Daftar Isi
Eh, pernah nggak sih kamu ngerasain hidup kayak jam dinding yang terus berputar? Rasanya kayak ada yang bikin kita stuck di momen tertentu, padahal dunia di luar terus berjalan.
Nah, cerpen ini bakal ngasih kamu gambaran tentang cinta dan takdir yang saling tarik ulur, dengan nuansa misterius dan sedikit mistis. Siapa tahu, di balik detakan jam itu, ada rahasia yang belum pernah kamu duga. Yuk, kita ikuti perjalanan Keira dan Isolde, di mana setiap detik berarti!
Cinta dan Takdir
Dentang Pertama
Hujan deras mengguyur malam itu, menimbulkan riak-riak kecil di jalanan yang kosong. Petir sesekali menyambar, menerangi langit yang gelap dengan kilatan-kilatan singkat. Udara begitu lembap, seolah-olah berat oleh sesuatu yang lebih dari sekadar hujan. Keira, dengan langkah tergesa-gesa, berjalan menyusuri lorong sempit di pinggir kota yang jarang dilewati orang.
Ia baru saja pulang dari tempat kerjanya, sedikit terlambat dari biasanya. Tangannya merapatkan jaket yang basah oleh air hujan, tapi pikiran Keira sedang melayang, terjebak di antara rasa lelah dan kekosongan yang tak ia pahami. Hujan memang sering membuatnya merenung, tapi malam ini, ada sesuatu yang berbeda.
Langkahnya terhenti tiba-tiba. Di depan, tepat di ujung lorong, sosok seseorang berdiri dengan tubuhnya yang samar terhalang hujan dan kabut yang mengelilinginya. Cahaya dari lampu jalan yang redup membuat bayangan itu tampak semakin kabur, seolah-olah bukan bagian dari dunia nyata. Keira tidak bisa melihat jelas wajahnya, tapi ia tahu seseorang ada di sana, menunggunya.
Seketika, suasana terasa berbeda. Hujan yang tadinya menimbulkan suara bising di telinganya kini terdengar hening. Napas Keira mulai terasa lebih berat. Detik-detik berlalu, namun rasanya seperti waktu melambat. Ia menelan ludah, mencoba mengatasi ketidaknyamanan yang tiba-tiba muncul di dadanya. Apa ini hanya perasaan atau memang ada sesuatu yang ganjil?
Sosok di depannya bergerak, melangkah ke arah Keira perlahan. Saat itu, lampu jalan seolah berkedip sebentar, dan ketika cahaya kembali menyala, sosok wanita itu sudah lebih dekat. Wajahnya mulai terlihat jelas—kulitnya pucat seperti disinari oleh bulan yang tidak ada, rambut panjang hitamnya basah dan jatuh berantakan di bahunya. Matanya gelap, penuh misteri yang tak terucapkan, tapi tatapannya langsung menusuk ke dalam Keira, membuat jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya.
“Kamu… baik-baik saja?” Keira bertanya, sedikit ragu-ragu. Suaranya terasa aneh di telinganya sendiri.
Wanita itu tidak segera menjawab. Ia mendekat, lalu berhenti di beberapa langkah di depan Keira, mengamati pria itu dengan tatapan yang penuh pengertian, namun juga membawa sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Hujan terus membasahi keduanya, namun entah kenapa Keira merasa dinginnya bukan berasal dari cuaca.
“Aku sudah lama menunggu,” jawab wanita itu akhirnya, suaranya hampir seperti bisikan. Lembut tapi ada nada ketegangan di dalamnya. “Tapi kamu tidak akan mengerti sekarang.”
Keira mengerutkan kening, merasa ada yang tidak beres. Wanita itu seolah berbicara padanya, namun kata-katanya terasa terputus dari kenyataan yang ada di depan mereka. Keira membuka mulut, tapi tidak tahu apa yang harus ia katakan. Ia bukan tipe orang yang suka percakapan aneh, apalagi dengan seseorang yang tiba-tiba muncul di tengah hujan deras seperti ini. Namun, ada sesuatu tentang wanita ini yang menahannya di tempat, membuatnya tidak bisa pergi.
“Menunggu? Untuk apa?” tanyanya akhirnya, mencoba mengurai kebingungan yang memenuhi pikirannya.
Wanita itu tersenyum, tapi bukan senyum hangat. Itu senyum yang terasa dingin, penuh rahasia yang tidak bisa dijangkau. “Untuk waktu yang tepat,” jawabnya. “Kita semua punya waktu, Keira. Dan waktumu… sudah mulai berdetak.”
Keira tersentak mendengar namanya disebut. Ia yakin belum pernah bertemu wanita ini sebelumnya, apalagi memberitahu namanya. “Tunggu… dari mana kamu tahu namaku?” tanyanya dengan nada lebih serius. Ada kecemasan yang mulai tumbuh di hatinya, seperti peringatan yang berbisik bahwa ini bukan pertemuan biasa.
Wanita itu tidak menjawab. Sebaliknya, ia menundukkan kepala sedikit, seolah mendengarkan sesuatu yang tidak terdengar oleh Keira. Suara hujan kembali terdengar, namun kali ini, ada yang berbeda. Di sela-sela tetesan air yang jatuh ke tanah, Keira bisa mendengar suara yang lain. Suara detakan.
Jam.
Perlahan, Keira melihat sekeliling. Lorong itu kosong, tidak ada satu pun tanda jam dinding, atau jam apapun yang bisa menimbulkan suara seperti itu. Tapi detakannya terdengar semakin jelas, semakin keras, berirama dengan setiap hembusan napas yang Keira keluarkan. Detakan yang menegaskan bahwa sesuatu sedang menghitung mundur, menuju titik tertentu.
“Kamu dengar, kan?” tanya wanita itu tiba-tiba, matanya menatap lurus ke arah Keira. “Jam itu… sudah lama menunggumu.”
Keira menelan ludah, dadanya terasa sesak. Detak jam itu semakin keras di telinganya, seolah-olah menggema dalam kepalanya sendiri. Tangannya gemetar sedikit, tapi ia berusaha untuk tetap tenang. Ada sesuatu yang ingin wanita ini sampaikan, sesuatu yang penting—tapi apa?
“Apa maksudmu? Jam apa?” Keira mencoba mendesak, tapi suaranya terdengar lemah.
Wanita itu menatapnya lagi, kali ini tatapannya lebih dalam, seolah-olah ingin menunjukkan sesuatu yang tersembunyi jauh di balik kata-kata yang diucapkannya. “Jam dinding… jam takdir,” katanya pelan, tapi jelas. “Setiap detaknya membawa kita semakin dekat pada akhir yang sudah ditentukan.”
Keira memijit pelipisnya. Kepalanya mulai terasa berat, seolah-olah tekanan dari detak jam itu menyerang pikirannya. Ia mencoba mengatur napasnya, tapi sulit. “Ini semua… tidak masuk akal,” gumamnya, setengah bicara pada dirinya sendiri.
“Tidak semua hal perlu masuk akal, Keira,” jawab wanita itu dengan tenang. “Kadang, kita hanya harus mengikuti aliran waktu, meskipun itu membawa kita pada hal-hal yang tidak kita pahami.”
Keira mendongak, menatapnya tajam. “Siapa kamu sebenarnya?” tanyanya, kali ini suaranya penuh desakan.
Wanita itu tersenyum lagi, lalu melangkah mundur perlahan, bayangannya mulai mengabur oleh hujan. “Aku… hanyalah penunggu waktu. Kita akan bertemu lagi. Dan saat itu, kamu akan mengerti.”
Keira ingin mendekat, menahan wanita itu, meminta penjelasan lebih lanjut. Tapi tubuhnya terasa berat, seolah ditahan oleh sesuatu yang tidak terlihat. Saat ia mencoba bergerak, wanita itu sudah menghilang, meninggalkan Keira sendirian di tengah lorong yang kini kembali sunyi, kecuali suara hujan yang deras.
Namun satu hal tidak berubah—suara detak jam dinding itu. Terus berdetak di telinganya, tanpa henti.
Waktu yang Hilang
Keira terjaga dengan napas tersengal, tubuhnya terbaring di tempat tidur yang terasa asing meskipun itu kamarnya sendiri. Keringat dingin membasahi pelipisnya, dan detak jantungnya terasa kacau. Hujan sudah berhenti sejak entah kapan, tapi suara itu—detakan jam—masih terngiang di telinganya. Ia menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong, berusaha mengingat apa yang sebenarnya terjadi semalam. Sosok wanita itu… Isolde.
Nama itu baru terlintas di benaknya seakan ia telah mengenalnya seumur hidup, meskipun Keira yakin tak pernah mendengar atau mengucapkannya sebelumnya. Isolde, wanita misterius yang muncul di lorong. Sosok yang tak mungkin ada tapi nyata. Seolah-olah dia adalah bagian dari mimpi buruk yang membekas dalam, mengabur di antara batas realitas dan imajinasi. Tapi ini bukan sekadar mimpi.
Keira melirik jam dinding di kamarnya. Pukul lima pagi. Detak jam itu terasa lebih lambat dari biasanya, hampir seirama dengan suara yang masih menggema di kepalanya. Ia meraih ponsel di meja samping tempat tidur dan melihat deretan pesan yang belum terbaca. Beberapa dari teman kantornya, tapi yang membuatnya tertegun adalah pesan dari nomor tak dikenal.
“Waktu kita tak banyak. Aku menunggumu. – I”
Tangannya gemetar. “I”? Isolde? Apakah wanita itu benar-benar mengirim pesan ini? Tapi bagaimana mungkin? Semakin ia memikirkan pertemuan mereka, semakin ia merasa tersedot ke dalam pusaran misteri yang tak terpecahkan. Keira berdiri, merasa tak nyaman berada di tempat tidur. Ia berjalan menuju jendela, menarik gorden dan melihat keluar. Kota masih diselimuti kabut tipis, udara pagi yang dingin menusuk kulitnya.
Kakinya terasa berat, tapi ada dorongan kuat untuk keluar dari apartemen. Seolah-olah ada sesuatu di luar sana yang memanggilnya, menunggu untuk diungkap. Tanpa berpikir panjang, Keira mengenakan jaket dan sepatu botnya. Meskipun tubuhnya masih lelah, pikirannya terus berputar, tak memberinya ruang untuk beristirahat.
Lorong itu. Ia harus kembali ke sana.
Dengan langkah cepat, Keira meninggalkan apartemennya. Jalanan masih sepi, hanya beberapa mobil yang lewat dan orang-orang yang tergesa-gesa menuju pekerjaan mereka. Namun, bagi Keira, dunia seolah berhenti berputar. Semua yang terjadi di luar hanya sekadar latar belakang bagi misteri yang memenuhi pikirannya.
Sesampainya di lorong tempat ia bertemu Isolde, Keira berhenti. Ada ketegangan aneh di udara, seakan tempat itu menyimpan rahasia yang siap terbuka kapan saja. Matanya mencari sosok wanita itu di setiap sudut, berharap tapi juga takut jika benar-benar menemukannya. Tidak ada siapapun di sana, hanya genangan air hujan semalam yang memantulkan bayangan langit mendung.
Keira berjalan pelan menyusuri lorong, mendengarkan suara langkah kakinya yang bergema di dinding batu bata yang lembap. Semuanya tampak sama seperti malam sebelumnya, tapi ada yang terasa berbeda—seperti sesuatu sedang memperhatikannya dari balik bayangan.
Dan tiba-tiba, detakan jam itu kembali. Tidak sekeras sebelumnya, tapi cukup untuk membuat Keira berhenti di tengah langkahnya. Ia menoleh ke kanan, matanya tertuju pada sebuah pintu kayu tua yang terletak di ujung lorong. Pintu yang kemarin tak pernah ia perhatikan. Di atasnya tergantung sebuah jam dinding kuno, jarum-jarumnya bergerak perlahan, tapi pasti. Detaknya semakin keras seiring Keira mendekat.
Apa ini? Apakah ini… waktu yang dimaksud Isolde?
Keira berdiri di depan pintu itu, menatap jam yang menggantung di atasnya dengan rasa bingung dan takut. Setiap detaknya seperti panggilan, mengundangnya untuk masuk. Ia tahu bahwa tidak masuk akal untuk memaksakan diri mencari jawaban di tempat seperti ini, tapi nalurinya menjerit. Sesuatu menuntunnya. Perlahan, ia meraih gagang pintu, mencoba membuka. Berderit, pintu itu terbuka sedikit, memperlihatkan sebuah ruangan gelap di baliknya.
Ruangan itu tampak kecil dan hampir kosong, hanya diterangi oleh cahaya redup dari jendela kecil di sudut ruangan. Tapi yang menarik perhatian Keira adalah jam dinding besar yang tergantung di tengah dinding utama. Jam itu jauh lebih tua dari jam yang tergantung di luar—terlihat dari kerangka kayu yang sudah lapuk dan kaca yang retak. Namun, jarum-jarumnya masih bergerak, perlahan tapi konstan, seolah-olah waktu di dalam ruangan itu berjalan dengan cara yang berbeda.
“Keira.”
Suara itu membuatnya hampir terjatuh ke belakang. Ia segera menoleh, dan di sana, berdiri di sudut ruangan dengan sosok yang tak kalah samar dari bayangan, adalah Isolde. Wanita itu tampak seperti bagian dari kegelapan itu sendiri, seakan-akan ruangan ini diciptakan hanya untuknya. Bibirnya tersenyum tipis, tapi tatapannya tetap sama—dingin dan penuh rahasia.
“Kenapa kamu di sini?” tanya Keira, suaranya bergetar meski ia mencoba terdengar tenang. “Apa yang sebenarnya kamu inginkan dariku?”
Isolde berjalan mendekat, langkahnya nyaris tanpa suara. “Ini bukan tentang apa yang aku inginkan, Keira. Ini tentang apa yang harus terjadi.”
Keira merasa ada sesuatu yang menekan di dadanya. “Aku tidak mengerti. Semua ini… jam, waktu, apa maksudnya? Apa kamu ini?” Pertanyaan itu keluar begitu saja, seperti ledakan dari semua kebingungan yang memenuhi pikirannya.
Isolde berhenti beberapa langkah darinya, menatap Keira dengan tatapan yang hampir kasihan. “Aku adalah penjaga waktu. Waktumu, waktu kita. Jam ini,” ia menunjuk ke arah jam besar di dinding, “adalah pengingat akan takdir yang tak bisa diubah. Setiap detaknya membawa kita lebih dekat pada akhir yang sudah ditetapkan. Dan kamu, Keira… kamu terjebak di dalamnya.”
Keira menggeleng, melangkah mundur sedikit. “Terjebak? Maksudmu apa? Aku hanya orang biasa, aku tidak tahu apa-apa tentang waktu atau takdir. Kamu bicara soal apa?”
Isolde mendekat lagi, kali ini lebih perlahan, seolah-olah memberi Keira ruang untuk mencerna kata-katanya. “Kamu tidak pernah merasa aneh? Tidak pernah merasakan waktu yang hilang? Detik-detik yang terlewat begitu saja tanpa bisa dijelaskan? Itulah tanda-tanda. Kamu telah terhubung dengan jam ini sejak lama, Keira, tapi baru sekarang kamu menyadarinya.”
Keira terdiam, merenungkan kata-kata itu. Ia memikirkan kembali malam-malam saat ia merasa kehilangan sesuatu, saat ia merasa waktu berjalan terlalu cepat atau terlalu lambat. Dan selama ini, ia selalu mengabaikan perasaan itu, menganggapnya hanya lelah atau stres. Tapi sekarang, semuanya terasa berbeda—seperti puzzle yang mulai terbentuk meskipun potongannya belum sepenuhnya jelas.
“Kenapa aku?” bisik Keira, matanya masih menatap jam besar di dinding yang terus berdetak. “Kenapa aku yang terjebak di dalam ini?”
Isolde menatapnya dengan ekspresi yang tak bisa dijelaskan. “Karena takdirmu terhubung dengan waktu, Keira. Dan jam ini, detik-detik ini, adalah pengingat bahwa waktu kita… tidak akan pernah kembali.”
Keira terdiam, detakan jam di sekelilingnya semakin keras, menghantam pikirannya seperti gelombang yang tak berujung. Apa yang terjadi padanya? Dan apa yang akan terjadi selanjutnya?
Di Ujung Detik
Keira berdiri membeku di tempatnya, matanya terpaku pada jarum-jarum jam besar yang berputar di dinding. Detakan itu terasa semakin dekat, seolah-olah menghentikan dunia di sekelilingnya. Setiap suara seakan lenyap, hanya menyisakan detik demi detik yang berdentang, menghantam pikirannya seperti palu.
Isolde masih berdiri di hadapannya, wajahnya tenang tapi tatapan matanya seolah menembus jauh ke dalam diri Keira, mencari sesuatu yang bahkan Keira sendiri tak mampu pahami. Wanita itu melangkah lebih dekat, hingga jarak mereka hanya beberapa inci.
“Takdir ini bukan hal yang bisa kamu hindari, Keira,” kata Isolde dengan suara rendah, hampir seperti bisikan yang menyatu dengan dentingan jam. “Kamu sudah memilih jalan ini, dan sekarang waktumu akan segera tiba. Tapi ada pilihan yang harus kamu buat, dan itu akan menentukan segalanya.”
Keira mengerutkan kening, rasa takut dan penasaran berkelindan di dalam dadanya. “Pilihan apa? Aku bahkan tidak mengerti apa yang terjadi di sini. Kenapa kamu terus bicara tentang waktu dan takdir? Aku tidak memilih ini!”
Isolde tersenyum tipis, matanya berkilat aneh. “Kamu mungkin tak menyadarinya, tapi setiap langkah yang kamu ambil sejak awal membawa kamu ke sini. Ke setiap detik yang hilang, ke setiap malam tanpa tidur, semuanya adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar. Ini bukan soal memilih dengan sadar, Keira. Ini soal takdir yang sudah dituliskan sejak dulu.”
Kata-kata Isolde semakin membingungkan, tapi di dalam hati Keira ada sesuatu yang bergetar. Sebuah firasat samar bahwa apa yang dikatakan Isolde mungkin benar. Ada terlalu banyak malam yang terasa hilang, terlalu banyak saat ketika waktu berjalan aneh di sekitarnya—terlalu cepat, terlalu lambat. Dan sekarang, semuanya terasa seperti bagian dari teka-teki besar yang tak pernah ia pahami.
Keira melangkah mundur sedikit, menatap ke arah pintu yang masih terbuka di belakangnya. Detakan jam di lorong itu—jam yang membawanya ke sini—masih menggema samar di telinganya. Ia bisa merasakan sesuatu yang lebih besar daripada dirinya sendiri sedang bermain di balik bayang-bayang. Sesuatu yang lebih dari sekadar pertemuan aneh di lorong basah atau pesan misterius dari wanita ini.
“Apa sebenarnya yang kamu inginkan dariku?” tanya Keira, suaranya nyaris tak terdengar. “Kenapa semua ini terjadi padaku?”
Isolde menatapnya dalam-dalam sebelum menjawab, “Yang aku inginkan darimu bukanlah sesuatu yang bisa kamu serahkan dengan mudah. Kamu adalah bagian dari waktu itu sendiri, Keira. Jam ini,” Isolde melambai ke arah jam besar di dinding, “adalah refleksi dari kehidupanmu. Setiap detik yang berlalu, setiap putaran jarum itu, semuanya terhubung denganmu.”
Keira merasakan bulu kuduknya meremang. “Terhubung? Maksudmu… bagaimana caranya?”
Isolde mendekat lagi, hingga Keira bisa merasakan hawa dingin dari tubuhnya yang terasa asing. “Waktu adalah makhluk yang hidup, Keira. Ia bergerak, berputar, dan bernafas bersamamu. Kamu tidak hanya hidup di dalam waktu, tapi kamu adalah bagiannya. Setiap keputusan yang kamu buat, setiap momen yang kamu jalani, semua itu membentuk aliran waktu di sekitarmu. Tapi ada satu hal yang perlu kamu ketahui—waktumu tidak selamanya.”
“Waktuku?” Keira terperangah, matanya membulat. “Apa maksudmu? Aku punya waktu yang sama seperti orang lain, bukan?”
Isolde tertawa pelan, tapi tak ada kebahagiaan di dalamnya, hanya kepahitan. “Tidak, Keira. Kamu berbeda. Kamu telah hidup dengan waktu yang terputus-putus. Ada bagian dari hidupmu yang telah hilang tanpa kamu sadari, saat-saat yang tidak pernah kamu alami, tapi tetap berlalu. Dan sekarang, kamu dihadapkan pada sebuah pilihan.”
Keira merasa dadanya menegang. “Pilihan apa?” Ia tak bisa menahan pertanyaan itu lagi, meskipun bagian dari dirinya takut mendengar jawabannya.
Isolde menatap jam besar di dinding dengan tatapan yang dalam, seolah ia juga sedang berbicara dengan waktu itu sendiri. “Kamu bisa terus hidup seperti ini, di antara detik-detik yang hilang, selalu bertanya-tanya kenapa waktumu tidak pernah cukup, kenapa selalu ada sesuatu yang hilang. Atau… kamu bisa menghadapi kenyataan bahwa ada bagian dari dirimu yang tidak pernah benar-benar hidup.”
Keira tidak bisa menahan keterkejutannya. “Bagian dari diriku yang tidak hidup? Apa maksudmu?”
Isolde perlahan mengangkat tangannya, menunjuk ke arah jam. “Waktu itu adalah cerminan dari kehidupanmu. Ada momen-momen dalam hidupmu yang hilang, terlupakan, terhapus dari aliran waktu. Kamu pernah melihatnya, merasakannya. Dan sekarang, kamu harus memutuskan apakah kamu ingin mendapatkan kembali waktu yang hilang itu—dengan segala konsekuensinya.”
Keira menelan ludah, merasakan tubuhnya gemetar. “Apa yang terjadi kalau aku memilih untuk mendapatkan waktu itu kembali?”
Isolde mendekat, wajahnya kini hanya beberapa sentimeter dari wajah Keira. “Kamu akan memasuki dunia di mana waktu dan realitas bukanlah dua hal yang terpisah. Dunia di mana takdirmu akan berubah secara permanen, dan hidupmu tidak akan pernah sama lagi. Kamu akan menemukan siapa dirimu yang sebenarnya, tapi kamu juga akan kehilangan sesuatu yang berharga.”
Keira menggigit bibirnya, otaknya berputar liar. Bagaimana bisa semua ini terjadi padanya? Mengapa ia, dari semua orang, yang harus berhadapan dengan pilihan seperti ini? Ia ingin lari, ingin mengabaikan semuanya, tapi pada saat yang sama ia tahu bahwa jawabannya ada di sini. Di balik semua misteri ini, ada sesuatu yang menunggu untuk diungkap.
“Kalau aku tidak memilih?” Keira bertanya, suaranya bergetar.
Isolde menarik napas dalam, seolah pertanyaan itu sudah diperkirakan. “Jika kamu tidak memilih, waktu akan tetap berjalan, tapi kamu akan terus kehilangan potongan-potongan hidupmu. Setiap momen akan terasa lebih singkat, lebih cepat berlalu, dan kamu akan hidup di antara detik-detik yang hilang. Pada akhirnya, kamu tidak akan pernah benar-benar ada.”
Keira merasa kepalanya berputar, pikirannya berkecamuk dalam kebingungan dan ketakutan. Pilihan ini bukan tentang kehidupan biasa. Ini tentang sesuatu yang lebih mendalam, sesuatu yang melibatkan esensi dirinya. Detik-detik jam itu terus berdentang, semakin keras dan semakin cepat, seolah memaksa Keira untuk segera membuat keputusan.
Isolde menatapnya dengan tatapan penuh rahasia. “Keputusan ada di tanganmu, Keira. Apakah kamu akan hidup di antara detik-detik yang hilang, atau mengambil kendali penuh atas waktumu?”
Keira memejamkan matanya, merasakan tekanan berat di dalam dadanya. Ia tahu bahwa pilihannya akan mengubah segalanya. Tapi apa yang harus ia pilih? Dan apakah ia siap menghadapi konsekuensi dari keputusan itu?
Sementara waktu terus berdetak, Keira berdiri di ambang pilihan yang akan menentukan takdirnya. Bab ini belum selesai, dan begitu juga perjalanannya.
Putaran Terakhir
Keira berdiri di tengah detakan waktu, tubuhnya bergetar oleh keputusan yang harus diambil. Dengan satu pandangan ke arah Isolde, ia merasakan ketegangan dalam diri yang menciptakan gelombang di dalam hatinya. Seakan-akan seluruh alam semesta menunggu keputusannya, waktu menggantung di udara—berat, pekat, penuh harapan dan ketakutan.
“Aku… aku ingin mendapatkan kembali waktu yang hilang,” katanya akhirnya, suaranya bergetar namun penuh tekad. Saat kalimat itu keluar, seolah ada angin segar yang berhembus melalui jiwanya. “Aku tidak bisa terus hidup di antara detik-detik yang hilang. Aku ingin mengubah takdirku.”
Isolde tersenyum, namun senyumnya mengandung makna yang lebih dalam—sesuatu antara kebanggaan dan kesedihan. “Keputusanmu sudah diambil. Sekarang, bersiaplah untuk perjalanan yang tidak akan pernah kamu lupakan.”
Sebelum Keira bisa bertanya lebih lanjut, Isolde melangkah mundur, membuka sebuah pintu di dinding yang sebelumnya tak terlihat. Cahaya putih bersinar terang dari balik pintu, menerangi ruangan gelap yang penuh rahasia. Keira merasakan dorongan yang kuat untuk melangkah ke arah cahaya itu, meskipun hati kecilnya berbisik tentang semua yang bisa terjadi.
“Di sinilah segalanya akan dimulai,” kata Isolde, mengulurkan tangannya. “Masuklah, dan biarkan dirimu merasakan perjalanan ini.”
Dengan napas yang dalam, Keira melangkah maju, memasuki cahaya yang hangat dan memeluknya. Begitu memasuki cahaya, seluruh dunia seolah berputar, dan ia merasakan tubuhnya terangkat. Detakan jam yang semula terdengar kencang, kini berubah menjadi melodi lembut, seakan menuntunnya ke tempat yang tak terbayangkan sebelumnya.
Ketika cahaya itu surut, Keira mendapati dirinya berada di tempat yang akrab—di taman tempat ia sering bermain sebagai anak-anak. Namun, semuanya terasa lebih hidup, lebih berwarna, dan lebih indah dari yang pernah ia ingat. Kembang bermekaran di sekelilingnya, burung-burung bernyanyi, dan suara tawa anak-anak mengalun lembut di udara.
“Halo, Keira!” seru seorang anak kecil, melambai padanya dengan penuh semangat. Keira mengenali wajahnya—dirinya sendiri saat masih kecil, penuh keceriaan dan tanpa beban. Melihatnya, Keira merasakan gelombang nostalgia dan keinginan untuk melindungi masa kecilnya itu.
“Kamu di sini!” Keira berteriak, hatinya berdebar melihat betapa bahagianya anak kecil itu. “Apa yang terjadi?”
Anak kecil itu berlari ke arahnya dan memeluknya. “Aku sudah menunggu kamu! Kita bisa bermain lagi seperti dulu!”
Keira merasakan air mata menggenang di pelupuk matanya. Dalam sekejap, semua kenangan masa kecilnya yang hilang kembali mengalir deras. Ia merindukan masa-masa itu—masa di mana tidak ada beban, tidak ada waktu yang hilang. Dan kini, ia berdiri di hadapan dirinya yang paling murni.
“Ini adalah bagian dari waktu yang hilang, Keira,” suara Isolde terdengar dari belakang. “Di sinilah kamu bisa menemukan dirimu yang sebenarnya. Setiap momen yang berharga, setiap tawa, setiap detik yang kau lewatkan, semua ada di sini, menunggu untuk diingat.”
Keira berbalik, menatap Isolde dengan rasa syukur dan pengertian. “Jadi ini yang terjadi ketika aku memilih? Aku bisa mendapatkan kembali waktu yang hilang?”
“Tidak hanya waktu yang hilang,” Isolde menjelaskan, “tapi juga kesempatan untuk belajar dari masa lalu. Kamu tidak akan mengubah apa yang sudah terjadi, tapi kamu bisa membawanya bersamamu dalam bentuk kenangan.”
Di hadapan anak kecilnya, Keira merasa tergerak. “Ayo kita bermain!” teriaknya, dan tanpa ragu, ia bergabung dalam permainan. Tawa dan canda menyelimuti mereka, menembus batasan waktu. Dalam keasyikan bermain, Keira merasakan kebahagiaan yang selama ini terpendam.
Namun, saat senja mulai menampakkan warna jingga, Keira merasakan detak jantungnya berdenyut lebih cepat. “Tapi, apakah ini akan berakhir?” tanyanya, mendekati Isolde yang berdiri di sampingnya. “Apakah aku harus kembali ke dunia yang lain?”
Isolde mengangguk perlahan. “Setiap perjalanan memiliki akhir. Tapi ingatlah, Keira, kenangan ini akan selalu bersamamu. Apa yang kau alami di sini tidak akan pernah hilang. Kamu kini memiliki kekuatan untuk menjalani hidupmu dengan penuh kesadaran, menghargai setiap detik yang ada.”
Saat matahari terbenam, Keira merasakan getaran di dalam tubuhnya. Ia tahu saatnya untuk pergi. Dengan segenap hati, ia mengingat setiap momen—setiap tawa, setiap senyum, dan setiap rasa yang pernah ada. Ia menatap anak kecilnya satu terakhir kali dan mengangguk. “Terima kasih sudah mengingatkan aku tentang kebahagiaan.”
Anak kecil itu tersenyum, wajahnya bersinar dengan ceria. “Jangan lupakan aku, ya?”
“Tidak mungkin,” jawab Keira sambil menahan air mata. “Aku akan selalu mengingatmu.”
Dengan itu, Keira merasakan sentuhan hangat dari Isolde. Dalam sekejap, dunia di sekelilingnya mulai berputar kembali. Semua warna menyatu dalam cahaya yang menyilaukan, dan ia merasakan tubuhnya melayang.
Ketika cahaya itu memudar, Keira menemukan dirinya kembali di ruangan gelap yang sama, di hadapan jam dinding yang terus berdetak. Namun, kali ini, suara detakannya terasa berbeda—lebih tenang, lebih harmonis.
Keira tahu bahwa ia telah mengubah sesuatu di dalam dirinya. Ia bukan hanya seorang wanita yang berlarian dari waktu dan takdir; ia adalah seseorang yang kini memahami arti setiap detik yang berlalu. Takdirnya tidak lagi terjebak dalam waktu yang hilang, tetapi bersinar dengan harapan dan kebangkitan.
Ia menatap jam dinding itu, dan untuk pertama kalinya, ia tersenyum. “Aku siap,” katanya pada diri sendiri, mengangguk.
Sebuah perjalanan baru menanti, dan kali ini, ia akan menjalani setiap detik dengan penuh kesadaran—menyongsong setiap momen yang datang dengan sepenuh hati. Dalam siklus waktu yang terus berputar, Keira menemukan dirinya. Waktunya untuk melangkah maju, tanpa rasa takut, dan tanpa penyesalan.
Jadi, itu dia cerita Keira dan Isolde—sebuah perjalanan di antara cinta, takdir, dan rahasia waktu yang tak terduga. Saat detik demi detik berlalu, kita belajar untuk menghargai setiap momen yang kita miliki. Ingat, hidup itu seperti jam dinding!
Meskipun terkadang terasa monoton, di dalamnya ada keajaiban dan pelajaran berharga yang menunggu untuk ditemukan. Siapa tahu, mungkin saat kita berhenti sejenak untuk merenung, kita akan menemukan makna yang lebih dalam di balik setiap tick dan tock yang kita lewati. Sampai jumpa di kisah berikutnya!