Cinta Terlarang: Ketika Badboy dan Badgirl Beradu Emosi

Posted on

Jadi gini, bayangkan kamu terjebak dalam drama yang penuh ketegangan antara dua orang yang seharusnya tidak pernah berurusan satu sama lain. Di satu sisi, ada Zafran, si badboy yang keren dan penuh rahasia; di sisi lain, ada Alya, si badgirl yang punya sisi liar dan berani.

Mereka selalu bertengkar, saling menjatuhkan, tapi di balik semua itu, ada rasa cinta yang menggebu-gebu! Siapa sangka, cinta yang terlarang ini bisa jadi jalan cerita yang bikin deg-degan? Yuk, kita selami kisah mereka yang penuh gejolak ini!

 

Cinta Terlarang

Pertemuan Tak Terduga

Hujan mengguyur kota dengan deras, menciptakan irama yang seolah memanggil jiwa-jiwa yang tersesat. Di sudut jalan yang basah, lampu jalan berpendar dengan cahayanya yang temaram. Di sanalah dia, Zafran, bersandar pada motornya yang mengkilap, menunggu dengan kesabaran yang tersisa. Rambutnya yang hitam berantakan basah oleh hujan, dan tatapannya menyala, mencerminkan semangat yang tak pernah padam.

Seiring waktu berjalan, langkah-langkah cepat terdengar mendekat. Sosok perempuan berambut pendek dengan gaya edgy muncul dari balik kabut. Alya, si badgirl yang terkenal dengan tatapan tajam dan gaya berpakaiannya yang berani. Hari itu, dia mengenakan jaket kulit hitam dan celana ketat yang menonjolkan sosoknya. Dengan langkah penuh percaya diri, dia menghampiri Zafran.

“Aku datang tepat waktu, kan?” tanyanya dengan senyum nakal, menantang seolah tidak ada hujan yang menghalangi.

Zafran mengangkat alis, ekspresi skeptis terlukis di wajahnya. “Kamu terlambat, seperti biasa. Aku sudah hampir pergi.”

“Seperti yang aku bilang, aku bukan pelayanmu, Zafran. Tidak perlu beracting mengeluh,” Alya menjawab dengan nada mengejek, meskipun di dalam hatinya, dia tahu Zafran menginginkannya di sana.

“Kalau kamu mau pergi, silakan saja. Kita tidak perlu bertemu jika itu yang kamu mau,” Zafran balas, menyembunyikan perasaan kecewa di balik sikap dinginnya.

Alya mendekat, jarak di antara mereka semakin kecil. “Jadi, kamu akan mengabaikanku begitu saja? Tanpa perbincangan, tanpa menjelaskan kenapa kamu selalu bersikap seperti ini?”

“Jangan sok mengerti, Alya. Kamu dan aku adalah dua dunia yang berbeda. Kita tidak bisa bertemu di tengah jalan ini,” Zafran menjawab, berusaha terlihat tegas, meskipun hatinya berdebar mendengar namanya diucapkan oleh Alya.

Dia melihat wajah Alya berubah, senyum nakalnya sedikit memudar. “Bisa-bisa saja, tapi kamu tahu kamu tidak ingin itu, kan?”

Zafran menggelengkan kepala, tak mampu menahan senyum kecil yang mulai tersungging. “Sama sekali tidak. Kamu mengusik ketenanganku.”

“Oh, itu lebih baik. Berarti aku berhasil,” Alya berkata sambil menyenggol bahunya dengan lembut. “Kamu harus mengakui bahwa kamu menikmati setiap detik saat aku di sini.”

Suara hujan yang jatuh di aspal memberikan latar belakang sempurna bagi pertengkaran mereka. Dalam momen itu, mereka saling menatap, seolah ada benang merah yang tak terlihat menghubungkan hati mereka.

“Kenapa kita selalu berakhir seperti ini?” tanya Zafran, mencoba memahami pola hubungan aneh yang mereka miliki.

“Karena kita tidak bisa menghindar satu sama lain. Kita selalu tertarik, meski kamu berpura-pura tidak peduli,” Alya menjawab, bibirnya mengerucut seolah mengingatkan Zafran bahwa dia tidak bisa lari dari kenyataan.

“Perasaan ini bukan hal yang sepele, Alya. Kita hanya saling menyakiti,” balas Zafran, mengalihkan pandangan ke jalanan yang masih ramai meskipun hujan.

“Kita memang menyakiti, tetapi kita juga saling mencintai dengan cara yang tidak biasa. Apa kamu tidak melihat itu?” kata Alya, berusaha menyentuh sisi lembut dalam diri Zafran.

Zafran terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata Alya. “Cinta yang seperti apa ini? Cinta yang penuh pertengkaran?”

“Cinta yang membuat kita hidup, Zafran. Semua itu bukan tanpa alasan. Kita berdua butuh satu sama lain,” Alya menjawab tegas, mendekatkan wajahnya. “Cinta kita adalah api yang tak pernah padam, meski kita berusaha untuk memadamkannya.”

Zafran merasa jantungnya berdegup kencang, ada sesuatu dalam tatapan Alya yang membuatnya merasa rentan. “Kamu selalu berani mengungkapkan perasaanmu. Apa kamu tidak takut?”

“Takut pada apa? Ketika kita berani mencintai, kita harus siap menghadapi apa pun,” Alya menjawab, suaranya lembut namun tegas.

“Dan jika kita terluka?” tanya Zafran, ingin memastikan bahwa semua ini tidak hanya omong kosong belaka.

“Aku lebih takut kehilanganmu daripada terluka,” jawab Alya, dan tiba-tiba kesunyian menyelimuti mereka.

Hujan mulai reda, dan kesunyian di antara mereka menyiratkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pertengkaran biasa. Zafran merasakan sesuatu yang tidak biasa. Di balik semua ketidakpastian dan keraguan, ada kerinduan yang tumbuh semakin besar.

“Kita bisa memilih untuk saling melukai atau saling mencintai. Kamu pilih mana?” tanya Alya, menantang.

Zafran menyandarkan punggungnya ke motor, mencari jawaban yang tepat. “Aku… aku ingin mencintaimu, tapi sulit untuk melepaskan semua ini.”

“Tidak ada yang mudah, Zafran. Tetapi jika kita tidak mencobanya, kita tidak akan pernah tahu. Jangan membiarkan api itu padam,” Alya berkata, suaranya bergetar dengan emosi yang dalam.

Di momen itu, keduanya saling memandang, seolah kata-kata tak lagi diperlukan. Keduanya tahu bahwa mereka harus melanjutkan perjalanan ini, meskipun penuh rintangan. Sebuah langkah baru menanti di depan, dan cinta mereka, meski terjal, tidak akan pernah padam.

Tepat saat malam semakin dalam, dan bintang-bintang mulai bermunculan di langit, Zafran tersenyum. “Oke, kita coba. Tapi aku tidak berjanji tidak akan membuatmu kesal.”

Alya tertawa, menyunggingkan senyum lebar. “Yang terpenting, kita berjuang bersama. Itu sudah cukup.”

Mereka berdua melanjutkan perjalanan di bawah langit malam, dengan hati yang penuh harapan dan tantangan. Api di antara mereka mungkin tidak selalu menyala terang, tetapi dengan semangat dan cinta, mereka yakin akan menemukan jalan untuk terus maju.

 

Api yang Tak Terpadamkan

Pagi hari setelah hujan deras mengalir lembut, sinar matahari menyelinap masuk melalui jendela kamar Alya. Dia duduk di tepi tempat tidur, menyandarkan punggung pada dinding, menatap langit biru yang cerah. Sebuah senyum kecil muncul di wajahnya saat teringat momen-momen kemarin bersama Zafran. Setiap kali mereka bertengkar, ada semacam getaran aneh yang membuatnya merasa hidup.

Dia mengangkat ponselnya dan melihat pesan masuk dari Zafran. Kabar yang selalu dinantikan—pesan yang membuatnya merasa jantungnya berdegup kencang.

Zafran: Bisa kita bertemu lagi? Aku butuh bicara.

Alya membalas cepat, tangannya bergetar sedikit. Alya: Tentu. Di tempat biasa?

Setelah menunggu beberapa menit yang terasa seperti selamanya, Zafran membalas. Zafran: Ya, jam dua. Jangan telat.

Alya mengangguk meski tahu Zafran tidak dapat melihatnya. Rasa antusias dan sedikit cemas bercampur aduk di dalam hatinya. Dia segera bersiap, mengenakan outfit favoritnya: kaos hitam yang longgar dengan jeans robek dan sepatu boots yang membuatnya terlihat lebih berani. Dia tidak sabar menunggu momen itu.

Jam dua tepat, Alya sudah berada di kafe kecil yang sering mereka kunjungi. Suasana di dalamnya hangat, aroma kopi menguar memenuhi ruangan. Dia memilih meja di pojok, memandangi jalanan yang ramai di luar sambil memutar-mutar cangkir kopi di tangannya. Setiap detik terasa berharga ketika menunggu Zafran.

Akhirnya, pintu kafe terbuka dan Zafran masuk, basah oleh keringat, seolah baru saja berlari. Matanya yang tajam memindai ruangan hingga akhirnya bertemu pandang dengan Alya. Senyumnya menyentuh hati, meskipun dia mencoba untuk terlihat dingin.

“Aku tidak menyangka kamu akan datang tepat waktu,” Zafran menyapa, menarik kursi dan duduk di depan Alya.

“Kalau kamu ingin aku datang tepat waktu, jangan buat aku menunggu terlalu lama,” Alya balas, berusaha mempertahankan nada menggodanya.

Zafran menyandarkan punggung pada kursi, memejamkan mata sejenak sebelum berbicara. “Ada yang ingin aku bicarakan. Tentang kita.”

Alya merasa jantungnya berdebar. “Jadi, apa yang ingin kamu katakan? Kita sudah setuju untuk mencoba, kan?”

“Aku tahu. Tapi… aku merasa kita masih terjebak di antara dua dunia. Ada banyak hal yang harus kita hadapi,” Zafran menjelaskan, mengalihkan pandangannya ke jendela.

“Aku tidak ingin kita terjebak selamanya. Kita bisa mencari jalan keluar dari semua ini,” Alya menjawab, mencoba meyakinkan Zafran.

“Bagaimana kalau kita mengajak teman-teman kita untuk bertemu? Mungkin dengan mereka di samping kita, kita bisa lebih kuat menghadapi semua ini,” saran Zafran.

Alya mengernyit. “Teman-teman kita? Kamu tahu mereka tidak suka kita bersama. Mereka akan beranggapan kita hanya berantem terus-menerus.”

“Itulah masalahnya. Kita perlu menunjukkan pada mereka bahwa kita lebih dari sekadar pertengkaran. Kita bisa bersatu,” jawab Zafran, ketegangan terlihat di wajahnya.

“Kalau itu yang kamu mau, aku setuju. Tapi kamu harus berjanji akan tetap bersamaku, apapun yang terjadi,” Alya menambahkan, menatap dalam-dalam mata Zafran.

“Aku tidak akan pergi ke mana-mana, Alya. Kamu bisa mempercayaiku,” jawabnya dengan tegas.

Mereka terdiam sejenak, suasana di antara mereka dipenuhi dengan harapan dan keraguan. Alya merasakan ketegangan yang mengisi ruangan, dan jari-jarinya tidak bisa berhenti memainkan cangkir kopi di hadapannya.

“Baiklah, mari kita lakukan ini,” Alya akhirnya setuju, mengambil napas dalam-dalam. “Tapi kita harus jujur satu sama lain, oke? Jangan sampai ada yang disembunyikan.”

Zafran mengangguk. “Aku janji.”

Hari-hari berlalu, dan keduanya mulai mendekati teman-teman mereka untuk memperkenalkan hubungan baru ini. Meskipun banyak yang skeptis, mereka berusaha keras untuk membuktikan bahwa cinta mereka lebih dari sekadar badai.

Suatu malam, Zafran mengundang Alya ke sebuah pesta yang diadakan oleh salah satu temannya. Alya mengenakan gaun hitam yang ketat, membuatnya terlihat lebih anggun dan memikat. Dia ingin membuktikan pada Zafran bahwa dia bisa menjadi wanita yang berbeda.

Di pesta itu, suasana ramai dan penuh energi. Musik berdentum, dan orang-orang bersenang-senang. Alya dan Zafran berdiri di sudut, memerhatikan teman-teman mereka yang berdansa.

“Lihat mereka, semua terlihat bahagia,” kata Alya sambil tersenyum, tetapi hatinya sedikit cemas.

“Ya, tetapi kamu tahu bahwa kita tidak selalu bisa bersenang-senang seperti mereka,” Zafran menjawab, tangannya melingkar di pinggang Alya.

“Kenapa tidak? Kita juga bisa bersenang-senang,” Alya balas, berusaha mengusir ketegangan.

Tiba-tiba, salah satu teman Zafran, Rian, mendekat dengan senyum sinis. “Oh, lihat siapa yang datang. Zafran dengan badgirl-nya. Bagaimana rasanya menjadi pasangan paling berisik di sini?”

“Apa urusanmu, Rian?” Zafran menjawab, nada suaranya mengingatkan Alya akan badai yang mengamuk.

Rian hanya tertawa. “Kalian berdua hanya akan saling menyakiti, kan? Kenapa tidak memilih pasangan yang lebih baik?”

“Cukup!” Alya memotong, tidak bisa menahan diri. “Kami tidak butuh pendapatmu.”

Zafran terkejut, tetapi ada secercah rasa bangga di dalam hatinya melihat keberanian Alya. “Dia benar, Rian. Kamu tidak mengerti apa yang terjadi di antara kita.”

Rian tertawa mengejek. “Semuanya hanya akan berakhir dengan air mata. Aku akan lihat bagaimana kalian bertahan.”

Dengan itu, Rian menjauh, meninggalkan Alya dan Zafran dalam keheningan yang menegangkan. Alya merasa gelombang kemarahan dan kebangkitan emosional menghimpitnya.

“Maaf, Alya. Dia selalu seperti itu,” Zafran berkata lembut, berusaha menenangkan.

“Tapi dia benar, kan? Kita tidak seperti mereka. Kita selalu bertengkar, Zafran. Apakah kita memang bisa bertahan?” Alya bertanya, suaranya bergetar.

“Jika kita berjuang bersama, kita bisa menghadapi apapun. Jangan biarkan orang lain memengaruhi kita,” jawab Zafran, menatap dalam mata Alya dengan keyakinan.

Alya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. “Baiklah. Aku akan berusaha.”

Zafran tersenyum, dan Alya merasa jantungnya berdegup kencang lagi. Dalam situasi penuh tekanan, mereka menemukan kekuatan satu sama lain. Dan meskipun badai masih menghampiri, mereka siap untuk terus berjuang demi cinta yang tak terpadamkan.

Malam itu, Alya dan Zafran memutuskan untuk melangkah maju, saling bergandeng tangan menghadapi apapun yang datang. Mereka tahu perjalanan masih panjang, tetapi cinta mereka, meski berapi-api dan penuh liku, tidak akan padam.

 

Dalam Pelukan Kegelapan

Hari-hari berlalu, dan meskipun Alya dan Zafran berusaha menghadapi tantangan dari luar, ada ketegangan yang semakin mendalam di antara mereka. Setiap kali mereka bertemu, perasaan cinta yang mereka rasakan selalu terjebak di antara kekhawatiran dan kecemasan. Masing-masing dari mereka berjuang dengan bayang-bayang masa lalu yang tak bisa diabaikan.

Suatu sore, Alya duduk di bangku taman dekat rumahnya, memandangi langit yang mulai gelap. Dia menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan kerinduan akan Zafran yang kini semakin terasa menyakitkan. Sejak pesta itu, mereka jarang berbicara, dan hati Alya semakin berat.

Ketika Zafran akhirnya muncul, wajahnya terlihat lelah. Dia duduk di samping Alya dan menghela napas panjang. “Maaf membuatmu menunggu.”

“Aku tidak masalah. Aku hanya… bingung, Zafran. Rian terus mengganggu kita. Aku merasa seperti kita sedang berada di dalam perang,” kata Alya, suaranya bergetar.

Zafran mengangguk. “Aku tahu. Tapi kita tidak bisa membiarkan orang lain menentukan hubungan kita.”

Alya menatap Zafran, mencari keyakinan di matanya. “Tapi, apa kita benar-benar bisa melawan semua ini? Ada saat-saat aku merasa kita sedang berjalan di atas jurang.”

Zafran meraih tangan Alya, menempelkan telapak tangannya di atas telapak tangan Alya. “Aku akan selalu ada di sini, Alya. Kita bisa bertahan selama kita saling percaya.”

Tiba-tiba, dering ponsel Alya memecah keheningan. Dia melihat nama Rian muncul di layar. “Apa dia tidak punya pelajaran?” Alya menggerutu, menolak untuk mengangkatnya.

“Dia terus-menerus menggangguku. Setiap kali aku melihat namanya, aku merasa ingin marah,” Zafran berkata dengan nada serius.

“Aku tahu. Dia berusaha memisahkan kita, Zafran. Dan kadang-kadang, aku merasa dia berhasil,” jawab Alya dengan lemah.

Zafran mengernyit. “Jangan katakan itu. Kita bisa melawan semua ini. Kita harus menunjukkan pada mereka bahwa cinta kita lebih kuat dari semua kebencian itu.”

Alya mengalihkan pandangannya ke arah jalan setapak yang dikelilingi pohon-pohon rindang. “Aku hanya ingin kita bisa hidup tanpa semua ini. Tanpa ancaman dari orang-orang seperti Rian.”

Zafran menghela napas, menatap Alya dengan serius. “Kita tidak bisa melarikan diri. Tapi kita bisa melawan. Kita harus melakukannya untuk diri kita sendiri.”

Ketegangan di antara mereka kembali memuncak. Alya merasa sebuah dorongan kuat untuk mengungkapkan semua ketakutannya. “Zafran, apa yang terjadi jika kita tidak bisa bertahan? Apa yang terjadi jika semuanya berakhir dan kita kehilangan satu sama lain?”

Zafran menggenggam tangan Alya lebih erat. “Kita tidak akan kehilangan satu sama lain. Kita sudah terikat. Ini bukan tentang akhir, tapi tentang bagaimana kita melaluinya. Kita bisa menciptakan jalan kita sendiri.”

Alya merasakan semangat yang muncul dari dalam dirinya, berusaha untuk tidak membiarkan ketakutan menguasai. “Baiklah. Jika itu yang kamu katakan, aku akan berjuang. Tapi aku juga ingin kamu berjuang untuk kita.”

“Selalu, Alya. Selalu.” Zafran tersenyum, tetapi senyumnya seolah menyimpan beban yang lebih besar.

Beberapa hari kemudian, Zafran mengajak Alya untuk menemui sekelompok teman dekat mereka di sebuah kafe yang lebih sepi, jauh dari hiruk-pikuk keramaian. Dia ingin memastikan bahwa mereka bisa berdiskusi dengan tenang tentang hubungan mereka tanpa gangguan.

Di kafe, teman-teman mereka, Alia dan Bima, sudah menunggu. Wajah mereka menunjukkan berbagai reaksi—ada yang bersemangat, ada yang skeptis.

“Hey, kita sudah menunggu,” Alia menyapa dengan ceria. “Jadi, bagaimana kabar kalian? Kalian terlihat sedikit tegang.”

Alya mencoba tersenyum. “Kami baik-baik saja. Hanya ingin berbicara tentang hubungan ini.”

Bima mengerutkan dahi. “Hubungan yang penuh pertikaian, ya? Apakah kalian yakin bisa melanjutkan ini? Rian masih ada di luar sana.”

“Biarkan Rian dengan urusannya. Yang penting adalah kita berdua,” Zafran menegaskan, menatap Bima dengan tatapan penuh keyakinan.

“Lalu, bagaimana kita bisa membuktikan bahwa hubungan ini serius?” Alia bertanya, memandang Alya dan Zafran dengan penasaran.

“Aku ingin kita menjalin hubungan yang terbuka dan saling mendukung. Kita bisa melakukan kegiatan bersama, memperkuat ikatan kita,” Alya menjelaskan, berusaha terdengar optimis.

“Tapi, bagaimana jika Rian mencoba menyerang lagi?” Bima bertanya, suaranya penuh kekhawatiran.

“Kita hadapi dia bersama-sama. Jika kita bersatu, dia tidak akan bisa memecah kita,” Zafran berkata tegas, keyakinan terpancar dari wajahnya.

Alia dan Bima saling bertukar pandang, tampak mulai percaya pada apa yang Zafran dan Alya sampaikan. “Baiklah, kami akan mendukung kalian,” kata Alia akhirnya.

Mereka menghabiskan sore itu dengan diskusi tentang masa depan, menguatkan satu sama lain. Namun, meskipun ada sinar harapan, di benak Alya masih ada bayangan gelap Rian, siap menghancurkan apa yang telah mereka bangun.

Saat mereka pulang, Zafran dan Alya berjalan bersebelahan, saling menggenggam tangan. “Aku merasa ini adalah langkah awal yang baik,” Zafran berkata, menyentuh pipi Alya dengan lembut.

“Aku juga. Tapi kita perlu tetap waspada,” Alya menjawab, berusaha menyingkirkan keraguan di hatinya.

“Kita bisa menghadapi apa pun, asalkan kita bersama,” Zafran menjawab, dan Alya merasa keyakinan itu mulai tumbuh dalam dirinya.

Namun, kegelapan masih mengintai di balik sudut. Rian tidak akan menyerah begitu saja. Alya dan Zafran tahu bahwa mereka harus berjuang lebih keras lagi untuk melindungi cinta mereka.

 

Tangan yang Tak Terpisahkan

Malam semakin larut saat Alya dan Zafran berjalan pulang dari kafe. Suasana yang semula cerah kini berubah kelam, seolah kegelapan menyelimuti jalan setapak yang mereka lalui. Suara langkah kaki di belakang mereka menjadi semakin jelas, membuat Alya menoleh sejenak.

“Zafran, apakah kamu merasa kita diikuti?” tanya Alya, hatinya mulai berdebar.

Zafran menatap ke belakang, melihat sosok yang berdiri di bayang-bayang. “Tenang saja, Alya. Kita sudah memutuskan untuk menghadapi apa pun bersama, ingat?”

Namun, saat mereka melanjutkan langkah, Rian muncul dari kegelapan, wajahnya tampak penuh amarah. “Kau pikir kamu bisa menghindar dariku, Zafran?” suaranya serak, penuh kebencian.

“Rian, ini bukan urusanmu,” Zafran menjawab dengan tenang, meski matanya memancarkan ketegangan. “Alya dan aku sudah berbicara. Kami akan berjuang untuk hubungan ini.”

Rian tertawa sinis, melangkah mendekat. “Berjuang? Melawan siapa? Aku bisa membuat hidupmu hancur dalam sekejap, Alya. Kamu pikir cinta itu cukup?”

Alya merasa ketakutan merayap di tenggorokannya, tetapi dia tidak akan mundur. “Cinta itu bukan hanya sekadar kata-kata. Ini tentang bagaimana kita saling melindungi, Zafran dan aku akan menghadapi semua ini bersama.”

Mendengar kata-kata Alya, Zafran merasakan semangat baru. “Betul! Dan jika kamu berani mengancam Alya, kamu juga berhadapan denganku.”

Rian mendengus, matanya berkilat-kilat. “Kau pasti gila. Kamu berdua tidak tahu apa yang kau hadapi. Kalian tidak punya ide tentang apa yang bisa aku lakukan.”

Dengan itu, Rian melangkah maju, mencoba mendekati Alya. Namun, Zafran berdiri di depan Alya, menghadang. “Jangan sekali-kali mendekatinya!”

Ketegangan mengisi udara malam, dan Alya merasakan seluruh tubuhnya bergetar. Tapi saat dia melihat Zafran berdiri teguh di depannya, rasa takutnya sedikit mereda.

“Rian, ini bukan hanya tentang kamu atau aku. Ini tentang Alya. Jika kamu benar-benar peduli padanya, maka berhentilah mengancam kami!” kata Zafran, nada suaranya tak tergoyahkan.

“Aku tidak akan berhenti. Aku akan memastikan hidupmu hancur, Zafran,” Rian mengancam, tetapi dalam nada suaranya, Alya bisa mendengar kepanikan yang tersembunyi.

Dengan keberanian yang baru ditemukan, Alya melangkah maju, menatap Rian dengan penuh tekad. “Jika kamu merasa memiliki kekuasaan, itu karena kamu belum melihat betapa kuatnya cinta. Kami mungkin tidak sempurna, tetapi cinta kami adalah sesuatu yang tidak bisa kamu hancurkan.”

Rian tertegun sejenak, terkejut oleh keberanian Alya. Namun, dia segera memulihkan diri. “Kamu bisa berbicara dengan mulut manis, tapi pada akhirnya, cinta tidak bisa menyelamatkanmu dari kenyataan.”

Zafran merangkul Alya, memberikan kekuatan. “Kami tidak perlu menyelamatkan diri. Kami sudah cukup kuat untuk menghadapi semua ini bersama.”

Saat suasana semakin tegang, Alya merasa momen itu sangat menentukan. Tiba-tiba, dia melihat sinar lampu mobil mendekat. Mobil itu berhenti, dan seorang lelaki berambut pendek keluar, tampak familiar.

“Alya! Zafran!” teriak Andi, sahabat mereka yang muncul tepat waktu. “Apa yang terjadi di sini?”

Rian sepertinya tidak siap menghadapi situasi baru ini. Dia mundur sedikit, terlihat gelisah. “Ini tidak ada hubungannya denganmu, Andi. Pergilah dari sini!”

“Aku tidak akan pergi sebelum aku memastikan Alya dan Zafran aman,” Andi menjawab tegas, melangkah maju dengan percaya diri.

“Kurang ajar!” Rian menantang, tetapi Andi tidak terpengaruh.

Dalam hitungan detik, situasi menjadi kacau. Rian memutuskan untuk mundur, menyadari bahwa dia tidak bisa berhadapan dengan kelompok yang lebih besar. “Kalian tidak akan mendengar kata terakhirku!” Dia berbalik dan menghilang ke dalam kegelapan malam.

Alya dan Zafran terdiam sejenak, merasakan pergeseran yang terjadi. “Kita berhasil,” Zafran berkata, suara kelegaan dan rasa syukur menyentuh hatinya.

“Ya, kita berhasil,” Alya menanggapi, masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

Andi mendekat, tampak khawatir. “Kalian baik-baik saja? Sepertinya Rian mengancam kalian.”

“Aku tidak tahu berapa lama lagi kita bisa bertahan,” Alya mengaku, bergetar. “Dia tidak akan berhenti, Andi.”

Zafran mengangguk. “Tapi kita akan terus berjuang. Kita akan menemukan cara untuk mengatasi semua ini.”

Malam itu, saat mereka berjalan kembali ke rumah, Alya merasakan suatu kekuatan baru dalam dirinya. Mereka telah melewati satu ujian, dan kini, dia merasa lebih percaya diri untuk menghadapi apa pun yang akan datang.

Alya menatap Zafran, menemukan kehangatan dalam matanya. “Apapun yang terjadi, aku ingin kita tetap bersama. Kita bisa menghadapinya.”

Zafran mengangguk, merangkul Alya lebih erat. “Selalu. Kita tidak akan terpisah lagi. Tidak ada yang bisa memisahkan kita.”

Mereka berjalan di bawah langit yang berbintang, tak lagi merasa terpisahkan oleh ketakutan, melainkan disatukan oleh cinta yang semakin kuat. Dan saat mereka menatap masa depan yang tak pasti, satu hal menjadi jelas: cinta mereka adalah kekuatan yang tak tertandingi, dan mereka siap menghadapi apapun yang akan datang bersama-sama.

 

Jadi, di antara semua drama, pertengkaran, dan rasa cemburu yang menggigit, Zafran dan Alya menemukan satu hal yang tak terduga: cinta mereka adalah kekuatan yang tak terbendung. Meski dunia di sekitar mereka penuh rintangan, mereka tahu satu hal pasti—selama mereka bersama, tidak ada yang bisa memisahkan mereka.

Dan begitulah, kisah cinta yang terlarang ini bukan hanya tentang dua jiwa yang saling berjuang, tapi juga tentang bagaimana cinta bisa menang atas segala hal. Siapa bilang badboy dan badgirl tidak bisa bahagia? Mereka adalah buktinya.

Leave a Reply