Hantu Toilet Sekolah: Kengerian yang Menanti di Dalam

Posted on

Jadi, ada cerita seram yang bikin bulu kuduk merinding tentang toilet sekolah yang katanya angker. Mungkin kamu pernah dengar rumor tentang hantu yang menunggu di dalam, tapi apa kamu berani masuk dan buktikan sendiri?

Siap-siap ya, karena kita bakal masuk ke dunia yang gelap dan menegangkan. Yuk, ikuti perjalanan Maya dan Syifa, yang mungkin bakal bikin kamu berpikir dua kali sebelum pergi ke toilet sendirian!

 

Hantu Toilet Sekolah

Bayangan di Balik Cermin

Langit di luar sekolah mulai gelap, hujan turun tanpa henti sejak siang tadi, membuat suasana semakin dingin dan mencekam. Di dalam gedung tua yang sudah jarang digunakan, hanya ada suara tetesan air yang berjatuhan dari atap bocor. Sebagian besar siswa sudah pulang, kecuali beberapa yang masih berkutat dengan tugas kelompok atau kegiatan ekstrakurikuler.

Liana duduk bersandar di bangkunya, menunggu Syifa menyelesaikan presentasi yang sedang dibuat di laptop. Ruang kelas yang mereka tempati terasa sepi dan sunyi. Hanya suara gemuruh petir yang sesekali terdengar dari luar.

“Syif, aku ke toilet sebentar ya,” kata Liana sambil berdiri.

Syifa hanya mengangguk tanpa menoleh, masih sibuk mengetik cepat di laptopnya. “Iya, jangan lama-lama. Kita harus selesaiin ini biar bisa pulang bareng.”

Liana tersenyum tipis dan mengambil ponselnya. Dia tahu letak toilet yang akan ia tuju, tapi ada rasa enggan yang tiba-tiba muncul. Toilet itu berada di sudut paling belakang gedung lama, tempat yang jarang dilewati orang. Namun, rasa tidak nyaman itu ia abaikan. Mungkin karena suasana yang sudah gelap, pikirnya. Toh, toilet itu hanya sepi, bukan tempat yang menakutkan.

Koridor menuju toilet itu terasa panjang dan dingin. Lampu-lampu di sepanjang koridor berkedip-kedip, menambah kesan misterius. Jendela di ujung koridor membiarkan kilatan petir masuk, menyorot bayangan-bayangan aneh di dinding.

Liana berusaha melangkah lebih cepat. Tiba-tiba, ia merasa ada yang mengikuti di belakangnya. Tapi saat ia menoleh, tidak ada siapa pun di sana. Hanya deru angin yang terdengar.

“Tolonglah, jangan parno sendiri, Lan,” gumamnya pelan, berusaha menenangkan diri.

Ketika ia sampai di depan toilet itu, pintu kayunya tampak usang, dengan cat yang sudah mulai mengelupas. Liana mendorong pintu perlahan. Pintu itu berderit, seolah menjerit ketika dibuka. Di dalam, suasananya terasa lebih lembab dan gelap. Hanya ada satu lampu di langit-langit yang menyala redup, cahayanya berkedip-kedip.

Liana masuk, lalu memilih bilik paling dekat dengan wastafel. Toilet ini memang terkenal angker, tapi Liana tidak terlalu mempercayai cerita-cerita semacam itu. Baginya, itu hanya mitos untuk menakut-nakuti anak-anak baru.

Selesai urusannya, Liana melangkah keluar bilik dan mencuci tangan di wastafel. Dia membuka keran, tapi tidak ada air yang keluar. “Ya ampun, kenapa airnya mati sih?” gumamnya, kesal.

Namun, saat ia menunduk untuk memeriksa keran yang lain, sesuatu menarik perhatiannya dari sudut mata. Di cermin besar yang tergantung di atas wastafel, bayangannya terlihat… aneh. Matanya yang biasanya cerah kini tampak lebih gelap. Sorot matanya seperti tenggelam dalam kegelapan.

Liana mengerjap, mencoba memastikan pandangannya. Tapi saat ia melihat lagi, bayangannya tampak normal. Mungkin cuma refleksi cahaya lampu yang berkedip-kedip, pikirnya.

Ia menoleh ke arah pintu, siap keluar dari toilet. Tapi saat ia akan melangkah, suara langkah kaki terdengar dari belakangnya. Liana terdiam sejenak. Jantungnya mulai berdebar.

“Syifa? Kamu di sini?” tanyanya dengan suara gemetar. Tidak ada jawaban.

Liana melangkah mundur, matanya menatap cermin dengan cemas. Dalam pantulan cermin, tidak ada siapa-siapa di belakangnya, tapi perasaan bahwa ada sesuatu yang mengawasinya semakin kuat.

Liana mencoba menenangkan diri. “Ini pasti cuma perasaanku aja.” Ia menghela napas dalam-dalam. Tapi sebelum ia sempat keluar, lampu di toilet berkedip sekali lagi, dan sosok bayangan muncul di cermin.

Sosok itu berdiri di belakangnya—seorang wanita dengan rambut panjang, wajah pucat, dan seragam sekolah yang basah kuyup. Matanya kosong, hanya lubang hitam yang menatap Liana dari balik cermin. Wajahnya berkerut dan senyumnya menakutkan.

Liana mundur dengan panik, tubuhnya gemetar hebat. “Apa… siapa kamu?” gumamnya, nyaris tak terdengar.

Bayangan itu tidak bergerak, hanya tersenyum lebih lebar. Tanpa sadar, Liana memundurkan tubuhnya hingga menyentuh dinding. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, dan jantungnya berdetak kencang. Tangannya gemetar saat ia meraih gagang pintu. Namun, pintu itu tidak bergerak, seperti terkunci dari luar.

Sosok di cermin mulai bergerak mendekat. Meski hanya bayangan, Liana merasa sosok itu semakin nyata. Napasnya terputus-putus, dadanya sesak. “Tolong…!” serunya, tapi suaranya tertelan oleh gemuruh petir di luar.

Di luar toilet, Syifa menunggu sambil menatap layar ponselnya. Sudah hampir sepuluh menit, dan Liana belum juga kembali. Sambil mendesah, Syifa bangkit dari kursinya dan berjalan menuju toilet. Suasana sekolah semakin sepi, hanya suara hujan yang terdengar. Ia mengetuk pintu toilet.

“Lan, kamu di dalam? Lama banget sih!” panggilnya.

Tak ada jawaban.

Syifa mendorong pintu toilet dengan sedikit ragu, lalu melangkah masuk. Toilet itu kosong, hanya terdengar tetesan air dari keran wastafel yang rusak.

“Liana?” Syifa memanggil lagi, tapi kali ini suaranya lebih pelan.

Ia melangkah ke arah bilik-bilik toilet satu per satu, memastikan Liana tidak ada di dalam. Tapi setiap bilik kosong. Syifa mulai merasa ada yang tidak beres. Ia berjalan ke depan wastafel dan menatap cermin.

Tiba-tiba, lampu di atasnya berkedip-kedip. Syifa terdiam, merasakan bulu kuduknya meremang. Dalam cermin, ia melihat bayangan samar di belakangnya. Sesuatu yang tidak seharusnya ada.

 

Suara dari Dalam

Syifa membeku. Bayangan yang muncul di cermin semakin jelas, namun saat ia berbalik untuk memastikan, tidak ada siapa pun di belakangnya. Napasnya mulai terasa berat, dingin menjalari punggungnya. Toilet itu, yang tadinya biasa saja, kini terasa seperti tempat yang salah. Suasana lembab, bau cat lama, dan tetesan air yang tak pernah berhenti semakin memperkuat firasat buruk di hatinya.

Dia melangkah mundur, berusaha keluar dari toilet, tapi tiba-tiba terdengar suara lembut dan serak, seperti bisikan yang bergetar dari ujung ruangan.

“Syifaaaaa…”

Syifa langsung menoleh dengan jantung berdetak kencang. Suara itu terdengar seperti… suara Liana. Tapi dari mana asalnya? Suaranya samar, seperti terjebak di balik dinding.

“Liana?” Syifa memanggil, suaranya gemetar. Dia memaksakan langkah menuju arah suara itu, meski instingnya menjerit untuk lari. “Kamu di mana? Jangan bercanda, ini nggak lucu!”

Namun, yang dia dengar hanyalah gema dari tetesan air yang masih jatuh. Syifa mencoba berpikir rasional. Mungkin Liana hanya bersembunyi, iseng mengerjai dirinya, seperti biasa. Tapi semakin lama, semakin ia merasa tidak ada permainan di sini. Sesuatu yang jauh lebih mengerikan sedang terjadi.

Tiba-tiba, pintu salah satu bilik toilet perlahan terbuka dengan sendirinya. Syifa melangkah mundur, merasa jantungnya berhenti berdetak sejenak. Pintu itu berderit, menampakkan bagian dalam bilik yang gelap. Di antara kegelapan, bayangan lain muncul—bukan manusia, tapi sosok yang menyerupai tubuh manusia. Wajahnya pucat, dan dari rambutnya meneteskan air seperti baru saja keluar dari dalam sumur.

Syifa terpaku di tempat. “Liana?” bisiknya lagi, meski dalam hati ia tahu itu bukan Liana.

Sosok itu tetap diam di dalam bilik, tapi matanya, hitam pekat tanpa bola mata, mulai menatap Syifa dengan tajam. Senyum tipis terbentuk di wajah pucatnya, senyum yang membuat bulu kuduk Syifa berdiri. Langkahnya terasa berat, seakan tubuhnya menolak bergerak, seperti terjebak dalam mimpi buruk yang tak ada ujungnya.

Tiba-tiba, pintu bilik itu tertutup dengan keras, membuat Syifa tersentak mundur. Pintu toilet yang tadinya terbuka sedikit pun ikut menutup dengan suara keras, seolah ada kekuatan tak kasat mata yang mengunci mereka berdua di dalam ruang sempit dan menyeramkan itu.

“Nggak, nggak mungkin!” Syifa berbisik pada dirinya sendiri, napasnya tersengal-sengal. Dia meraih gagang pintu, mencoba membukanya dengan sekuat tenaga, namun pintu itu tak bergeming. Jari-jarinya gemetar saat ia terus memutar gagang pintu, tapi seakan terkunci dari luar.

Petir menggelegar di luar, membuat seisi toilet diterangi sesaat oleh cahaya putih yang menyilaukan. Dalam kilatan petir itu, Syifa melihat jelas di cermin—bukan hanya bayangannya sendiri, tapi juga sesosok perempuan lain berdiri tepat di belakangnya. Wanita itu berambut panjang, wajahnya samar-samar diwarnai oleh noda darah yang terus menetes dari pelipisnya. Tubuhnya kurus, dengan pakaian seragam sekolah yang basah dan robek di beberapa bagian.

Syifa menahan jeritan yang hampir keluar. “Liana…?” Suaranya nyaris tak terdengar.

Wanita itu bergerak, bibirnya membentuk kata yang tak terdengar. Syifa melihat jelas gerakan bibirnya di cermin, seperti menyampaikan pesan yang tidak dapat ia tangkap. Suasana makin mencekam saat bayangan itu mulai mendekat ke arahnya.

“Pergi… pergiiiiiii…” bisikan itu akhirnya terdengar, memenuhi kepala Syifa. Suara yang menggema dalam pikirannya, memerintahkannya untuk lari secepat mungkin.

Dengan panik, Syifa mundur, hampir jatuh. Tangannya meraba dinding di belakangnya, mencari apa saja yang bisa ia pegang untuk tetap berdiri. Namun, tubuhnya seakan tak berfungsi dengan benar, terlalu banyak ketakutan yang membebani.

Tiba-tiba, terdengar suara lain dari luar toilet—suara langkah kaki cepat yang mendekat. Syifa langsung menoleh ke arah pintu, berharap ada seseorang yang bisa menyelamatkannya dari situasi aneh ini. “Tolong! Siapa pun, tolong aku!”

Pintu toilet terdengar digedor keras dari luar. “Syifa! Kamu di dalam?”

Suara itu terdengar jelas, suara yang sangat dikenalinya—Maya, teman mereka. Syifa berlari ke arah pintu, memukulnya dengan kedua tangan. “Maya! Aku di sini! Tolong buka pintunya!”

Pintu itu berderak sedikit, seakan Maya mencoba membukanya dengan paksa. “Kenapa pintunya nggak bisa dibuka? Tunggu bentar, aku coba bantu!”

Syifa menoleh ke cermin sekali lagi. Sosok wanita itu sudah tidak ada, hanya bayangan dirinya yang terpampang di sana. Namun, perasaan bahwa ia masih diawasi tak kunjung hilang. Tubuhnya masih gemetar hebat, tapi suara Maya dari luar memberikan sedikit keberanian.

“Syifa, coba mundur! Aku bakal dobrak!” teriak Maya.

Syifa buru-buru mundur, tubuhnya lemah seakan kehilangan tenaga. “Cepat, tolong!”

Tak lama kemudian, pintu itu terdorong keras, dan Maya muncul, napasnya tersengal setelah berusaha mendobrak pintu. “Kamu nggak apa-apa?” tanya Maya, tatapannya penuh cemas saat melihat wajah pucat Syifa.

Syifa hanya bisa mengangguk lemah, meski kepalanya masih dipenuhi bayangan mengerikan yang barusan dilihatnya. “Kita harus keluar dari sini, sekarang,” bisiknya, setengah memohon.

Maya membantu Syifa berdiri, dan mereka berdua segera bergegas keluar dari toilet itu. Suasana koridor sekolah terasa sedikit lebih lega, meski hujan masih mengguyur deras di luar. Syifa terus menoleh ke belakang, takut kalau bayangan itu akan muncul lagi di belakang mereka.

“Mana Liana? Bukannya tadi kamu sama dia?” tanya Maya sambil menarik napas, berusaha mengatur dirinya setelah kejadian tadi.

Syifa terdiam. Ketakutan yang tadi melandanya kini berubah menjadi kebingungan. Liana—dia pergi ke toilet, tapi setelah itu? Syifa tidak pernah melihatnya keluar. “Aku nggak tahu,” jawabnya dengan suara serak. “Dia nggak pernah keluar dari toilet itu.”

Maya menatapnya dengan bingung. “Maksudmu, dia masih di dalam?”

Syifa menggeleng lemah. “Nggak ada siapa-siapa di sana, tapi… tapi tadi aku dengar suaranya.”

Wajah Maya memucat. “Kamu yakin dia masih di toilet?”

Syifa tak bisa menjawab. Perasaan mengerikan kembali menyelimuti dirinya, dan kini mereka berdua berdiri di luar toilet itu, menatap pintu yang kembali tertutup. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengintai di dalam sana, menunggu.

Dan Liana… Liana masih hilang.

 

Hilangnya Liana

Syifa duduk bersandar di dinding koridor, tubuhnya masih gemetar sementara Maya berdiri dengan gelisah di sebelahnya. Pikirannya berputar, mencoba mengingat setiap detail kejadian di toilet tadi. Bayangan wanita itu, suara Liana, dan pintu yang tertutup rapat seperti jebakan tak terpecahkan. Semua terasa begitu nyata, namun sekaligus begitu mustahil untuk dipercaya.

Maya menunduk, meletakkan tangannya di bahu Syifa, mencoba menenangkannya. “Kamu harus cerita semuanya, Syif. Apa yang sebenarnya terjadi di dalam?”

Syifa menatap Maya, napasnya masih berat. “Aku… aku nggak tahu, May. Aku dengar suara Liana, tapi dia nggak ada di sana. Lalu…” Syifa terhenti, membayangkan lagi sosok menyeramkan di cermin tadi. “Ada sesuatu… di dalam toilet. Bukan Liana.”

Maya terdiam sejenak, menimbang-nimbang kata-kata Syifa. Matanya menyusuri sepanjang koridor, memastikan bahwa mereka memang sendirian di sana. “Jadi, maksudmu… ada yang lain? Sesuatu yang bukan manusia?”

Syifa mengangguk, walau mulutnya berat untuk mengucapkan hal itu. “Aku lihat sosok perempuan… tapi dia bukan orang. Aku nggak tahu apa yang terjadi, tapi itu bukan Liana.”

Maya menghela napas panjang, mencoba berpikir rasional. “Mungkin Liana cuma ngumpet buat bercanda. Dia suka bikin kejutan aneh kayak gitu, kan?”

“Tapi ini beda, May,” potong Syifa cepat. “Suaranya—aku dengar dia memanggil namaku. Tapi nggak ada siapa-siapa di sana. Pintu-pintu bilik itu terbuka sendiri… dan ada suara aneh. Sesuatu yang nggak bisa dijelaskan.”

Keheningan menyelimuti mereka. Maya menggigit bibirnya, berusaha mencerna informasi itu. Di satu sisi, ia ingin berpikir kalau semua ini hanyalah candaan atau ketakutan yang berlebihan. Tapi di sisi lain, ekspresi Syifa yang pucat pasi dan gemetaran tak bisa diabaikan. Ada sesuatu yang benar-benar salah di toilet itu.

“Kita nggak bisa biarin Liana hilang kayak gini,” ucap Maya akhirnya. “Kalau dia masih di dalam, kita harus cari.”

Syifa langsung menegakkan tubuh, raut wajahnya berubah panik. “May, kamu nggak serius, kan? Kita nggak bisa masuk lagi ke sana! Ada sesuatu di toilet itu, aku nggak mau kembali.”

Namun Maya tak menggubris ketakutan Syifa. Dia berdiri, tatapannya penuh tekad. “Aku nggak bisa biarin temen kita hilang tanpa jejak. Kalau Liana beneran ada di dalam, kita nggak boleh tinggal diam.”

Syifa masih ragu, tapi Maya sudah mulai berjalan menuju pintu toilet yang tertutup rapat. “Tunggu!” panggil Syifa, berdiri dengan kaki yang masih lemas. “Kita harus manggil orang lain dulu, lapor ke guru atau ke satpam. Nggak mungkin cuma kita berdua yang nyari.”

Maya berhenti sejenak, tapi kemudian menggeleng. “Kalau kita lapor sekarang, mereka pasti mikir kita cuma bercanda atau ketakutan gara-gara cerita hantu. Kamu tahu gimana guru-guru di sini. Kita harus cek sendiri dulu. Kalau emang ada yang nggak beres, baru kita lapor.”

Syifa menggigit bibir, merasa bimbang. Logika Maya masuk akal, tapi perasaan ngerinya masih menahan langkahnya. “Aku takut, May,” bisiknya, jujur.

Maya menatap Syifa sejenak, lalu menggenggam tangannya erat. “Aku juga. Tapi kita nggak bisa ninggalin Liana. Kita harus cari dia.”

Dengan berat hati, Syifa akhirnya mengikuti Maya. Langkah mereka terasa berat dan pelan, seperti setiap inci koridor ini membawa mereka lebih dalam ke sesuatu yang gelap dan misterius. Saat mereka sampai di depan pintu toilet lagi, Syifa merasa jantungnya mulai berdegup lebih cepat. Pintu itu terlihat sama seperti sebelumnya—tertutup rapat, tidak ada tanda-tanda apa pun yang aneh. Namun, suasana dingin yang menyelimuti tempat itu jelas tidak bisa diabaikan.

“Siap?” Maya bertanya dengan suara pelan, seolah takut mengganggu sesuatu.

Syifa hanya bisa mengangguk, meski sebenarnya tubuhnya berteriak untuk mundur. Maya menarik napas dalam, lalu dengan hati-hati mendorong pintu toilet. Pintu itu berderit pelan, menimbulkan suara yang hampir tak tertahankan dalam kesunyian.

Saat mereka melangkah masuk, suasana di dalam toilet tidak berubah—dingin, lembab, dan sunyi. Namun, rasa bahwa ada sesuatu yang memperhatikan mereka makin terasa kuat. Langkah Maya berhenti di tengah-tengah, sementara Syifa berdiri di belakangnya, menggenggam lengannya erat-erat.

“Li… Liana?” Maya memanggil pelan, suaranya bergetar sedikit.

Hening. Tidak ada jawaban, tidak ada suara selain tetesan air yang terus jatuh ke lantai.

Mereka berdiri di sana beberapa detik yang terasa seperti selamanya. Tiba-tiba, dari dalam salah satu bilik, terdengar bunyi gemerisik yang aneh. Seperti seseorang sedang bergerak, meski sangat pelan. Maya melirik Syifa, yang wajahnya semakin pucat. Keduanya tahu suara itu tidak normal, namun mereka tetap terdiam, terlalu takut untuk bergerak atau bahkan bicara.

“Liana?” Maya mencoba sekali lagi, kali ini lebih pelan.

Dan tiba-tiba, pintu salah satu bilik toilet terbuka perlahan. Syifa langsung mundur selangkah, kakinya hampir tersandung. Namun, kali ini yang keluar dari bilik bukan sosok hantu menyeramkan, melainkan seseorang.

“Liana!” Syifa nyaris menjerit saat melihat sahabatnya keluar dari bilik dengan langkah pelan. Wajah Liana terlihat kosong, kulitnya pucat dan bibirnya membiru. Dia hanya berdiri di sana, tanpa kata, tanpa ekspresi.

“Liana, kamu nggak apa-apa?” Maya buru-buru mendekat, mencoba mengguncang bahu Liana dengan pelan. Namun, Liana tidak bereaksi. Matanya menatap lurus ke depan, seolah tidak melihat apa pun.

“Liana?” Syifa maju, ikut merasa aneh dengan keadaan Liana yang tidak wajar.

Maya menggerakkan tangan di depan wajah Liana, tapi tidak ada reaksi sama sekali. Liana hanya berdiri di sana, dingin, seperti patung hidup.

“Liana, kamu denger kita nggak?” Maya mengulang, kali ini lebih keras. Namun Liana tetap tidak bereaksi. Tubuhnya seperti kaku, dan semakin lama, semakin terasa bahwa ada yang salah.

Syifa merasa bulu kuduknya berdiri lagi. Ada sesuatu yang janggal dengan Liana. Dia tidak seperti orang yang ketakutan atau shock—dia seperti… kosong, hampa, seolah ada sesuatu yang hilang dari dirinya.

“Ini bukan Liana…” Syifa berbisik, takutnya semakin besar.

Maya menatap Syifa dengan bingung. “Maksudmu apa?”

“Tubuhnya ada di sini… tapi dia nggak,” jawab Syifa dengan suara bergetar.

Maya menatap Liana lagi, lalu perlahan mundur, merasa ngeri. “Kita harus keluar dari sini. Sekarang,” bisiknya dengan tegas.

Tapi sebelum mereka bisa bergerak, Liana tiba-tiba membuka mulut, mengeluarkan suara pelan yang hampir seperti bisikan.

“Syifa… Maya…” suara itu serak, lebih mirip suara yang datang dari jauh, bukan suara asli Liana.

Mereka berdua membeku, tidak bisa bergerak.

“Liana?” tanya Maya ragu-ragu.

Liana menunduk sedikit, matanya masih kosong, tapi mulutnya terus bergerak, membisikkan kata-kata yang nyaris tak terdengar. Syifa harus memusatkan perhatian untuk mendengar, dan apa yang didengarnya membuat darahnya membeku.

“Dia… menunggu kalian… di dalam…”

 

Yang Menunggu di Dalam

Maya dan Syifa saling menatap dengan ngeri setelah mendengar bisikan Liana yang aneh. Tubuh mereka membeku, seolah tertarik ke dalam kegelapan yang entah darimana datangnya. Hawa dingin semakin terasa menusuk, seperti ada sesuatu yang tak kasat mata merayap di sepanjang koridor. Suara bisikan Liana terus bergaung di kepala mereka, meski mulut Liana kini telah terkatup rapat.

“Syifa… kita harus pergi sekarang,” suara Maya bergetar, tapi tangannya meraih lengan Syifa erat-erat, seolah mencoba menguatkan mereka berdua.

Syifa mengangguk cepat, tapi tubuhnya tak mau bergerak. Kakinya seolah terpaku di lantai, seperti ada kekuatan yang menahannya untuk tidak beranjak. Matanya terus tertuju pada Liana yang berdiri kaku dengan wajah pucat pasi. Liana yang sekarang tampak bukanlah sahabat mereka yang biasanya ceria—ada sesuatu yang keliru, sesuatu yang telah mengambil alih dirinya.

“Kamu… menunggu… di dalam…” Suara Liana kembali terdengar, lebih jelas kali ini. Namun, bukan hanya kata-kata itu yang membuat mereka merinding. Suara lain, lebih dalam dan asing, mulai terdengar dari balik salah satu bilik toilet. Suara itu seperti erangan rendah, berat, seolah-olah berasal dari sesuatu yang jauh lebih besar dan lebih tua daripada mereka bisa bayangkan.

Maya menarik napas dalam, menoleh ke arah pintu bilik yang sedikit terbuka. “Syifa, kita harus pergi,” ucapnya sekali lagi, kali ini dengan nada memohon.

Tapi sebelum mereka bisa bergerak, pintu bilik itu berderit terbuka perlahan. Suara erangan itu makin keras, dan udara di sekitar mereka tiba-tiba berubah menjadi lebih dingin, begitu dingin hingga napas mereka berubah menjadi uap putih tipis.

Dari balik pintu bilik itu, sebuah tangan muncul perlahan. Bukan tangan manusia—kulitnya gelap, pucat, dan mengerikan, dengan jari-jari panjang yang kurus dan bengkok, seperti cakar. Tangan itu merayap di lantai, menggaruk lantai dingin dengan bunyi seret yang menakutkan.

Syifa mundur beberapa langkah dengan cepat, matanya terbelalak, sementara Maya berusaha menariknya lebih jauh dari pintu. “Cepat! Syif, kita harus keluar sekarang!” Maya berbisik keras, hampir panik.

Mereka berdua berbalik dengan cepat, berlari ke arah pintu toilet. Namun, saat tangan Maya menyentuh gagang pintu, pintu itu tiba-tiba membanting tertutup dengan suara keras yang menggema di seluruh ruangan. Mereka berdua terdiam, jantung mereka berdegup kencang, terpaku di depan pintu yang sekarang terkunci rapat.

“Enggak… ini nggak mungkin,” Maya mencoba menarik pintu lagi, tapi sia-sia. Pintu itu tidak bergerak sama sekali, seolah telah dilas ke dinding.

Suara erangan itu semakin dekat, dan sekarang terdengar jelas bahwa sesuatu yang lebih besar dari tangan itu sedang mendekat, menyeret dirinya keluar dari bilik. Kengerian menyelimuti mereka, namun ketika Syifa berbalik dan melihat ke arah bilik itu lagi, matanya hampir tak percaya. Sebuah sosok besar muncul, merayap dengan tubuh yang tidak seimbang—kaki dan tangannya panjang dan bengkok, seperti binatang cacat. Wajahnya tak bisa dilihat jelas dalam kegelapan, namun senyum yang mengerikan tersirat di sana, taringnya panjang dan tajam.

Sosok itu mengeluarkan suara pelan, seperti tertawa pelan namun dalam, menggema di ruangan kecil itu. Maya dan Syifa mundur ke sudut, tidak punya tempat lain untuk lari. Tidak ada jalan keluar.

“Maya, apa yang kita lakukan sekarang?” Suara Syifa hampir histeris, namun Maya tidak bisa menjawab. Pikirannya dipenuhi oleh ketakutan yang tak terlukiskan. Mereka terperangkap.

Sosok itu merayap semakin dekat, tangan bercakarnya menggapai mereka, siap untuk menyerang. Lalu, tiba-tiba Liana—yang sejak tadi diam tanpa ekspresi—bergerak dengan kecepatan yang tak terduga. Dia berdiri tepat di depan mereka, seolah-olah ingin menghadang sosok mengerikan itu.

“Liana! Apa yang kamu lakukan?” Maya hampir berteriak, matanya melebar melihat gerakan aneh Liana.

Namun, Liana hanya menoleh sedikit, dengan senyum dingin yang sama sekali tidak menunjukkan perasaan. “Aku sudah bilang… dia menunggu kita.”

Tepat pada saat itu, sosok hitam itu mengeluarkan teriakan yang begitu memekakkan telinga hingga seluruh tubuh Maya dan Syifa terasa bergetar. Tangan panjang dan bercakar itu bergerak cepat, namun tidak mengenai mereka. Sebaliknya, sosok itu menangkap Liana, menariknya dengan kekuatan yang tidak bisa mereka lawan.

“Liana!” teriak Syifa dan Maya serentak, tapi Liana tidak melawan. Wajahnya tetap kosong, seolah-olah sudah pasrah dengan nasibnya. Dalam hitungan detik, Liana menghilang ke dalam kegelapan, bersatu dengan sosok mengerikan itu.

Lalu, hening. Toilet itu kembali sunyi. Suara erangan, tawa menyeramkan, dan sosok hitam itu lenyap seperti tak pernah ada. Yang tersisa hanyalah udara dingin yang menyesakkan dan bayangan dari apa yang baru saja terjadi.

Maya terengah-engah, matanya masih menatap ke arah bilik yang sekarang kosong. “Syifa… Liana…” ucapnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar.

Namun Syifa tidak bisa berkata apa-apa. Dia masih terdiam di sudut, tubuhnya gemetar hebat, dan matanya berkaca-kaca. Semua terasa seperti mimpi buruk yang terlalu nyata.

Mereka akhirnya berhasil membuka pintu toilet dan berlari keluar. Saat mereka keluar dari toilet, sinar matahari pagi yang cerah menyambut mereka—kontras dengan kegelapan yang baru saja mereka alami.

Tapi meski mereka keluar, perasaan bahwa sesuatu yang jahat masih menunggu di dalam toilet itu tak pernah hilang. Liana tidak pernah kembali, dan meskipun tidak ada yang percaya dengan cerita mereka, Maya dan Syifa tahu satu hal yang pasti: ada sesuatu di toilet sekolah itu, dan Liana telah menjadi bagian dari kegelapan itu selamanya.

 

Nah, itu dia kisah seram tentang hantu di toilet sekolah yang bikin merinding. Setelah membaca cerita ini, apakah kamu masih berani melangkah ke toilet sendirian? Ingat, kadang kegelapan menyimpan rahasia yang nggak bisa kita bayangkan.

Jadi, sebelum kamu pergi, pastikan untuk melirik ke belakang—siapa tahu ada yang menunggu di sana. Sampai jumpa di cerita horor selanjutnya, dan jangan lupa, berani itu penting, tapi hati-hati selalu lebih baik!

Leave a Reply