Daftar Isi
Hai, kamu pernah ngebayangin nggak sih, gimana rasanya hidup dalam dunia yang sepi? Coba deh bayangin, ada seorang cewek bernama Aleena yang punya segudang cerita di dalam hati, tapi nggak bisa ngungkapin semuanya karena dia tuna rungu.
Nah, di sinilah serunya! Dia ketemu sama Kaivan, cowok yang bikin hidupnya berwarna lagi. Yuk, ikutin perjalanan mereka yang penuh tawa, air mata, dan tentunya, cinta yang tak terduga!
Catatan Hati Seorang Tuna Rungu
Dalam Senyap yang Terluka
Langit sore memancarkan warna jingga yang memudar di ufuk barat. Angin semilir menerpa pelan wajah Aleena yang berdiri di balkon apartemennya. Tangannya memegang erat pagar besi, sementara tatapannya kosong menembus hiruk pikuk di bawah sana. Kendaraan lalu-lalang, orang-orang berceloteh, namun bagi Aleena semua itu hanyalah adegan bisu yang tak bermakna. Dunia terus bergerak, tapi di dalam dirinya, segalanya terasa diam.
Aleena bukanlah orang yang senang mengasihani diri sendiri. Dia sudah terbiasa hidup dalam sunyi. Tidak ada tangisan malam yang panjang, tidak ada keluhan di pagi hari. Semua itu terlalu melelahkan baginya. Dia memilih mengalir bersama kesunyian, menerima bahwa suara bukanlah bagian dari hidupnya.
Di atas meja kecil di sudut kamarnya, terdapat sebuah buku tebal dengan sampul lusuh. Itu adalah tempat Aleena mencurahkan segala isi hatinya. Di sana, ia menyimpan segala perasaan yang tak bisa ia sampaikan dengan kata-kata, segala suara yang ingin ia dengar tapi tak pernah bisa ia rasakan. Setiap huruf di buku itu adalah suaranya, jerit hatinya yang tersembunyi dalam diam.
Aleena sering datang ke kafe kecil di ujung jalan. Suasananya tenang, dan meski ramai, ia merasa aman di sana. Di pojok kafe, selalu ada satu meja yang tampaknya menunggunya setiap hari. Aleena duduk di kursinya yang biasa, membuka buku catatannya, dan mulai menulis. Jari-jarinya bergerak cepat, menuangkan apa pun yang terlintas di pikirannya, dari perasaan kesepiannya hingga imajinasi yang tercipta di dunia tanpa suara.
Suatu hari, ketika ia sedang asyik menulis, seorang pria tiba-tiba duduk di depannya. Wajahnya tampan, senyumnya hangat, dan ada sesuatu di matanya yang membuat Aleena merasa tak canggung. Dia mengenakan kaus hitam sederhana dan jaket denim yang tampak usang, tapi cocok dengan kepribadiannya yang terlihat santai.
“Hei, aku boleh duduk di sini?” tanya pria itu. Bibirnya bergerak perlahan, tapi Aleena hanya menatapnya. Ia tak mendengar suara itu, tapi ia tahu maksudnya dari gerakan bibir pria itu.
Aleena tidak menjawab. Ia hanya menunduk, menarik buku catatannya lebih dekat ke tubuhnya, merasa ragu. Namun pria itu tersenyum dan mengambil sebuah kertas kecil dari meja di sebelah. Dengan cepat, ia menuliskan sesuatu.
“Namaku Kaivan. Aku lihat kamu sering di sini. Boleh kenalan?”
Aleena membaca tulisan itu dengan hati-hati. Ia mengangkat wajahnya dan menatap Kaivan. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba mengalir dalam dirinya. Sesuatu yang tak biasa, tapi tak juga membuatnya gelisah. Biasanya, Aleena tidak suka berbicara dengan orang asing, apalagi yang tiba-tiba muncul dan mencoba mengajaknya bicara. Namun, ada sesuatu dari cara Kaivan mendekatinya yang membuatnya merasa aman.
Aleena meraih kertas itu, lalu menulis balasannya.
“Aku Aleena. Aku nggak bisa dengar.”
Kaivan membaca tulisan Aleena, lalu mengangguk pelan. Dia menatapnya lagi, kali ini dengan tatapan lebih lembut. “Kamu mau aku bicara lewat tulisan?” tanyanya, sekali lagi dengan gerakan bibir yang lambat.
Aleena mengangguk. Mereka pun mulai berbicara lewat kertas. Awalnya, percakapan mereka singkat dan canggung. Kaivan bertanya tentang hal-hal sederhana, seperti buku apa yang sedang Aleena baca, atau mengapa ia suka duduk di kafe itu. Aleena menjawab dengan jawaban singkat, tapi perlahan, ia mulai merasa nyaman.
Di luar dugaan, Kaivan tidak memperlakukan Aleena berbeda. Ia tidak menunjukkan rasa iba, tidak juga berusaha berlebihan untuk bersikap hati-hati. Dia hanya berbicara seperti biasa, meski mereka tak pernah mengucapkan sepatah kata pun. Seiring waktu, perbincangan mereka menjadi lebih panjang, lebih dalam. Aleena mulai membuka diri, menulis lebih banyak tentang dirinya, tentang kesunyiannya yang seringkali terasa begitu berat, meski ia sudah terbiasa.
Satu sore, di meja yang sama, Kaivan menulis sesuatu yang membuat Aleena tertegun.
“Kenapa kamu selalu terlihat sedih?”
Aleena membaca pertanyaan itu berulang kali. Di antara banyak hal yang ia tulis dan bicarakan dengan Kaivan, ia tak pernah menyadari bahwa perasaannya begitu terlihat dari luar. Mungkin karena selama ini ia selalu merasa terjebak di dalam dirinya sendiri, hingga tak sadar bahwa kesedihan itu menguar tanpa ia sadari. Ia meraih pena dan mulai menulis balasannya, namun tangannya gemetar. Setiap kata yang ingin ia tulis, tiba-tiba terasa berat.
“Aku nggak sedih, aku hanya… nggak tahu bagaimana harus merasa.” tulis Aleena akhirnya. Ia tak ingin berbohong, tapi juga tak ingin membuka luka yang terlalu dalam.
Kaivan membaca tulisan itu dengan serius, lalu menatap Aleena dalam-dalam. Kali ini, ia tidak menulis apa pun. Ia hanya mengulurkan tangannya, menggenggam jemari Aleena sejenak, memberikan kehangatan dalam diam.
Sejak saat itu, pertemuan mereka menjadi bagian dari rutinitas yang tak terucap. Setiap sore, mereka bertemu di kafe yang sama, berbicara dalam hening, melalui tulisan yang bolak-balik di atas kertas. Bagi Aleena, ini adalah hal baru. Kehadiran Kaivan membuatnya merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya—perasaan di mana hening tak lagi berarti kesepian.
Suatu sore yang mendung, setelah beberapa bulan mereka bertemu, Kaivan menulis sebuah kalimat yang mengubah segalanya.
“Aku sedang belajar bahasa isyarat, supaya aku bisa bicara dengan kamu lebih baik.”
Aleena terdiam. Matanya menatap tulisan itu lama sekali, tidak percaya. Bukan karena ia merasa tidak pantas, tapi karena selama ini, tak ada orang yang benar-benar berusaha untuk masuk ke dunianya. Aleena sering merasa terasing, meski ia tak pernah mengeluh. Tapi Kaivan, dengan kesederhanaannya, melakukan sesuatu yang bahkan tak pernah terpikirkan oleh orang lain.
Aleena menatapnya, dan Kaivan hanya tersenyum kecil. Ia mengangkat tangannya dan dengan gerakan yang masih kikuk, ia menyapa Aleena dengan bahasa isyarat: “Aku ingin kamu tahu, aku di sini.”
Aleena tak bisa menahan air mata yang tiba-tiba mengalir. Dunia sunyi yang selama ini menjadi tembok di antara dirinya dan orang lain, tiba-tiba terasa lebih lembut. Seperti ada celah yang terbuka, memberi Aleena jalan untuk merasakan hal yang lebih dari sekadar kesunyian.
Tapi saat itulah, awan gelap mulai bergulung di atas hubungan mereka, siap merobek kenyamanan yang baru saja Aleena rasakan. Di saat ia mulai belajar menerima kehadiran Kaivan dalam hidupnya, kabar yang datang mengejutkan, mengancam akan menghancurkan semuanya.
Tapi, cerita mereka belum berakhir. Tidak hari itu, tidak pula di bab ini.
Harapan di Ujung Jalan
Hari-hari di kafe terasa lebih cerah setelah Kaivan memutuskan untuk belajar bahasa isyarat. Aleena merasakan kehadirannya seperti cahaya yang menembus kegelapan hatinya, membawanya ke dunia yang baru dan penuh harapan. Namun, di balik kebahagiaan itu, ada satu hal yang mengganjal. Kaivan mulai jarang muncul, dan setiap kali ia datang, wajahnya tampak lelah.
Suatu sore, saat hujan deras mengguyur kota, Aleena duduk di meja favorit mereka, menunggu. Jam sudah menunjukkan pukul lima, dan dia mulai merasa gelisah. Mungkin ada sesuatu yang salah? Tanpa menyadari bahwa saat itu hatinya mulai dipenuhi oleh kecemasan.
Tak lama kemudian, Kaivan muncul di ambang pintu kafe, basah kuyup. Ia mengenakan hoodie yang tampak kebesaran, dan tatapannya tak secerah biasanya. Aleena cepat-cepat menghapus air matanya yang mulai menggenang. Dengan sepenuh hati, ia menyambutnya dengan senyuman.
Kaivan menghampiri meja dan langsung duduk. Dia tidak mengeluarkan kertas untuk menulis. Sebaliknya, dia menatap Aleena dengan pandangan serius.
“Aku…,” Kaivan mulai, suaranya serak. Ia menghela napas, dan Aleena bisa melihat perubahannya yang drastis. “Aku ada kabar buruk.”
Aleena merasakan jantungnya berdegup kencang. Dia berusaha bersikap tenang, walau dalam hatinya penuh dengan pertanyaan. Dengan hati-hati, dia menggenggam tangan Kaivan, mengisyaratkan bahwa ia siap mendengarkan.
“Dokter bilang aku… aku mungkin akan kehilangan pendengaranku sepenuhnya dalam beberapa bulan ke depan,” Kaivan akhirnya mengungkapkan, dan Aleena merasakan seolah-olah dunianya bergetar.
Dengan cepat, dia menulis di kertas dan menggeserkan ke arah Kaivan. “Apa kamu serius? Bagaimana mungkin?”
Kaivan menunduk, tak sanggup menjawab. Dalam keheningan yang menyakitkan itu, Aleena bisa merasakan perasaan hampa yang menjalar di antara mereka. Hati Aleena menjerit, merindukan suara Kaivan yang selalu bisa membuatnya merasa aman. Kini, suara itu terancam hilang.
“Semua ini terjadi begitu cepat. Awalnya, aku hanya merasa sedikit pusing, tapi…” Kaivan menjelaskan dengan suara pelan. “Sekarang aku harus mempersiapkan diri untuk kenyataan yang menyakitkan. Dan aku… aku takut kehilangan semua ini.”
Aleena merasakan dadanya sesak. Rasa khawatir dan kesedihan bercampur aduk. Dia menginginkan Kaivan untuk tetap bersamanya, dalam keheningan ini, di mana mereka saling menguatkan. Tak ada kata yang cukup untuk menggambarkan betapa sakitnya mendengar berita itu.
Lalu, tanpa berpikir panjang, Aleena meraih tangan Kaivan dan menggenggamnya erat. “Kamu tidak akan sendirian. Kita akan menghadapi ini bersama,” tulisnya, berusaha menyemangati.
Kaivan menatapnya, matanya penuh haru. “Kamu terlalu baik untukku,” katanya, dengan gerakan bibir yang sangat lambat. “Tapi kamu tidak tahu betapa menakutkannya dunia tanpa suara. Aku takut… aku tidak akan bisa berkomunikasi denganmu lagi.”
Di dalam hatinya, Aleena merasakan kepedihan yang dalam. Bagaimana bisa dia memberi tahu Kaivan bahwa keheningan yang akan dia alami mungkin tidak seburuk yang ia bayangkan? Bahwa di dunia tanpa suara, mereka masih bisa merasakan satu sama lain dengan cara yang berbeda?
“Dengar, Kaivan,” tulis Aleena di kertas. “Selama aku di sini, kita akan belajar satu sama lain. Kamu mungkin kehilangan pendengaranmu, tapi kita masih punya hati untuk berbicara.”
Kaivan mengangguk pelan, tapi Aleena bisa melihat bahwa ketakutan masih menghantuinya. Mereka berdua terdiam, larut dalam pikiran masing-masing. Saat hujan mengguyur, Aleena berusaha meringankan suasana, menggenggam tangan Kaivan lebih erat.
“Kita akan melakukan banyak hal bersama sebelum itu terjadi. Kita bisa pergi ke tempat-tempat yang ingin kamu kunjungi. Aku akan menulis tentang semua pengalaman kita,” tulis Aleena semangat.
Kaivan menatap Aleena, senyumnya perlahan kembali. “Kamu selalu tahu bagaimana cara membuatku merasa lebih baik.”
“Karena aku ingin kita menciptakan kenangan, kenangan yang akan selamanya terukir di dalam hati kita. Meski tanpa suara, kita bisa menghidupkan cerita kita dengan cara lain,” tulisnya lagi, penuh keyakinan.
Kaivan menggenggam tangan Aleena dengan lembut, seolah tak ingin melepaskannya. “Kamu benar. Mungkin aku bisa menyimpan suara ini dalam ingatanku, meski aku tak bisa mendengarnya lagi.”
Waktu berlalu dan semangat mereka berdua terus menyala. Mereka memutuskan untuk melakukan perjalanan kecil ke pantai yang menjadi tempat favorit Aleena. Di sanalah mereka akan membuat kenangan terakhir sebelum perubahan itu datang.
Hari itu, ketika mereka sampai di pantai, angin berembus kencang, dan gelombang ombak berdesir seolah menyambut mereka dengan penuh suka cita. Aleena merasakan kebebasan dan kehangatan saat melangkah di atas pasir, seolah semua beban yang selama ini menghimpit hatinya mulai menghilang.
Kaivan tersenyum lebar saat melihat air laut yang biru dan jernih. “Kamu tahu, ini salah satu tempat yang selalu ingin aku kunjungi,” tulisnya, menatap Aleena.
“Aku senang kamu akhirnya bisa ke sini. Rasakan semua ini, Kaivan. Kita harus mengingat setiap momen,” tulis Aleena, menggenggam tangannya dan berjalan lebih dekat ke bibir pantai.
Mereka duduk di atas pasir, berbagi tawa, dan merasakan keindahan alam yang tak terucapkan. Momen-momen kecil ini menjadi lebih berarti, seperti suara yang tidak pernah ada. Setiap gelombang yang menerjang pantai seakan mengingatkan mereka bahwa meskipun dunia bisa menjadi sunyi, cinta dan kebersamaan mereka adalah suara yang akan terus bergaung.
Kepulangan mereka dari pantai dipenuhi dengan harapan, walau di balik semua itu ada ketakutan yang tak kunjung sirna. Mereka berdua tahu, perubahan akan datang, tetapi selama mereka bisa bersama, semua akan terasa lebih ringan.
Namun, dalam perjalanan pulang, saat malam tiba, sebuah berita baru muncul. Sesuatu yang tak terduga, mengancam segalanya.
Suara yang Kembali
Malam itu, saat Aleena dan Kaivan kembali dari pantai, suasana di dalam mobil terasa berat. Lampu-lampu kota yang berkilauan terlihat dari kejauhan, tetapi di dalam hati Aleena, ada awan gelap yang menggelayut. Mereka berbagi tawa dan cerita, tetapi di sudut pikirannya, Aleena tahu bahwa semuanya bisa berubah dalam sekejap.
Sesampainya di apartemen Kaivan, Aleena merasakan ketegangan di udara. Kaivan berusaha tersenyum, tetapi Aleena bisa melihat kelelahan di wajahnya. Setelah membuka pintu, Kaivan langsung terjatuh di sofa, menatap langit-langit.
“Aku akan ambilkan minum,” kata Aleena dengan bahasa isyarat sambil berjalan ke dapur, mencoba menciptakan suasana lebih ceria. Ia mengisi gelas dengan air dingin dan mendengar suara berderak dari ruang tamu. Saat ia kembali, Kaivan sudah menatap layar ponselnya dengan raut wajah serius.
“Kaivan?” Aleena bertanya sambil menyerahkan gelas itu, rasa khawatir mulai menyelimutinya. “Ada apa?”
Kaivan mengalihkan pandangannya ke Aleena, kemudian kembali menatap layar. “Ini berita tentang penelitianku di rumah sakit. Mereka menemukan bahwa kondisi pendengaranku lebih parah dari yang diperkirakan.”
Hati Aleena bergetar mendengar kata-kata itu. Ia duduk di samping Kaivan, menggenggam tangannya erat. “Maksudmu… apa yang mereka katakan?”
“Mereka bilang kemungkinan aku tidak akan bisa mendengar suara sama sekali dalam waktu dekat. Dan… mereka mengusulkan untuk melakukan operasi.” Kaivan menjelaskan, suara itu bergetar, penuh emosi. “Tapi ada risiko yang besar.”
Aleena merasa seolah seluruh dunia bergetar. Rasa takut dan cemas menjalar di seluruh tubuhnya. “Kaivan, kita bisa mencari pendapat kedua. Mungkin ada cara lain… yang lebih aman.”
Kaivan menggeleng. “Aku tahu. Tapi kita tidak bisa menunda ini lebih lama lagi. Aku harus memutuskan secepatnya.” Ia menatap Aleena dalam-dalam. “Dan aku takut, jika aku memutuskan untuk operasi, kita mungkin harus berpisah sementara.”
Kata-kata itu menghujam hati Aleena seperti panah tajam. Setiap detik seakan melambat, dan dia merasakan kesedihan menyelimuti mereka berdua. “Berpisah? Kenapa harus seperti itu? Kita bisa melewati ini bersama, kan?” Aleena berusaha menahan air matanya.
Kaivan menunduk, menghindari tatapan Aleena. “Kamu tidak mengerti. Aku tidak ingin mengganggu hidupmu. Selama aku dalam proses ini, aku mungkin akan kehilangan lebih dari sekadar pendengaran.”
Aleena merasa hatinya bergetar mendengar ketidakpastian yang dihadapi Kaivan. “Jangan berpikir seperti itu. Kita sudah berjanji untuk saling mendukung. Aku akan ada di sisimu, tidak peduli apa pun yang terjadi.”
“Tapi kamu juga punya hidupmu, Aleena. Kamu tidak bisa terjebak dalam semua ini karena aku,” Kaivan berkata dengan nada penuh penyesalan.
Mendengar itu, Aleena teringat saat pertama kali mereka bertemu. Ketika Kaivan memperlihatkan keberanian dan ketulusan dalam menjalani hidup. Dan sekarang, dia merasakan bahwa keberanian itu mulai memudar. Dia tidak bisa membiarkannya terjebak dalam kesedihan.
“Kamu bukan beban bagiku, Kaivan. Justru kamu adalah bagian dari hidupku yang paling berharga. Kita bisa mengatasi ini bersama. Aku berjanji,” tulis Aleena di selembar kertas, sebelum menatap mata Kaivan yang penuh air mata.
Kaivan akhirnya mengangguk perlahan. “Aku… aku sangat beruntung punya kamu.”
Malam itu, mereka berbagi cerita dan kenangan, meneguhkan ikatan yang semakin kuat. Namun, di dalam hati Aleena, rasa cemas tidak sepenuhnya hilang. Dia tahu, keputusan besar menanti di depan mereka.
Hari-hari berlalu dengan cepat. Kaivan mulai lebih sering melakukan pemeriksaan dan pengujian di rumah sakit. Aleena selalu ada di sampingnya, menunggu di ruang tunggu, membaca buku atau menulis catatan di jurnalnya. Dia mengingat setiap senyuman Kaivan, setiap tawa yang mereka bagi, berusaha mengisi kenangan yang mungkin akan terhapus.
Suatu sore, saat Kaivan selesai menjalani pemeriksaan, Aleena menunggu di luar dengan gelisah. Ia melihat Kaivan berjalan keluar dengan wajah lesu. Aleena merasa ada sesuatu yang berbeda.
“Kamu baik-baik saja?” tanya Aleena sambil merangkulnya.
“Aku… aku sudah memutuskan,” Kaivan menjawab, suaranya hampir tak terdengar.
“Maksudmu?” Aleena menatapnya, jantungnya berdebar. “Apa yang kamu putuskan?”
Kaivan menunduk, mengeluarkan napas berat. “Aku akan melakukan operasi.”
Aleena terkejut. “Kaivan, tunggu! Kenapa kamu terburu-buru? Kita bisa mencari cara lain. Pikirkan tentang risiko yang kamu hadapi!”
“Ini bukan keputusan yang mudah, Aleena. Tapi aku tidak ingin hidup dalam ketidakpastian. Aku ingin berjuang untuk apa yang aku miliki. Dan jika aku harus kehilangan sesuatu untuk mendapatkan kembali pendengaranku, aku bersedia,” jawab Kaivan tegas.
Aleena merasa air mata menggenang di matanya. “Tapi… jika kamu kehilangan sesuatu, bagaimana dengan kita?”
Kaivan menggenggam tangan Aleena dengan lembut. “Kita tidak akan kehilangan apa pun. Kita hanya akan belajar berjuang dengan cara yang berbeda. Ingat? Kita akan menciptakan kenangan bersama, meskipun di dalam keheningan.”
Aleena menatap Kaivan, menemukan semangat yang baru di dalam tatapannya. Mungkin benar, cinta tidak membutuhkan kata-kata. Cinta bisa ditemukan dalam sentuhan, dalam tatapan, dalam cara mereka saling mendukung satu sama lain.
Tapi saat mereka meninggalkan rumah sakit, Aleena merasakan ada sesuatu yang akan hilang. Ada ketidakpastian yang mengintai, dan rasa takut yang menggerogoti pikirannya.
Satu minggu sebelum operasi dijadwalkan, mereka memutuskan untuk melakukan perjalanan kecil ke sebuah tempat yang selalu ingin mereka kunjungi. Di sebuah danau kecil yang tersembunyi di hutan, mereka menemukan ketenangan. Air danau berkilau di bawah sinar matahari, menciptakan bayangan indah di sekeliling mereka.
Mereka duduk di tepi danau, saling menatap dengan penuh cinta. Aleena mulai merasakan bahwa hari-hari indah ini mungkin adalah kenangan terakhir sebelum perubahan besar datang.
“Kaivan, ingat satu hal,” Aleena berucap dengan bahasa isyarat dan dengan wajah yang tegas. “Apa pun yang terjadi, kita akan melalui ini bersama. Dan apapun yang terjadi, aku tidak akan pernah menjauh darimu.”
Kaivan mengangguk, air mata mengalir di pipinya. “Aku tahu, dan itu membuatku lebih kuat. Aku akan berjuang demi kita.”
Saat mereka berdua duduk di tepi danau, Aleena merasakan kekuatan yang mengalir di antara mereka. Cinta mereka adalah sinar harapan di tengah kegelapan. Tetapi saat senja mulai menyelimuti langit, satu hal yang tak terduga kembali menghantui pikiran mereka. Apa yang akan terjadi setelah operasi? Bagaimana jika mereka tidak bisa kembali seperti semula?
Di sinilah cinta mereka akan diuji, di mana harapan dan ketakutan saling beradu.
Melodi Cinta yang Abadi
Hari operasi tiba dengan nuansa campur aduk di hati Aleena. Setiap detik terasa seperti tahun saat ia menunggu di ruang tunggu rumah sakit. Suara derap langkah orang-orang berlalu-lalang hanya menjadi latar belakang bagi pikirannya yang terus berputar.
Sebelum Kaivan dibawa ke ruang operasi, mereka berbagi senyuman yang penuh harapan. “Jangan khawatir, Aleena. Semua akan baik-baik saja,” kata Kaivan, mencoba memberikan ketenangan meskipun ia sendiri merasa cemas.
“Aku akan menunggu di sini. Tidak peduli berapa lama waktu yang diperlukan,” balas Aleena, berusaha keras menahan air mata. Dia menggenggam tangan Kaivan erat, seolah menyalurkan semua kekuatan dan cinta yang ada padanya.
Setelah beberapa saat, pintu ruang operasi tertutup, dan Aleena merasakan seolah dunia di sekelilingnya berhenti. Waktu berjalan sangat lambat. Ia teringat kembali kenangan-kenangan indah bersama Kaivan, setiap detik berharga yang mereka lewati, setiap tawa dan air mata. Dia tahu, apapun hasilnya nanti, cinta mereka tidak akan hilang.
Tak lama setelah itu, dokter muncul dari ruang operasi. Dengan wajah serius, dokter memberikan penjelasan singkat. “Operasi berjalan lancar. Namun, kita perlu menunggu hingga efek anestesi menghilang untuk menilai seberapa baik hasilnya.”
Aleena merasakan campuran lega dan cemas. “Apa dia bisa mendengar?” tanyanya.
“Belum bisa dipastikan. Dia harus menunggu hingga kesadaran penuh sebelum kita bisa tahu,” jawab dokter dengan nada tenang.
Setelah menunggu beberapa jam, Kaivan akhirnya dipindahkan ke ruang pemulihan. Aleena duduk di samping tempat tidurnya, memperhatikan wajahnya yang tampak lelah tetapi damai. Dia meraih tangan Kaivan, menggenggamnya dengan lembut.
Kaivan perlahan membuka matanya, melihat Aleena di sampingnya. “Aleena?” suaranya nyaris berbisik.
“Aku di sini, Kaivan,” jawabnya, tidak bisa menahan senyum lebar yang merekah di wajahnya.
“Kapan aku bisa mendengar?” tanya Kaivan, matanya penuh harap.
Aleena menggigit bibirnya, berusaha menahan emosi. “Sabar ya. Dokter bilang kamu perlu beristirahat. Setelah kamu cukup kuat, kita akan tahu.”
Kaivan menutup matanya lagi, mungkin berusaha fokus pada suara-suara di sekitarnya. “Aku merasa berbeda… apakah kamu ada di sini?”
“Ya, aku di sini. Aku tidak akan ke mana-mana,” jawab Aleena, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya.
Malam itu, Aleena menceritakan segala hal kepada Kaivan. Tentang masa kecil mereka, tentang mimpi dan harapan, serta segala hal yang mereka alami. Kaivan mendengarkan dengan seksama, meskipun Aleena tahu bahwa dia tidak bisa mendengar setiap kata.
Keesokan harinya, dokter datang untuk memeriksa Kaivan. “Sekarang saatnya kita melihat bagaimana hasil operasi ini,” ujar dokter sambil tersenyum.
Dengan hati yang berdebar, Aleena menunggu di samping Kaivan. Dia merasa seperti menunggu momen paling berharga dalam hidupnya.
“Kaivan, sekarang aku akan melakukan beberapa tes pendengaran. Cobalah fokus dan beritahu saya apa yang kamu dengar,” kata dokter.
Kaivan mengangguk, mata berbinar penuh semangat. Aleena merasakan kegembiraan dan harapan bercampur aduk di dalam dadanya. “Aku percaya kamu bisa melakukannya, Kaivan.”
Dalam beberapa menit, dokter mulai berbicara dengan suara pelan, mengajukan beberapa pertanyaan yang seharusnya bisa didengar oleh Kaivan. Setiap kali dokter menyebutkan kata, Aleena memperhatikan reaksi Kaivan. Raut wajahnya berubah; kadang dia tampak bingung, kadang tampak paham.
Akhirnya, setelah serangkaian tes, dokter memberikan hasilnya. “Kaivan, kamu berhasil. Kamu bisa mendengar lagi!”
Air mata kebahagiaan mengalir di wajah Aleena. Kaivan tampak terkejut, kemudian wajahnya bersinar dengan senyuman. “Aku bisa mendengar lagi!” katanya, dan untuk pertama kalinya, Aleena merasakan sentuhan suara yang lembut dan tulus.
Mereka saling berpelukan, Aleena merasakan kehangatan dan kebahagiaan yang luar biasa. Dalam pelukan itu, semua ketakutan dan keraguan seakan sirna. Mereka tahu, cinta mereka telah melewati badai yang sangat besar dan sekarang siap untuk memulai bab baru.
Beberapa minggu berlalu, Kaivan mulai beradaptasi dengan dunia barunya. Setiap hari, Aleena mengajarinya untuk mendengarkan suara-suara kecil di sekeliling mereka. Dari suara burung berkicau hingga deru angin, semuanya terasa seperti keajaiban bagi Kaivan.
Suatu sore, saat mereka duduk di tepi danau yang sama di mana mereka pertama kali mengungkapkan perasaan satu sama lain, Kaivan menatap Aleena dengan penuh rasa syukur. “Aku sangat beruntung memilikimu di sisiku, Aleena. Kamu membuatku merasa hidup kembali.”
“Dan aku akan selalu ada di sini, Kaivan. Bersama kita bisa melalui semuanya,” balas Aleena, air mata kebahagiaan menggenang di matanya.
Dengan semangat baru, mereka bersiap menghadapi segala tantangan yang ada. Keduanya tahu bahwa mereka telah melewati ujian yang tidak mudah, tetapi cinta mereka telah menguatkan ikatan yang lebih dalam. Meskipun dunia tidak selalu sempurna, mereka merasa cukup kuat untuk menghadapinya bersama.
Kehidupan di depan mereka terbentang, penuh harapan dan potensi. Dan di sinilah catatan hati mereka yang indah dimulai, sebuah perjalanan penuh cinta yang tak terduga dan penuh arti. Mereka tahu, walaupun tantangan akan selalu ada, cinta mereka akan menjadi cahaya yang menuntun jalan.
Jadi, apa yang kita bisa ambil dari cerita Aleena dan Kaivan? Cinta itu ternyata lebih dari sekadar kata-kata—ia bisa mengubah segalanya, bahkan dunia yang paling sepi sekalipun. Dengan keberanian dan cinta yang tulus, mereka membuktikan bahwa setiap rintangan bisa dihadapi bareng-bareng.
Siapa sangka, di balik senyapnya hati, ada melodi indah yang siap dibagikan ke dunia? Semoga kisah ini mengingatkan kita semua untuk selalu mendengarkan—bukan hanya dengan telinga, tapi dengan hati. Sampai jumpa di cerita berikutnya, ya!