Cinta di Usia 20: Menghadapi Rindu dan Harapan Baru

Posted on

Jadi, bayangkan kamu lagi di usia dua puluhan, saat hidup terasa kayak roller coaster penuh liku-liku. Di sinilah, di antara semua momen konyol dan harapan yang ngambang, cinta datang tiba-tiba dan bikin semua terasa lebih hidup.

Selamat datang di perjalanan cerita tentang Alma dan Ezra, dua orang yang coba mengertiin arti cinta, rindu, dan yang paling penting: bagaimana caranya mengubah masa lalu jadi pelajaran untuk masa depan. Siap-siap deh baper! Let’s go!!

 

Cinta di Usia 20

Awal yang Tak Terduga

Langit pagi itu sedikit mendung, awan-awan kelabu bergerak lambat di atas gedung-gedung kota. Udara dingin khas awal musim gugur mengiringi langkah-langkahku yang terburu-buru menyusuri trotoar. Aku tahu seharusnya berangkat lebih awal, tapi tidur malam tadi begitu nyenyak hingga alarm pagi seolah tak terdengar. Jam dinding di apartemen kecilku sudah menunjukkan pukul delapan lewat sepuluh, dan dosen kelas pertama terkenal tidak suka pada mahasiswa yang datang terlambat. Aku mempercepat langkah, tas punggungku bergoyang-goyang, mengguncang beberapa buku tebal di dalamnya.

Saat berbelok di tikungan dekat kedai kopi yang biasa aku lewati, semuanya terjadi begitu cepat. Tanpa sengaja, aku menabrak seseorang yang juga berjalan terburu-buru dari arah yang berlawanan. Buku-buku yang kubawa terlepas dari pelukan dan jatuh berserakan di atas trotoar yang lembab.

“Maaf! Maaf banget! Aku nggak lihat kamu!” ucapku cepat, merasa bersalah. Aku langsung berjongkok untuk memungut buku-buku yang kini sedikit basah karena trotoar yang lembap.

“Nggak apa-apa,” sahut suara lelaki dari arah depan. Aku mendongak dan melihat seorang pria dengan rambut agak acak-acakan berjongkok di hadapanku, ikut membantu memungut buku-buku itu. Jaket kulit hitam yang ia kenakan terlihat lusuh namun entah kenapa cocok dengan gaya berantakannya.

Aku memperhatikan wajahnya sejenak—mata yang dalam, alis tebal yang sedikit melengkung, dan bibir yang membentuk senyum ramah. Ada aura hangat di sana, meski tatapan matanya seperti menyimpan misteri yang tak terkatakan. Dia menyodorkan buku terakhir yang dipungutnya, sambil tersenyum tipis.

“Maaf ya, aku nggak sengaja bikin kamu nabrak,” katanya dengan nada yang agak menyesal.

“Nggak, ini salahku juga kok,” balasku cepat-cepat. Aku mengambil buku dari tangannya dan berusaha tersenyum. Lalu, pria itu melirik langit mendung di atas kami, dan aku ikut menengadah, meski tak mengerti apa yang menarik dari langit kelabu pagi itu.

“Kamu lagi lihat apa?” tanyaku penasaran.

“Langit,” jawabnya dengan ringan, seolah itu hal yang biasa.

Aku tertawa kecil. “Langit? Lagi mendung gini?”

Dia mengangguk sambil tersenyum, matanya tetap tertuju ke langit. “Ya, menurutku mendung pun punya pesonanya sendiri. Langit di umur 20 tahun, katanya sering mendung. Tapi mendung juga nggak selamanya berarti buruk, kan?”

Aku terdiam sejenak, mencoba mencerna perkataannya. Lalu dia berdiri dan membersihkan celana jeans-nya yang sedikit kotor karena debu trotoar. Aku merasa ada sesuatu yang berbeda dari cara dia bicara—tidak biasa dan agak filosofis untuk seorang yang baru saja kutemui di trotoar yang ramai.

“Aku Ezra, by the way,” katanya sambil mengulurkan tangan. “Kamu?”

“Alma,” jawabku, menyambut uluran tangannya yang hangat. Sekilas aku merasakan getaran aneh saat tanganku menyentuh jemarinya, tapi buru-buru aku mengabaikan perasaan itu. Ini cuma pertemuan singkat, pikirku.

Beberapa hari kemudian, aku melihatnya lagi. Kali ini, di kedai kopi kecil dekat kampus. Kedai itu sering aku kunjungi untuk mengerjakan tugas atau sekadar menghabiskan waktu sebelum kelas. Begitu aku masuk, aroma kopi hangat langsung menyambut, menghangatkan badan yang kedinginan. Di sudut ruangan, ada sosok familiar dengan rambut acak-acakan itu, sedang duduk dengan cangkir kopi di depannya dan buku sketsa terbuka di pangkuannya.

“Oh, kamu lagi,” katanya begitu melihatku. Aku tersenyum canggung, sedikit tak menyangka bisa bertemu lagi.

“Sepertinya kamu sering ke sini, ya?” tanyaku, mencoba membuka obrolan. Aku memesan cokelat panas dan duduk di meja sebelahnya, entah kenapa merasa nyaman berada di dekatnya.

“Iya, aku suka tempat ini. Tenang dan nggak terlalu ramai,” jawab Ezra sambil menutup buku sketsanya. “Kamu sendiri? Ngapain ke sini pagi-pagi?”

“Ada tugas yang belum selesai, jadi ya… terpaksa harus buru-buru nyelesain sebelum kelas pertama,” kataku sambil membuka laptop.

Dia tersenyum lagi, kali ini lebih lebar. “Tipikal mahasiswa yang suka menunda-nunda tugas, ya?”

Aku tertawa kecil. “Iya, aku payah dalam mengatur waktu.”

Percakapan kami berlanjut. Obrolan ringan tentang tugas kuliah, dosen yang sering memberi deadline tak masuk akal, sampai ke hal-hal kecil seperti film favorit dan buku yang terakhir kami baca. Tanpa terasa, waktu berlalu begitu cepat. Cokelat panas di cangkirku sudah habis, dan cahaya pagi yang masuk lewat jendela mulai memudar. Kami tertawa bersama, tanpa beban, tanpa harus berpikir terlalu keras tentang siapa kami atau apa yang sedang kami lakukan.

Saat aku bersiap pergi ke kelas, Ezra menahanku sejenak. “Alma, kalau suatu hari kamu pengen ngobrol atau sekadar nonton langit mendung, hubungi aku, ya?”

Aku terdiam sejenak, lalu mengambil ponselku dan menyerahkan padanya. Dia mengetik nomor teleponnya dan tersenyum sebelum mengembalikannya padaku. Aku hanya bisa mengangguk sambil tersenyum tipis.

Keesokan harinya, pesan singkat darinya masuk ke ponselku. “Pagi! Bagaimana tugasnya? Sudah selesai?”

Aku tertegun sejenak, tidak menyangka dia akan benar-benar menghubungiku. Sejak saat itu, kami sering bertukar pesan. Sesekali bertemu di kafe, kadang hanya saling sapa dari kejauhan di kampus. Ada kenyamanan yang perlahan-lahan tumbuh, meski aku belum benar-benar mengerti perasaan apa yang mulai merayap di dadaku.

Ezra adalah tipe orang yang bisa membuatmu tersenyum tanpa alasan. Dengan caranya yang sederhana, dia seperti menyentuh sisi hidupku yang jarang kuperlihatkan pada orang lain. Entah bagaimana, setiap kata-katanya selalu terasa tulus, dan aku bisa merasakan ketenangan yang aneh setiap kali bersamanya.

Di hari-hari berikutnya, aku mendapati diriku menantikan momen-momen sederhana bersamanya. Momen-momen di mana kami bisa duduk bersama tanpa perlu bicara banyak, atau saat dia menunjukkan sketsa-sketsa yang ia buat diam-diam. Aku tidak tahu kenapa, tapi ada sesuatu tentang Ezra yang membuatku ingin mengenalnya lebih jauh.

Namun, di tengah semua itu, ada perasaan asing yang mulai tumbuh. Sesuatu yang samar-samar mengganggu pikiranku—sebuah ketakutan yang tak jelas, bahwa semua ini hanya sementara. Seperti mendung yang menutupi langit di umur 20 tahun, aku takut jika semua kebahagiaan ini hanya sementara, bahwa suatu saat, langit akan cerah tanpa ada alasan untuk kami terus bertemu.

Dan itulah yang membuatku semakin bingung.

 

Langit di Usia 20 Tahun

Hari-hari berlalu dengan ritme yang hampir tak terduga. Tanpa aku sadari, Ezra sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari keseharianku. Pesan singkat darinya di pagi hari dan malam menjelang tidur mulai menjadi rutinitas. Ada kehangatan yang muncul dari percakapan sederhana kami, seolah setiap kata membawa kebahagiaan kecil yang sulit aku jelaskan. Aku mulai terbiasa dengan kehadirannya—baik dalam bentuk senyuman di layar ponsel, atau sekadar tatapan lembut di sudut kafe kampus.

Pagi itu, Ezra mengirim pesan yang berbeda dari biasanya. “Ada sesuatu yang ingin aku tunjukkan. Bisa ketemu nanti sore di taman dekat kampus?” tulisnya. Ada rasa penasaran yang menggelitik di dadaku. Biasanya, kami hanya bertemu tanpa rencana yang jelas, tapi kali ini, nada pesan Ezra terasa lebih serius.

Aku tiba di taman sedikit lebih awal dari waktu yang kami sepakati. Angin sore yang sejuk berhembus lembut, menggoyangkan dedaunan yang mulai menguning. Aku duduk di bangku kayu di bawah pohon besar, melihat burung-burung kecil yang berkicau riang, mencoba mengalihkan kegugupanku. Tak lama kemudian, Ezra muncul dari balik semak-semak dengan senyum khasnya.

“Kamu cepet banget sampai sini,” katanya sambil duduk di sampingku.

“Ya, aku nggak mau telat. Jadi, apa yang pengen kamu tunjukkan?” tanyaku langsung, berusaha menyembunyikan rasa penasaranku.

Ezra mengeluarkan sebuah buku sketsa dari tas kanvasnya. Buku itu lebih tebal dari yang biasanya dia bawa. Aku memandangnya dengan penuh tanya. Dia membuka halaman pertama, dan di sana ada sketsa taman yang kami duduki sekarang, lengkap dengan bangku kayu dan pohon besar di sebelahnya.

“Aku suka tempat ini,” katanya pelan, hampir berbisik. “Dan aku ingin kamu tahu, ini adalah tempat favoritku sejak kecil. Tempat di mana aku bisa menghabiskan waktu sendiri dan menenangkan diri.”

Aku menatapnya, merasakan nada melankolis dalam suaranya. Ezra kemudian membuka halaman demi halaman, menunjukkan sketsa-sketsa yang ia buat selama bertahun-tahun—taman ini di musim semi dengan bunga-bunga mekar, di musim panas dengan daun-daun hijau yang rimbun, dan di musim gugur saat warna kuning dan merah mendominasi.

“Kamu menggambar semua ini?” tanyaku tak percaya. Sketsa-sketsanya begitu detail dan indah. Aku bisa merasakan atmosfer yang ia coba tangkap di setiap gambar.

“Iya, ini semacam… cara buatku menyimpan kenangan,” jawabnya sambil menggaruk belakang kepalanya, terlihat sedikit malu.

Aku menahan napas. Ada sesuatu yang begitu tulus dalam caranya berbicara. “Ezra, kenapa kamu tunjukin ini semua ke aku?”

Dia menutup buku sketsa itu dengan perlahan dan menatap lurus ke mataku. “Karena aku merasa, kamu adalah bagian dari kenangan yang ingin aku simpan mulai sekarang.”

Aku terdiam, tidak tahu harus merespon apa. Kata-katanya membuat dadaku berdesir hangat. Ada sesuatu yang begitu murni dalam caranya mengatakannya, tanpa pretensi, tanpa beban. Tapi di saat yang sama, aku merasa takut. Takut jika kehangatan ini terlalu cepat membakar habis.

Sejak hari itu, hubungan kami berubah. Bukan lagi sekadar teman yang saling berbagi cerita, tapi ada kedekatan yang semakin nyata. Ezra mulai lebih sering mengajakku ke tempat-tempat favoritnya—perpustakaan tua di pusat kota, kedai kopi kecil yang hampir tak pernah ramai, bahkan sebuah toko musik yang tersembunyi di gang sempit, tempat dia membeli vinil-vinil lawas. Setiap tempat punya cerita, dan setiap cerita terasa begitu berharga ketika dia yang menceritakannya.

Suatu malam, kami duduk di balkon apartemenku yang kecil. Langit malam itu cerah, bulan purnama menggantung di atas sana. Aku bisa melihat wajah Ezra yang diterangi sinar bulan, dan ada keheningan yang begitu nyaman di antara kami. Aku merasa ini adalah momen yang sempurna untuk bertanya sesuatu yang sudah lama mengganggu pikiranku.

“Ezra,” panggilku perlahan. “Kenapa kamu bilang waktu itu, kalau langit di umur 20 tahun sering mendung?”

Dia tersenyum samar, memandang langit yang dipenuhi bintang. “Karena di umur 20 tahun, kita ada di persimpangan jalan, kan? Kadang kita merasa harus dewasa, kadang kita ingin tetap jadi anak-anak. Ada banyak keputusan yang harus kita ambil, dan sering kali rasanya berat.”

Aku mengangguk pelan, memahami maksudnya. Memang benar, usia ini penuh dengan harapan, namun juga ketakutan yang tak terucapkan. Keputusan-keputusan besar menunggu di depan, tapi sering kali kita merasa belum siap untuk menghadapi semuanya.

“Kamu takut?” tanyaku pelan, hampir berbisik.

“Kadang,” jawabnya jujur. “Tapi kalau ada seseorang yang bisa menemani kita melewati hari-hari mendung, rasanya jadi lebih mudah, kan?”

Aku tertegun mendengar jawabannya. Ada ketulusan dalam suaranya, sesuatu yang membuatku merasa aman. Tiba-tiba, aku sadar bahwa selama ini aku memang menunggu momen seperti ini—momen di mana aku bisa merasa tenang hanya dengan kehadiran seseorang di sisiku.

Hari berikutnya, Ezra mengajakku bertemu di kafe biasa kami. Tapi kali ini, wajahnya terlihat berbeda, seolah ada sesuatu yang ingin dia katakan namun tak bisa diucapkan. Aku melihatnya menatap jendela, jarinya mengetuk-ngetuk meja dengan gelisah.

“Ada apa?” tanyaku, tak tahan dengan suasana aneh yang tiba-tiba muncul.

Dia menghela napas panjang, lalu berbalik menatapku dengan mata yang dalam dan serius. “Alma… aku dapat tawaran magang di luar kota.”

Kata-katanya seperti petir yang menyambar di siang bolong. Jantungku berdegup kencang, dan untuk sesaat aku merasa dunia di sekitarku berhenti. “Kapan?” tanyaku, berusaha menahan suaraku agar tetap tenang.

“Bulan depan,” jawabnya pelan, seperti takut membuatku terkejut.

Aku menunduk, berusaha menguasai perasaanku yang mulai bercampur aduk. Ini adalah kesempatan besar bagi Ezra, aku tahu itu. Tapi di saat yang sama, ada rasa kehilangan yang tiba-tiba menyeruak di dadaku.

“Kamu harus pergi,” kataku akhirnya, mencoba tersenyum. “Ini kesempatan yang bagus buat kamu, kan?”

Ezra tersenyum lemah, tapi matanya seperti mengisyaratkan sesuatu yang lebih dalam. “Aku nggak tahu, Alma. Aku masih bimbang. Kalau aku pergi, kita…”

Aku memotong kata-katanya, menatapnya dengan tegas meski hatiku terasa hancur. “Aku akan baik-baik saja, Ezra. Aku nggak mau jadi alasan kamu nggak mengejar impianmu.”

Dia terdiam, seolah-olah ada ribuan kata yang ingin dia ucapkan tapi terjebak di tenggorokannya. Lalu, dia menggenggam tanganku perlahan. “Aku belum mengambil keputusan, tapi yang pasti, aku nggak akan pernah lupa dengan apa yang kita punya sekarang.”

Kata-katanya terasa seperti janji yang menggantung di udara. Aku tahu, apapun yang terjadi, hubungan ini akan berubah. Tapi untuk saat ini, aku hanya ingin menikmati momen yang tersisa—momen di mana kami bisa bersama, di bawah langit yang mendung dan penuh ketidakpastian.

Dan itulah yang membuat malam itu terasa begitu indah sekaligus menyakitkan.

 

Jeda yang Tak Tertahan

Ezra memutuskan untuk menerima tawaran magang itu. Keputusannya jatuh satu minggu setelah pertemuan di kafe. Aku ingat bagaimana dia datang ke apartemenku malam itu, membawa dua cangkir kopi panas dari kedai favorit kami. Dia mengetuk pintu perlahan, dan aku tahu, keputusan itu sudah bulat. Kami duduk di balkon kecil apartemenku, seperti biasa. Tapi kali ini, keheningan yang menyelimuti kami bukanlah keheningan yang nyaman. Ada kecanggungan, ada ketegangan yang tak bisa diabaikan.

“Aku berangkat hari Minggu,” katanya akhirnya, memecah kesunyian yang menggantung.

Aku mengangguk, mencoba menelan fakta bahwa waktu kami semakin menipis. “Kamu harus pergi dengan hati yang tenang,” jawabku sambil tersenyum, meski hatiku terasa berat.

“Aku janji, aku bakal sering balik ke sini,” katanya dengan suara yang penuh keyakinan. Tapi aku tahu, janji semacam itu sering kali tak mudah ditepati.

Hari Minggu tiba lebih cepat dari yang kubayangkan. Ezra dan aku bertemu di stasiun, di peron tempat kereta yang akan membawanya pergi. Di tangannya, ada ransel besar, dan di wajahnya, ada campuran antusiasme dan keraguan. Kami hanya berbicara singkat—sapaan-sapaan biasa, sedikit tawa yang terdengar canggung. Lalu, kereta datang dengan suara yang berderak, dan aku tahu, ini adalah momen yang tak terhindarkan.

Ezra memelukku erat. Lebih erat dari biasanya, seakan-akan takut momen ini akan benar-benar menghilang. “Jaga dirimu, Alma,” bisiknya di telingaku, suaranya hampir pecah. Aku mengangguk sambil menahan air mata yang hampir jatuh.

Saat kereta mulai bergerak, aku hanya bisa melihatnya dari balik jendela. Ezra melambaikan tangan, dan aku membalasnya dengan senyuman yang kupaksakan. Tapi di balik senyuman itu, ada ketakutan yang begitu besar—ketakutan bahwa hubungan ini akan perlahan memudar seiring berjalannya waktu.

Dua bulan berlalu tanpa Ezra. Hari-hari terasa panjang, dan aku merasa kehilangan ritme yang sudah terbentuk di antara kami. Kami masih sering bertukar pesan, tapi intensitasnya semakin menurun. Kadang aku merasa Ezra semakin jauh, meskipun ia berusaha keras menunjukkan bahwa ia masih peduli. Mungkin bukan hanya jarak yang menjadi masalah, tapi kenyataan bahwa kami mulai hidup di dunia yang berbeda. Dia sibuk dengan magangnya, sementara aku berusaha mengisi waktu dengan rutinitas yang sepi.

Malam-malam di balkon yang dulu penuh tawa dan cerita sekarang berubah sunyi. Aku sering duduk di sana sendiri, ditemani secangkir teh hangat, memandang langit malam yang tak lagi terasa sama. Bahkan bintang-bintang yang dulu tampak indah kini terasa hambar. Ada kekosongan yang mengintip dari balik segala hal yang pernah membuatku bahagia.

Suatu malam, saat aku baru saja menyalakan lampu di apartemen, ponselku bergetar. Ezra mengirim pesan. “Aku bakal balik minggu depan. Cuma sebentar, cuma satu hari. Aku ingin ketemu kamu,” tulisnya.

Aku membaca pesan itu berulang kali, tidak yakin apa yang harus kurasakan. Bahagia? Cemas? Atau justru takut bahwa pertemuan ini akan membawa lebih banyak pertanyaan daripada jawaban?

Hari yang dinanti pun tiba. Aku menunggu Ezra di kafe favorit kami. Sepanjang jalan menuju kafe, aku memikirkan banyak hal yang ingin kukatakan—tentang rasa rinduku, tentang kegelisahan yang mengganggu setiap malam, tentang ketakutan bahwa semua ini mungkin akan berakhir. Tapi begitu aku melihatnya memasuki pintu kafe dengan wajah yang sedikit lelah namun masih menawan, kata-kata itu seolah-olah lenyap.

“Hei,” sapanya sambil tersenyum. Senyumnya masih sama, tapi ada sesuatu yang berubah dalam tatapannya. Sesuatu yang sulit kujelaskan.

“Hei,” jawabku, mencoba menjaga keceriaan dalam suaraku.

Kami berbicara selama beberapa jam. Tentang pekerjaannya, tentang rutinitasku di kampus, tentang hal-hal kecil yang dulu membuat kami tertawa. Tapi di sela-sela obrolan itu, ada jeda-jeda yang membuatku tidak nyaman—jeda yang dipenuhi keheningan, seperti ruang kosong yang tak bisa dijangkau.

Ketika waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, kami keluar dari kafe. Ezra mengajakku ke taman dekat kampus, taman yang selalu menjadi tempat favoritnya. Di sana, kami duduk di bangku kayu yang sama, di bawah pohon besar yang mulai menggugurkan daunnya. Musim gugur telah tiba, dan angin malam yang dingin membuatku merapatkan jaket.

“Aku merasa banyak yang berubah sejak aku pergi,” kata Ezra tiba-tiba, memecah keheningan yang menggantung.

“Apa maksudmu?” tanyaku, mencoba mengukur nada bicaranya.

Dia menghela napas panjang, menundukkan kepala sambil menatap kakinya yang bergerak-gerak gelisah. “Aku merasa… ada jarak di antara kita sekarang.”

Aku menelan ludah, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. “Mungkin memang ada,” jawabku pelan, suaraku terdengar gemetar. “Kamu sibuk di sana, dan aku… aku juga berusaha tetap berjalan.”

Ezra mengangguk pelan, seolah-olah sudah mengantisipasi jawaban itu. “Aku juga merasakannya. Aku benci mengakuinya, tapi kita seperti sedang mencoba bertahan dengan sesuatu yang perlahan-lahan mulai pudar.”

Kata-katanya menusuk hatiku. Aku ingin menyangkal, ingin berkata bahwa kami masih bisa memperbaikinya, tapi di sisi lain, aku tahu bahwa kata-kata Ezra adalah kebenaran yang tak bisa dihindari. Mungkin memang ada sesuatu yang hilang—sesuatu yang tak akan kembali, tidak peduli seberapa keras kami berusaha.

Malam itu, kami berbicara hingga larut. Kata-kata yang selama ini tersimpan akhirnya terucap. Kami membahas rasa takut kami, kegelisahan yang mengganggu setiap malam, dan harapan-harapan yang semakin pudar. Ketika matahari mulai muncul di ufuk timur, Ezra meraih tanganku dan menggenggamnya erat.

“Alma, aku sayang sama kamu. Tapi aku juga nggak mau kita saling menyakiti hanya karena kita takut kehilangan,” katanya dengan suara yang pelan dan tegas.

Aku menatap matanya, merasakan air mata yang mulai membasahi pipiku. “Aku juga sayang sama kamu, Ezra. Tapi mungkin… mungkin kita perlu waktu.”

Kami berdua terdiam, membiarkan kata-kata itu menggantung di udara. Ada kesedihan yang tak terelakkan, tapi di saat yang sama, aku merasa ada kelegaan yang perlahan menyelinap. Mungkin memang ini saatnya untuk memberi jarak, untuk mencari jawaban atas semua pertanyaan yang selama ini tertahan.

Pagi itu, kami berpisah dengan pelukan yang panjang. Pelukan yang terasa seperti akhir sekaligus awal dari sesuatu yang baru. Ezra menaiki taksi, dan aku berdiri di pinggir jalan, menatapnya pergi hingga mobil itu menghilang di tikungan. Untuk pertama kalinya dalam dua bulan terakhir, aku merasa bahwa mungkin ini adalah keputusan yang benar—meskipun rasanya begitu menyakitkan.

Langit pagi di atas sana masih dipenuhi awan kelabu. Tapi kali ini, aku tidak lagi takut. Aku tahu bahwa dalam setiap perpisahan, selalu ada kemungkinan untuk menemukan diri sendiri kembali. Dan mungkin, itu adalah hal yang paling berharga dari semua ini.

 

Kembali Bersemi

Hari-hari setelah perpisahan itu mengajarkan banyak hal. Di awalnya, ada rasa kehilangan yang mendalam. Setiap sudut apartemen mengingatkanku pada Ezra—bau kopinya, tawa kita, dan semua momen kecil yang sepertinya sepele namun sangat berarti. Namun seiring waktu, kesedihan itu perlahan memudar, digantikan dengan keinginan untuk menemukan diriku sendiri. Aku mulai lebih fokus pada studi dan aktif di organisasi kampus. Selama berbulan-bulan, aku berjuang untuk merangkai kembali potongan-potongan hidupku yang sempat berantakan.

Kehidupan baru ini memberiku kepercayaan diri. Aku mengejar mimpi yang selama ini terpendam, yaitu menjadi penulis. Aku mulai menulis cerita-cerita pendek yang terinspirasi oleh pengalaman-pengalamanku, termasuk perjalanan cintaku dengan Ezra. Setiap kata yang kutulis menjadi pelipur laraku, mengubah duka menjadi karya. Meski kadang ada rasa rindu yang menyengat, aku belajar untuk merangkulnya sebagai bagian dari pertumbuhan.

Suatu sore di bulan Desember, aku mendapat pesan dari Ezra. Kira-kira enam bulan setelah perpisahan kami. Mula-mula, hatiku berdebar, campuran antara senang dan cemas. “Alma, aku akan  kembali ke kota. Boleh kita ketemu?”

Setelah berpikir panjang, aku menjawabnya. “Tentu, di mana?”

Kami sepakat untuk bertemu di kafe yang sama, tempat di mana semuanya dimulai. Hari itu, aku berdiri di depan cermin, merapikan penampilanku. Rasanya, seperti hari pertama jatuh cinta. Ada rasa gugup yang menggelitik, meski kali ini lebih pada perasaan harap daripada takut.

Saat memasuki kafe, aku melihat Ezra duduk di pojok, dengan ekspresi campuran antara kegugupan dan kebahagiaan. Dia tampak berbeda—lebih matang, lebih percaya diri. Senyumnya tetap sama, tetapi kali ini, ada kehangatan di dalam tatapannya.

“Hai,” sapanya dengan suara yang penuh rasa rindu.

“Hai,” jawabku, berusaha terlihat santai meskipun jantungku berdebar kencang.

Kami memulai pembicaraan dengan cerita tentang kehidupan masing-masing. Ezra berbagi tentang pengalamannya selama magang dan betapa banyak yang ia pelajari. Aku bercerita tentang perubahan yang kudapatkan dalam hidupku, tentang impian-impian yang kini semakin dekat.

“Aku senang kamu menemukan dirimu,” kata Ezra, sambil mengamati wajahku dengan penuh perhatian. “Aku sering berpikir tentang kita. Tentang semua yang terjadi.”

“Begitu juga aku,” jawabku dengan jujur. “Setelah perpisahan itu, aku belajar banyak. Dan aku rasa, aku tidak bisa menyalahkan keadaan. Mungkin kita butuh waktu untuk menemukan diri kita masing-masing.”

Ezra mengangguk, tampak merenung. “Aku ingin tahu, apakah kamu masih mau menjalin hubungan ini?”

Pertanyaan itu menggantung di udara, membuatku merasa tertekan. Apakah aku masih mencintainya? Tentu saja. Tapi apakah aku siap untuk mengulangi masa lalu? Aku mengambil napas dalam-dalam. “Aku ingin kita memulai lagi. Tapi kali ini dengan harapan baru, tanpa beban masa lalu.”

Senyum lebar menghiasi wajah Ezra. “Aku setuju. Kita bisa membangun sesuatu yang lebih baik.”

Setelah beberapa jam berbincang, kami berjalan keluar kafe, menyusuri trotoar yang dipenuhi cahaya lampu jalan. Malam itu, langit tampak lebih cerah dengan bintang-bintang yang bersinar. Rasanya seperti kami sedang memulai lembaran baru, bersama-sama namun dengan lebih banyak kedewasaan.

Sewaktu kami tiba di taman, aku merasa bergetar dalam setiap langkah. Kami berhenti di bawah pohon besar yang pernah menjadi saksi bisu pertemuan kami. Tanpa berpikir panjang, aku meraih tangan Ezra, menggenggamnya erat. Dia membalasnya, jari-jari kami saling melingkar, menciptakan koneksi yang seolah tak terputuskan.

“Aku tahu ini mungkin terasa berbeda,” kataku pelan. “Tapi aku ingin kita melangkah maju, berdua.”

Ezra menatapku dalam-dalam. “Aku pun ingin itu. Dan aku berjanji akan berusaha keras untuk menjagamu. Sekali lagi.”

Saat itu, seakan dunia di sekitar kami berhenti. Ada rasa nyaman yang mengalir di antara kami, seperti waktu tidak pernah memisahkan. Kami tidak hanya mengulangi masa lalu, tetapi juga membangun masa depan yang penuh harapan.

Saat matahari terbenam, cahaya jingga menari-nari di antara ranting-ranting pohon, menciptakan suasana magis yang tidak akan pernah kulupakan. Di momen itu, aku merasa bahwa cinta di usia dua puluh ini adalah tentang menemukan kekuatan dalam diri, memahami arti sebenarnya dari komitmen, dan mengizinkan diri untuk mencintai—tanpa syarat.

Kami beranjak dari taman, berjanji untuk selalu ada satu sama lain, tidak peduli jarak atau waktu yang memisahkan. Momen itu adalah awal dari perjalanan baru yang penuh dengan cerita dan kemungkinan—sebuah cinta yang tumbuh dewasa di usia dua puluh, menyatukan dua jiwa dalam satu harapan.

 

Jadi, setelah semua drama dan baper yang terjadi, ternyata cinta di usia dua puluh itu seru banget, ya! Alma dan Ezra udah nunjukin kalau meskipun kita pernah jatuh, kita bisa bangkit lagi dan mulai dari nol.

Cinta itu nggak selalu mulus, tapi yang penting adalah kita belajar dari setiap pengalaman. Siapa tahu, di luar sana, ada kisah seru lain yang nunggu buat ditulis. Jadi, jangan takut buat jatuh cinta lagi! Yuk, terus hidup dan sampai jumpa di cerita seru berikutnya!

Leave a Reply