Cinta Bersemi di Kantin Sekolah: Kisah Romantis Satria dan Naya

Posted on

Eh, kalian! Siapa yang bilang cinta itu harus muluk-muluk dan dramatis? Yuk, ikutin cerita Satria dan Naya, dua anak sekolah yang menemukan cinta di tempat paling nggak terduga: kantin! Siapa sangka, dari momen konyol dan tawa ngakak, mereka bisa bikin cinta mereka bersemi di tengah hiruk-pikuk kehidupan sekolah? Siap-siap buat ngakak dan baper bareng mereka, ya! Let’s go!!

 

Kisah Romantis Satria dan Naya

Gugup di Kantin

Kantin sekolah selalu ramai. Setiap istirahat, deretan meja dan kursi dipenuhi anak-anak yang berlomba-lomba memesan makanan kesukaan mereka. Wangi gorengan yang baru diangkat dari penggorengan, es teh manis, dan suara anak-anak bercanda adalah hal yang selalu ada di sana. Satria duduk di pojok kantin, matanya sibuk mengamati. Bukan keramaian yang diperhatikannya, tapi satu sosok tertentu—Naya.

Naya bukan sekadar cewek populer di sekolah. Dia adalah magnet yang menarik perhatian semua orang dengan cara yang sederhana. Rambut hitamnya selalu terlihat rapi meski tergerai bebas, dan tawa renyahnya terdengar jelas di antara suara hiruk-pikuk kantin. Senyumnya, meski terlihat ceria, selalu menyimpan kesan nakal, seolah dia tahu lebih banyak dari orang lain.

Satria sudah berulang kali melihat Naya. Hampir setiap hari, sebenarnya. Tapi entah kenapa, setiap kali dia berniat mendekat, kakinya seolah berat, seperti ada beban yang menariknya ke tanah. Dia memang jago di lapangan basket, terkenal, dan dihormati teman-temannya. Tapi di hadapan Naya, dia hanya bisa menjadi penonton bisu.

“Bro, lu mau sampai kapan cuma liatin doang sih?” Gibran, sahabat Satria, menyenggol lengannya dengan sendok. “Lu tiap hari duduk di sini, cuma buat liat dia makan sama minum es teh doang?”

Satria mendengus, pura-pura sibuk menyeruput es jeruknya. “Gue nggak liatin dia. Cuma… kebetulan aja dia di situ.”

Gibran tertawa kecil, suaranya jelas mengandung ejekan. “Kebetulan, ya? Kebetulan lu selalu duduk di pojok sini, kebetulan juga dia tiap hari duduk di situ. Kebetulan banget, Sat!”

Satria hanya bisa menggeleng pelan. Jujur saja, dia sendiri bingung kenapa semua tentang Naya membuatnya begitu gugup. Padahal, dia bukan tipe cowok yang gampang grogi. “Nggak gampang, Bran. Cewek kayak Naya tuh beda. Kalau gue salah langkah, bisa-bisa gue diketawain satu sekolah.”

“Ya terus? Lu mau nunggu sampai kapan? Sampai dia pacaran sama orang lain?”

Satria menatap Naya yang kini sedang tertawa bersama gengnya. Ada rasa cemburu yang diam-diam menyelinap dalam dirinya, tapi dia tak tahu harus berbuat apa. Dia tahu, dia harus bertindak sebelum terlambat. Namun setiap kali berhadapan dengan kenyataan, semua rencananya menguap begitu saja.

“Gue cuma nyari waktu yang pas,” jawab Satria akhirnya, mencoba menenangkan diri.

Gibran memutar bola matanya, jelas-jelas tidak terkesan dengan alasan itu. “Waktu yang pas? Lu pikir ini film drama? Lu basket MVP, bro. Masa deketin cewek aja bikin lu kelimpungan?”

Satria hendak membalas, tapi suara tawa Naya yang nyaring membuatnya kembali diam. Matanya mengikuti Naya, yang sedang menyeruput es tehnya sambil bercanda dengan teman-temannya. Tatapan mereka tak pernah bertemu, tapi seolah-olah Satria bisa merasakan magnet yang tak kasat mata menariknya lebih dekat.

“Bro, kalo lu nggak mau gerak, gue yang gerak nih!” canda Gibran tiba-tiba.

Satria langsung menegakkan duduknya. “Hah? Apa? Jangan macem-macem, Bran.”

Gibran terkekeh, puas melihat reaksi Satria yang panik. “Nggak usah takut, gue cuma bercanda. Tapi serius, lu nggak bisa terus-terusan gini. Deketin dia sekarang atau nggak sama sekali.”

Satria hanya bisa mendesah panjang. Semuanya memang terdengar sederhana di kepala Gibran. Namun bagi Satria, ada perbedaan besar antara mengambil bola terakhir di pertandingan dan mendekati Naya di kantin.

Tepat saat Satria hendak menyerah pada pikirannya sendiri, terjadi sesuatu yang tak dia duga. Naya berdiri dari tempat duduknya dan mulai berjalan ke arahnya. Dia tidak salah lihat. Gadis itu benar-benar mendekat ke mejanya, melangkah santai seolah dunia ini miliknya.

Jantung Satria langsung berdegup kencang. “Bran… dia ke sini…”

“Apa?” Gibran nyaris terbatuk, menatap Naya yang kini sudah semakin dekat. “Bro, ini momen lu!”

Tapi sebelum Satria sempat berpikir apa yang harus dia lakukan, Naya sudah tiba di meja mereka. Senyumnya kecil, tapi jelas-jelas nakal, seperti ada rencana rahasia di balik sikap manisnya. Dia meletakkan tangannya di pinggang, menatap langsung ke arah Satria dengan mata berbinar.

“Hei, Satria,” sapa Naya santai, “bisa bantuin aku sebentar?”

Gibran, yang duduk di sebelah Satria, langsung mengulum senyum geli. Tapi Satria sendiri hanya bisa menatap Naya dengan ekspresi tak percaya. Dia tidak pernah menyangka gadis ini akan bicara langsung kepadanya. “Eh… bantuin apa?”

“Aku butuh temen buat beli cemilan di koperasi,” jawab Naya sambil mengangkat alis. “Kamu nggak sibuk, kan?”

Satria terdiam sejenak. Sejak kapan Naya peduli dengan kesibukan dia? Tapi di bawah tatapan matanya, Satria hanya bisa mengangguk pasrah. “Nggak… nggak sibuk. Gue bisa bantuin.”

Naya tersenyum lebih lebar, dan tanpa basa-basi lagi, dia berbalik dan mulai berjalan menuju koperasi. Satria dengan setengah linglung mengikuti dari belakang, meninggalkan Gibran yang tertawa geli melihat temannya tak bisa menolak.

Di tengah perjalanan menuju koperasi, Satria berusaha menenangkan dirinya. Kepalanya dipenuhi berbagai pertanyaan, tapi yang paling mengganggunya adalah: kenapa Naya minta bantuan dia?

Setelah beberapa langkah, mereka sampai di depan koperasi. Naya berhenti, berbalik, dan menatap Satria yang masih tampak sedikit bingung. “Kamu kenapa gugup banget sih?”

Satria tersentak, berusaha menormalkan suaranya. “Gugup? Nggak kok, gue biasa aja.”

Naya tertawa kecil, sebuah tawa yang membuat hati Satria semakin berdegup kencang. “Seriusan? Aku lihat dari tadi kamu keliatan grogi.”

“Nggak kok,” Satria berusaha tersenyum, meski jelas-jelas terlihat canggung.

Naya tidak berkata apa-apa lagi, tapi senyum jahilnya masih menghiasi wajahnya. Gadis itu melirik ke arah Satria sekali lagi sebelum akhirnya masuk ke dalam koperasi untuk membeli cemilan yang dia butuhkan.

Satria berdiri di luar, masih merasa linglung dengan apa yang baru saja terjadi. Ini lebih dari sekadar pertemuan biasa di kantin. Ada sesuatu yang aneh, sesuatu yang Satria tidak mengerti. Tapi yang jelas, Naya membuat dadanya berdetak lebih cepat dari biasanya.

 

Strategi Cinta yang Gagal

Sejak kejadian di koperasi itu, Satria merasa dunianya sedikit goyah. Selama ini, dia terbiasa cuma memperhatikan Naya dari kejauhan. Tapi sekarang? Sekarang Naya tiba-tiba muncul di depannya, meminta bantuan, dan bahkan sempat bicara langsung kepadanya. Setelah itu, Naya masih bersikap biasa, seperti tak ada yang spesial. Tapi bagi Satria, setiap kali mengingat momen di koperasi, hatinya berdebar tak karuan.

Di kelas, Gibran tidak henti-hentinya menggodanya. Setiap ada kesempatan, dia selalu mengaitkan apapun yang terjadi dengan Naya. Bahkan saat pelajaran matematika berlangsung, Gibran bisa saja membisikkan, “Eh, Sat, tadi gue lihat Naya nanya soal matematika ke Andi. Lu nggak cemburu tuh?”

Satria menggeleng, memutuskan untuk tidak merespons ledekan Gibran yang semakin menjadi. Namun di dalam hati, dia memang merasa sedikit terusik. Gibran benar; Andi adalah saingan berat. Cowok itu juga terkenal pintar dan cukup dekat dengan Naya. Semakin dipikirkan, semakin cemas Satria.

Di kantin siang itu, Satria dan Gibran duduk lagi di pojok yang sama. Tapi kali ini, Satria tampak lebih gelisah dari biasanya. Dia menyusun rencana. Ya, rencana untuk mendekati Naya tanpa terlihat terlalu berlebihan. Sederhana saja, tapi cukup untuk menarik perhatian Naya.

“Jadi, gue udah mikir-mikir,” ujar Satria, menatap serius ke arah Gibran.

Gibran mengangkat alis, tertarik. “Mikir apa nih? Jangan-jangan akhirnya lu mau nembak Naya?”

Satria melirik Gibran dengan tatapan datar. “Belum segila itu, Bran. Tapi gue ada ide. Gini, gue mau bikin dia ngeliat gue lebih sering. Tunjukin kalau gue juga bisa seru, asik, dan… nggak culun kayak yang dia kira.”

Gibran menyipitkan mata, berusaha memahami rencana Satria yang terdengar agak samar. “Oke, gimana caranya?”

“Gue bakal sering-sering nongkrong di kantin pas dia ada. Terus, gue bakal sok akrab sama temen-temennya. Siapa tau, lama-lama dia jadi tertarik buat ngobrol lebih sering sama gue.”

Gibran mengerutkan kening, jelas-jelas ragu. “Sat, rencana lu terdengar kayak… ya kayak stalking dikit.”

“Bukan stalking, Bran!” Satria buru-buru membela diri. “Gue cuma mau buat momen kebetulan. Lu kan tahu, cewek suka cowok yang sering ada di sekitar mereka.”

Gibran mendengus, meski tak bisa menahan senyum geli. “Lu yakin? Ini kayak teori dari buku-buku percintaan gitu deh. Tapi yaudah, coba aja. Gue pengen lihat gimana hasilnya.”

Satria tersenyum lebar, merasa rencananya brilian. Hari ini adalah hari pertama dari ‘operasi mendekati Naya’. Dia duduk dengan tenang, mengamati suasana kantin. Tak lama, Naya masuk dengan beberapa teman perempuannya, tertawa kecil sambil membawa nampan penuh makanan. Satria langsung menegakkan tubuhnya.

“Bran, dia di sini. Sekarang, gue mulai!”

Gibran mengangkat bahu sambil menyeruput es teh. “Good luck, bro.”

Satria dengan percaya diri berdiri dari mejanya dan berjalan ke arah meja yang biasa diduduki Naya dan gengnya. Dia pura-pura santai, padahal kakinya terasa sedikit gemetar. Saat jaraknya semakin dekat, dia mendengar obrolan mereka yang penuh tawa.

“Seriusan, Nay, Andi itu emang baik, loh,” kata salah satu teman Naya, Nadya, sambil menyuap nasi goreng.

“Eh, tapi dia nggak lucu,” jawab Naya dengan tawa kecil.

Satria langsung mendekat dan menimpali, “Nah, berarti harusnya cari cowok yang lucu, dong!”

Naya dan teman-temannya spontan menoleh. Tatapan mereka serentak tertuju pada Satria, membuat cowok itu sedikit gugup, tapi dia cepat-cepat menutupi kegugupannya dengan senyuman santai.

Naya memiringkan kepalanya, tampak sedikit bingung tapi masih tersenyum. “Satria?”

Satria menelan ludah pelan, mencoba tetap tenang. “Iya, gue cuma lewat. Ngomong-ngomong soal cowok lucu, gue ini lumayan kocak, loh. Bisa jadi pilihan.”

Nadya terkekeh, tapi Naya menatap Satria dengan tatapan yang… entah bagaimana, sulit ditebak. Ada sesuatu di mata Naya yang membuat Satria merasa seperti sedang diawasi, bukan hanya diperhatikan.

“Oh ya?” Naya tersenyum, kali ini dengan sedikit lebih nakal. “Lucu gimana tuh? Ada contoh nggak?”

Satria terdiam sejenak. Dia tidak menyangka Naya akan merespons dengan pertanyaan seperti itu. Harusnya dia sudah menyiapkan lelucon atau apapun yang bisa membuat suasana cair. Tapi di detik itu, pikirannya kosong. Semuanya hilang.

“Eh… ya, gue bisa…” Satria gugup, mulai meraba-raba ide, tapi semakin dia bicara, semakin aneh rasanya. “Gue bisa… kayak, lempar jokes dadakan. Coba lempar tema, nanti gue bikin lucu deh.”

Teman-teman Naya mulai tertawa, tapi Satria bisa merasakan kalau itu bukan tawa karena lucu, melainkan karena suasana yang canggung. Gibran, dari meja pojok, menatap Satria dengan wajah yang campur aduk antara kasihan dan malu.

Naya tersenyum kecil, kali ini tanpa tawa. “Seru juga, ya. Tapi… kayaknya nggak perlu dadakan, deh. Aku rasa kamu lucu apa adanya aja.”

Kalimat itu terdengar seperti pujian, tapi entah kenapa Satria merasa sebaliknya. Seolah Naya tahu dia sedang berusaha keras, tapi tidak mau mengakuinya. Satria hanya bisa mengangguk sambil tersenyum tipis.

“Oke, kalau gitu… mungkin lain kali, ya?” Satria merasa semakin canggung, lalu buru-buru pamit dan kembali ke meja di pojok, di mana Gibran sudah menunggu dengan senyum lebar.

Begitu Satria duduk, Gibran langsung tertawa kecil. “Bro, bro… gimana rasanya? Kayaknya tadi lu udah lucu banget, ya?”

Satria mendesah, meletakkan kepalanya di atas meja. “Gue gagal total, Bran. Malu banget gue.”

Gibran menepuk-nepuk bahu Satria. “Udah, nggak usah dipikirin. Tapi serius, mungkin lu harus ubah taktik. Soalnya tadi sih, kelihatan banget lu berusaha keras.”

Satria mengangguk, setuju dengan apa yang dikatakan Gibran. Dia tahu, rencananya untuk mendekati Naya dengan pura-pura santai tidak berhasil. Tapi dia belum menyerah. Ini baru awal. Mungkin di percobaan selanjutnya, dia harus lebih jujur dengan dirinya sendiri.

“Gue bakal coba cara lain,” ujar Satria akhirnya, suaranya penuh tekad.

Gibran tersenyum lebar. “Itu dia, semangat! Tapi, nggak usah buru-buru juga. Si Naya kayaknya udah mulai ngeh, loh.”

Satria mengerutkan kening. “Maksud lu?”

“Ya, dari cara dia liat lu tadi. Gue yakin dia udah nangkep sinyal, bro. Lu tinggal tunggu kesempatan yang pas.”

Satria terdiam, mengingat kembali tatapan Naya saat mereka berbicara tadi. Ada sesuatu di sana, tapi dia tidak yakin apa itu. Namun, satu hal yang pasti: Satria tahu, ini belum selesai.

 

Misi Kacau di Lapangan Basket

Setelah kegagalan strategi kantin, Satria menyadari bahwa dirinya tidak bisa terus-menerus berpura-pura menjadi orang lain. Skenario ‘cowok lucu’ ternyata tidak bekerja dengan baik. Kali ini, dia memutuskan untuk mendekati Naya dengan cara yang lebih alami dan sesuai dengan minatnya sendiri—olahraga. Kebetulan, lapangan basket di sekolah selalu ramai setiap sore, dan Naya sering terlihat menonton di pinggir lapangan bersama teman-temannya. Dia tahu bahwa Naya tertarik pada cowok yang atletis. Jadi, ini adalah kesempatan emas untuk menunjukkan bakatnya yang sebenarnya.

“Bran, gue punya ide baru,” ujar Satria penuh semangat saat mereka makan siang di kantin.

Gibran yang sedang mengunyah gorengan menatapnya dengan mata setengah tertutup. “Apalagi, nih? Jangan bilang lu mau jadi pemain basket dadakan.”

Satria tersenyum lebar. “Tepat! Gue nggak cuma jadi pemain dadakan. Gue bakal main all out sore ini. Naya suka nonton basket, kan? Nah, gue bakal tunjukin ke dia kalau gue bisa main.”

Gibran menatapnya dengan tatapan skeptis. “Lu yakin? Bukannya lu dulu pernah bilang nggak terlalu jago main basket?”

“Dulu kan dulu, sekarang beda. Gue udah latihan sendiri di rumah, nonton tutorial di YouTube, bahkan udah nyoba beberapa trik lemparan,” balas Satria penuh percaya diri.

Gibran hanya bisa tertawa kecil sambil menggeleng. “Oke, Sat. Gue dukung lu. Tapi jangan bikin malu diri sendiri lagi.”

Satria menepuk pundak Gibran, “Tenang, kali ini gue yakin. Sore ini, lapangan basket bakal jadi tempat gue bersinar.”

Sore harinya, Satria sudah siap di lapangan basket. Dia mengenakan jersey basket sekolah yang dipinjam dari Gibran. Lapangan sudah mulai ramai, dan seperti yang diperkirakan, Naya duduk di pinggir lapangan bersama Nadya dan beberapa teman lainnya, sambil menikmati es krim.

Satria merasa sedikit gugup, tapi dia tidak akan menyerah. Kali ini, dia akan berhasil. Gibran berdiri di pinggir lapangan, siap menyemangati Satria, meskipun dengan sedikit senyum nakal.

Pertandingan dimulai. Satria langsung berusaha mengambil posisi di dekat ring lawan. Dia mungkin tidak setinggi pemain basket lainnya, tapi dia yakin kelincahannya bisa membuat perbedaan. Saat bola dilemparkan ke arahnya, dia langsung bergerak cepat, mengelak dari pemain lain dan menuju ke arah ring.

“Nah, ini dia! Saatnya bersinar!” pikir Satria dalam hati.

Namun, baru beberapa langkah, seorang pemain lawan—Bimo, cowok jangkung yang dikenal sebagai bintang basket sekolah—datang menghadangnya dengan mudah. Satria mencoba melakukan crossover, tapi bukannya melewati Bimo, dia malah terpeleset dan jatuh dengan dramatis ke tanah.

Gibran langsung menutup wajahnya dengan kedua tangan dari kejauhan. Beberapa penonton, termasuk teman-teman Naya, tidak bisa menahan tawa. Bahkan Nadya sampai tertawa terbahak-bahak.

Satria segera bangkit, wajahnya memerah. “Oke, itu baru pemanasan,” gumamnya pada diri sendiri, mencoba menenangkan rasa malunya.

Permainan terus berlanjut, dan Satria berusaha keras untuk memperbaiki kesalahannya. Namun, semakin dia mencoba, semakin banyak kesalahan yang dia buat. Dari operan yang salah, tembakan meleset, hingga tidak sengaja mengoper bola ke pemain lawan. Setiap kesalahan seakan membuat suasana semakin canggung, apalagi dengan tatapan Naya yang kini terfokus padanya. Tapi bukan dengan kekaguman, melainkan campuran antara heran dan kasihan.

Saat permainan mendekati akhir, Satria mendapat kesempatan emas. Teman satu timnya berhasil merebut bola dan mengoperkannya kepada Satria yang berdiri sendirian di depan ring. Ini dia, saat yang ditunggu-tunggu! Satria dengan penuh keyakinan melompat untuk melakukan lay-up, namun karena terlalu bersemangat, dia melompat terlalu tinggi, kehilangan keseimbangan, dan jatuh tepat di bawah ring. Seketika bola meluncur keluar dari tangannya dan memantul jauh ke pinggir lapangan.

Seluruh penonton terdiam sejenak, kemudian terdengar tawa teredam di sana-sini. Bahkan beberapa pemain dari timnya sendiri tidak bisa menahan senyum. Satria meringis kesakitan di tanah, bukan karena sakit fisik, tapi lebih karena harga dirinya yang terjun bebas.

“Ya Tuhan… gue gagal lagi,” pikirnya, sambil menatap langit sore yang semakin gelap.

Namun, dari tempatnya berbaring, Satria bisa mendengar langkah seseorang mendekat. Dia berpikir mungkin Gibran datang untuk menolongnya atau mengejeknya lagi. Tapi saat dia membuka mata, Naya berdiri di sampingnya, menatapnya dengan ekspresi… simpati?

Naya mengulurkan tangan, membantunya bangun. “Kamu nggak apa-apa?” tanyanya lembut, membuat jantung Satria berdegup lebih kencang.

Satria tersenyum kaku, menahan malu yang seolah tak ada habisnya. “Ah, nggak apa-apa. Gue cuma… lagi hari sial aja, kayaknya.”

Naya terkekeh pelan. “Aku tadi lihat kamu main, lumayan lincah, kok. Cuma… ya, sedikit kurang beruntung.”

Satria merasa sedikit lega mendengar pujian kecil itu, meskipun sadar betul dia tidak bermain dengan baik. “Makasih. Gue cuma coba—yah, mungkin next time bakal lebih baik.”

Naya tersenyum dan mengangguk. “Next time? Aku bakal nonton lagi, kalau kamu main. Jangan menyerah, ya.”

Satria terdiam sejenak, tak percaya apa yang baru saja dia dengar. Naya—Naya, cewek yang selama ini dia taksir—baru saja bilang akan menontonnya lagi? Apakah ini mimpi?

Gibran, yang sudah berdiri di dekat mereka, menahan tawa dengan menutup mulut. Dia menyaksikan semua itu dengan tatapan tak percaya, lalu dengan wajah serius berkata, “Bro, lu baru aja jatuh dengan gaya paling memalukan. Tapi cewek ini… masih mau nonton lu lagi? Gue nggak paham jalan pikirannya.”

Naya tersenyum, lalu berbalik untuk bergabung kembali dengan teman-temannya. Sebelum pergi, dia menoleh ke Satria dan berkata, “Latihan lagi ya, Sat. Sampai jumpa di pertandingan berikutnya.”

Satria menatap punggung Naya yang semakin menjauh, dan tanpa sadar dia tersenyum lebar. Di tengah semua kekacauan dan kegagalan, ternyata ada secercah harapan yang muncul. Mungkin, hanya mungkin, usahanya tidak sepenuhnya sia-sia.

Gibran memukul bahunya pelan. “Sat, serius. Lu kayak punya keberuntungan aneh. Udah jatuh berkali-kali, tapi tetep dapet momen manis.”

Satria menoleh ke Gibran dengan mata bersinar. “Mungkin gue cuma perlu terus coba, Bran. Kayaknya Naya mulai ngeliat gue.”

Gibran mendesah panjang sambil tersenyum. “Gue nggak ngerti gimana otak cewek bekerja, tapi kalau itu bikin lu seneng, yaudah. Lanjut, bro.”

Dan di situ, di tengah sore yang mulai gelap, Satria berdiri dengan perasaan campur aduk. Meskipun rencana basketnya berakhir dengan kekacauan, dia tahu ini belum selesai. Naya memberinya harapan kecil, dan kali ini, Satria tidak akan mundur.

 

Saat Cinta Bersemi

Satria tidak bisa menghilangkan senyum di wajahnya setelah pertemuan di lapangan basket. Hari-harinya terasa lebih cerah, dan meski rasa malunya masih ada, dia merasa jauh lebih optimis. Dia memutuskan untuk lebih fokus pada Naya dan bagaimana caranya mendekatinya. Mungkin inilah yang dinamakan cinta—meskipun ia bersemi dari sebuah kegagalan.

Beberapa hari setelah kejadian itu, Satria menghabiskan waktu lebih banyak di kantin, berharap bisa bertemu Naya lagi. Dia mengatur strategi untuk bisa mengobrol lebih santai dan tidak melulu terjebak dalam situasi canggung. Di pikirannya, dia ingin mengundang Naya ke acara basket sekolah yang akan datang. Dia bertekad untuk tampil lebih baik di pertandingan berikutnya, dan kali ini, dia tidak akan jatuh dengan cara yang sama.

Ketika sore hari tiba, dia dan Gibran melangkah ke kantin dengan penuh semangat. Suara tawa dan gelak tawa teman-teman mengisi udara, dan Satria melihat Naya duduk di salah satu meja, dikelilingi oleh teman-temannya.

“Gue mau coba ngomong sama Naya,” kata Satria sambil mengatur napas.

Gibran mengangguk sambil tersenyum lebar. “Ayo, bro! Lu bisa, semangat!”

Satria melangkah maju, berusaha menahan gemuruh di dalam perutnya. Begitu mendekati meja, dia merasakan mata teman-teman Naya tertuju padanya. Satria tersenyum canggung, tapi berusaha terlihat percaya diri.

“Eh, Naya!” panggilnya, suaranya terdengar lebih tinggi dari biasanya.

Naya menoleh, senyumnya merekah begitu melihat Satria. “Satria! Apa kabar?”

“Baik. Gue, eh, mau ngomong soal pertandingan basket minggu depan. Kira-kira… mau dateng nggak?” tanyanya dengan sedikit ragu.

“Oh, tentu! Aku sudah mendengar banyak tentang itu. Tapi, apa kamu yakin bakal main lebih baik kali ini?” Naya menggoda, matanya bersinar penuh rasa ingin tahu.

Satria mengangguk bersemangat. “Gue janji, kali ini gue bakal tampil lebih baik. Nggak mau bikin malu lagi!”

Naya tertawa kecil. “Oke, kita lihat saja. Tapi aku percaya kamu bisa!” Dia mengedipkan mata, dan detik itu, Satria merasakan jantungnya berdetak lebih cepat.

Sebelum mereka bisa berbicara lebih banyak, Nadya memanggil Naya. “Naya, yuk sini! Kita mau foto!”

Satria tidak ingin mengganggu, jadi dia tersenyum dan melambai. “Sana, ambil foto. Gue tunggu lu di lapangan, ya?”

Naya mengangguk, lalu bergabung kembali dengan teman-temannya. Satria merasa harapannya semakin besar. Setelah berbincang dengan Naya, hatinya terasa lebih ringan dan semangatnya meningkat.

Di hari pertandingan, Satria merasa lebih percaya diri. Ia berlatih keras dan bersiap menghadapi tantangan. Ketika Naya datang bersama teman-temannya, Satria merasa jantungnya berdegup kencang. Dia melihat Naya mengenakan kaos timnya dan terkesan dengan penampilannya yang sederhana namun menawan.

Pertandingan dimulai, dan kali ini Satria bermain jauh lebih baik. Dia berhasil mencetak poin dan menunjukkan kemampuannya yang sesungguhnya. Dalam hati, dia terus berharap agar Naya bangga padanya. Saat waktu hampir habis dan timnya unggul tipis, dia mendapatkan bola dan melakukan lay-up yang sukses. Sorakan penonton terdengar keras, termasuk suara Naya yang memanggil namanya dengan semangat.

“Bagus, Satria! Ayo, teruskan!” serunya dari pinggir lapangan.

Kemenangan itu membuat Satria merasa seperti berada di puncak dunia. Di akhir pertandingan, dia berlari ke arah Naya, wajahnya berbinar-binar. “Gimana? Keliatan kan perubahannya?” tanyanya penuh semangat.

Naya tertawa lepas. “Iya! Aku sangat bangga! Kamu luar biasa hari ini!”

Satria merasakan perasaan hangat di dadanya. “Makasih, Naya. Gue mau ngajak lu nonton pertandingan lagi di waktu berikutnya. Kita bisa bawa popcorn!”

Naya mengangguk dengan senyuman lebar. “Tentu saja, aku mau! Nanti kita bisa bicarakan banyak hal.”

“Gue seneng denger itu. Semoga ini bisa jadi awal yang baru buat kita,” jawab Satria, hatinya bergetar penuh harapan.

Mereka saling menatap, dan di momen itu, Satria merasa seolah waktu berhenti. Ada sesuatu yang lebih dari sekadar rasa suka di antara mereka—sebuah koneksi yang terasa nyata. Dengan keberanian yang baru ditemukan, Satria meraih tangan Naya dan berkata, “Eh, boleh nggak kita mulai berkencan? Aku rasa kita bisa bikin hal ini lebih seru.”

Naya terkejut sejenak, lalu mengangguk pelan dengan senyuman manis. “Aku mau, Satria.”

Dan di situlah, di tengah tawa dan kebahagiaan, cinta bersemi dengan indah di kantin sekolah dan lapangan basket. Semua kegagalan, kekacauan, dan momen canggung yang mereka lalui kini menjadi bagian dari cerita cinta mereka yang penuh warna.

Satria dan Naya, dua jiwa yang terhubung dalam perjalanan yang tidak biasa, siap menghadapi hari-hari baru dengan harapan dan cinta yang semakin kuat. Cinta mereka adalah momen lucu yang dimulai dari kegagalan, dan kini bersemi dengan penuh semangat di setiap langkah yang mereka ambil bersama.

 

Nah, itu dia kisah seru Satria dan Naya yang bersemi di kantin sekolah. Dari kekonyolan yang bikin ngakak sampai momen-momen manis yang bikin baper, mereka buktikan kalau cinta bisa tumbuh di mana saja, bahkan di tengah keramaian teman-teman.

Jadi, buat kalian yang lagi mencari cinta, jangan ragu untuk melangkah—siapa tahu, cinta kalian juga bakal bersemi dari situasi yang nggak terduga! Sampai jumpa di cerita seru lainnya, ya!

Leave a Reply