Cinta dalam Diam: Kisah Sedih Raka dan Aluna

Posted on

Hai guys! Siap-siap baper, ya! Ini dia cerita tentang Raka dan Aluna, dua orang yang terjebak dalam labirin perasaan dan cinta yang terpendam. Siapa bilang cinta itu selalu bahagia? Kadang, rasa yang tak terucapkan bisa lebih menyakitkan dari kata-kata itu sendiri. Yuk, kita intip bagaimana mereka berjuang di antara rasa rindu dan kesedihan yang tak kunjung padam!

 

Cinta dalam Diam

Bayang-Bayang Cinta

Sore itu, cahaya matahari mulai meredup, menciptakan nuansa hangat yang menyelimuti kota. Di sudut kecil studio milik Raka, di mana kanvas dan cat minyak berserakan, sebuah lukisan besar tampak setia menanti perhatian. Lukisan itu, dengan warna-warna cerah yang mencolok, menggambarkan sosok seorang wanita—Aluna. Ia adalah matahari dalam hidup Raka, meski hanya dalam bayangan dan harapan yang tak terucapkan.

Raka mengusap kuasnya dengan lembut, menyentuh permukaan kanvas seolah ingin membangkitkan kembali kenangan indah bersama Aluna. Di balik senyumannya yang ceria, Raka merasakan kerinduan yang semakin mendalam. Setiap detik yang berlalu membuatnya merindukan tawa dan cerita-cerita yang selalu mereka bagi. Tapi ia tahu, semua itu hanya akan tinggal kenangan, terjebak dalam ruang hampa antara harapan dan kenyataan.

Aluna adalah teman masa kecilnya, gadis yang selalu menjadi sahabat terdekat, tetapi Raka selalu merasa ada yang lebih dari sekadar persahabatan. Sejak mereka kecil, ia selalu terpesona oleh keanggunan Aluna, cara dia tertawa yang membuat hatinya bergetar. Namun, Raka memilih untuk diam, menyimpan perasaannya rapat-rapat, seolah mengunci semua perasaan dalam peti yang hanya dia yang tahu.

Hari itu, Raka teringat saat-saat mereka bermain di taman. Aluna berlari-lari, dan Raka hanya bisa memperhatikan dengan tatapan penuh cinta. “Raka! Kenapa kamu diem saja?” serunya saat dia memanjat pohon besar. “Ayo ikut!”

“Enggak, aku lebih suka lihat kamu dari sini,” jawab Raka sambil tersenyum, meski dalam hatinya, ia ingin sekali bergabung dan merasakan kebahagiaan itu. Namun, rasa takut kehilangan persahabatan membuatnya selalu mundur.

Sejak saat itu, Raka mulai melukis setiap kenangan mereka. Dia menempatkan Aluna di setiap karyanya, berharap suatu hari dia bisa mengungkapkan semua yang terpendam. Meskipun tidak pernah ada kata-kata yang terucap, lukisan-lukisan itu menjadi pengganti dari rasa cintanya.

Saat sore menjelang malam, Raka mendengar ketukan lembut di pintu studio. Dia membuka pintu dan menemukan Aluna berdiri di sana, dengan senyum yang membuat jantungnya berdebar. “Raka! Kamu masih sibuk melukis?” tanyanya sambil melangkah masuk, suasana langsung terasa lebih hidup.

“Ya, sedikit. Lagi nyelesaiin lukisan baru,” jawab Raka, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya. “Kamu mau lihat?”

“Pastinya!” Aluna melangkah mendekat, matanya berbinar ketika melihat lukisan yang hampir selesai. “Wow, ini bagus banget! Siapa yang kamu lukis?”

“Ehm… enggak ada siapa-siapa. Cuma imajinasi,” Raka menjawab dengan suara pelan, merasa malu. Dalam hatinya, dia berharap Aluna tidak menyadari bahwa lukisan itu terinspirasi darinya.

Aluna mengerutkan kening, memperhatikan dengan seksama. “Raka, kamu harus berani lebih banyak! Aku yakin kalau kamu jujur sama perasaanmu, kamu bisa melukis yang lebih hebat lagi.”

“Ya, aku tahu,” Raka menjawab sambil tersenyum getir. “Tapi kadang lebih baik diam, kan?”

“Aku enggak setuju. Kamu harus berani!” Aluna bersikeras, menatapnya dengan tatapan serius. “Kita cuma hidup sekali, Raka. Jangan buang waktu dengan ragu-ragu.”

Kata-kata itu seperti sayatan di hati Raka. Betapa dia ingin berani mengungkapkan isi hatinya. Namun, rasa takut kehilangan Aluna membuatnya selalu mundur. “Iya, mungkin kamu benar,” jawabnya, berusaha terdengar optimis.

Aluna menggenggam tangan Raka, membuatnya terkejut. “Aku akan selalu mendukung kamu, Raka. Ingat itu, ya?”

Raka hanya mengangguk, hatinya bergetar saat merasakan sentuhan lembut itu. Dia ingin mengungkapkan betapa berartinya Aluna baginya, tetapi semua kata-kata itu terjebak di tenggorokannya. Dengan berat hati, dia hanya bisa mengingat bahwa setiap detik bersamanya adalah harta yang tak ternilai.

Ketika malam tiba, Aluna pamit untuk pulang. Sebelum pergi, dia berbalik dan tersenyum. “Aku akan datang lagi besok. Jangan lupa, berani, ya?”

Raka hanya bisa tersenyum sambil mengangguk. Ketika pintu ditutup, suasana seketika menjadi sepi. Di dalam hati Raka, ada kerinduan dan harapan bercampur menjadi satu. Dia kembali duduk di depan kanvas, menciptakan goresan demi goresan, mencoba menangkap setiap emosi yang membanjir di dalam dirinya.

Saat ia mengamati lukisan itu, rasa sakit dan kerinduan semakin membara. Raka menghela napas dalam-dalam, berharap suatu hari dia bisa mengungkapkan semua yang terpendam. Dia tahu, di balik bayang-bayang cintanya, ada harapan untuk bisa bersuara. Namun untuk saat ini, dia memilih untuk tetap diam, melukis perasaannya dalam setiap warna.

 

Patah Hati di Ujung Rel

Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Raka menemukan dirinya kembali tenggelam dalam rutinitas melukis. Namun, ada satu bayangan yang tak pernah bisa dia lupakan: Aluna. Dengan setiap goresan kuasnya, wajahnya selalu menghantui. Raka merasa seolah lukisan-lukisannya tidak lengkap tanpa kehadiran Aluna di sampingnya. Ketika senja menyelimuti kota, harapan akan kehadiran Aluna mulai memudar.

Suatu sore, saat Raka sedang asyik mengeksplorasi warna di kanvas, ia menerima pesan singkat dari Aluna. “Raka, aku harus pergi ke kota lain besok untuk beberapa waktu. Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja!” Pesan itu membuat jantung Raka bergetar. Ia menghela napas, merasa ada sesuatu yang hancur di dalam dirinya.

Pagi berikutnya, Raka berdiri di stasiun kereta api, dengan wajahnya tertutup oleh rasa khawatir dan kesedihan. Dia melihat kereta mendekat, menelan banyak harapan dan impian yang seolah terpaksa pergi. Aluna muncul dari kerumunan, senyumnya yang cerah mengingatkan Raka pada hari-hari penuh tawa mereka. Namun, senyum itu juga menyakitkan, seperti jarum yang menusuk ke dalam hatinya.

“Raka!” Aluna melambai sambil berlari menghampiri. “Kamu datang!”

“Ya, aku… ingin mengantarkanmu,” jawab Raka, berusaha terdengar tenang meski hatinya bergetar.

“Terima kasih, itu sangat berarti,” kata Aluna sambil menyentuh lengan Raka. “Aku akan merindukanmu.”

Raka merasa seluruh dunia seolah berhenti berputar. “Aku… juga akan merindukanmu. Jangan lupa kabari aku, ya?”

“Pasti! Jangan khawatir!” Aluna tersenyum, tetapi ada sesuatu dalam matanya yang membuat Raka merasa bahwa ini adalah perpisahan yang berbeda.

Saat kereta mulai berhenti, Raka menahan napas. Dia ingin mengungkapkan semua perasaannya, tetapi kata-kata itu terjebak di tenggorokannya. Ketika Aluna melangkah mendekat ke pintu kereta, Raka merasakan kesedihan yang sangat dalam.

“Raka, aku—” Aluna mulai berbicara, tetapi suara kereta yang menggelegar membuat kata-katanya terputus.

“Aluna!” Raka berteriak, berusaha melawan kebisingan. Dia ingin berlari dan menarik Aluna kembali, tetapi kakinya seolah terpaku. Semua kata yang ingin ia sampaikan hilang dalam keheningan yang penuh sesak.

Sebelum pintu kereta menutup, Aluna menatapnya dengan tatapan penuh harapan. “Ingat, berani! Kita akan bertemu lagi!” Dan kereta itu melaju, meninggalkan Raka dengan perasaan hampa yang tak terlukiskan.

Raka berdiri di tempatnya, menatap kereta yang semakin menjauh. Ia merasa seolah kehilangan bagian dari dirinya. Mungkin ini saatnya untuk berani, tapi tidak ada lagi waktu yang tersisa. Dia mengingat semua kenangan manis yang mereka bagi, setiap tawa, setiap rahasia, dan rasa cinta yang terpendam.

Kembali di studionya, Raka duduk dalam keheningan. Dalam kegelapan malam, hanya suara detak jam yang terdengar. Dia membuka catatan sketsanya dan mulai menggambar. Tapi kali ini, setiap goresan terasa berat. Rasa sakit yang menyelimuti jiwanya seolah mengalir melalui kuasnya.

“Kenapa aku tidak berani mengatakannya?” desahnya, terisak pelan. “Kenapa aku selalu memilih diam?”

Setiap malam, Raka menghabiskan waktu di studio, melukis dalam gelap. Dalam kesunyian, air matanya jatuh menetes ke kanvas, membentuk lukisan yang penuh dengan kesedihan dan kerinduan. Ia menggambarkan Aluna dengan berbagai warna, tetapi tidak ada satu pun yang bisa menggambarkan perasaannya yang sesungguhnya.

Suatu malam, saat Raka melukis, teleponnya bergetar. Ada pesan dari Aluna. “Raka, aku baik-baik saja! Banyak hal yang harus aku lakukan di sini. Semoga kamu juga baik.” Senyuman kecil muncul di wajahnya, tetapi di balik itu, rasa kehilangan semakin menyiksa.

Dia membalas pesan itu dengan singkat, berusaha terdengar optimis. “Aku baik, Aluna. Semoga kamu juga bahagia di sana.” Namun, saat mengirimnya, Raka merasa ada sesuatu yang hilang. Pesan itu tidak mampu menyampaikan semua rasa yang terpendam.

Sejak saat itu, setiap detik terasa lebih berat. Raka mencoba untuk melanjutkan hidupnya, tetapi bayangan Aluna terus menghantuinya. Dia berusaha mengalihkan perhatian dengan melukis, tetapi lukisan-lukisan itu hanya mengingatkannya pada sosok yang kini jauh.

Hari-hari berlalu, dan Raka merasakan sebuah kesadaran baru. Dia harus menerima kenyataan, bahwa cinta tidak selalu berarti memiliki. Cinta dalam diam ini menyakitkan, tetapi juga mengajarkannya arti kehilangan. Dengan setiap goresan yang ia buat, Raka mulai merelakan—meski hatinya belum siap sepenuhnya.

Ketika sore tiba dan matahari terbenam, Raka menatap lukisan-lukisannya. Dia tahu, suatu hari dia akan menemukan cara untuk berani, untuk mengungkapkan perasaan yang terpendam. Tapi untuk saat ini, dia memilih untuk merelakan Aluna dengan penuh rasa cinta, meski dari jauh.

 

Jejak yang Hilang

Musim berganti, dan Raka mulai terbiasa dengan kesendirian. Namun, bayangan Aluna masih membayangi setiap langkahnya. Dia terus melukis, tetapi kini karya-karyanya menjadi lebih gelap dan emosional. Rasa sakit dan kehilangan membuatnya menciptakan dunia baru di atas kanvas, dunia di mana ia bisa mengungkapkan semua yang tak terucapkan.

Suatu pagi, Raka menerima paket kecil di depan pintu studio. Dia membukanya dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Di dalamnya terdapat sebuah buku catatan tebal, tertulis “Untuk Raka” di sampulnya. Tidak ada pengirim, hanya sebuah pesan kecil yang menjelaskan bahwa buku itu adalah hadiah dari Aluna. Jantungnya berdegup kencang, dan rasa harap mulai tumbuh di dalam dirinya.

“Dia memikirkan aku,” gumamnya, membuka buku itu dengan hati-hati. Halaman-halamannya kosong, menanti untuk diisi dengan cerita dan harapan baru. Raka merasa seolah mendapatkan kembali sedikit kehadiran Aluna dalam hidupnya. Ia mulai menulis, mencurahkan setiap perasaannya ke dalam halaman-halaman buku itu—rasa rindunya, harapannya, dan semua kenangan indah yang mereka bagi.

Sore harinya, Raka berjalan di taman tempat mereka biasa bermain. Angin berhembus lembut, dan suara dedaunan yang bergesekan mengingatkannya pada tawa Aluna. Di sana, dia mulai menciptakan lukisan baru, mengambil inspirasi dari keindahan alam dan kenangan yang menyentuh hati. Namun, di balik semua itu, hatinya masih bergetar dengan kesedihan.

Malam menjelang, Raka memutuskan untuk mengunjungi galeri seni yang sering dikunjungi Aluna. Dia tahu acara pameran lukisan akan berlangsung malam itu. Dengan harapan bisa menemukan kehadiran Aluna dalam karya-karya yang dipamerkan, Raka melangkah memasuki galeri.

Begitu melangkah masuk, aroma cat dan kayu memenuhi hidungnya. Suara musik lembut mengalun, menciptakan suasana yang nyaman. Dia mulai berjalan menyusuri dinding, melihat lukisan-lukisan yang dipamerkan. Semua tampak indah, tetapi tidak ada yang bisa menggantikan lukisan-lukisan yang dia buat untuk Aluna.

Ketika dia tiba di sudut galeri, Raka melihat seorang wanita yang berdiri memandang sebuah lukisan besar. Dalam sekejap, jantungnya berdebar. Wanita itu mirip dengan Aluna—dari potongan rambut hingga cara ia berdiri. Raka merasa seolah melihat bayangan Aluna di hadapannya.

“Aluna?” Raka berbisik, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Wanita itu menoleh, dan dalam sekejap, tatapan mereka bertemu. Senyuman yang familiar muncul di wajah wanita itu. “Raka!”

Hatinya meloncat penuh harapan. “Kamu di sini! Kenapa tidak memberitahuku?” tanyanya, berusaha menahan emosinya. Aluna tampak lebih bersemangat, dan wajahnya bersinar, tetapi ada sesuatu yang berbeda.

“Aku ingin memberi kejutan!” Aluna menjawab dengan riang, meski dalam nada suaranya Raka menangkap sedikit kelelahan. “Aku baru saja kembali dari kota. Banyak hal yang harus aku lakukan, tapi aku sangat merindukanmu!”

Raka merasa seolah dunia sekelilingnya menghilang. “Aku juga merindukanmu. Sudah lama sekali…,” katanya, berusaha tidak menunjukkan betapa cemasnya dia. “Kamu terlihat berbeda.”

“Ya, mungkin sedikit. Aku belajar banyak tentang seni di sana. Banyak hal baru yang ingin aku ceritakan padamu!” Aluna menjawab penuh semangat. Raka ingin sekali mengungkapkan semua yang terpendam, tetapi rasa ragu masih membayangi.

Mereka berjalan berkeliling galeri, berbagi cerita tentang karya-karya yang dipamerkan. Raka mendengar tentang perjalanan Aluna, tentang seniman yang ia temui, dan bagaimana dia terinspirasi untuk menciptakan karya-karya baru. Rasa bangga menyelimuti Raka, tetapi di balik itu, ada kekhawatiran. Dia merasa Aluna semakin menjauh, terjebak dalam dunia yang lebih luas daripada yang pernah mereka bayangkan.

Ketika acara pameran berakhir, Raka mengajak Aluna untuk pergi ke tempat mereka biasa berkumpul. Dalam perjalanan menuju taman, hati Raka berdebar-debar, penuh harapan dan kecemasan. Dia ingin mengatakan sesuatu yang penting, tetapi kata-kata itu seolah terjebak di lidahnya.

“Raka, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu,” kata Aluna saat mereka tiba di bangku tua di taman. Dia mengeluarkan sebuah sketsa dari tasnya. “Ini adalah lukisan yang aku buat selama di sana. Aku ingin kamu melihatnya.”

Raka menerima sketsa itu dengan hati-hati. Dalam gambar itu, dia melihat dirinya dan Aluna duduk di taman, di bawah sinar matahari. Lukisan itu begitu hidup, seolah menangkap momen kebahagiaan yang pernah mereka bagi. Namun, di sudut gambar, ada ruang kosong, seolah menggambarkan sesuatu yang hilang.

“Ini indah,” Raka mengagumi, tetapi perasaannya campur aduk. “Tapi kenapa ada ruang kosong di sini?”

Aluna menunduk, wajahnya tampak serius. “Aku merasa ada banyak hal yang belum kita bicarakan. Tentang kita, tentang apa yang kita inginkan di masa depan.”

Jantung Raka berdegup kencang. Dia ingin menyuarakan perasaannya, tetapi dia takut akan reaksi Aluna. “Aku… aku ingin berbicara tentang itu juga,” jawabnya, suaranya nyaris tak terdengar.

Namun, sebelum Raka bisa melanjutkan, Aluna mengalihkan pandangannya. “Raka, aku harus jujur. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Hidupku kini sangat berbeda, dan aku harus mengikuti jalanku sendiri.”

Kata-kata itu seperti pisau yang menusuk hatinya. Raka merasakan semua harapannya hancur berkeping-keping. “Aluna, tunggu! Aku… aku tidak ingin kehilanganmu!”

“Raka, bukan itu maksudku,” jawab Aluna, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku hanya ingin kita berdua bahagia, meski harus melalui jalan yang berbeda.”

Air mata mulai mengalir di wajah Raka. Dia merasakan kesedihan yang dalam. “Tapi aku tidak bisa. Aku sudah terikat pada perasaan ini. Setiap lukisanku, setiap kata yang kutulis, semuanya tentang kamu!”

Aluna terdiam, dan Raka bisa melihat keraguan di matanya. “Aku… aku harus pergi, Raka. Ini semua terlalu rumit,” katanya, suaranya bergetar. Raka merasa seluruh dunia seolah runtuh di depannya.

Saat Aluna pergi, Raka hanya bisa menatap kepergiannya. Dia tahu saat itu, cinta dalam diam ini akan tetap menjadi beban yang tak terucapkan. Ketika langkah Aluna semakin menjauh, Raka berjanji pada dirinya sendiri untuk menggambarkan semua rasa sakit dan harapannya ke dalam lukisan, meski harus merelakan bayang-bayang cinta yang terputus.

 

Dalam Kenangan yang Abadi

Hari-hari berlalu, dan Raka merasakan kekosongan yang mendalam. Setiap malam, dia duduk di depan kanvasnya, berusaha menuangkan semua emosi yang tak terucapkan. Dia tidak lagi melukis hanya untuk memenuhi hasrat, tetapi sebagai terapi untuk hatinya yang terluka. Setiap sapuan kuas adalah jeritan batin, mengisahkan tentang cinta yang terpendam, tentang kepergian Aluna yang tidak pernah bisa dia terima sepenuhnya.

Suatu malam, saat Raka melukis di studio, dia mendengar suara lembut di belakangnya. “Raka?” Raka menoleh dan menemukan Aluna berdiri di ambang pintu. Senyumnya membuat jantungnya berdebar, tetapi ada keputus-asaan di matanya.

“Kamu kembali?” tanya Raka, suaranya bergetar, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Kenapa? Apakah ada yang salah?”

“Aku harus pergi, tapi aku tidak bisa berhenti memikirkanmu,” Aluna menjawab, suaranya rendah. “Aku kembali karena aku ingin berbicara.”

“Berbicara tentang apa?” Raka berusaha menahan harapan yang muncul kembali di dalam dirinya.

“Tentang kita,” Aluna berkata dengan tegas, langkahnya mendekat. “Aku ingin tahu apakah kita bisa… memberi kesempatan lain untuk diri kita?”

Raka terdiam. Jantungnya berdegup kencang. “Apa maksudmu? Setelah semua ini, kamu ingin kembali?”

“Aku tahu kita berdua mengalami banyak hal. Tapi aku merasa, ada sesuatu yang masih bisa kita jaga,” jawab Aluna, matanya bersinar dengan harapan yang sama. “Aku tidak ingin kita berakhir seperti ini.”

Raka merasa seolah beban berat di bahunya menghilang. “Tapi apa kamu yakin? Apa kamu siap untuk semua ini?”

“Entahlah, Raka. Tapi aku tidak ingin merusak hubungan kita yang telah terjalin,” jawab Aluna, tersenyum lembut. “Aku merindukanmu setiap hari. Setiap lukisanmu, setiap kata yang kamu tulis, selalu ada aku di dalamnya.”

Sebuah harapan baru menyala di hati Raka. “Aku juga merindukanmu. Setiap detik tanpa kamu terasa hampa.”

Mereka berdua saling menatap, dan untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, Raka merasa yakin. Dia tidak ingin kehilangan Aluna lagi. “Kalau begitu, mari kita mulai dari awal. Kita bisa mencari cara untuk saling memahami.”

“Aku ingin kamu tahu, Raka. Meskipun aku terjebak di dunia yang berbeda, hatiku akan selalu di sini, bersamamu,” kata Aluna, air mata mulai mengalir di pipinya. Raka mengusap air matanya, merasa terharu.

Malam itu, mereka berbagi cerita dan tawa. Raka merasakan kedekatan yang telah lama hilang, seolah-olah waktu tidak pernah memisahkan mereka. Setiap detik bersama Aluna adalah seperti mendapatkan kembali bagian dari jiwanya yang hilang.

Ketika mereka akhirnya duduk di bangku tua di taman, Raka mengeluarkan buku catatan yang diberikan Aluna. “Kamu tahu, aku mulai menulis di sini lagi. Semua yang aku rasakan saat kamu pergi,” katanya, membuka halaman demi halaman yang telah terisi.

“Bacakan untukku,” pinta Aluna, matanya berkilau.

Dengan suara bergetar, Raka mulai membaca. Kata-kata itu adalah ungkapan cinta, kehilangan, dan harapan yang terpendam. Dia membaca tentang semua kenangan indah yang mereka bagi, tentang bagaimana Aluna mengubah hidupnya, dan tentang rasa sakit yang ditinggalkan setelah kepergiannya.

Air mata mengalir di wajah Aluna saat dia mendengarkan. “Raka, aku tidak tahu kamu merasakan semua ini,” katanya, suaranya penuh emosi. “Aku ingin kita bisa melewati semua rintangan ini bersama-sama.”

“Jika kita bisa bersatu kembali, aku berjanji akan melukis kisah kita dalam setiap goresan. Aku tidak akan pernah meragukan cinta ini lagi,” jawab Raka, wajahnya dipenuhi tekad.

Saat bulan bersinar cerah di atas mereka, Raka dan Aluna saling berpegangan tangan. Malam itu, mereka membuat janji. Mereka berkomitmen untuk saling mendukung, memahami, dan menghargai satu sama lain meski di hadapan mereka ada banyak tantangan. Raka tahu, cinta dalam diam mereka tidak akan lagi terputus, dan mereka akan menciptakan kembali kenangan-kenangan baru yang lebih indah.

Kisah mereka adalah tentang cinta yang tak terduga, tentang harapan yang tak pernah padam, dan tentang bagaimana dua jiwa yang pernah terpisah bisa menemukan jalan pulang. Dan dengan itu, Raka memutuskan untuk menyelesaikan lukisan yang telah lama dia impikan—lukisan tentang cinta yang bertahan meski dalam kesedihan, dan tentang dua orang yang siap untuk menjalani hidup baru bersama.

 

Dan begitulah, kisah Raka dan Aluna berlanjut, membuktikan bahwa cinta dalam diam bisa menjadi perjalanan paling emosional yang pernah ada. Meskipun hidup memberi mereka banyak rintangan, harapan dan keberanian untuk saling mencintai membuat mereka kuat.

Siapa sangka, dari kesedihan bisa lahir sebuah kebangkitan? Cinta tak selalu berbicara keras, kadang justru dalam hening, ia berbicara paling jelas. Semoga kita semua bisa menemukan cinta yang sama, meski dalam sepi. Sampai jumpa di kisah selanjutnya!

Leave a Reply