang hanya bisa kulihat dalam gelap.”
Aku menutup buku itu dengan cepat, seolah-olah takut jika perasaanku bisa terbaca melalui kertas itu. Tapi kemudian, sebuah ide muncul di kepalaku—ide yang membuatku gelisah dan bersemangat sekaligus.
Keesokan harinya, aku kembali datang pagi-pagi sekali, tapi kali ini aku tidak hanya berdiri menunggu Liora. Aku menempelkan selembar kertas kecil di pojok bawah papan pengumuman, tepat di bawah puisinya yang terbaru. Di sana, aku hanya menulis satu kalimat pendek:
“Untuk yang menulis puisi: Aku suka kata-katamu.”
Aku tahu itu tindakan yang bodoh dan berisiko. Tapi untuk pertama kalinya, aku merasakan sedikit keberanian yang aneh, seolah-olah baris sederhana itu adalah caraku menyapa Liora tanpa benar-benar harus mengatakannya secara langsung. Setelah menempelkan kertas itu, aku segera beranjak pergi, takut ketahuan oleh siapa pun.
Hari itu, aku tidak sempat melihat reaksi Liora karena aku harus pergi lebih awal untuk persiapan kegiatan OSIS. Aku menghabiskan sepanjang hari dengan gelisah, tidak bisa fokus pada apa pun. Sepulang sekolah, aku segera kembali ke papan pengumuman, berharap melihat apakah ada perubahan.
Kertas kecil yang kutempel tadi pagi masih ada di sana. Tapi kali ini, ada sesuatu yang membuat jantungku berdegup kencang—di pojok kertas yang sama, ada tulisan tangan kecil yang baru:
“Untuk yang membaca puisi: Terima kasih.”
Aku nyaris tidak bisa mempercayai mataku. Liora membalasnya! Aku tahu itu dia, karena tulisan tangan itu sama persis dengan huruf-huruf yang menghiasi puisi-puisinya. Ada rasa hangat yang menjalar di dadaku, dan aku tak bisa menahan senyum lebar yang tiba-tiba muncul di wajahku.
Ridwan, yang entah bagaimana selalu tahu saat aku sedang melakukan sesuatu yang bodoh, tiba-tiba muncul di belakangku. “Kenapa kamu senyum-senyum sendiri, hah? Jangan-jangan ada yang lagi PDKT sama kamu?”
Aku buru-buru menyembunyikan kertas kecil itu ke dalam saku seragamku. “Bukan apa-apa, cuma… senang aja,” jawabku asal, tapi Ridwan menatapku dengan tatapan penuh kecurigaan.
“Awas aja kalau kamu nggak cerita sama aku nanti,” katanya dengan nada bercanda, lalu pergi dengan wajah penasaran.
Aku hanya bisa menghela napas lega. Rasanya seperti beban besar terlepas dari pundakku. Mungkin, untuk saat ini, hanya ini yang bisa aku lakukan—berkomunikasi dengan Liora lewat kertas-kertas kecil yang menyimpan rahasia kami berdua. Tanpa kata-kata, tanpa keberanian yang besar, tapi cukup untuk membuatku terus menunggu pagi berikutnya dengan harapan yang semakin menguat.
Di balik papan pengumuman itu, diam-diam, sebuah cerita mulai terjalin. Cerita tentang puisi, kertas kecil, dan hati yang saling menyapa tanpa harus mengucap sepatah kata pun.
Isyarat yang Tersembunyi
Sejak hari itu, sesuatu yang tidak terucap berkembang di antara aku dan Liora. Aku tidak pernah tahu pasti kapan dia akan membalas pesan kecil yang kutulis di pojok kertas, tapi setiap kali aku menemukan balasan darinya, rasanya seperti menemukan harta karun tersembunyi. Seolah-olah, ada bahasa rahasia yang hanya bisa dipahami oleh kami berdua—kata-kata yang tidak membutuhkan suara, hanya tulisan tangan yang mencatat perasaan.
Pagi ini, aku berjalan menuju papan pengumuman dengan harapan yang lebih besar dari biasanya. Semalam aku menulis pesan singkat lain di kertas kecil yang kutempel di bawah puisinya. Kali ini, aku memberanikan diri menulis:
“Kenapa selalu ada perasaan hangat saat membaca puisimu?”
Jujur saja, aku tidak tahu apakah Liora akan membalas pertanyaan itu. Mungkin dia akan mengabaikannya, atau malah menganggapku aneh. Tapi saat aku tiba di depan papan pengumuman, aku melihat sesuatu yang membuat napasku tertahan—ada kertas baru di sebelah puisinya yang baru, dan tulisan tangan kecil itu menuliskan jawaban:
“Karena ada seseorang yang selalu membacanya dengan sepenuh hati.”
Kata-kata itu menghantamku dengan lembut, seperti angin pagi yang berhembus di sela-sela dedaunan. Aku tahu Liora pasti menyadari sesuatu. Mungkin dia belum tahu siapa yang selalu membalas puisinya, tapi dia jelas merasakan kehadiranku di setiap kata yang kubaca.
Ketika aku sedang termenung di depan papan, tiba-tiba Liora muncul, kali ini lebih awal dari biasanya. Aku berusaha menyembunyikan keterkejutan di wajahku, tapi dia sudah melihatnya. Senyumnya begitu lebar dan hangat, berbeda dari biasanya—senyum yang membuat pipiku terasa panas.
“Hai, Galih!” sapanya dengan nada yang lebih ceria. “Kamu kelihatan bersemangat pagi ini. Ada yang menarik di papan pengumuman?”
Aku tersenyum canggung, mencoba tidak terlihat terlalu mencurigakan. “Nggak, cuma… puisimu kali ini bagus banget. Ada sesuatu yang berbeda, sepertinya,” jawabku sambil menunjuk kertas di atas kami.
“Oh ya?” tanyanya sambil tersenyum kecil. Dia menatapku sejenak sebelum matanya beralih ke papan pengumuman. “Seseorang bilang puisiku memberi perasaan hangat. Aku pikir, itu pujian yang indah.”
Aku merasakan ada sesuatu dalam kata-katanya—sesuatu yang tidak terkatakan, tapi jelas terasa. Aku hanya bisa mengangguk, berharap wajahku tidak semerah yang kurasakan. Tapi sebelum aku sempat menjawab, bel sekolah berbunyi, memaksa kami berdua untuk segera beranjak.
Hari-hari berikutnya, interaksi kami semakin sering terjadi. Tidak hanya di papan pengumuman, tapi di sela-sela kelas, di kantin, atau saat pulang sekolah. Liora mulai sering menghampiriku, dan aku mulai merasa semakin nyaman di dekatnya. Ada hal-hal kecil yang mulai berubah: cara dia memandangku lebih lama, atau senyumnya yang terlihat lebih tulus. Namun, tetap saja, ada batas yang tidak bisa kutembus—batas di mana perasaanku harus tetap tersembunyi, tanpa berani mengungkapkan lebih dari sekadar kata-kata di kertas kecil.
Suatu siang, aku duduk di kantin bersama Ridwan, membicarakan hal-hal sepele tentang tugas-tugas sekolah yang menumpuk. Ridwan, seperti biasa, tidak pernah melewatkan kesempatan untuk menggodaku.
“Kamu makin sering bareng sama Liora akhir-akhir ini, ya,” katanya sambil menggigit roti isi yang dibawanya. “Jangan-jangan kamu sudah pacaran lagi sama dia?”
Aku tertawa untuk menutupi kegugupanku. “Kamu ngomong apa sih, Wan. Kita cuma… teman, kok.”
“Teman yang suka ngasih kertas kecil di papan pengumuman, ya?” Ridwan melirikku dengan tatapan menggoda. Aku nyaris tersedak. Ternyata dia tahu! Sejak kapan?
“Ridwan!” seruku dengan nada setengah kesal, tapi Ridwan hanya tertawa.
“Tenang aja, aku nggak bakal bilang ke siapa-siapa. Cuma, kalau kamu suka sama dia, kenapa nggak ngomong langsung? Daripada kamu terus-terusan nulis di kertas kecil itu,” katanya sambil menepuk pundakku.
Aku hanya bisa terdiam. Apa yang harus aku katakan? Perasaan yang selama ini kusembunyikan tiba-tiba terasa begitu jelas dan nyata saat Ridwan mengatakannya. Tapi aku tahu, aku tidak punya cukup keberanian untuk mengatakannya langsung pada Liora. Semua terasa begitu rumit.
Pulang sekolah, aku memutuskan untuk menghabiskan waktu di taman kecil dekat sekolah. Tempat itu selalu sepi di sore hari, dan aku bisa berpikir lebih tenang di sana. Aku duduk di bangku taman, mengeluarkan buku catatan yang selalu kubawa. Di dalam buku itu, aku mencatat perasaan yang tidak pernah bisa kuucapkan. Hari ini, aku menulis sesuatu yang lebih dari biasanya, seolah-olah seluruh pikiranku tumpah di atas kertas:
“Mungkin aku tak pernah akan cukup berani,
Untuk mengucapkan apa yang selama ini kupendam.
Tapi saat aku menatapmu, Liora,
Semua kata terasa ingin melompat keluar dari dadaku.”
Aku menutup buku itu dengan pelan. Rasanya ada sesuatu yang berubah dalam diriku, seperti sebuah keputusan yang perlahan-lahan mulai terbentuk di dalam pikiranku. Tapi sebelum aku sempat berpikir lebih jauh, sebuah suara lembut mengejutkanku.
“Galih?”
Aku menoleh dan melihat Liora berdiri di sana, hanya beberapa langkah dariku. Matanya tampak heran melihatku di sini sendirian. Aku tidak tahu harus berkata apa, jadi aku hanya duduk membeku, merasa seperti ketahuan melakukan sesuatu yang salah.
“Kamu… suka menulis, ya?” tanyanya sambil duduk di sebelahku. Aku merasa seluruh tubuhku menegang. “Aku lihat kamu sering membawa buku catatan itu.”
“Oh, ini… cuma buku biasa,” jawabku terbata-bata. Aku tidak mungkin mengatakan padanya bahwa buku itu penuh dengan puisi dan perasaan tentang dirinya.
Liora tersenyum lembut. “Aku senang, tahu, kalau ada yang suka menulis. Kadang menulis bisa jadi cara yang paling jujur untuk mengungkapkan sesuatu.”
Aku tidak tahu harus menjawab apa, jadi aku hanya mengangguk. Rasanya seperti ada dinding tipis yang membatasi kami, dinding yang aku tahu bisa hancur kapan saja jika aku berani melangkah sedikit lebih jauh. Tapi aku tidak bisa—tidak sekarang.
Kami duduk berdua dalam keheningan yang aneh. Angin sore berhembus lembut, membawa aroma bunga yang bermekaran di sekitar taman. Untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa diam di samping Liora sudah cukup. Meskipun ada begitu banyak yang ingin aku katakan, kata-kata itu tetap tertahan di tenggorokan, menunggu saat yang tepat untuk keluar.
Tapi kemudian, Liora melakukan sesuatu yang membuatku terkejut. Dia membuka tasnya, mengeluarkan selembar kertas putih kecil, lalu menuliskan sesuatu dengan cepat. Kemudian, dia melipat kertas itu dan menyelipkannya di antara halaman buku catatanku.
“Baca nanti saja,” katanya dengan senyum penuh arti sebelum beranjak pergi, meninggalkanku yang masih bingung dengan apa yang baru saja terjadi. Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh, merasa ada sesuatu yang menggelitik di dadaku.
Saat itu, aku tahu bahwa cerita ini belum selesai. Ada sesuatu yang sedang terjadi, sesuatu yang lebih besar dari sekadar kertas kecil di papan pengumuman. Dan untuk pertama kalinya, aku mulai berpikir untuk menembus batas yang selama ini membuatku ragu.
Aku membuka buku catatanku, menatap kertas yang baru saja diselipkan oleh Liora. Tapi aku tidak segera membacanya. Aku tahu, ada saatnya untuk membuka lembaran itu—saat yang tepat, ketika aku sudah siap menerima jawaban dari semua pertanyaan yang selama ini kupendam.
Mengungkapkan Rasa
Hari-hari setelah kejadian di taman terasa berbeda. Setiap kali aku melihat Liora di sekolah, hatiku berdegup kencang. Ada perasaan hangat yang mengalir di antara kami, seolah-olah semua kata-kata yang terpendam akhirnya mulai menemukan jalannya. Kertas kecil yang diselipkan di buku catatanku masih ada, dan setiap kali aku membukanya, rasanya seperti mendapatkan napas baru.
Hari ini, setelah berhari-hari menunggu dengan rasa penasaran, aku akhirnya memberanikan diri untuk membaca kertas itu. Di dalamnya tertulis:
“Galih, terima kasih sudah selalu membaca puisiku. Terkadang, aku merasa sendiri di dunia ini, tapi saat aku tahu ada kamu yang memperhatikan, aku merasa lebih berarti. Kamu orang yang baik, dan aku ingin kita bisa lebih dekat. Bagaimana kalau kita ngobrol lebih banyak?”
Membaca kalimat-kalimat itu membuat dadaku terasa penuh. Liora tidak hanya merasakan kehadiranku, tapi dia juga ingin berbagi lebih banyak. Ada sesuatu yang berbeda kali ini, seolah-olah batasan yang selama ini menghalangi kami mulai pudar. Tanpa berpikir panjang, aku menyusun rencana untuk merespons pesan itu.
Saat istirahat, aku mengajak Ridwan untuk pergi ke taman. “Wan, aku butuh bantuanmu,” kataku, dan Ridwan langsung menatapku dengan mata penasaran.
“Ada apa? Naksir dia makin dalam, ya?” Ridwan tersenyum nakal.
“Serius, Wan! Aku butuh tempat untuk berbicara sama Liora. Aku mau bilang sesuatu padanya,” jawabku, merasa gelisah.
“Oke, kita bisa ajak dia ke taman. Tapi kamu harus siap, ya. Ini momen penting!” Ridwan berkata dengan nada semangat.
Kami sepakat untuk bertemu Liora di taman setelah sekolah. Saat bel berbunyi dan kami berkumpul di bawah pohon besar, jantungku berdetak sangat kencang. Liora datang dengan senyuman ceria, seolah tahu ada sesuatu yang istimewa akan terjadi.
“Hai, Galih! Hai, Ridwan! Ada apa ya?” Liora bertanya sambil duduk di bangku.
“Galih mau bicara sama kamu,” Ridwan memberi isyarat padaku. Jantungku berdebar semakin cepat. Aku merasa semua mata tertuju padaku, dan seolah-olah kata-kata terjebak di tenggorokan.
“Eh, iya… jadi, Liora,” aku mulai, berusaha menenangkan diri. “Aku… Aku sudah baca kertas yang kamu kasih di buku catatanku.”
Liora menatapku penuh harap. “Oh, kamu sudah baca? Apa kamu merasa… apa yang kutulis?”
“Ya, dan itu membuatku… sangat senang. Aku merasa kita punya koneksi yang lebih dari sekadar teman, Liora,” kataku, jujur.
Dia tersenyum lembut, dan seolah-olah semua ketegangan yang ada di antara kami mulai mencair. “Aku juga merasa begitu, Galih. Kamu selalu bisa mengerti tanpa perlu banyak bicara.”
Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan semua keberanian yang kumiliki. “Aku ingin kita bisa lebih dekat. Aku tidak ingin hanya menjadi teman yang selalu ada di belakangmu. Aku ingin ada di sampingmu.”
Saat itu, Liora menatapku dengan mata berbinar. “Aku ingin itu, Galih. Kita bisa saling mendukung, seperti dalam puisi-puisi yang kutulis.”
Seketika, semua kekhawatiran yang selama ini menggangguku terasa menguap. Rasanya seperti beban berat terangkat dari pundakku. Dengan senyuman lebar, aku melanjutkan, “Kalau begitu, bagaimana kalau kita mulai menulis cerita kita sendiri? Tanpa kertas kecil, tanpa perasaan terpendam.”
Liora tertawa lembut, suaranya mengalun merdu. “Aku setuju. Kita bisa mulai menulis dengan suara kita, bukan hanya di atas kertas.”
Kami berdua tertawa, merasakan kelegaan yang tidak terkatakan. Sepertinya, semua rasa takut yang menghalangi kami selama ini sudah lenyap. Ketika kami saling bertatapan, aku merasa seperti menemukan sahabat sejati—seseorang yang memahami dan menghargai semua sisi diriku.
Ridwan, yang dari tadi hanya diam menyaksikan, tiba-tiba berteriak, “Akhirnya! Aku sudah bilang, Galih! Satu langkah berani bisa mengubah segalanya!”
Aku dan Liora hanya bisa tertawa melihat tingkah Ridwan. Saat itulah, aku merasakan momen yang sempurna. Di tengah tawa dan kebahagiaan, ada harapan baru untuk masa depan yang lebih baik—masa depan di mana kami bisa menulis cerita bersama, dengan semua rasa yang selama ini terpendam.
Hari itu berakhir dengan rasa bahagia yang tidak pernah kuharapkan. Liora dan aku memutuskan untuk bersepakat tentang petualangan baru—menemukan keindahan dalam tulisan dan perasaan yang tulus. Tanpa terasa, kami berjalan berdua, saling mendukung, dan siap menghadapi semua cerita yang akan datang, di mana pun jalan membawa kami.
Rasa takut dan keraguan itu kini hanya menjadi bagian dari masa lalu. Kami berdua bersiap untuk menulis kisah cinta yang indah—cinta yang tumbuh di antara kami dengan cara yang paling manis dan sederhana, seperti puisi yang selalu terukir di hati.
Nah, itulah perjalanan Galih dan Liora yang penuh tawa dan sedikit drama. Siapa sangka, cinta yang tumbuh diam-diam bisa jadi kisah yang paling berharga? Dari rasa canggung hingga pengakuan, mereka menunjukkan bahwa kadang-kadang, keberanian untuk mengungkapkan perasaan itu bisa mengubah segalanya.
Jadi, buat kamu yang lagi naksir teman sekelas, jangan takut untuk berbicara! Mungkin, kamu juga bisa menciptakan kisah cinta yang tak terlupakan. Sampai jumpa di cerita selanjutnya, dan ingat, cinta itu indah, meskipun kadang harus lewat jalan yang berliku!