Pesona Gendang Penca: Warisan Budaya Sukabumi yang Menginspirasi Nayeli

Posted on

Hai, Semua! Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya pernah nggak nih yang pernah dengar tentang Gendang Penca dari Sukabumi? Ini salah satu warisan seni tradisional yang kaya makna dan penuh kekuatan.

Dalam artikel ini, kita akan mengikuti perjalanan Nayeli, seorang remaja SMA yang nggak cuma gaul dan aktif, tapi juga berjuang keras mengangkat budaya lokal hingga ke panggung kompetisi tingkat provinsi. Penasaran gimana serunya perjuangan Nayeli dalam menampilkan Gendang Penca? Yuk, simak ceritanya yang penuh emosi, tantangan, dan kemenangan di sini!

 

Pesona Gendang Penca

Gendang Penca dan Nayeli: Awal Sebuah Cinta pada Budaya

Suara alunan gendang yang memukul ritme cepat menggema dari arah lapangan terbuka dekat rumah Nayeli. Setiap detak gendang seolah memanggil namanya, membangkitkan rasa penasaran di hati gadis berusia 16 tahun itu. Di siang yang terik, angin sesekali bertiup, membawa aroma daun basah yang segar. Hari itu, Nayeli sedang dalam perjalanan pulang dari sekolah. Biasanya, ia langsung menuju rumah, tapi kali ini langkah kakinya tertahan oleh sesuatu yang menarik perhatiannya.

Langkah-langkah kakinya mendekati lapangan, mengikuti irama yang semakin menguat. Saat tiba, pandangannya langsung tertuju pada sekelompok anak muda yang sedang berlatih bela diri. Mata Nayeli membulat, kagum melihat harmoni antara gerakan silat mereka dengan iringan suara gendang. Di tengah lapangan, dua orang pria berusia sekitar dua puluh tahunan memperagakan gerakan pencak silat yang penuh tenaga. Ayunan tangan, hentakan kaki, dan putaran tubuh mereka begitu selaras dengan bunyi gendang yang dimainkan oleh seorang lelaki tua di sudut lapangan.

Nayeli berdiri diam, terpaku. Ada sesuatu yang berbeda dalam adegan ini. Tidak seperti video-video di media sosial yang sering ia tonton, seni ini terasa begitu hidup dan menyentuh jiwa. Gendang penca begitu yang ia dengar dari pembicaraan orang-orang di sekitarnya adalah sebuah seni tradisional Sukabumi yang memadukan bela diri dengan musik tradisional. Nayeli tahu, inilah saatnya ia menemukan sesuatu yang spesial.

“Ini gendang penca, ya?” tanya Nayeli dengan nada suara yang pelan, setengah kepada dirinya sendiri, serta setengah berharap ada orang yang bisa mendengarnya.

Seorang perempuan tua dengan senyum ramah yang berdiri di sampingnya menoleh. “Betul, Nak. Ini seni warisan leluhur kita,” katanya. “Kamu tertarik?”

Nayeli tersenyum. “Sepertinya menarik sekali,” jawabnya. Perempuan itu mengangguk dengan senyum penuh arti. “Gendang penca itu bukan cuma tentang kekuatan fisik, tapi juga jiwa. Setiap gerakan punya makna, setiap nada gendang punya cerita.”

Kalimat itu menggema di kepala Nayeli saat ia berjalan pulang. Kata-kata “bukan cuma kekuatan fisik, tapi juga jiwa” seakan-akan menjadi panggilan bagi dirinya. Nayeli, yang selama ini dikenal sebagai gadis yang selalu terhubung dengan dunia modern sosial media, tren terkini, dan kehidupan anak SMA yang serba dinamis merasa ada kekosongan dalam dirinya. Sesuatu yang selama ini ia cari tanpa ia sadari.

Malamnya, saat makan malam bersama keluarganya, Nayeli mencoba menyinggung tentang gendang penca. Ayahnya, seorang pria paruh baya yang lahir dan besar di Sukabumi, langsung antusias mendengar keinginan anak perempuannya.

“Ayah pernah belajar gendang penca waktu muda, lho!” serunya sambil tertawa bangga. “Ini seni bela diri yang tidak hanya melatih tubuh, tapi juga mental. Kalau kamu mau, Ayah bisa bantu carikan guru yang baik.”

Mata Nayeli bersinar. Ia tidak menyangka bahwa ayahnya punya hubungan dengan seni tradisional ini. Meskipun selama ini ia dan ayahnya tidak banyak berbicara tentang budaya, malam itu terasa berbeda. Ada kehangatan yang muncul ketika mereka berbicara tentang sesuatu yang sangat penting bagi mereka berdua warisan leluhur.

Keesokan harinya, Nayeli menemui ayahnya di halaman rumah. Ayahnya sudah siap dengan pakaian olahraga, dan tampaknya benar-benar bersemangat mengajarinya dasar-dasar gendang penca. Hari itu menjadi hari pertama Nayeli berkenalan lebih dalam dengan seni yang telah memikat hatinya.

Ayahnya mengajarkan gerakan dasar: langkah maju, mundur, dan cara memposisikan tubuh yang benar saat menyerang maupun bertahan. Meski gerakannya terlihat sederhana, Nayeli tahu butuh kekuatan dan konsentrasi tinggi untuk melakukannya dengan baik. Dengan sabar, ayahnya menjelaskan bahwa setiap gerakan dalam gendang penca memiliki makna filosofis, seperti menggambarkan perlawanan terhadap kekuatan jahat dan menyeimbangkan kekuatan alam.

Semakin ia berlatih, semakin Nayeli menyadari bahwa gendang penca lebih dari sekadar olahraga. Ada keindahan dalam setiap gerakan, sebuah seni yang mengajarkan harmoni antara tubuh dan pikiran. Nayeli merasakan sensasi baru dalam dirinya—sensasi terhubung dengan akar budayanya sendiri. Ia mulai merasakan cinta yang tumbuh terhadap tradisi ini.

Setelah beberapa minggu berlatih dengan ayahnya, Nayeli semakin percaya diri. Suatu hari, ia memutuskan untuk bergabung dengan kelompok latihan di lapangan yang sering ia lihat. Teman-temannya awalnya terkejut melihat Nayeli, gadis yang biasanya aktif di kegiatan modern seperti dance dan cheerleading, kini terjun ke seni tradisional. Tapi Nayeli tidak peduli. Ia merasa bahwa mencintai budaya tradisional tidak akan membuatnya kurang gaul atau modern.

“Kamu beneran ikut latihan, Nay?” tanya Tiara, sahabatnya, sambil tertawa kecil. “Bukannya kamu biasanya lebih suka nge-dance?”

Nayeli tersenyum. “Iya, beneran. Tapi kali ini beda, Ti. Gendang penca itu keren banget! Kamu harus coba deh. Ini bukan cuma soal bela diri, tapi juga soal menghargai tradisi.”

Meski awalnya ragu, teman-temannya mulai mendukung Nayeli. Bahkan beberapa dari mereka ikut penasaran dan bergabung dalam latihan. Nayeli merasa senang, tidak hanya karena ia bisa belajar lebih dalam tentang gendang penca, tetapi juga karena bisa mengajak teman-temannya untuk menghargai budaya yang sama.

Setiap sore, Nayeli semakin ahli. Ia memadukan semangat mudanya dengan kecintaan pada budaya leluhur. Setiap gerakan terasa lebih alami, dan setiap detak gendang membuatnya merasa semakin hidup. Gendang penca telah membuka dunia baru baginya dunia yang penuh makna, di mana modernitas dan tradisi bisa berjalan beriringan.

Dan saat ia berlatih di bawah langit sore Sukabumi, Nayeli tahu bahwa ini adalah awal dari perjalanan panjangnya dalam mencintai dan melestarikan budaya. Di balik semua kesibukan remajanya, ia menemukan jati dirinya yang baru, sebagai seorang yang bangga akan budayanya tanpa kehilangan gaya hidup modernnya.

 

Festival Seni: Aksi Nayeli di Tengah Panggung

Waktu berlalu dengan cepat. Setelah beberapa bulan berlatih gendang penca, Nayeli semakin mahir dalam gerakan-gerakan bela diri yang dipadukan dengan iringan musik tradisional. Setiap sore ia berlatih dengan penuh semangat, baik di rumah bersama ayahnya maupun di lapangan bersama kelompok gendang penca yang ia ikuti. Teman-temannya, yang awalnya ragu, kini mulai terlibat aktif dan semakin tertarik pada seni bela diri tradisional ini. Nayeli merasa bahwa ia telah menemukan tempat di mana ia bisa mengekspresikan dirinya sekaligus melestarikan budaya leluhurnya.

Suatu pagi yang cerah, saat Nayeli sedang bergegas menuju sekolah, ia menerima kabar yang membuat hatinya berdegup kencang. Sekolahnya akan mengadakan Festival Seni Budaya Nusantara, sebuah acara besar tahunan yang menampilkan berbagai seni tradisional dari seluruh Indonesia. Setiap kelas dan kelompok ekstrakurikuler diundang untuk berpartisipasi, dan Nayeli melihat ini sebagai kesempatan sempurna untuk memperkenalkan gendang penca kepada lebih banyak orang.

“Ti, kamu tahu nggak, sekolah kita bakal ada festival seni? Aku mau ikut nampil, bawain gendang penca!” Nayeli berkata penuh semangat kepada Tiara, sahabatnya, saat mereka duduk bersama di kantin sekolah.

Tiara mengangkat alisnya, terkejut tapi kemudian tersenyum lebar. “Serius, Nay? Wah, aku seneng banget dengernya! Kamu harus banget ikut, kamu kan jago sekarang. Pasti keren!”

Nayeli tersenyum, merasakan semangat yang membara di dalam dirinya. “Iya, aku yakin banget ini waktunya buat nunjukin kalau budaya tradisional itu nggak kalah seru sama tren modern.”

Malam itu, di rumahnya, Nayeli berbicara dengan ayahnya tentang rencananya untuk ikut festival. Ayahnya menyambut kabar itu dengan antusias. “Bagus sekali, Nak. Ini kesempatan kamu untuk memperlihatkan pada teman-teman sekolahmu betapa berharganya gendang penca bagi budaya kita.”

Namun, Nayeli tahu bahwa tampil di panggung festival bukanlah hal yang mudah. Ia harus menyusun koreografi yang menarik dan melibatkan teman-temannya dalam penampilan tersebut. Ia juga harus memastikan bahwa setiap gerakan bisa selaras dengan iringan musik gendang yang khas, sebuah tantangan besar bagi seorang anak SMA yang baru saja mendalami seni ini.

Setiap sore, Nayeli dan teman-temannya berlatih keras. Mereka berkumpul di lapangan sekolah, berlatih di bawah matahari yang mulai terbenam. Suara gendang yang dipukul oleh salah satu anggota kelompok mereka bergema, mengiringi gerakan silat yang penuh kekuatan. Tiara, yang awalnya hanya menonton, kini terlibat aktif dalam latihan, mendukung Nayeli dengan semangat yang sama.

“Kita harus lebih kompak,” ujar Nayeli suatu sore, setelah merasa bahwa gerakan mereka belum sepenuhnya sinkron. “Aku tahu ini sulit, tapi kita bisa. Ini bukan cuma soal menang atau kalah, tapi soal mempersembahkan budaya kita dengan bangga.”

Tiara mengangguk. “Kamu bener, Nay. Aku juga pengen banget kita tampil maksimal. Kalau kamu bisa sejauh ini, aku yakin kita semua juga bisa.”

Semakin dekat dengan hari festival, latihan mereka semakin intens. Nayeli mulai merasakan kelelahan fisik dan mental, tapi ia tahu bahwa ini adalah bagian dari perjuangan. Kadang, ia merasa sedikit cemas apakah penampilannya nanti akan sesuai harapan. Apakah teman-temannya akan menyukai gendang penca seperti dirinya? Apakah mereka akan merasa bahwa seni ini pantas diperjuangkan?

Hari festival pun tiba. Sekolah dihiasi dengan berbagai dekorasi tradisional, dan suasana begitu meriah. Stand-stand seni dari berbagai daerah sudah berdiri, dan di tengah lapangan utama, sebuah panggung besar telah dipersiapkan untuk menampilkan berbagai pertunjukan seni budaya.

Nayeli, mengenakan pakaian khas pencak silat berwarna hitam dengan ikat pinggang batik coklat, duduk di belakang panggung. Hatinya berdebar-debar, tapi ia juga merasa ada semangat besar yang tak terbendung. Di sekelilingnya, teman-temannya juga bersiap, meskipun beberapa dari mereka tampak gugup.

“Semua baik-baik aja, Nay?” tanya Tiara sambil memegang tangan Nayeli, sambil mencoba untuk memberikan ketenangan.

Nayeli tersenyum kecil, meski dalam hatinya ia juga merasa tegang. “Iya, aku baik-baik aja. Kita pasti bisa, kan?”

Mereka saling menguatkan, mengingat kembali semua latihan dan usaha yang sudah mereka curahkan selama ini. Dalam momen itu, Nayeli menyadari bahwa perjuangan bukan hanya soal menguasai gerakan atau musik, tetapi juga soal percaya pada diri sendiri dan pada tim.

Akhirnya, tiba giliran mereka tampil. Ketika langkah pertama Nayeli menapaki panggung, seluruh perhatian tertuju padanya. Suara gendang mulai bergema, memecah keheningan. Gerakan pertama dilakukan Nayeli dengan mantap, diikuti oleh teman-temannya yang bergerak selaras. Setiap hentakan kaki, setiap ayunan tangan, dilakukan dengan penuh kekuatan dan harmoni.

Penonton terpukau. Mereka tidak hanya melihat sebuah pertunjukan bela diri, tetapi juga merasakan energi dan semangat yang ditransmisikan oleh Nayeli dan kelompoknya. Suara gendang semakin cepat, gerakan semakin dinamis, dan Nayeli merasa seolah-olah seluruh panggung itu adalah miliknya. Ia menari, berkelahi dengan angin, dan mengalir dalam irama yang seolah menjadi bagian dari dirinya.

Detik demi detik berlalu, hingga akhirnya mereka menyelesaikan penampilan dengan sebuah pose penutup yang indah. Seketika, tepuk tangan riuh menggemuruh di seluruh lapangan. Nayeli terengah-engah, tapi senyum lebarnya tak bisa disembunyikan. Dia melihat ke arah teman-temannya, yang juga tampak begitu bahagia dan lega. Mereka berhasil.

Saat turun dari panggung, Tiara memeluk Nayeli dengan erat. “Kita berhasil, Nay! Penampilan kita luar biasa!”

Nayeli mengangguk, tak kuasa menahan air mata haru. “Iya, kita berhasil. Semua perjuangan kita terbayar.”

Di balik panggung, ayahnya sudah menunggu dengan senyum bangga. “Kamu hebat, Nayeli. Ini baru awal. Kamu sudah membuka mata banyak orang tentang betapa indahnya gendang penca.”

Hari itu, Nayeli merasakan sebuah kebahagiaan yang tak bisa digambarkan dengan kata-kata. Bukan hanya karena tepuk tangan penonton atau apresiasi dari teman-temannya, tetapi karena ia tahu, di dalam hatinya, bahwa ia telah berjuang untuk sesuatu yang lebih besar. Ia telah menghidupkan kembali warisan budayanya, dan itu adalah pencapaian terbesar dalam hidupnya.

 

Tantangan di Tengah Pujian: Langkah Selanjutnya

Setelah penampilan luar biasa di festival seni sekolah, hidup Nayeli tak lagi sama. Sejak saat itu, ia menjadi bahan pembicaraan banyak orang, baik di lingkungan sekolah maupun di luar. Teman-temannya selalu membicarakan bagaimana ia berhasil memperkenalkan gendang penca dengan penuh kebanggaan, dan tak sedikit guru yang memuji usahanya dalam melestarikan budaya lokal.

“Nay, keren banget penampilan kamu waktu itu! Aku sampai terpesona, serius deh,” ujar seorang teman sekelasnya ketika mereka sedang berkumpul di kantin.

Nayeli tersenyum malu-malu, tapi dalam hatinya ia sangat bangga. “Makasih, aku juga nggak nyangka bisa tampil sebagus itu,” jawabnya dengan nada rendah hati.

Namun, meskipun semua perhatian dan pujian itu menyenangkan, Nayeli mulai merasakan ada tantangan baru yang menanti di depannya. Di balik semua sorotan dan sanjungan, ada banyak ekspektasi yang tiba-tiba melekat padanya. Teman-temannya berharap lebih dari sekedar penampilan di festival, beberapa bahkan mulai bertanya-tanya apakah Nayeli akan membawa gendang penca ke tingkat yang lebih tinggi, mungkin mengikuti lomba di luar sekolah atau bahkan tampil di acara-acara besar lainnya.

Hari-hari berlalu dengan cepat. Pujian itu tak hanya datang dari teman-teman di sekolah, tapi juga dari keluarga besarnya. Suatu sore, ketika sedang beristirahat di rumah, ponsel Nayeli bergetar. Pesan dari pamannya yang tinggal di kota lain, “Nay, pamirinya keren banget tampil di festival. Kamu bakal ikut kompetisi di tingkat kota, kan? Biar nama Sukabumi makin dikenal!”

Nayeli termenung sejenak, membaca pesan itu. Ia merasa tertekan. Sebelumnya, gendang penca hanya menjadi cara baginya untuk terhubung dengan ayahnya dan mencintai budaya lokal. Tapi sekarang, ekspektasi mulai membanjiri hidupnya. Ia mulai berpikir, apakah ia benar-benar siap untuk langkah yang lebih besar?

Saat ia sedang tenggelam dalam pikirannya, ayahnya datang ke ruang tamu, melihat Nayeli duduk dengan wajah termenung. “Ada yang mengganggu pikiranmu, Nak?” tanya ayahnya dengan suara lembut.

Nayeli mendesah, mengusap rambutnya yang mulai sedikit acak-acakan. “Aku nggak tahu, Yah. Setelah festival itu, banyak yang berharap aku ikut kompetisi atau tampil di acara-acara besar. Aku senang kalau gendang penca bisa dikenal lebih luas, tapi… aku nggak yakin kalau aku bisa terus melakukannya.”

Ayahnya duduk di samping Nayeli, menepuk pundaknya dengan lembut. “Setiap langkah baru pasti ada tantangannya, Nayeli. Tapi yang perlu kamu ingat, kamu memulainya dengan hati yang tulus. Kalau kamu terus lakukan dengan cinta, semuanya akan mengalir dengan baik. Jangan terlalu memikirkan harapan orang lain. Fokus saja pada apa yang bisa membuatmu bahagia.”

Kata-kata ayahnya menenangkan hati Nayeli, meskipun rasa cemas itu belum sepenuhnya hilang. Ia tahu bahwa ayahnya benar, tapi ekspektasi itu kadang-kadang terasa terlalu berat untuk dipikul.

Beberapa hari kemudian, saat Nayeli sedang berjalan menuju kelas, ia bertemu dengan Bu Santi, guru seni budaya yang sangat mendukung penampilannya di festival. “Nayeli, saya dengar ada lomba seni budaya tingkat provinsi bulan depan. Menurut saya, kamu harus ikut! Ini kesempatan emas untuk memperkenalkan gendang penca ke lebih banyak orang.”

Hati Nayeli kembali berdebar. Lomba tingkat provinsi? Pikiran itu terus berputar di kepalanya. Ia tidak pernah membayangkan bahwa perjalanannya dengan gendang penca akan sampai sejauh ini. Tapi di sisi lain, ada rasa takut yang mulai merayap.

Malam itu, Nayeli memutuskan untuk berbicara lagi dengan ayahnya tentang kompetisi tersebut. “Yah, aku nggak yakin bisa ikut lomba itu. Aku takut nggak bisa memenuhi harapan semua orang. Mereka semua berharap aku sukses, tapi… aku nggak yakin apakah aku benar-benar siap untuk ini.”

Ayahnya tersenyum dengan bijak. “Nak, hidup ini bukan tentang memenuhi harapan orang lain. Kamu harus mendengarkan hatimu. Jika kamu merasa siap, maka lakukanlah dengan sepenuh hati. Jika belum, jangan paksa dirimu. Setiap keputusan yang kamu ambil, harus kamu jalani dengan rasa percaya diri dan kebahagiaan.”

Kata-kata ayahnya terus terngiang di pikiran Nayeli. Ia mencoba mencari jawaban di dalam dirinya sendiri. Apakah ia benar-benar ingin mengikuti kompetisi itu? Atau apakah ia hanya takut gagal di mata orang-orang yang mendukungnya?

Keesokan harinya, Nayeli mengumpulkan teman-temannya yang pernah berlatih bersamanya. “Aku lagi butuh pendapat kalian,” katanya dengan nada suara yang serius. “Haruskah aku ikut kompetisi tingkat provinsi?”

Mereka saling berpandangan sejenak, lalu Tiara, yang selalu menjadi pendukung setia Nayeli, angkat bicara. “Menurutku, Nay, kamu harus ikut. Bukan karena harapan orang lain, tapi karena aku tahu kamu punya bakat luar biasa. Ini bukan soal menang atau kalah, tapi tentang bagaimana kamu terus menyebarkan kecintaanmu pada gendang penca.”

Yang lainnya mengangguk setuju. “Kita semua di belakang kamu, Nay. Apa pun yang kamu pilih, kami akan bisa mendukungmu,” ujar salah satu temannya, sambil tersenyum dengan hangat.

Setelah diskusi panjang dengan teman-temannya, Nayeli merasa lebih tenang. Ia mulai menyadari bahwa perjuangan ini bukan tentang tekanan atau ekspektasi, tapi tentang bagaimana ia bisa terus berjalan dengan apa yang ia cintai. Perlahan, rasa cemas itu memudar, tergantikan oleh keyakinan baru. Ia ingin terus memperjuangkan gendang penca, bukan demi memenuhi harapan orang lain, tapi demi dirinya sendiri dan kecintaannya pada budaya ini.

Hari pendaftaran lomba tiba. Dengan langkah mantap, Nayeli menuju ruang guru untuk mendaftar. Tangannya sedikit gemetar saat ia menyerahkan formulir, tapi di dalam hatinya ia tahu, ini adalah langkah yang benar.

“Semoga sukses, Nayeli,” ujar Bu Santi dengan senyum hangat saat menerima formulirnya. “Saya yakin kamu akan bisa melakukan yang terbaik.”

Nayeli mengangguk, merasa jantungnya berdetak lebih kencang. Perjuangannya belum berakhir. Di hadapannya ada tantangan baru, tapi kini ia sudah lebih siap. Ia tahu bahwa apa pun yang terjadi nanti, ia sudah melakukan segalanya dengan cinta dan keyakinan. Ini adalah perjuangannya, dan Nayeli siap untuk melangkah lebih jauh.

Dengan semangat yang membara, Nayeli kembali ke kelas, siap menghadapi latihan intens yang menantinya. Di dalam hatinya, ada rasa bahagia yang tak terbendung. Meski penuh dengan tantangan, ia tahu bahwa ini adalah perjalanan yang ia pilih, dan ia siap untuk melanjutkannya. Perjuangan baru telah dimulai.

 

Kemenangan Hati di Panggung Kompetisi

Waktu terus berjalan, dan tanpa terasa, hari kompetisi seni budaya tingkat provinsi semakin mendekat. Setiap harinya, Nayeli semakin sibuk dengan latihan. Pagi hingga sore hari, ia bersekolah seperti biasa, namun setiap malam, ia dan timnya berlatih dengan giat di ruang seni sekolah. Suara gendang penca yang khas bergema setiap malam, semakin sempurna dengan alunan gerakan yang penuh kekuatan.

Meskipun latihan berjalan lancar, tak bisa dipungkiri, semakin dekat hari kompetisi, semakin berat tekanan yang dirasakan Nayeli. Setiap malam, ia akan berbaring di tempat tidurnya, memandangi langit-langit kamar dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, ia sangat bersemangat untuk tampil, tetapi di sisi lain, rasa cemas mulai merayap. Bagaimana jika ia tidak bisa memenuhi harapan orang-orang? Bagaimana jika ia gagal?

Suatu malam, tepat beberapa hari sebelum kompetisi, Nayeli tak bisa menahan kegelisahannya lagi. Ia keluar dari kamarnya dan menemukan ayahnya duduk di ruang tamu, membaca koran. Melihat putrinya, ayahnya tersenyum hangat dan mempersilahkannya duduk di sampingnya.

“Ada yang mengganggu pikiranmu lagi, Nak?” tanyanya lembut, seolah mengerti apa yang sedang dirasakan Nayeli.

Nayeli mengangguk pelan. “Ayah, aku takut… aku takut kalau nanti aku mengecewakan banyak orang. Semua orang berharap banyak, teman-temanku, guru-guru, bahkan keluargaku. Aku sudah berusaha keras, tapi rasa cemas ini nggak mau hilang.”

Ayahnya terdiam sejenak, lalu meletakkan korannya dan menatap Nayeli dengan penuh kasih. “Nak, kamu sudah berjuang dengan segenap hati. Ingatlah, hasil itu penting, tapi lebih penting lagi adalah proses yang sudah kamu lalui. Kamu sudah melakukan yang terbaik, dan itu yang paling berharga. Tidak perlu terlalu memikirkan hasil akhirnya. Yang terpenting adalah kamu tetap melangkah dengan hati yang bahagia.”

Kata-kata ayahnya terasa menenangkan hati Nayeli, meskipun rasa cemas itu tidak hilang sepenuhnya. Namun, ia mulai menyadari bahwa perjuangannya selama ini bukan hanya soal menang atau kalah. Ini tentang cinta dan dedikasinya pada gendang penca, tentang bagaimana ia ingin membawa budaya itu ke panggung yang lebih besar. Ia mulai meyakinkan dirinya bahwa apa pun yang terjadi, ia sudah memberikan yang terbaik.

Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pagi itu, sekolah Nayeli terlihat lebih ramai dari biasanya. Tim seni sekolah yang terdiri dari Nayeli dan teman-temannya berkumpul di aula sebelum berangkat ke lokasi kompetisi. Ada rasa tegang yang menyelimuti suasana, tetapi juga semangat yang membara.

“Nay, kamu siap kan? Aku yakin kamu pasti bisa!” ujar Tiara dengan senyum lebar, mencoba menyemangati Nayeli yang terlihat sedikit gugup.

Nayeli mengangguk dan tersenyum, meskipun di dalam hatinya jantungnya berdegup kencang. “Aku siap. Kita sudah latihan keras, jadi sekarang tinggal tunjukin yang terbaik.”

Bus yang membawa mereka menuju tempat kompetisi melaju dengan tenang. Selama perjalanan, Nayeli duduk di dekat jendela, memandang keluar dengan pikiran yang terus berputar. Di satu sisi, ia mencoba mengendalikan kegelisahannya, tetapi di sisi lain, ada rasa kebanggaan yang mulai tumbuh. Ia sudah sejauh ini. Ini bukan hanya tentang Nayeli, ini tentang Sukabumi, tentang gendang penca yang ia perjuangkan. Ia tidak sendiri. Ia bersama timnya, bersama teman-temannya, dan bersama budayanya.

Saat tiba di tempat kompetisi, jantung Nayeli kembali berdebar. Ruangan aula besar tempat kompetisi itu diadakan sudah dipenuhi peserta dari berbagai sekolah di seluruh provinsi. Mereka datang dengan membawa budaya dan seni tradisional masing-masing. Ada yang membawa tarian tradisional, ada yang memainkan alat musik khas daerah mereka. Semua peserta tampak serius dan penuh semangat.

Waktu demi waktu berlalu, dan giliran Nayeli serta timnya akhirnya tiba. Dengan langkah mantap, mereka naik ke panggung. Mata Nayeli memandang lurus ke depan, melihat para juri yang duduk di barisan paling depan. Tapi kali ini, ia tidak merasa gentar. Ia sudah siap. Ia sudah berlatih keras. Ini adalah waktunya untuk menunjukkan cinta dan dedikasinya pada gendang penca.

Suara gendang pertama mulai terdengar. Dengan penuh semangat, Nayeli dan teman-temannya mulai bergerak. Tubuh mereka menari mengikuti irama gendang yang menggelegar. Setiap pukulan gendang yang mereka lakukan terasa begitu bertenaga, menggambarkan kekuatan dan kebesaran budaya penca Sukabumi. Gerakan tangan mereka yang lincah, diiringi dengan tarian yang penuh makna, menciptakan harmoni yang indah di atas panggung.

Penonton terdiam, terpukau oleh penampilan mereka. Bahkan para juri terlihat tak berkedip, memperhatikan setiap detail gerakan Nayeli dan timnya. Suara gendang yang keras dan ritmis menggema di seluruh ruangan, membuat suasana menjadi hidup.

Nayeli bisa merasakan energi yang membanjiri dirinya. Kecemasan yang sempat ia rasakan sebelumnya kini hilang. Ia benar-benar larut dalam penampilan ini, menikmati setiap detik yang berlalu. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ini adalah momen yang sudah ia impikan sejak awal. Ini adalah perjuangannya, dan ia menjalankannya dengan sepenuh hati.

Ketika penampilan mereka berakhir, aula besar itu meledak dalam tepuk tangan yang meriah. Nayeli dan timnya berdiri dengan bangga di atas panggung, tersenyum lebar. Ia bisa merasakan air mata menggenang di matanya, bukan karena sedih, tapi karena bahagia. Ia berhasil. Bukan soal menang atau kalah, tapi ia berhasil menunjukkan kepada dunia betapa berharganya gendang penca bagi dirinya dan bagi Sukabumi.

Setelah turun dari panggung, teman-teman Nayeli langsung menyambutnya dengan pelukan hangat. “Kamu hebat banget, Nay! Itu luar biasa!” seru Tiara dengan antusias.

Nayeli hanya bisa tersenyum sambil menahan haru. “Kita semua hebat. Ini bukan cuma aku, tapi juga kalian semua. Kita berhasil melakukan ini bersama-sama.”

Tak lama kemudian, tibalah saatnya pengumuman pemenang. Jantung Nayeli kembali berdebar, meskipun kali ini berbeda. Bukan lagi kecemasan, tapi harapan. Saat nama tim mereka disebut sebagai salah satu juara dalam kategori seni tradisional terbaik, sorak sorai meledak dari tim Nayeli. Mereka berpelukan, meneteskan air mata kebahagiaan.

Malam itu, saat Nayeli pulang ke rumah dengan membawa piala kemenangan, ia duduk di ruang tamu bersama ayahnya. Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati suasana tenang setelah hari yang panjang dan penuh emosi.

“Bagaimana perasaanmu, Nak?” tanya ayahnya dengan senyum lembut.

Nayeli tersenyum, menatap piala yang ada di pangkuannya. “Aku merasa lega dan bahagia, Yah. Bukan cuma karena kita menang, tapi karena aku bisa melakukan ini dengan sepenuh hati.”

Ayahnya mengangguk penuh bangga. “Kamu sudah menjalani perjalanan yang luar biasa, Nayeli. Ini baru awal dari sesuatu yang bisa bikin lebih besar. Selalu ingat, selama kamu melakukan sesuatu dengan cinta, hasilnya akan selalu indah.”

Malam itu, Nayeli tidur dengan senyum di wajahnya, tahu bahwa perjuangannya telah membuahkan hasil yang manis. Tapi lebih dari itu, ia belajar bahwa kekuatan cinta dan dedikasi bisa membawa seseorang lebih jauh dari yang pernah ia bayangkan. Kini, Nayeli siap melangkah ke tantangan berikutnya, dengan gendang penca yang selalu ada di hatinya.

 

Jadi, gimana Semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Kisah Nayeli bukan hanya tentang kompetisi, tapi juga tentang dedikasi pada budaya lokal yang sering kali terlupakan. Perjuangannya mengangkat Gendang Penca ke panggung besar menginspirasi kita bahwa dengan tekad dan cinta, budaya bisa hidup di hati generasi muda. Yuk, terus lestarikan seni dan budaya kita, siapa tahu kamu adalah “Nayeli” berikutnya yang membawa warisan bangsa ke puncak kemenangan!

Leave a Reply