Daftar Isi
Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya pernahkah kamu merasakan perpisahan yang begitu menyakitkan hingga membuatmu kehilangan arah? Dalam cerpen “Perjalanan Hati Olive”, kita diajak menyelami kisah seorang gadis bernama Olive yang berjuang melewati kesedihan setelah meninggalkan teman-teman terkasih di asrama.
Meski hidupnya terasa kosong dan penuh kesepian, Olive berusaha menemukan kembali semangat dan harapan melalui musik dan hubungan baru. Yuk, baca cerita inspiratif ini yang penuh emosi dan perjuangan!
Perpisahan Terakhir Olive di Asrama
Kenangan Manis di Asrama
Olive melangkah perlahan memasuki asrama, merasakan kehangatan yang menyambutnya. Aroma masakan yang tercium dari dapur menyatu dengan tawa riang teman-temannya yang berkumpul di ruang tengah. Hari itu adalah awal semester baru, dan meskipun dia merasa senang bisa kembali, ada rasa gelisah yang mengganggu hatinya.
Dia adalah gadis yang gaul dan selalu aktif. Dengan rambut panjang yang terurai, ditambah dengan kaus oversized dan celana jeans, Olive merasa percaya diri. Di asrama, dia bukan hanya sekadar teman; dia adalah pusat perhatian, pembawa keceriaan. Dia selalu tahu cara membuat orang-orang di sekitarnya tersenyum. Di sinilah, di antara tawa dan cerita, dia merasa hidup.
“Olive! Ayo bantu aku di dapur!” teriak Rani, sahabatnya yang selalu ceria. Olive tidak pernah bisa menolak permintaan Rani. Dia menghampiri dan bersama-sama mereka memasak makan malam. Di sela-sela mengaduk adonan, mereka bercanda tentang pengalaman lucu saat liburan. Tawa mereka menggema di dapur, dan Olive merasa seolah semua masalah di dunia ini lenyap sejenak.
Saat matahari terbenam, mereka semua berkumpul di teras, menikmati kebersamaan dengan secangkir teh hangat. Olive merasakan kebahagiaan yang tak tertandingi. Satu per satu teman-teman mulai bercerita tentang perjalanan mereka selama liburan, dan Olive pun tidak mau kalah. Dia menceritakan bagaimana dia membantu ibunya di kebun, dan bagaimana mereka menghabiskan waktu bersama di pasar tradisional.
Namun, di balik senyumnya, ada rasa khawatir yang tak bisa dihilangkan. Olive mendengar bisikan di antara teman-temannya tentang perpisahan yang akan datang. Mereka semua tahu bahwa waktu bersama di asrama tidak akan bertahan selamanya. Semester ini adalah yang terakhir sebelum mereka harus melanjutkan ke universitas yang berbeda. Saat benak ini terus mengganggu pikirannya, Olive berusaha menepisnya dan menikmati momen-momen indah ini.
Hari-hari berlalu dengan cepat. Kegiatan belajar mengajar di sekolah menyibukkan Olive dan teman-temannya. Mereka mengejar nilai, menghadiri kelas ekstrakurikuler, dan menjalani rutinitas yang padat. Namun, di malam-malam hening saat dia berbaring di ranjangnya, Olive tidak bisa menahan diri untuk tidak memikirkan perpisahan yang akan datang.
Suatu malam, saat Olive duduk di luar asrama menatap bintang-bintang, Rani menyusulnya. “Kamu terlihat jauh, Olive. Apa yang kamu pikirkan?” tanya Rani sambil duduk di sampingnya.
Olive menatap langit malam yang berkilau. “Aku merasa kita semua akan berpisah,” jawabnya pelan. “Setiap kali aku melihat semua kenangan kita, aku jadi merasa sedih.”
Rani menggenggam tangan Olive dengan lembut. “Kita mungkin terpisah, tetapi kenangan kita akan selalu ada. Kita harus menciptakan lebih banyak kenangan sebelum semuanya berakhir.”
Tentu saja, kata-kata Rani sedikit menghibur Olive. Mereka merencanakan banyak kegiatan untuk menghabiskan waktu bersama, seperti pesta perpisahan, piknik, dan foto-foto untuk mengenang setiap momen. Namun, di dalam hati Olive, rasa takut akan kehilangan teman-temannya terus menghantuinya.
Seminggu sebelum mereka pulang, Olive dan teman-temannya merayakan malam terakhir di asrama dengan sebuah pesta kecil. Semua orang datang mengenakan pakaian terbaik mereka, mempersiapkan makanan, dan menghias ruangan dengan lampu-lampu warna-warni. Suasana penuh tawa dan kegembiraan, tetapi Olive merasakan ketegangan di dalam hatinya.
Malam itu, Olive dan Rani berdansa bersama, diiringi lagu-lagu favorit mereka. Semua orang bersenang-senang, tetapi saat Olive melihat wajah-wajah ceria teman-temannya, hatinya terasa berat. Bagaimana dia bisa berpisah dengan semua ini? Dia tidak bisa membayangkan tidak melihat Rani setiap hari, tidak tertawa bersama mereka, dan tidak ada lagi momen-momen kecil yang mengisi hari-harinya.
Ketika malam semakin larut, Olive memutuskan untuk melangkah keluar, mencari udara segar. Dia duduk di bangku taman, menyaksikan bulan purnama yang bersinar cerah. Di saat-saat sunyi itu, air mata mulai mengalir di pipinya. Dia merindukan momen-momen sederhana seperti bercanda di meja makan, berdiskusi tentang pelajaran, dan bahkan berdebat tentang film yang mereka tonton.
Tiba-tiba, Rani muncul di sampingnya, duduk diam dan memandang Olive dengan penuh perhatian. “Kamu baik-baik saja?” tanya Rani lembut.
Olive menggelengkan kepala, berusaha menyeka air matanya. “Aku hanya cuma tidak ingin semuanya berakhir,” katanya dengan suara yang bergetar. “Aku tidak tahu bagaimana hidup tanpa kalian.”
Rani memeluk Olive erat-erat, memberikan kehangatan yang ia butuhkan. “Kita akan selalu menjadi teman, Olive. Tidak peduli di mana kita berada, persahabatan kita akan tetap ada. Kita hanya perlu berusaha untuk tetap terhubung.”
Olive mengangguk, tetapi rasa sakit di hatinya tak kunjung sirna. Dia tahu Rani benar, tetapi rasa kehilangan itu terlalu menyakitkan untuk dipikirkan. Dia tidak bisa membayangkan hidup di luar asrama tanpa teman-teman yang telah menjadi keluarganya.
Malam itu berakhir dengan keheningan, tetapi di dalam hati Olive, semangat untuk menciptakan kenangan baru semakin membara. Dia tahu bahwa waktu tidak bisa dihentikan, tetapi dia bertekad untuk mengisi hari-hari terakhirnya di asrama dengan kebahagiaan yang akan dikenang selamanya.
Dengan semangat yang baru, Olive kembali ke pesta, berusaha tersenyum dan menikmati setiap momen. Namun, di dalam hatinya, dia juga tahu bahwa perpisahan yang akan datang akan membawa kesedihan yang tidak terbayangkan. Dan itulah awal dari perjalanannya menghadapi kenyataan pahit perpisahan yang tak terhindarkan.
Saat Perpisahan Tiba
Hari-hari menjelang perpisahan semakin mendekat, dan suasana di asrama terasa semakin berbeda. Meskipun Olive dan teman-temannya berusaha untuk terus menikmati waktu bersama, ada sesuatu yang berat menyelimuti hati mereka. Setiap tawa terasa seolah-olah menyimpan air mata yang tertahan, setiap canda terasa lebih manis karena tahu bahwa tidak lama lagi mereka harus berpisah.
Pagi itu, Olive terbangun dengan sinar matahari yang lembut menyinari kamarnya. Dia merenggangkan tubuhnya dan mengingat malam pesta yang penuh keceriaan. Namun, rasa sedih kembali menghampiri saat dia melihat foto-foto di dinding. Ada momen-momen berharga yang tertangkap dalam bingkai-bingkai itu mereka tersenyum, bercanda, dan berpelukan. Kenangan yang membuat hatinya bergetar.
Setelah sarapan, Olive berkumpul dengan Rani dan beberapa teman lainnya di taman asrama. Mereka sedang merencanakan kegiatan terakhir yang ingin mereka lakukan bersama sebelum berpisah. Di tengah diskusi, suara tawa dan teriakan riang teman-teman lain mengisi udara, tetapi tidak ada yang bisa menutupi ketidakpastian di hati Olive.
“Bagaimana kalau kita pergi ke pantai pada akhir pekan ini?” saran Dimas, salah satu teman laki-laki yang ceria. “Kita bisa berkemah, bermain voli, dan tentu saja, selfie!”
“Setuju!” seru Rani dengan semangat, matanya berbinar-binar.
Olive ikut tersenyum, tetapi hatinya terasa berat. Pantai? Tempat yang begitu indah, tetapi dia tidak bisa membayangkan pergi ke sana dengan perasaan yang penuh haru. “Itu ide yang bagus,” jawabnya dengan nada suara yang lembut. “Tapi… apa kita benar-benar siap menghadapi perpisahan setelahnya?”
Kata-kata Olive membuat suasana menjadi hening sejenak. Teman-teman saling memandang, seolah menyadari kenyataan pahit yang tak bisa dihindari. Akhirnya, Rani meraih tangan Olive, menggenggamnya erat. “Kita akan baik-baik saja, Olive. Ini adalah waktu kita untuk menciptakan kenangan yang akan kita bawa selamanya.”
Setelah pertemuan itu, Olive merasa sedikit lebih baik. Dia mulai merencanakan berbagai hal untuk pantai, mulai dari menu makanan, permainan, hingga lagu-lagu yang akan diputar. Namun, di balik semua itu, rasa cemas terus menghantui dirinya. Dia merasa seolah waktu berlari terlalu cepat, dan semua kenangan indah akan segera menjadi masa lalu.
Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba. Olive dan teman-temannya berangkat ke pantai dengan penuh semangat. Tawa dan ceria memenuhi mobil yang mereka naiki. Setibanya di sana, angin sejuk menyambut mereka. Pantai yang luas membentang di depan mata, dengan pasir putih yang berkilau di bawah sinar matahari. Semua orang segera berlarian ke tepi pantai, menghirup aroma laut yang segar.
Olive tidak bisa menahan diri untuk tidak ikut berlari. Dia merasakan kebebasan dan kegembiraan. Mereka menghabiskan waktu bermain voli, berenang, dan bahkan membuat istana pasir bersama. Tawa dan keceriaan kembali mengisi hari-hari mereka, tetapi tidak bisa mengelak dari kesadaran bahwa waktu mereka bersama semakin menipis.
Saat senja tiba, mereka berkumpul di sekitar api unggun. Suara ombak yang menghantam pantai menjadi latar belakang yang sempurna untuk momen ini. Olive duduk di antara teman-temannya, menatap ke arah langit yang mulai gelap, dihiasi bintang-bintang yang berkilauan.
“Ini adalah malam yang sempurna,” kata Dimas, mengangkat gelasnya. “Untuk persahabatan kita!”
“Untuk persahabatan!” serentak yang lain menjawab. Olive mengangkat gelasnya, tetapi hatinya terasa penuh dengan kerinduan yang akan datang.
Setelah beberapa saat, Rani berdiri dan mulai berbicara. “Kita semua tahu ini adalah sebuah perpisahan yang sangat sulit. Tapi mari kita buat janji, kita tidak akan pernah melupakan satu sama lain, dan kita akan selalu berusaha untuk tetap terhubung.”
Suara Rani mengalun lembut, tetapi saat dia mengucapkannya, air mata mulai menggenang di mata Olive. Dia tahu kata-kata itu penuh arti, tetapi juga penuh dengan rasa sakit yang tak terhindarkan. “Apa yang akan kita lakukan setelah ini?” tanya Olive pelan, suaranya nyaris tertahan.
Rani mendekat dan memeluk Olive. “Kita akan mencari cara. Kita bisa membuat grup chat, merencanakan pertemuan, atau bahkan menulis surat satu sama lain. Kita akan selalu menjadi bagian dari hidup masing-masing.”
Malam itu, mereka bercengkerama di bawah bintang-bintang, menceritakan kenangan lucu dan mengungkapkan perasaan mereka. Namun, saat momen-momen indah itu berlanjut, Olive merasakan ketidakpastian yang semakin mendalam. Setiap canda, setiap tawa, juga menjadi pengingat akan perpisahan yang tidak terhindarkan.
Akhirnya, ketika api unggun mulai redup, Rani dan Olive duduk bersebelahan. Mereka tidak banyak bicara, hanya menikmati keheningan yang menyelimuti. “Apakah kamu merasa kesepian?” tanya Rani tiba-tiba.
Olive terdiam, lalu mengangguk. “Aku tidak akan tahu bagaimana rasanya hidup tanpa kalian. Asrama ini, semua kenangan kita… itu semua akan terasa hampa.”
Rani mengusap punggung Olive. “Kita akan saling mengingat. Dan saat kita bertemu lagi, kita akan tertawa mengenang semua ini.”
Malam itu berakhir dengan perasaan campur aduk. Meskipun mereka telah menciptakan kenangan baru, Olive tahu bahwa keesokan harinya akan membawa kenyataan yang lebih pahit. Dan meskipun ada harapan untuk masa depan, rasa kehilangan sudah mulai menghampiri. Dia merasa seperti bunga yang layu, merindukan sinar matahari, tetapi berusaha untuk tetap tumbuh meski di dalam hati ada rasa sedih yang tak tertahankan.
Hari-hari berikutnya di asrama terasa semakin cepat berlalu. Momen-momen indah yang mereka ciptakan menjadi pengingat yang membuat Olive merasa terjebak di antara kebahagiaan dan kesedihan. Saat perpisahan semakin dekat, dia tahu bahwa perjuangan untuk menghadapi kehilangan ini belum sepenuhnya usai. Dengan hati yang berat, Olive bersiap untuk menghadapi kenyataan yang akan datang.
Kenangan yang Tertinggal
Hari-hari menjelang perpisahan semakin terasa semakin pendek. Setiap kali Olive melangkah di lorong asrama, dia merasakan getaran hati yang aneh, seolah semua kenangan indah itu terukir dalam setiap sudut bangunan yang mereka huni. Malam terakhir bersama teman-temannya mendekat, dan ketegangan di hatinya semakin sulit ditahan. Perasaan campur aduk antara bahagia dan sedih membuatnya terjaga hingga larut malam.
Pagi itu, Olive terbangun dengan perasaan cemas. Hari ini adalah hari terakhir mereka bersama, dan rasa berat itu menempel di hatinya. Dia mencoba untuk bersikap ceria saat bergabung dengan teman-temannya di ruang makan, tetapi di dalam dirinya, ada kekosongan yang terus menganga. Sarapan terasa hambar; suara tawa dan canda di sekelilingnya seolah meluncur jauh dari dirinya.
Setelah makan, Olive berusaha mengumpulkan semua teman-temannya untuk memulai hari dengan kegiatan yang menyenangkan. “Bagaimana kalau kita mengadakan permainan terakhir? Kita bisa membagi tim dan bersaing dalam beberapa permainan,” usulnya dengan senyum yang dipaksakan. Rani, yang mengerti betapa beratnya perasaan Olive, langsung setuju dan mulai merencanakan permainan.
Selama beberapa jam ke depan, suasana asrama dipenuhi dengan tawa dan teriakan. Mereka bermain berbagai permainan yang menguji kekompakan tim, mulai dari lari estafet hingga permainan tradisional. Namun, seiring berjalannya waktu, saat permainan semakin intens, rasa cemas dan sedih itu kembali menyerang Olive. Dia tidak bisa melupakan kenyataan bahwa semuanya akan berakhir.
Ketika matahari mulai condong ke barat, Olive merasakan kelelahan yang menyelimuti dirinya. Dia duduk di bangku taman, memandangi teman-temannya yang sedang bermain. Di sana, Rani dan Dimas tengah tertawa, sementara yang lain berusaha untuk tidak kalah. Melihat mereka bahagia, hati Olive terasa semakin berat.
“Olive!” Rani memanggilnya, dan Olive tersadar dari lamunan. “Ayo bergabung! Kita butuh kamu di tim ini!”
Dia tersenyum, tetapi itu hanya setengah hati. “Nanti saja, ya. Aku ingin menikmati pemandangan dulu,” jawabnya lembut, lalu kembali menatap langit.
Saat sore itu, Rani duduk di sampingnya, menghadapi keheningan yang menjalar di antara mereka. “Kamu tidak apa-apa?” tanya Rani, suaranya yang lembut dan penuh sebuah perhatian.
“Entahlah, Rani. Rasanya sulit untuk mengatakan selamat tinggal. Semuanya terasa sangat cepat. Mungkin aku tidak siap untuk semua ini,” kata Olive, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.
Rani menggenggam tangan Olive dengan erat. “Kita akan baik-baik saja. Kita pasti akan bertemu lagi. Dan kita bisa berbagi cerita tentang kehidupan baru kita masing-masing. Ingat janji kita?”
Olive mengangguk, tetapi hatinya terasa kosong. Kenyataan bahwa tidak ada lagi momen kebersamaan seperti ini membuatnya merasa seolah-olah terputus dari sesuatu yang berharga. Momen-momen kecil yang dulunya tampak sepele kini terasa seperti harta yang tak ternilai.
Saat malam tiba, mereka berkumpul di ruang makan untuk perpisahan yang telah direncanakan. Semua teman-teman Olive hadir, dan suasana terasa hangat meskipun ada nuansa kesedihan yang mengisi udara. Setiap orang mulai membagikan kenangan favorit mereka, tertawa dan saling menggoda, tetapi Olive hanya bisa tersenyum tipis, mengingat semua saat-saat indah yang tak akan terulang lagi.
Ketika tiba gilirannya, Olive berdiri dengan gemetar. “Aku hanya ingin mengucapkan terima kasih untuk semua kenangan indah yang telah kita bagi. Kalian adalah sahabat terbaik yang pernah kumiliki, dan aku akan merindukan kalian semua.” Suaranya bergetar, dan air mata mulai mengalir di pipinya.
Rani segera menarik Olive ke pelukannya. “Jangan menangis, Olive. Ini bukan akhir. Ini hanya awal dari sebuah babak baru dalam hidup kita.”
Suasana di ruangan itu menjadi semakin emosional. Banyak teman-teman yang ikut mengeluarkan air mata, dan suara isak tangis terdengar di sana-sini. Mereka saling berpelukan, berjanji untuk tetap berkomunikasi, tetapi semua itu tidak bisa menghilangkan rasa sakit di hati Olive.
Setelah makan malam, mereka mengadakan sesi berbagi surat. Setiap orang menuliskan surat untuk satu sama lain, mengungkapkan perasaan, harapan, dan janji. Olive menulis surat dengan penuh ketulusan, tetapi saat dia menuliskannya, setiap kata seolah memecah hatinya.
“Mungkin kita tidak bisa bertemu setiap hari, tetapi persahabatan kita akan selalu ada di hati kita,” tulisnya dengan air mata yang membasahi kertas. Dia menyelesaikan suratnya dan menyerahkannya kepada Rani, yang langsung membacanya dengan suara bergetar.
“Olive, kita akan selalu bersama, meskipun terpisah oleh jarak,” Rani berkata, berusaha menguatkan Olive.
Ketika malam semakin larut, Olive merasakan keletihan yang mendalam. Mereka semua berkumpul di halaman belakang asrama, menatap bintang-bintang yang bersinar di langit. Malam itu terasa magis, tetapi hatinya tetap hampa.
“Kita akan mengabadikan momen ini,” saran Dimas, mengeluarkan kamera. Mereka semua berdiri berbaris, tersenyum untuk foto terakhir bersama. Olive mencoba tersenyum lebar, tetapi di dalam hatinya, rasa kesedihan tetap mengganggu.
Foto-foto diambil, kenangan diabadikan, tetapi Olive tahu bahwa tidak ada yang bisa mengembalikan waktu. Malam itu, saat dia berbaring di tempat tidurnya, pikiran-pikiran tentang masa depan mulai mengganggu. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi setelah mereka semua pergi. Dia merasa kehilangan arah, seperti kapal tanpa nakhoda yang tersesat di lautan.
Tidur tidak datang dengan mudah. Air mata mengalir di pipinya, dan dia merasa seolah-olah dunia sekelilingnya hancur. Rasa kesepian menyelimuti, dan Olive menyadari bahwa perpisahan ini bukan hanya tentang meninggalkan teman-temannya, tetapi juga tentang meninggalkan bagian dari dirinya sendiri. Hari-hari indah di asrama, semua tawa dan canda, seolah menghilang bersamaan dengan waktu.
Ketika pagi tiba, Olive merasakan kesedihan yang mendalam. Dia tahu perpisahan ini akan menjadi salah satu kenangan terberat dalam hidupnya. Dalam hatinya, dia berharap bahwa meskipun mereka terpisah, persahabatan sejati akan selalu menemukan cara untuk bertahan, meskipun dalam jarak yang jauh. Dengan tekad dan harapan, Olive bersiap untuk menghadapi kenyataan pahit yang akan datang, tetapi dia juga tahu bahwa dia tidak akan pernah melupakan momen-momen berharga yang telah mereka lalui bersama.
Langkah Baru yang Tak Terduga
Pagi itu, setelah perpisahan yang penuh emosi, Olive bangun dengan rasa berat di dada. Dia tidak yakin bisa melanjutkan harinya setelah malam yang menyedihkan. Suara bising dari teman-temannya di asrama terasa mengganggu. Saat dia memejamkan mata, ingatan tentang tawa dan canda mereka kembali berputar di benaknya. Semua itu seperti film yang tak pernah ingin dia tutup.
Ketika dia melihat ke luar jendela, sinar matahari pagi masuk ke dalam kamarnya, tetapi suasana hatinya tidak secerah sinar itu. Dia mengenakan seragam sekolahnya dengan langkah yang lesu, mencoba untuk tidak memikirkan betapa kosongnya hidupnya tanpa kehadiran teman-teman terdekatnya. Hari pertama setelah perpisahan membuatnya merasa seolah-olah ada bagian dari dirinya yang hilang.
Setelah sarapan, Olive berangkat ke sekolah sendirian. Di tengah perjalanan, dia melihat beberapa teman sekelasnya berkumpul. Suasana ceria mereka membuatnya merasa semakin terasing. Meskipun mereka tersenyum dan tertawa, Olive merasa seolah-olah dinding tak terlihat memisahkan dirinya dari mereka. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak mengingat momen-momen indah di asrama, dan rasa kesepian itu kembali menyengat hatinya.
Selama pelajaran, Olive berusaha berkonsentrasi, tetapi pikirannya melayang. Setiap kali dia mendengar tawa teman-temannya, hatinya terasa nyeri. Di luar, hujan mulai turun, menambah suasana hatinya yang mendung. Ketika bel istirahat berbunyi, dia memilih untuk duduk sendirian di pojokan lapangan, mengamati teman-temannya bermain bola. Keceriaan mereka membuatnya semakin merasa terasing.
“Ayo, Olive!” panggil Dimas, salah satu temannya, menghampirinya. “Kenapa kamu di sini sendirian? Bergabunglah dengan kami!”
Olive tersenyum lemah. “Aku tidak terlalu suka main bola, Dimas. Aku lebih baik di sini.” Suaranya terdengar datar, tanpa semangat.
Dimas duduk di sampingnya. “Kamu harus lebih terbuka, Olive. Kami semua merindukanmu. Kamu tidak perlu merasa terasing. Ini hanya awal baru. Kita bisa bersenang-senang meskipun kita terpisah.”
Mendengar kata-kata Dimas, air mata Olive mulai menggenang di pelupuk matanya. “Tapi aku tidak ingin kehilangan kalian semua. Rasanya sangat berat.”
Dimas menghela napas. “Kami tidak akan pergi dari hidupmu. Kita bisa tetap berhubungan. Cobalah untuk melihat sisi positifnya. Ini bukan akhir, Olive.”
Olive mengangguk, meskipun hatinya masih terasa berat. Dia tahu Dimas benar, tetapi kenangan bersama teman-temannya di asrama membuatnya merasa seolah-olah dunia yang dia kenal hancur.
Hari-hari berlalu, dan Olive berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya di sekolah. Dia mulai berusaha untuk bergabung dengan teman-teman sekelasnya, meskipun setiap kali tawa mereka terdengar, dia merindukan suara teman-temannya di asrama. Meski begitu, dia mencoba untuk tidak menyerah pada kesedihan. Setiap malam, dia menulis di jurnalnya, mengungkapkan semua perasaan yang mengganggu pikirannya.
Di tengah perjuangannya, Olive menemukan sebuah klub musik di sekolahnya. Dia merasa tergerak untuk bergabung, berharap bisa menemukan teman-teman baru dan mengalihkan perhatian dari rasa kesepian yang menyekat hatinya. Namun, saat dia pertama kali memasuki ruang klub, rasa canggung menyergapnya. Semua orang tampak akrab satu sama lain, sedangkan dia merasa seperti orang luar yang tidak tahu harus mulai dari mana.
“Eh, kamu baru di sini?” tanya seorang gadis dengan senyum ceria, menghampirinya. “Aku Maya. Selamat datang! Kamu suka musik, kan?”
Olive tersenyum malu. “Iya, aku suka. Aku… baru saja mencari cara untuk mengalihkan pikiranku.”
Maya mengangguk, tampak memahami. “Sama! Aku juga merasakan hal yang sama ketika pertama kali bergabung di sini. Ayo, kami lagi latihan lagu baru. Kamu bisa ikut!”
Olive merasa sedikit lebih nyaman saat bergabung dengan mereka. Meskipun tidak semua teman-teman barunya bisa menggantikan teman-temannya di asrama, mereka membawa semangat baru ke dalam hidupnya. Setiap latihan, Olive mulai merasa lebih baik. Musik menjadi pelarian yang menghiburnya dari kesedihan.
Namun, di balik senyuman dan semangat yang baru, Olive masih merasakan kekosongan. Saat mendengarkan lagu-lagu yang mereka mainkan, dia tidak bisa menahan diri untuk tidak mengingat momen-momen indah di asrama. Air mata kembali mengalir saat dia mengingat tawa teman-temannya.
Suatu malam, saat berlatih di ruang musik, mereka memainkan lagu yang sangat berarti bagi Olive lagu yang sering mereka nyanyikan bersama di asrama. Saat melodi mengalun, dia tidak bisa menahan tangisnya.
Maya, yang duduk di sebelahnya, menyadari dan menghentikan permainan. “Olive, ada apa? Kenapa kamu menangis?”
“Aku merindukan teman-temanku,” jawab Olive sambil terisak. “Semua kenangan indah itu… terasa jadi jauh sekali.”
Maya merangkulnya, memberikan kenyamanan yang sangat dibutuhkan Olive. “Kita semua merindukan hal-hal tertentu. Tapi kamu bisa menyimpan semua kenangan itu di dalam hati. Mereka akan selalu bersamamu, meski terpisah oleh jarak.”
Mendengar kata-kata Maya, Olive menyadari bahwa meskipun dia tidak bisa mengubah kenyataan, dia masih memiliki pilihan untuk membuka hatinya untuk hal-hal baru. Perjalanan hidupnya belum berakhir. Ada lebih banyak hal yang menantinya di luar sana. Dia berusaha mengatur perasaannya dan bersiap untuk langkah baru dalam hidupnya.
Setelah latihan selesai, Olive pergi ke rumah, merasa sedikit lebih ringan. Meskipun rasa kesedihan dan kehilangan itu masih ada, dia menyadari bahwa hidupnya tidak sepenuhnya kosong. Dia memiliki musik, teman-teman baru, dan banyak kenangan berharga yang bisa dia bawa bersamanya.
Dengan setiap langkah yang dia ambil, Olive bertekad untuk menjalani hidup dengan lebih berani. Dia akan tetap mengenang teman-temannya di asrama, tetapi dia juga akan berusaha untuk menciptakan kenangan baru dengan orang-orang di sekelilingnya. Saat dia menatap langit malam yang dipenuhi bintang, dia tahu bahwa meskipun masa lalu adalah bagian dari hidupnya, masa depan masih penuh dengan harapan dan kesempatan yang tak terduga.
Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Kisah Olive mengingatkan kita bahwa meskipun hidup kadang menghadirkan perpisahan dan kesedihan, selalu ada harapan yang menunggu untuk ditemukan. Dengan semangat dan keberanian, Olive menunjukkan bahwa kita bisa bangkit dari keterpurukan dan menemukan kebahagiaan baru. Jadi, jangan biarkan kesedihan menghalangi langkahmu! Yuk, teruskan perjuanganmu dan cari kebahagiaan di mana pun kamu berada. Semoga cerita Olive bisa jadi inspirasi bagi kita semua untuk tetap optimis dan berani menjalani hidup!