Cinta Bertepuk Sebelah Tangan: Merelakan yang Penuh Makna

Posted on

Kadang, cinta itu kayak nulis surat yang enggak pernah sampai. Kita bisa ngeluarin semua rasa, tapi pada akhirnya, mereka tetap pergi ke tempat yang enggak kita duga.

Ini cerita tentang Fathir, seorang cowok yang harus belajar merelakan cinta yang bertepuk sebelah tangan. Siapa yang bilang merelakan itu gampang? Yuk, kita ikuti perjalanan emosionalnya yang penuh tawa, air mata, dan tentu saja, pelajaran hidup yang bikin kita mikir dua kali!

 

Merelakan yang Penuh Makna

Pertemuan di Taman Buku

Sore itu, langit kota kecil itu dipenuhi awan kelabu, memberikan kesan damai di antara riuhnya suara anak-anak yang bermain di taman. Fathir duduk di bangku kayu, sebuah buku tebal di tangan, tetapi pandangannya melayang jauh. Setiap kali ia membuka halaman, pikirannya selalu teralihkan ke sosok di sebelahnya. Laras.

Dia duduk di atas rerumputan, berbagi tawa dengan beberapa teman sekelas yang tampak begitu akrab. Rambut hitam legamnya tergerai, melambai lembut tertiup angin. Fathir tahu bahwa tawa Laras adalah melodi terindah yang pernah ia dengar, tetapi entah kenapa, hatinya terasa berat melihatnya begitu bahagia dengan orang lain.

“Fathir, kenapa kamu duduk sendiri?” seru Sinta, sahabat Laras, tiba-tiba menghampirinya.

Fathir tersenyum tipis, berusaha menutupi perasaannya yang sebenarnya. “Enggak apa-apa, Sinta. Lagi baca buku.”

“Baca terus, ya? Nanti Laras mau ngajak kamu main.” Sinta melirik Laras dan berlari kembali, meninggalkan Fathir dalam kebisuan.

Fathir menundukkan kepala, terbenam dalam pikirannya. Ia sudah lama menyimpan perasaan ini—sejak pertama kali melihat Laras berbicara tentang novel kesukaannya dengan penuh semangat. Setiap kali Laras tersenyum, seolah-olah semua warna dunia ini menjadi lebih cerah. Namun, ada satu hal yang selalu menghantuinya: Laras lebih tertarik pada Rizky, teman sekelas mereka yang tampan dan populer.

Beberapa menit kemudian, Laras berdiri dan menghampiri Fathir. “Fathir, apa kamu mau ikut ke kafe? Aku dan teman-teman mau ngumpul,” katanya, suaranya ceria.

“Eh, kafe? Enggak tahu deh,” jawab Fathir ragu, hatinya berdebar.

“Yuk, jangan gitu! Ini kan kesempatan kamu buat lebih dekat sama kita,” Laras menggoda dengan senyum manis. Fathir merasa hatinya melompat, tetapi ia tetap berusaha tenang.

“Baiklah, aku ikut.” Ia berusaha untuk terdengar santai meski jantungnya berdebar kencang.

Sampai di kafe, suasana semakin ramai. Aroma kopi dan kue bercampur, membuat perut Fathir berbunyi. Mereka memilih meja di sudut, dan Fathir duduk di seberang Laras.

“Jadi, Fathir. Kamu lagi baca buku apa sih?” Laras bertanya, matanya bersinar penuh minat.

“Oh, ini tentang petualangan di luar angkasa,” jawab Fathir sambil mengangkat buku yang tergeletak di meja.

“Wah, keren! Aku suka buku-buku tentang petualangan. Apa ada karakter yang menarik?” Laras terlihat antusias, seolah dunia di sekitarnya menghilang.

Fathir merasa beruntung bisa berbagi minat yang sama. “Ada, namanya Alden. Dia seorang astronot yang berjuang menemukan planet baru. Dia sangat berani, meskipun banyak rintangan yang harus dihadapi.”

“Berani ya? Aku pengen jadi seperti Alden. Berani mengambil risiko dan menghadapi tantangan,” Laras berkata, senyum cerah di wajahnya. Fathir terpesona oleh semangatnya.

Di tengah obrolan mereka, Rizky muncul dengan segerombolan teman-temannya. “Eh, Laras! Apa kabar?” Rizky melambai, seolah-olah semua orang di kafe harus tahu betapa populer dirinya.

Laras berbalik, wajahnya bersinar saat melihat Rizky. “Hai, Rizky! Aku lagi sama Fathir, nih. Dia baru aja cerita tentang buku luar angkasa.”

Fathir merasakan ketidaknyamanan saat Rizky duduk di samping Laras. Tawa mereka membuat hatinya terasa semakin berat. “Ah, luar angkasa? Seru! Aku juga suka cerita-cerita gitu,” Rizky merespons dengan nada penuh percaya diri.

Fathir berusaha menyembunyikan rasa cemburunya, tetapi sulit untuk tidak merasa terasing saat melihat Laras lebih memperhatikan Rizky. Obrolan mereka berlanjut, dan Fathir berusaha tersenyum, meskipun dalam hatinya ada badai yang melanda.

Malam mulai merayap, dan kafe mulai sepi. Fathir berdiri untuk pulang, merasa lebih lelah dari sebelumnya. “Aku pamit dulu, ya,” katanya kepada Laras.

“Jangan pergi dulu, Fathir! Kita harus nonton film bareng suatu waktu,” Laras berkata, wajahnya tampak penuh harapan.

“Ya, pasti,” jawab Fathir, berusaha menenangkan hatinya yang bergetar.

Dalam perjalanan pulang, Fathir terjebak dalam pikirannya. Ia tahu bahwa perasaannya kepada Laras adalah sesuatu yang indah, tetapi juga menyakitkan. Cinta yang ia rasakan adalah sesuatu yang tak akan pernah terbalas, dan ia harus belajar merelakannya. Namun, di sudut hatinya, harapan kecil itu selalu ada.

Bulan bersinar cerah di langit, menggambarkan keindahan dan kesedihan yang bersatu. Fathir melangkah perlahan, merasakan setiap jejak yang ia tinggalkan. Hari itu adalah awal dari perjalanan panjang yang penuh emosi—cinta yang tak terbalas, harapan yang tersisa, dan pelajaran tentang merelakan.

 

Rasa yang Terpendam

Beberapa minggu berlalu, dan suasana di sekolah masih sama. Fathir terus menjalani hari-harinya dengan rutinitas yang monoton. Dia berada di kelas, mendengarkan pelajaran, dan menyelesaikan tugas-tugas, tetapi pikirannya selalu kembali kepada Laras. Momen-momen kecil saat mereka bercanda, atau ketika Laras menatapnya dengan antusias, terus berputar di benaknya.

Namun, hari itu berbeda. Saat Fathir berjalan menuju kantin, ia melihat Laras duduk bersama Rizky dan teman-teman lainnya. Mereka tertawa, terlihat begitu akrab, dan itu membuat hatinya berdesir. Fathir mempercepat langkahnya, berusaha untuk tidak terlalu memperhatikan. Tapi rasa cemburu itu tak bisa dihindari.

“Fathir!” suara Laras memanggilnya dari jauh. Dia berbalik, wajahnya cerah dan penuh semangat. “Ayo duduk sini!”

Fathir merasakan campuran senang dan gugup. “Eh, ya. Terima kasih, Laras.” Dia duduk di sampingnya, mencoba untuk tetap tenang meski hati berdebar kencang.

“Jadi, ada rencana apa setelah sekolah?” Laras bertanya sambil mengaduk minumannya.

“Belum ada sih. Mungkin cuma belajar di rumah,” jawab Fathir, berusaha menyembunyikan ketidakpastian dalam suaranya.

“Ah, kamu kan bisa ikut kami nonton film malam ini! Rizky juga ikut,” Laras menyebutkan nama Rizky seolah itu adalah hal yang biasa. Fathir merasakan hatinya terjatuh sejenak.

“Film apa?” tanyanya, berusaha untuk bersikap santai.

“Kita mau nonton yang baru rilis, katanya seru banget!” Laras berkata dengan semangat. “Kamu pasti suka deh!”

“Ya, aku pikir… aku bisa ikut.” Suara Fathir terputus, rasa cemburu itu semakin membesar, tetapi dia tahu ini adalah kesempatan untuk menghabiskan waktu bersama Laras.

Setelah makan, mereka pergi ke bioskop bersama-sama. Fathir berusaha fokus pada film, tetapi semua yang bisa dipikirkannya adalah bagaimana Rizky selalu berada di dekat Laras. Senyuman Laras, sorot matanya saat dia tertawa, semuanya terasa seperti petir yang mengoyak hatinya.

Ketika film berakhir, semua orang keluar dengan ceria, tapi perasaan Fathir justru sebaliknya. Dia mencoba mengabaikan semua itu, tetapi sepertinya, tidak ada satu pun cara yang bisa menghentikan bayangan Laras yang tertawa di samping Rizky.

“Eh, Fathir! Kenapa kamu enggak bicara banyak? Apa kamu enggak suka filmnya?” Laras tiba-tiba bertanya, wajahnya tampak khawatir.

Fathir terkejut mendengar pertanyaan itu. “Enggak, aku suka. Cuma… enggak tahu, mungkin capek,” dia berbohong, berusaha untuk tersenyum meskipun rasa sakit itu terasa nyata.

“Jangan kayak gitu, ya. Kita harus sering-sering hangout bareng!” Laras berkata sambil menepuk bahunya. “Mungkin nanti kita bisa nonton lagi, kamu dan aku.”

Hati Fathir seolah meloncat. “Iya, kita bisa,” katanya, berusaha menahan perasaan campur aduk di dalam diri.

Di tengah obrolan mereka, Fathir melihat Rizky mendekat. “Eh, Laras, kita foto yuk!” Rizky mengeluarkan ponselnya, wajahnya penuh percaya diri.

“Yuk!” Laras bersorak, berdiri dan melangkah ke samping Rizky, meninggalkan Fathir yang terdiam di tempat. Fathir hanya bisa memandangi mereka, tersenyum paksa sambil hatinya berjuang melawan rasa sakit yang menggerogoti.

Selama foto-foto diambil, Fathir merasa semakin terasing. Laras tampak begitu bahagia berada di samping Rizky, dan setiap detik yang berlalu hanya menambah rasa kecewa di hatinya.

Saat malam mulai larut, mereka berpamitan untuk pulang. Fathir berjalan pulang dengan pikiran yang berat. Setiap langkah terasa seperti beban, mengingat betapa ia ingin Laras merasakan perasaannya, tetapi semua harapan itu terasa jauh dan tak terjangkau.

Sampai di rumah, Fathir membuka buku catatan yang selalu menemaninya. Dia mulai menulis dengan pensilnya, mengekspresikan semua rasa yang terpendam.

“Aku berusaha merelakan, tapi setiap kali aku melihatmu, rasa itu muncul kembali. Mungkin, cinta ini adalah beban yang harus ku bawa sendiri. Tapi, bagaimana bisa aku merelakan seseorang yang selalu ada dalam pikiranku?”

Dia menutup buku dan menatap langit yang dipenuhi bintang. Dalam keheningan malam, Fathir tahu satu hal: cintanya kepada Laras adalah perasaan yang dalam dan tulus, meskipun harus terpendam selamanya. Ia berharap suatu saat, bisa menemukan kekuatan untuk merelakannya.

Namun, untuk saat ini, semua yang bisa dilakukannya adalah menunggu, menanti momen ketika hatinya akan menemukan kedamaian di tengah kekecewaan yang menyelimuti.

 

Jejak yang Tersisa

Hari-hari setelah malam di bioskop itu terasa berat bagi Fathir. Meskipun ia berusaha untuk bersikap biasa, setiap kali melihat Laras dan Rizky bersama, hatinya kembali bergetar, terombang-ambing antara harapan dan kenyataan. Namun, Fathir berusaha untuk tidak menunjukkan kekecewaannya, berusaha menjadi teman yang baik, meskipun dalam hatinya tersimpan rasa yang lebih dalam.

Suatu sore, saat Fathir sedang duduk di perpustakaan, Laras menghampirinya dengan wajah ceria. “Fathir! Kita ada tugas kelompok, mau enggak kamu ikutan?”

Fathir menatapnya, jantungnya berdegup cepat. “Tugas kelompok? Untuk pelajaran apa?”

“Biologi. Kita harus membuat presentasi tentang ekosistem,” Laras menjelaskan dengan semangat. “Aku sudah ngobrol sama Rizky dan beberapa teman lainnya, dan kami butuh satu orang lagi. Gimana? Mau?”

Dia ingin sekali menjawab, “Ya, tentu saja!” tetapi saat memikirkan Rizky yang juga akan ada di kelompok itu, rasa ragu kembali menghinggapi. “Hmm… ya, aku mau ikut,” katanya, berusaha bersikap positif.

Pertemuan pertama kelompok diadakan di rumah Laras. Fathir datang dengan hati berdebar, berusaha menyingkirkan semua rasa cemburu yang selalu menghantuinya. Laras menyambutnya dengan senyum hangat, mengurangi sedikit beban di hati Fathir.

Di dalam ruang tamu yang hangat, mereka mulai berdiskusi. Laras, Rizky, dan beberapa teman lainnya tampak antusias, membahas berbagai ide untuk presentasi mereka. Fathir hanya bisa mendengarkan, kadang ikut memberikan pendapat, tetapi suasana hati yang berat membuatnya sulit untuk bersuara.

Saat diskusi berlangsung, Rizky kerap kali menimpali dan memancing tawa Laras. Fathir hanya bisa memandangnya, menahan semua emosi yang terus membara di dalam hati.

“Eh, Fathir, kamu harus lebih berani ngomong! Jangan hanya jadi pendengar,” Rizky berkata, mengedipkan mata padanya.

“Ya, bener. Fathir, kami butuh idemu!” Laras menambahkan, matanya berbinar penuh harapan.

Mendengar suara Laras yang menyemangati, Fathir berusaha bangkit. “Oke, gimana kalau kita fokus pada dampak perubahan iklim terhadap ekosistem?”

Usulan itu diterima dengan baik oleh kelompok, dan diskusi berlanjut dengan lebih seru. Fathir mulai merasa lebih nyaman, mencoba untuk melupakan rasa cemburunya, setidaknya untuk sementara.

Namun, saat presentasi semakin dekat, ketegangan di dalam dirinya kembali muncul. Ia tak bisa menghindari kenyataan bahwa saat Laras melihat Rizky, ada sinar yang berbeda, sesuatu yang tidak pernah ia lihat saat Laras menatapnya.

Hari presentasi tiba, dan Fathir sudah berusaha menyiapkan dirinya. Ketika giliran mereka untuk tampil, Fathir mengambil napas dalam-dalam dan melangkah ke depan, berusaha tampil percaya diri di samping Laras.

Selama presentasi, Fathir melihat Laras berbicara dengan penuh semangat, dan untuk sejenak, rasa cemburu itu menguap. Dia kagum pada cara Laras menjelaskan dengan jelas dan menarik, seolah seluruh dunia berputar di sekitarnya.

“Terima kasih, Fathir, untuk idenya!” Laras tersenyum ketika mereka selesai, membuat Fathir merasa seolah-olah semua usaha yang ia lakukan terbayar.

“Enggak masalah,” Fathir menjawab, berusaha menjaga senyum di wajahnya.

Setelah presentasi, mereka merayakan keberhasilan dengan makan di kafe. Di sinilah, saat mereka duduk berempat, Fathir merasakan bahwa dia kembali terjebak dalam kekecewaan. Rizky tidak berhenti melontarkan candaan, dan Laras tampak sangat terhibur.

Malam itu, saat Fathir melangkah pulang, hatinya kembali terasa berat. Ia menoleh ke langit malam, mencari bintang-bintang yang bersinar.

“Kenapa aku tidak bisa melupakanmu, Laras? Kenapa semua ini terasa begitu menyakitkan?” pikirnya.

Ia merasakan ada sebuah ketidakpastian yang melanda dirinya. Cinta yang ia simpan terpendam dalam-dalam membuatnya merasa seperti terkurung dalam labirin.

Di rumah, Fathir membuka buku catatannya lagi, menulis dengan penuh emosi.

“Setiap kali aku melihatmu tersenyum, aku tahu betapa berartinya kamu bagiku. Tetapi aku juga tahu, bahwa di balik senyummu, ada orang lain yang selalu ada di sampingmu. Mungkin, cinta ini akan menjadi bagian dari masa laluku. Aku harus belajar merelakannya.”

Keesokan harinya, Fathir memutuskan untuk lebih fokus pada dirinya sendiri. Dia mulai meluangkan waktu untuk hobi-hobinya, membaca buku, dan berkumpul dengan teman-teman lain. Ia sadar bahwa meskipun sulit, hidup tidak hanya tentang cinta yang tak terbalas.

Meskipun rasa sakit itu belum sepenuhnya hilang, Fathir bertekad untuk terus melangkah maju. Ia tahu bahwa merelakan bukanlah hal yang mudah, tetapi dengan setiap langkah, ia berharap dapat menemukan cara untuk menerima kenyataan dan membangun hidupnya sendiri.

 

Merelakan

Hari-hari berlalu, dan Fathir semakin terbiasa dengan rutinitasnya yang baru. Meskipun rasa cemburu dan sakit hati itu masih ada, dia berusaha menjadikan perasaannya sebagai motivasi untuk berkembang. Ia mulai mengikuti klub fotografi di sekolah, yang memberinya kesempatan untuk mengekspresikan diri dan melihat dunia dengan cara yang berbeda.

Suatu sore, saat sedang mengikuti latihan klub, Fathir tidak sengaja melihat Laras dan Rizky di taman sekolah. Mereka tertawa, berbagi momen yang tampak begitu hangat. Fathir mengalihkan pandangannya, berusaha untuk tidak terbawa emosi. Dia mengambil kameranya dan mulai memotret pemandangan sekeliling.

Saat ia asyik memotret, seorang teman klub menghampirinya. “Fathir, kamu kenapa? Kayak ada yang mengganggu aja.”

Dia terdiam sejenak, berpikir. “Enggak, aku cuma… lagi mencoba mengalihkan pikiran,” jawabnya, berusaha tersenyum.

“Yakin? Jangan terlalu dipikirin, Fathir. Hidup itu harus dinikmati!” teman itu menepuk punggungnya, memberi semangat.

Fathir tersenyum tipis. Dia tahu teman itu benar, tetapi setiap kali berhadapan dengan Laras, semuanya terasa lebih sulit. Namun, di balik semua itu, ia merasakan perubahan dalam dirinya. Hatinya perlahan belajar untuk merelakan.

Beberapa minggu kemudian, ada acara sekolah yang mengundang seluruh siswa untuk berpartisipasi dalam pameran seni. Fathir memutuskan untuk memamerkan foto-foto hasil karyanya. Saat mempersiapkan semuanya, ia merasakan semangat yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

Hari pameran pun tiba. Fathir berdiri di samping karyanya, melihat orang-orang yang menikmati foto-fotonya. Tak lama kemudian, Laras datang bersama teman-temannya. Fathir merasakan degupan jantungnya meningkat, tetapi kali ini, ia tidak merasa takut.

“Fathir, ini keren banget!” Laras berkomentar, mata bulatnya bersinar saat melihat hasil karyanya. “Kamu benar-benar punya bakat!”

“Terima kasih, Laras,” jawab Fathir, merasakan hangatnya pujian itu.

Di tengah pembicaraan mereka, Rizky muncul. “Wah, foto-foto ini luar biasa! Fathir, kamu harus terus berkarya,” Rizky menambahkan, memberi dorongan yang Fathir tidak sangka.

“Terima kasih, Rizky,” kata Fathir dengan tulus. Di saat itu, dia merasakan sebuah kelegaan. Mungkin, merelakan bukan tentang melupakan sepenuhnya, tetapi menerima bahwa setiap orang memiliki jalannya masing-masing.

Seiring malam berakhir, Fathir merasakan semangat baru dalam dirinya. Ia menyadari bahwa hidupnya tidak hanya tentang cinta yang tak terbalas. Ada banyak hal yang menunggu untuk dieksplorasi dan diperjuangkan. Dia merasa bahwa dirinya telah menemukan jalan baru yang penuh harapan.

Ketika acara berakhir, Fathir berjalan pulang dengan langkah yang lebih ringan. Malam itu, saat ia duduk di teras rumah, menatap langit berbintang, dia mengingat semua momen indah bersama Laras. Namun, tidak ada lagi rasa sakit yang menggerogoti.

“Aku akan mengingat semua kenangan ini, tetapi aku juga tahu saatnya untuk melanjutkan hidup,” tulisnya dalam buku catatan.

Dan di sana, dalam keheningan malam, Fathir menyadari bahwa merelakan bukanlah akhir dari segalanya, tetapi justru awal dari sesuatu yang baru. Cinta yang tak terbalas akan selalu menjadi bagian dari hidupnya, tetapi itu tidak akan mendefinisikan siapa dirinya.

Dia bersiap untuk menghadapi hari-hari yang akan datang, dengan harapan dan semangat yang baru. Dalam merelakan, Fathir menemukan kebebasan untuk mencintai dirinya sendiri dan menjalani hidup yang penuh warna.

 

Jadi, mungkin cinta yang bertepuk sebelah tangan itu bukanlah akhir dari segalanya. Kadang, merelakan justru memberi kita ruang untuk tumbuh dan menemukan kebahagiaan yang lain. Seperti Fathir, kita semua punya cerita yang berharga, bahkan yang penuh luka sekalipun.

Ingat, setiap langkah dalam hidup adalah bagian dari perjalanan kita. Siapa tahu, di ujung jalan, ada kebahagiaan yang lebih besar menanti. Jadi, jangan takut untuk mencintai, merelakan, dan melangkah maju!

Leave a Reply