Cinta Dalam Diam: Kisah Romantis Kiera dan Rehan di SMP

Posted on

Hey, kamu pernah ngerasain cinta yang tumbuh diam-diam? Kayak nunggu momen yang pas buat bilang aku suka kamu tapi malah lebih milih nyimpan perasaan itu di dalam hati?

Nah, ini cerita tentang Kiera dan Rehan, dua anak SMP yang terjebak dalam drama cinta yang manis dan penuh harapan. Siap-siap baper ya, karena kadang, cinta yang paling indah itu justru yang diungkapkan tanpa kata-kata!

 

Cinta Dalam Diam

Mengagumi dari Jauh

Suasana SMP Bunga selalu ramai, terutama saat jam istirahat. Suara tawa dan candaan memenuhi setiap sudut, mengalahkan dering bel yang menandakan akhir jam pelajaran. Kiera duduk di bangkunya, mengamati kerumunan teman-temannya yang berkumpul di kantin. Dia tidak tahu mengapa, tetapi hari ini, hatinya terasa berdebar lebih kencang dari biasanya.

Di tengah hiruk-pikuk itu, matanya menangkap sosok Rehan, si pemuda pendiam yang duduk di pojok kelas, asyik membaca buku. Kiera tidak bisa menahan diri untuk tidak memandangnya. Rehan selalu memiliki aura yang berbeda—sederhana, tetapi menawan. Dia tidak pernah menganggap dirinya istimewa, tetapi Kiera tahu, di balik kacamata bulatnya itu, ada pikiran dan perasaan yang dalam.

“Eh, Kiera! Kenapa melamun?” sahabatnya, Lila, tiba-tiba menyenggol bahunya.

Kiera tersentak, mengalihkan pandangannya dari Rehan. “Hah? Oh, enggak kok, aku cuma…”

“Cuma apa? Lagi nunggu Rehan ya?” Lila menggoda, mata kirinya menyipit, tanda dia sudah menangkap perhatian Kiera.

“Eh, ya enggak gitu juga. Aku cuma…”

Kiera mengalihkan perhatian, berusaha menutupi rasa malunya. Namun, Lila sudah tahu rahasia itu. Setiap kali Kiera terpesona oleh Rehan, dia tidak bisa menyembunyikannya. Kiera mengembuskan napas, merutuki diri sendiri karena tidak bisa menjaga rahasia ini lebih lama.

Lila, dengan wajah penuh senyuman, terus menggoda. “Kamu pasti suka dia! Coba deh, ajak ngobrol sekali-sekali. Kan, dia juga teman kita!”

“Ah, enggak ah. Dia itu pendiam banget. Pasti enggak tertarik sama aku,” Kiera berusaha bersikap santai, padahal di dalam hatinya, harapan itu terus berkobar.

Dengan alasan ingin mengambil minuman, Kiera beranjak dari tempat duduknya. Dia melangkah ke kantin, mencoba menenangkan jantungnya yang berdegup kencang. Sekali lagi, matanya melirik Rehan yang kini terlihat lebih dekat. Dia sedang membaca novel sambil mengigit pensil, tampak sangat serius. Kiera merasa tersentuh oleh kepiawaiannya mengabaikan dunia luar.

“Ya Tuhan, Kiera, jangan sampai kamu nggak berani mendekat!” bisik hati Kiera. Dia menarik napas dalam-dalam dan memutuskan untuk berani.

Dengan langkah ragu, Kiera mendekati meja Rehan. “Rehan!” suaranya terdengar lebih lantang dari yang dia harapkan. Rehan menoleh, kaget, tetapi segera tersenyum saat mengenali Kiera.

“Hai, Kiera,” jawabnya pelan, dan Kiera bisa merasakan ada kehangatan dalam suaranya.

“Aku lihat kamu lagi baca. Buku apa?” Kiera berusaha membuka percakapan. Dia bisa melihat betapa senangnya Rehan saat berbicara tentang apa yang dia suka.

“Oh, ini. Buku tentang petualangan di luar angkasa. Seru banget!” Rehan menjawab dengan antusias. Kiera terpesona melihat semangatnya. “Kamu suka sci-fi?”

Kiera berpikir sejenak. “Suka sih, tapi aku lebih suka cerita tentang cinta,” jawabnya, berani mengungkapkan satu sisi dirinya.

Rehan tersenyum, matanya berbinar. “Oh, jadi kamu penggemar romansa ya? Ada rekomendasi buku yang bagus?”

Kiera tidak bisa menahan senyumnya. “Banyak! Salah satunya ‘Bumi dan Bulan’ itu seru. Ada konfliknya juga,” ujarnya dengan semangat.

Percakapan antara Kiera dan Rehan mengalir begitu natural, seolah-olah mereka sudah berteman lama. Kiera tidak merasakan jantungnya berdebar seperti sebelumnya; kini dia merasa nyaman dan senang. Momen-momen kecil seperti ini yang dia impikan, di mana mereka bisa berbagi minat dan pendapat.

Namun, di saat yang bersamaan, rasa khawatir mulai menyelinap. “Apa aku harus menyampaikan perasaan ini? Bagaimana kalau dia tidak merasakan hal yang sama?” Kiera berusaha menepis pikiran negatif itu, tetapi sulit untuk diabaikan.

Saat bel berbunyi, menandakan waktu istirahat telah berakhir, Kiera merasa enggan berpisah. “Rehan, kita ngobrol lagi ya? Aku suka ngobrol sama kamu.”

“Pasti! Kapan saja,” jawab Rehan, dan Kiera merasa seolah ada harapan baru yang tumbuh di dalam hatinya.

Kiera berjalan kembali ke kelas dengan langkah ringan, seolah-olah beban di pundaknya terasa lebih ringan. Mungkin ini adalah langkah awal dari sebuah kisah yang dia impikan. Di tengah kerumunan siswa, dia merasa satu langkah lebih dekat dengan Rehan, meskipun itu hanya sekadar percakapan biasa.

Namun, di dalam hatinya, Kiera tahu, ini baru permulaan. Dia akan terus berusaha, berharap bisa lebih dekat dengan Rehan. Sebuah senyuman mengembang di wajahnya saat dia memasuki kelas, membayangkan semua kemungkinan yang bisa terjadi di masa depan.

Di luar jendela, hujan mulai turun perlahan, menyelimuti kota dengan sejuknya. Kiera menatap ke luar, merasakan keindahan dalam setiap tetesan. Dia tahu, di antara mereka, mungkin ada hujan cinta yang perlahan-lahan mulai jatuh.

Belum berakhir, perjalanan ini baru dimulai.

 

Suara dalam Keheningan

Hari demi hari berlalu, dan Kiera merasa ada sesuatu yang berubah dalam hidupnya. Setiap kali dia melihat Rehan, jantungnya berdebar kencang, meskipun mereka hanya bertukar senyum atau menyapa dengan kata-kata sederhana. Entah mengapa, dia merasa semakin terhubung, meskipun banyak yang tak terucapkan di antara mereka.

Suatu sore, sekolah mengadakan festival seni yang meriah. Kiera memutuskan untuk berpartisipasi dengan menampilkan bakatnya dalam menyanyi. Dia menghabiskan berhari-hari mempersiapkan penampilan ini, dan ada satu alasan khusus di balik semua usaha itu: Rehan. Dia ingin Rehan melihatnya, mendengarnya, dan merasakan apa yang dia rasakan.

Di ruang musik, Kiera berlatih lagu yang telah dipilihnya. Suaranya menggema di antara dinding-dinding kelas yang kosong, tetapi dia tidak merasa sendirian. Dalam benaknya, dia membayangkan Rehan duduk di sana, mendengarkan dengan penuh perhatian. Dengan setiap nada yang dinyanyikannya, dia berharap bisa menyampaikan perasaan yang selama ini terpendam.

“Wow, Kiera, suaramu bagus banget!” puji Lila, yang tiba-tiba muncul di ambang pintu. “Rehan pasti akan terpesona!”

Kiera tersipu, sedikit malu. “Kamu yakin? Aku masih belum percaya diri.”

“Percaya deh, kamu pasti bisa! Aku akan ada di depan, mendukung kamu,” Lila menjawab sambil memberi semangat.

Festival seni dimulai, dan Kiera merasa campur aduk. Di satu sisi, dia bersemangat, tetapi di sisi lain, rasa gugup mulai menghampirinya. Saat dia naik ke panggung, sorotan lampu membuatnya terkesima. Seisi ruangan terdiam, menunggu penampilannya.

Kiera mengambil napas dalam-dalam, melihat ke arah penonton. Dia melihat wajah-wajah teman-temannya, tetapi jantungnya bergetar lebih cepat ketika matanya menemukan sosok Rehan di barisan paling depan. Dia duduk dengan tenang, memegang buku catatan, seolah-olah siap mencatat setiap detil penampilannya. Senyumnya yang lembut memberi Kiera keberanian.

Dia memulai lagu yang telah dipilihnya, melodi lembut yang bercerita tentang cinta dan harapan. Setiap lirik mengalir dengan perasaan yang tulus, dan saat suaranya menggema, Kiera merasa seolah-olah dia hanya bernyanyi untuk Rehan. Dalam sekejap, semua keraguan dan rasa malu menghilang, digantikan oleh keinginan untuk menyampaikan perasaannya.

Kiera bisa melihat ekspresi di wajah Rehan. Dia tidak hanya mendengarkan; dia merasakan. Kiera berusaha mengingat semua gerakan dan nada, membiarkan setiap lirik menyentuh hatinya dan hatinya, seolah berbicara langsung kepada Rehan.

Ketika lagu berakhir, tepuk tangan menggema di seluruh ruangan. Kiera tertegun sejenak, tetapi senyum di wajah Rehan membuatnya merasa bahwa penampilannya tidak sia-sia. Rehan berdiri, memberi tepuk tangan yang paling bersemangat.

“Bagus banget, Kiera! Suara kamu luar biasa!” teriak Rehan setelah dia turun dari panggung. Kiera merasa wajahnya memerah.

“Terima kasih, Rehan! Aku… aku sangat senang kamu ada di sini,” jawab Kiera, berusaha tidak terjebak dalam rasa malunya.

“Kamu punya bakat besar. Harus sering-sering tampil, deh,” ujar Rehan sambil menyandarkan diri di dinding, tampak tenang namun penuh perhatian.

“Kalau gitu, aku harus sering-sering latihan biar bisa lebih baik. Mungkin bisa duet sama kamu?” Kiera mengusulkan dengan senyum nakal, berharap bisa membuat Rehan tertawa.

“Duet? Hmm, mungkin. Tapi aku enggak tahu apakah suaraku cukup untuk itu,” Rehan merendahkan suara, tetapi ada kilau semangat di matanya.

“Oh, come on! Semua orang pasti senang mendengarmu!” Kiera berusaha meyakinkan. “Aku yakin kamu bisa! Lagipula, kita berdua bisa jadi tim yang hebat.”

Momen itu terasa hangat, seolah-olah mereka berbagi rahasia kecil di antara keramaian festival. Dalam pandangan Rehan, Kiera merasa ada pengertian yang mendalam, seperti mereka telah terhubung dalam cara yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Ketika festival berakhir, Kiera dan Rehan berjalan berdua ke arah parkiran. Hujan mulai turun perlahan, menciptakan aroma segar di udara. Kiera tidak ingin momen ini berakhir, jadi dia memutuskan untuk mengambil langkah berani.

“Rehan, ada satu hal yang ingin aku katakan,” Kiera memulai dengan suara pelan, tetapi jantungnya berdegup semakin kencang. “Aku… aku suka menghabiskan waktu sama kamu. Rasanya nyaman.”

Rehan menoleh, matanya tampak terkejut, tetapi kemudian dia tersenyum. “Aku juga merasa hal yang sama, Kiera. Kamu itu menyenangkan.”

Kiera merasa harapannya mulai tumbuh. “Kita bisa lebih sering ngobrol, kan? Aku suka sekali saat kita berbicara.”

“Pasti,” Rehan menjawab, senyumnya membuat Kiera merasa lebih tenang. “Aku selalu senang mendengarkan kamu.”

Mereka melanjutkan percakapan ringan saat berjalan di bawah payung. Kiera merasa bahwa hujan bukan hanya tentang air yang jatuh; itu adalah tentang perasaan yang tumbuh antara mereka. Dalam setiap tetes, dia merasakan cinta yang perlahan-lahan mengalir, membawa mereka lebih dekat satu sama lain.

Saat mereka sampai di gerbang sekolah, Kiera tidak ingin pertemuan ini berakhir. “Kalau hujan lagi, kita bisa pergi bareng lagi?” tanyanya dengan berani.

“Ya, itu ide yang bagus. Aku suka berpetualang di bawah hujan,” jawab Rehan dengan senyum hangat.

Kiera tersenyum kembali, merasa gembira. Mungkin, perjalanan cinta mereka baru saja dimulai, dan dia berharap bisa menjelajahi semua keindahan yang ada di antara mereka. Di bawah langit yang gelap, di tengah hujan, Kiera merasa bahwa hatinya sudah menemukan jalannya.

Di dalam diri Kiera, harapan baru tumbuh, dan semua impian yang pernah dia pendam mulai tampak lebih nyata. Namun, dia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan semudah yang dia bayangkan. Dengan perasaan penuh harapan, Kiera melangkah pulang, menyimpan cerita ini dalam ingatannya, bersiap untuk semua yang akan datang.

 

Bayang-Bayang Harapan

Minggu demi minggu berlalu, dan suasana hati Kiera semakin cerah. Hubungan antara dia dan Rehan tampak semakin dekat. Setiap kali mereka bertemu di sekolah, ada interaksi yang semakin hangat. Tertawa bersama, berbagi cerita, dan saling mendukung satu sama lain dalam belajar. Kiera merasakan bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar persahabatan, meskipun mereka berdua masih terjebak dalam permainan diam-diam.

Suatu hari, di tengah pelajaran matematika yang membosankan, Kiera merasa gelisah. Dia memandangi Rehan dari sudut matanya. Dia sedang memfokuskan diri pada lembaran kertasnya, mencatat rumus dengan penuh perhatian. Kiera tersenyum sendiri. Dia ingat bagaimana beberapa hari lalu mereka saling bertukar catatan dan bagaimana Rehan berhasil membantunya memahami pelajaran yang sulit itu.

Setelah bel berbunyi, Kiera menunggu momen yang tepat untuk berbicara dengan Rehan. Ketika teman-teman sekelas mulai beranjak pergi, Kiera mengumpulkan keberaniannya. “Rehan!” panggilnya, berusaha terlihat santai.

Rehan menoleh, dan senyumnya terlihat cerah. “Ada apa, Kiera?”

“Aku ada rencana untuk acara bakti sosial di sekolah, dan aku pikir… kita bisa bareng-bareng,” Kiera mencoba menjelaskan, rasa gugup menghantui.

“Bakti sosial? Seru juga, ya! Apa yang mau kita lakukan?” tanya Rehan, matanya berbinar.

“Kalau enggak salah, kita akan mengumpulkan donasi untuk panti asuhan. Aku berpikir kita bisa buat poster dan promosi di sekitar sekolah,” jawab Kiera, merencanakan semua yang bisa mereka lakukan bersama.

Rehan mengangguk. “Baiklah, ayo kita buat poster yang keren. Aku bisa gambar, kamu bisa nulis. Kita bisa jadi tim yang hebat!”

Kiera merasakan hatinya berdebar mendengar semangat Rehan. “Iya! Kita harus melakukannya dengan baik,” ujarnya, berusaha menahan senyum.

Setelah beberapa hari persiapan, hari acara bakti sosial pun tiba. Kiera dan Rehan bersemangat menghias stan mereka dengan poster warna-warni dan tulisan yang menggugah semangat. Saat orang-orang mulai berdatangan, Kiera merasakan suasana hangat di sekitarnya. Rehan tampak sangat antusias, menjelaskan kepada pengunjung tentang kegiatan tersebut.

Di tengah keramaian, Kiera melihat Rehan berbicara dengan seorang teman mereka yang bernama Dito. Dito terlihat sangat mengagumi kemampuan menggambar Rehan, dan Kiera merasa sedikit cemburu.

Kiera mengingat kata-kata Lila, “Jangan terlalu cepat merasa insecure, Kiera. Rehan sudah jelas tertarik sama kamu.” Namun, saat melihat Rehan yang ceria di samping Dito, hatinya sedikit meragukan.

Beberapa jam berlalu, dan suasana di stan mereka semakin ramai. Kiera berusaha fokus pada tujuan utama, tetapi saat-saat ketika Rehan tertawa dan bercanda dengan teman-teman membuatnya teringat akan perasaannya yang lebih dalam. Dia ingin berbagi lebih dari sekadar tawa; dia ingin berbagi segalanya.

Setelah acara selesai, mereka berdua duduk sejenak di bangku taman sekolah yang sepi. “Kira-kira kita berhasil mengumpulkan berapa banyak donasi, ya?” Kiera bertanya, berusaha mencairkan suasana.

“Sepertinya lumayan banyak. Orang-orang sangat antusias,” Rehan menjawab dengan senyum puas. “Aku senang kita melakukan ini bersama.”

Kiera melihat ke arah Rehan, merasakan gelombang perasaan yang kuat. “Rehan, aku… aku merasa sangat nyaman saat bersamamu. Kamu itu beda, dan aku suka.”

Rehan mendongak, wajahnya sedikit terkejut. “Kiera, aku juga merasakan hal yang sama. Tapi… aku bingung bagaimana mengungkapkannya.”

“Kenapa bingung? Kita bisa jujur satu sama lain,” Kiera mencoba mendorong.

“Mungkin aku takut kehilangan momen ini. Kita sudah dekat, dan aku enggak mau mengubah apa pun.” Suara Rehan terdengar penuh ketulusan.

Kiera merasa hatinya bergetar. “Aku juga enggak mau kehilangan ini. Tapi… aku ingin kita lebih dari teman, Rehan.”

Kata-kata itu meluncur keluar tanpa direncanakan. Seketika suasana di antara mereka terasa lebih intens. Rehan terdiam, mengamati Kiera dengan tatapan dalam.

“Jadi, kamu ingin kita berusaha lebih dari sekadar teman? Berarti kita harus mengungkapkan perasaan kita,” Rehan menjawab, sedikit ragu namun penuh harapan.

“Ya, kita bisa mulai dengan saling mengenal lebih dalam,” Kiera mengusulkan, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang.

Rehan mengangguk, seolah-olah memikirkan langkah selanjutnya. “Bagaimana kalau kita mulai dengan ngobrol lebih sering? Mungkin kita bisa buat jadwal ketemu setelah sekolah?”

Kiera merasa senangnya. “Itu ide yang bagus! Kita bisa melakukan hal-hal yang menyenangkan bersama.”

Mereka berdua tersenyum, merasakan bahwa sebuah awal baru sedang diciptakan. Kiera tidak pernah merasa seberuntung ini sebelumnya. Dia berdoa agar momen ini bukan hanya sebatas harapan semata.

Saat senja menjelang, Kiera melihat Rehan di sampingnya, merasakan kebahagiaan yang tak terlukiskan. Mereka masih harus melalui banyak hal, tetapi untuk saat ini, Kiera tahu bahwa dia dan Rehan telah melangkah lebih dekat menuju masa depan yang mereka impikan.

Dalam hatinya, Kiera berjanji untuk terus memperjuangkan perasaan ini, tidak peduli seberapa sulitnya. Momen di bangku taman itu akan selalu dia kenang sebagai titik balik dari hubungan mereka yang semakin kuat, meskipun keduanya masih menyimpan perasaan dalam diam.

 

Suara Hati yang Terungkap

Hari-hari setelah acara bakti sosial itu menjadi semakin berwarna bagi Kiera dan Rehan. Mereka rutin bertemu di taman setelah sekolah, berbagi cerita, tawa, dan harapan. Ada kehangatan yang membuat mereka berdua merasa semakin dekat. Kiera merasakan semangat baru dalam hidupnya. Namun, di balik semua itu, ada rasa penasaran yang menggelisahkan hatinya.

Suatu sore, saat mereka duduk di bangku favorit mereka, Kiera memperhatikan Rehan yang tampak lebih tenang dari biasanya. Matanya tampak menyiratkan sesuatu yang lebih dalam. Kiera memutuskan untuk menggali lebih jauh. “Rehan, kamu terlihat sedang memikirkan sesuatu. Ada apa?”

Rehan tersenyum tipis, tetapi matanya tidak menampakkan keceriaan yang biasa. “Aku cuma… memikirkan kita. Tentang semua yang kita lalui. Sepertinya kita sudah dekat, tapi… kadang aku bingung dengan perasaan ini.”

Kiera merasakan hatinya berdebar. “Aku juga merasakannya. Ada hal yang ingin aku bicarakan.”

Rehan menatapnya dengan penuh perhatian, membuat Kiera semakin berani untuk mengungkapkan isi hatinya. “Selama ini, kita sudah menjadi teman yang baik. Tapi, aku ingin lebih dari itu. Aku ingin kita bisa saling mendukung dan berbagi lebih dalam. Aku suka kamu, Rehan.”

Kata-kata itu meluncur dengan mudah, meskipun Kiera merasakan ketegangan di dalam dadanya. Rehan terdiam sejenak, seolah mengolah apa yang baru saja dia dengar. “Kiera… aku juga suka kamu. Sebenarnya, aku sudah merasakannya sejak lama. Cuma, aku takut jika kita berubah.”

Kiera merasa seluruh dunia seakan berhenti sejenak. Semua keraguan dan rasa cemas yang mengganggu pikirannya selama ini menghilang. “Jadi, kita tidak perlu khawatir tentang itu? Kita bisa mencoba?”

Rehan mengangguk pelan. “Kita bisa mencoba. Aku percaya kita bisa menjaga hubungan ini dengan baik.”

Kiera tersenyum lebar, merasakan beban yang menghilang. “Aku sangat senang mendengarnya! Aku tidak ingin kehilangan kamu, Rehan.”

Mereka berdua terdiam, menatap satu sama lain, merasakan ada getaran dalam udara. Suasana di sekitar mereka menjadi hening, hanya terdengar suara burung-burung yang terbang pulang dan angin lembut yang berdesir. Kiera tahu, momen ini adalah awal dari sebuah perjalanan baru.

Sejak saat itu, hubungan mereka tumbuh dengan indah. Kiera dan Rehan saling mendukung dalam pelajaran, berkolaborasi dalam berbagai proyek, dan yang terpenting, saling berbagi impian. Mereka sering bertukar cerita tentang masa depan, saling menginspirasi untuk mencapai cita-cita masing-masing.

Suatu sore, saat mereka berdua sedang membaca buku di perpustakaan sekolah, Rehan menutup bukunya dan menatap Kiera dengan serius. “Kiera, aku ingin kita merencanakan sesuatu. Bagaimana kalau kita berdua pergi ke acara festival seni di kota akhir pekan ini?”

Kiera terkejut dan senang. “Festival seni? Itu ide yang bagus! Kita bisa menikmati karya seni dan musik bersama!”

“Ya, dan ini akan jadi kesempatan kita untuk lebih mengenal satu sama lain. Aku ingin memastikan kita bisa menjadi pasangan yang saling mendukung, tidak hanya di sekolah tapi juga di luar,” ujar Rehan dengan penuh semangat.

Kiera merasakan hatinya melompat. “Aku setuju! Kita harus bersenang-senang!”

Akhir pekan tiba, dan suasana festival seni dipenuhi dengan warna-warna cerah, suara musik, dan aroma makanan yang menggoda. Kiera dan Rehan berjalan beriringan, tertawa dan berbagi cerita. Mereka mengunjungi berbagai stan, berfoto bersama di depan lukisan-lukisan indah, dan menikmati momen-momen kecil yang membuat mereka merasa lebih dekat.

Di tengah keramaian, Kiera merasakan betapa berartinya Rehan dalam hidupnya. Dia adalah teman yang selalu ada, pendengar yang baik, dan sekarang, dia juga adalah seseorang yang diinginkannya lebih dari sekadar teman. Kiera tersenyum, mengingat semua ketegangan yang pernah mereka rasakan. Kini, semua itu telah berubah menjadi sesuatu yang indah.

Di puncak acara, saat matahari mulai tenggelam dan langit dipenuhi warna jingga keemasan, Rehan memegang tangan Kiera. “Kiera, aku merasa sangat beruntung bisa bersamamu. Aku ingin kita terus melangkah maju bersama, menghadapi apa pun yang ada di depan.”

Kiera merasakan hangatnya genggaman tangan Rehan. “Aku juga, Rehan. Kita akan bersama, apa pun yang terjadi.”

Mereka saling menatap, dan dalam momen itu, semua perasaan yang terpendam akhirnya terungkap. Kiera merasakan cinta yang tulus dan menguatkan tekad untuk menghadapi masa depan bersama.

Dengan hati yang penuh harapan, Kiera dan Rehan melangkah maju, siap untuk menghadapi segala tantangan dan merayakan cinta yang tumbuh dalam diam. Seiring bintang-bintang mulai menghiasi langit malam, mereka tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai, dan yang terpenting, mereka tidak akan melaluinya sendirian.

 

Jadi, itulah kisah Kiera dan Rehan—sebuah cinta yang lahir dalam diam namun penuh makna. Kadang, kita nggak perlu mengucapkan semua perasaan kita untuk bisa merasakan kehadiran seseorang yang spesial.

Siapa tahu, cinta yang kamu simpan dalam hati justru adalah yang paling berharga. Yuk, terus jaga harapan dan jangan takut untuk berani bilang aku suka pada orang yang tepat! Sampai jumpa di cerita-cerita manis berikutnya!

Leave a Reply