Daftar Isi
Kadang hidup itu bikin kita merasa sendirian, apalagi saat jauh dari orang-orang yang kita cintai. Bayangkan aja, Viona harus menghadapi semua keramaian dan tantangan di Jakarta tanpa ibunya di sampingnya.
Meski rasanya berat, dia bertekad untuk menemukan harapan di tengah kebisingan kota. Setiap langkah yang diambilnya bukan hanya sekadar perjalanan, tapi juga sebuah pencarian jati diri dan kenangan manis yang takkan pernah pudar. Yuk, simak cerita seru Viona yang penuh liku-liku ini!
Bimbing Aku, Ibu
Di Bawah Langit Kelabu
Langit sore itu tampak kelabu, seolah meresapi perasaan yang memenuhi dada Viona. Dia melangkah pelan di atas rumput basah menuju pemakaman, tempat yang kini ia kunjungi hampir setiap minggu sejak setahun yang lalu. Di tangannya tergenggam erat setangkai mawar putih, bunga favorit ibunya. Setiap helai bunga itu mengingatkannya pada kelembutan yang selalu terpancar dari sosok sang ibu.
Viona berhenti di depan makam yang terletak di pojok paling sunyi. Di nisan itu, terukir nama yang begitu akrab baginya: Sarah Maheswari—ibu, guru, sahabat.
Air mata menggenang di sudut matanya, namun ia menahannya sekuat tenaga. Dia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menangis lagi hari ini. “Aku harus kuat,” gumamnya pelan, hampir seperti mengingatkan dirinya sendiri.
Setelah meletakkan mawar putih di atas nisan, Viona berjongkok dan menyentuh permukaan batu nisan yang dingin. “Hai, Bu…” ucapnya pelan. Suaranya bergetar. “Aku datang lagi. Ibu pasti tahu, kan?”
Hanya angin yang menjawab, berembus lembut menerpa rambutnya yang terurai. Di saat seperti ini, Viona selalu berharap ibunya benar-benar bisa mendengarnya, seperti dulu saat mereka sering mengobrol di ruang keluarga dengan teh hangat dan camilan kecil di antara mereka.
“Ibu, hidupku kacau setelah ibu pergi,” kata Viona dengan senyum pahit yang terukir di wajahnya. “Aku masih nggak tahu mau ngapain, ibu ngerti kan? Ibu selalu jadi orang yang kasih aku arahan. Sekarang, aku sendirian.”
Ia duduk bersimpuh, memeluk lututnya erat-erat. Ingatannya kembali pada setahun yang lalu, ketika ibunya masih ada. Saat-saat itu, meskipun penuh dengan kecemasan karena penyakit ibunya yang kian parah, Viona tetap merasa aman. Ibunya selalu bisa membuat segalanya terasa baik-baik saja, meskipun kenyataannya tidak begitu.
Viona memandangi langit yang kian gelap, ingatan masa kecilnya terlintas jelas. Ia teringat ketika dia berlari-lari di halaman rumah mereka, jatuh, dan lututnya terluka. Ibunya saat itu langsung berlari keluar, menggendongnya masuk ke rumah, membersihkan lukanya dengan hati-hati, dan berkata, “Nggak apa-apa, Viona. Luka itu akan sembuh. Kamu cuma harus bersabar, oke?”
Dan sekarang, Viona merasa seperti terluka lagi, tapi kali ini jauh lebih dalam. Sebuah luka yang tak bisa sembuh dengan perban atau salep. Luka yang ditinggalkan oleh kepergian ibunya.
“Ibu tahu, nggak, aku baru aja lulus kuliah beberapa bulan lalu.” Viona tersenyum tipis, mencoba berbicara seolah ibunya ada di sana mendengarkannya. “Harusnya ini momen bahagia, kan? Tapi nggak ada ibu di sana. Rasanya kosong. Aku nggak tahu harus ngapain sekarang, aku bingung. Semua orang bilang aku harus segera kerja, atau cari beasiswa lagi, tapi… aku nggak yakin, Bu. Aku butuh ibu di sini, butuh nasihat ibu.”
Diam-diam, Viona memeluk dirinya sendiri, mencoba mencari rasa aman yang dulu selalu ia rasakan saat ibunya memeluknya erat. Namun, rasa hangat itu tak ada lagi. Yang ada hanyalah kesepian yang perlahan menggerogoti hatinya.
“Aku tahu, ibu pasti bakal bilang aku harus percaya sama diri sendiri,” lanjutnya sambil tertawa kecil, “Tapi, Bu, aku nggak sekuat itu. Aku nggak tahu apakah aku bisa ngelanjutin semua ini sendirian.”
Viona terdiam sejenak. Dia menatap nisan itu, berharap ada keajaiban, bahwa suatu hari nanti ia bisa mendengar suara ibunya lagi, walau hanya sekali. Tapi tidak ada suara. Hanya angin yang terus berembus, seolah memberikan jawaban dalam keheningan.
“Bu, apa aku harus ambil pekerjaan di luar kota?” tanyanya, meskipun tahu tak akan ada yang menjawab. “Aku takut ninggalin kota ini, ninggalin semua kenangan kita. Tapi, aku juga tahu, aku nggak bisa terus-terusan tinggal di sini. Aku… aku pengen maju, tapi juga takut buat melangkah.”
Viona menunduk, perasaannya semakin campur aduk. Di satu sisi, dia tahu bahwa ibunya pasti ingin dia menjalani hidupnya dengan berani, untuk tidak takut menghadapi masa depan. Tapi di sisi lain, meninggalkan tempat ini berarti meninggalkan sebagian dari dirinya—bagian yang masih terikat erat dengan ibunya.
Matahari mulai tenggelam di balik awan, memberikan semburat oranye di cakrawala. Viona menghela napas panjang, matanya yang lelah menatap horizon dengan hampa. Dalam pikirannya, ada begitu banyak pertanyaan yang tak pernah sempat terjawab, begitu banyak mimpi yang dulu ia ingin capai bersama ibunya, tapi kini harus ia lalui sendirian.
“Aku kangen, Bu,” ucapnya lirih. “Aku kangen cara ibu selalu tahu jawaban untuk semuanya. Kangen cara ibu bikin semuanya jadi lebih mudah, meskipun dunia lagi hancur sekalipun.”
Angin semakin kencang berhembus, membuat rambut Viona terurai dan menutupi sebagian wajahnya. Dia tersenyum pahit, menyadari bahwa setiap kali dia di sini, di tempat yang paling ia benci sekaligus cintai, perasaannya selalu sama: rindu yang tak terucapkan.
Langit mulai benar-benar gelap, hanya tersisa sedikit cahaya dari ufuk barat. Viona berdiri, membersihkan sedikit tanah yang menempel di celana jeansnya. Ia memandangi makam ibunya sekali lagi sebelum berkata, “Aku akan kembali lagi, Bu. Selalu.”
Dengan langkah yang lebih pelan, ia berjalan meninggalkan tempat itu, kembali ke kehidupannya yang tak lagi sama. Tapi di dalam hatinya, meskipun ia tahu bahwa ibunya sudah tidak di dunia ini, ada sesuatu yang membuatnya merasa bahwa bimbingan ibunya tak pernah benar-benar hilang.
Seperti yang selalu dikatakan ibunya, “Kamu tahu apa yang harus dilakukan, Viona. Kamu cuma perlu percaya.”
Dan mungkin, meskipun kepergian ibunya meninggalkan luka yang mendalam, Viona mulai menyadari bahwa jawabannya sudah ada di dalam dirinya selama ini. Sebuah bimbingan yang tak terputus, meski jarak dan waktu memisahkan mereka.
Kenangan yang Kembali
Pagi hari, Viona duduk di meja kecil di kamarnya. Secangkir kopi panas terletak di sebelahnya, menebarkan aroma yang menenangkan, tapi pikirannya tak juga tenang. Kertas-kertas bertebaran di atas meja; surat tawaran pekerjaan dari beberapa perusahaan besar yang mulai menumpuk selama sebulan terakhir. Semua orang bilang dia beruntung—di masa yang penuh persaingan ini, mendapatkan tawaran kerja sebelum wisuda adalah hal langka. Tapi, bagi Viona, keberuntungan itu terasa hambar.
Tangannya gemetar saat mengambil salah satu surat. Dia menatapnya tanpa benar-benar melihat, pikirannya jauh melayang. Tawaran dari sebuah perusahaan media besar di Jakarta, sebuah kesempatan yang diimpikan banyak orang, tetapi entah kenapa Viona merasa ragu. “Apa ini benar yang aku mau?” gumamnya pelan.
Telepon berdering tiba-tiba, membuatnya tersentak. Dia meraihnya dan melihat nama yang muncul di layar: Shinta, sahabat dekatnya sejak SMA. Viona menghela napas, lalu menjawab panggilan itu. “Halo?”
“Vi, kamu di rumah?” tanya suara ceria dari seberang. Shinta, selalu penuh energi, seolah tidak pernah kehabisan semangat.
“Iya, lagi di kamar,” jawab Viona datar.
“Kamu kenapa? Kayaknya suaramu lesu banget. Udah makan belum? Apa perlu aku datang dan bawain makanan?”
Viona tersenyum kecil mendengar kepedulian Shinta, tapi hatinya tetap berat. “Aku baik-baik aja, cuma… ya, lagi mikir-mikir aja.”
“Lagi mikirin apa? Kalau soal pekerjaan, ambil aja, Vi. Jangan terlalu banyak dipikirin. Kamu tahu, kesempatan kayak gini nggak datang dua kali.”
“Aku tahu, tapi…” Viona berhenti sejenak, berusaha mencari kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan kegelisahannya. “Aku cuma nggak yakin. Mungkin aku belum siap buat ninggalin semuanya di sini.”
“Viona,” potong Shinta dengan nada lembut, tapi tegas. “Kamu nggak bisa selamanya ngurung diri di kota ini, di rumah itu, terus mikirin apa yang udah nggak ada. Kamu harus jalan terus. Bukannya kamu sendiri yang bilang ke aku kalau Ibumu nggak bakal mau lihat kamu stuck di sini, kan?”
Kata-kata Shinta memukul hatinya. Ia memang pernah bilang itu, tapi menjalankannya ternyata jauh lebih sulit daripada sekadar mengatakannya. “Iya, tapi… aku cuma takut. Rasanya, aku ninggalin semua kenangan kalau aku pergi. Kamu ngerti nggak?”
Shinta terdiam sejenak di ujung telepon. “Vi, kamu nggak pernah ninggalin kenangan. Mereka selalu ada, di mana pun kamu pergi. Yang harus kamu tinggalkan itu cuma rasa takutmu.”
Viona menggigit bibir, merasa kata-kata sahabatnya tepat di sasaran, namun masih sulit diterima. “Mungkin kamu benar,” jawabnya pelan. “Tapi aku masih butuh waktu.”
“Kamu selalu punya waktu, Vi. Nggak ada yang buru-buru. Tapi, jangan sampai kamu terjebak di masa lalu.”
Setelah menutup telepon, Viona kembali duduk, memandangi tumpukan surat di meja. Perkataan Shinta terus terngiang-ngiang di kepalanya. Meninggalkan masa lalu. Itu hal yang seharusnya mudah, tapi mengapa rasanya seberat ini?
Matanya terpaku pada foto kecil yang tergantung di dinding kamar—foto dirinya bersama ibunya, diambil saat ulang tahunnya yang ke-10. Senyum lebar menghiasi wajah mereka berdua, seakan kebahagiaan tak akan pernah berakhir.
Saat itu, hidupnya sederhana. Dia hanya butuh ibunya untuk merasa lengkap. Tapi sekarang, tanpa kehadiran sang ibu, segalanya terasa salah.
Viona memejamkan mata, mencoba mengingat kembali momen-momen bersama ibunya. Salah satu kenangan yang paling jelas terlintas adalah ketika ibunya sering membacakan cerita pengantar tidur saat dia kecil. Bukan cerita dongeng biasa, tapi cerita-cerita penuh nasihat yang selalu mengajarkan nilai-nilai kehidupan.
“Viona, kamu tahu kenapa kupu-kupu bisa terbang?” tanya ibunya suatu malam.
Viona kecil, dengan mata yang berbinar penuh rasa ingin tahu, menjawab polos, “Karena mereka punya sayap, Bu?”
Ibunya tertawa lembut, lalu menjelaskan, “Iya, mereka punya sayap. Tapi lebih dari itu, mereka bisa terbang karena mereka berani keluar dari kepompong mereka. Meski mereka nggak tahu apa yang ada di luar, mereka tetap berjuang untuk bisa bebas. Sama kayak kamu nanti, Viona. Akan ada saatnya kamu harus keluar dari ‘kepompong’-mu dan menghadapi dunia. Jangan takut, kamu akan tahu kapan waktunya.”
Viona membuka matanya. Kata-kata ibunya terasa lebih relevan sekarang dibandingkan sebelumnya. Mungkin benar, sekarang adalah waktunya. Mungkin sekarang saatnya dia keluar dari ‘kepompong’-nya, meskipun ia masih takut.
Namun ketakutan itu tidak akan menghilang begitu saja. Ia sadar, butuh lebih dari sekadar keberanian untuk melangkah maju. Butuh keyakinan bahwa meskipun dia meninggalkan semua yang dikenalnya, dia tidak benar-benar kehilangan arah. Bahwa kenangan akan tetap bersamanya, tak peduli seberapa jauh ia melangkah.
Hari itu berlalu tanpa keputusan yang pasti. Viona hanya tahu bahwa langkah kecil telah diambil—langkah untuk menerima bahwa dia harus terus berjalan, bahkan jika itu berarti meninggalkan zona nyamannya. Pekerjaan di Jakarta, pilihan yang selalu dia ragu untuk ambil, mulai tampak bukan sebagai momok yang menakutkan, tapi sebagai peluang untuk menemukan dirinya yang baru.
Malamnya, Viona berbaring di tempat tidurnya, merenungkan percakapan dengan Shinta dan kenangan tentang ibunya. Dia mengeluarkan ponsel dari bawah bantal dan mulai mengetik pesan singkat untuk Shinta.
“Kayaknya aku bakal ke Jakarta, Sin. Aku cuma butuh waktu buat ngelarin semuanya di sini. Thanks udah ngingetin aku.”
Tidak lama setelah itu, balasan masuk:
“Good! Aku tunggu kamu di sini, Vi. Dunia terlalu luas buat ditinggalin cuma karena takut.”
Viona tersenyum kecil. Ya, mungkin dunia memang terlalu luas untuk dia takutkan. Dan meskipun perasaan ragu masih menggelayuti pikirannya, Viona mulai menyadari bahwa ia tidak sendiri. Ibunya, meski telah tiada, masih menemaninya dalam setiap langkah yang diambil.
Seperti malam itu, ketika ibunya menutup cerita pengantar tidurnya dengan lembut, “Tidurlah, Viona. Besok hari baru akan datang, dan kamu akan tahu apa yang harus dilakukan.”
Viona menarik selimut, memejamkan mata, dan untuk pertama kalinya dalam setahun, dia merasa sedikit lebih tenang. Esok adalah hari baru, dan mungkin, hanya mungkin, dia akan tahu harus melangkah ke mana.
Langkah Awal, Jalan Terjal
Viona duduk di kursi ruang tamu, memandangi koper hitam besar di sudut ruangan. Hari keberangkatannya ke Jakarta akhirnya tiba, dan meskipun ia telah mempersiapkan diri selama berminggu-minggu, ada perasaan ganjil yang menelusup di dadanya—seakan ada sesuatu yang tertinggal. Bukan sesuatu yang bisa dikemas dalam koper, melainkan perasaan yang ia takuti sejak awal: meninggalkan rumah dan kenangan tentang ibunya.
Ayahnya duduk di kursi seberang, diam-diam memperhatikannya. Lelaki tua itu tidak banyak bicara sejak ibunya meninggal, seolah kehilangan bagian dari dirinya. Namun, hari ini ada sesuatu yang berbeda di wajahnya. Entah keberanian atau kepasrahan, tapi sorot matanya seakan berkata bahwa ia siap membiarkan putri tunggalnya pergi.
“Kamu siap, Vi?” suara ayahnya memecah keheningan.
Viona tersentak dari lamunannya, mengangkat wajah dan memaksa senyum. “Iya, Pa. Cuma… agak gugup aja.”
Ayahnya tersenyum kecil, mengangguk pelan. “Itu wajar. Kamu akan memulai sesuatu yang baru. Ibu kamu pasti bangga lihat kamu sekarang.”
Pernyataan itu membuat hati Viona mencelos. Setiap kali ayahnya menyebut soal ibunya, selalu ada luka yang kembali menganga. Tapi kali ini, ia mencoba untuk tidak tenggelam dalam kesedihan. Ibunya, memang, sudah tidak ada lagi. Tapi kenangannya… kenangan itu akan selalu bersamanya.
“Aku harap begitu, Pa,” jawab Viona pelan. “Aku cuma berharap bisa melangkah dengan benar.”
Ayahnya mengangguk lagi, kali ini dengan lebih serius. “Nggak ada yang namanya langkah yang benar atau salah, Vi. Semua itu cuma bagian dari perjalanan. Yang penting, kamu berani melangkah.”
Viona menghela napas panjang, merasa kata-kata ayahnya masuk akal, meskipun tidak sepenuhnya menenangkan perasaan gugup yang menderanya. Ia memandangi sekeliling rumah, ruang yang penuh dengan kenangan. Gorden yang dipilih ibunya, sofa yang dulu jadi tempat mereka duduk bersama, foto-foto keluarga di dinding—semuanya terasa seakan memanggilnya untuk tetap tinggal. Tapi tidak, Viona tahu bahwa saat ini bukan waktunya untuk berhenti.
“Kamu nggak perlu buru-buru, Vi,” ayahnya menambahkan, seolah membaca pikirannya. “Kalau nanti di Jakarta kamu nggak betah atau kamu merasa terlalu berat, kamu selalu bisa pulang. Rumah ini akan selalu ada untukmu.”
“Terima kasih, Pa,” Viona tersenyum, kali ini lebih tulus. Ada sedikit beban yang terangkat dari pundaknya.
Setelah perpisahan singkat itu, ayahnya membantu mengangkat koper besar ke bagasi mobil. Sepanjang perjalanan menuju stasiun, keduanya tenggelam dalam keheningan, menikmati detik-detik terakhir kebersamaan mereka sebelum jarak memisahkan. Ayah Viona sesekali melirik ke arah putrinya, tapi tak mengatakan apa-apa. Dia tahu, Viona butuh waktu untuk memproses semuanya.
Ketika mereka tiba di stasiun, suasana ramai dengan orang-orang yang hendak bepergian. Viona menarik napas dalam-dalam, menyadari bahwa ini adalah titik di mana tak ada jalan untuk kembali. Ia menggenggam erat tiket di tangannya, memandangi kereta yang sudah siap menunggunya.
“Kamu bisa,” gumamnya pada diri sendiri, mencoba meyakinkan hatinya.
Ayahnya meletakkan tangan di bahunya, memberikan dukungan terakhir sebelum dia pergi. “Hati-hati di sana, ya, Vi. Kalau ada apa-apa, jangan ragu buat hubungi Papa.”
Viona mengangguk, dan memeluk ayahnya erat. “Aku pasti akan sering hubungi Papa dan akan jaga diri baik-baik di sini.”
Setelah perpisahan itu, ia melangkah masuk ke dalam kereta. Begitu pintu kereta tertutup dan kereta mulai bergerak perlahan meninggalkan stasiun, perasaan rindu langsung menyergapnya. Rumah. Ayahnya. Dan tentu saja, ibunya.
Pemandangan di luar jendela kereta mulai bergerak cepat, dan Viona berusaha menenangkan dirinya. Ia membuka ponsel, berharap mendapatkan pesan penyemangat dari Shinta. Benar saja, notifikasi pesan masuk terpampang di layar.
Shinta: “Vi! Gimana rasanya udah di kereta? Jakarta siap menyambut kamu! Aku juga udah nggak sabar kita ketemu lagi.”
Viona tersenyum kecil membaca pesan itu, lalu membalas cepat:
Viona: “Gugup, Sin. Tapi aku jalan terus. Sampai nanti ya.”
Beberapa jam kemudian, kereta memasuki stasiun besar di Jakarta. Keramaian stasiun Gambir membuat Viona sedikit kewalahan. Orang-orang berlalu-lalang dengan cepat, semua tampak memiliki tujuan yang jelas, sementara Viona berdiri di tengah keramaian dengan perasaan campur aduk. Ia mengambil koper dan berjalan ke pintu keluar stasiun, berharap Shinta sudah menunggunya di sana.
Dan benar saja, di antara kerumunan orang yang sibuk, Viona melihat sosok familiar melambai-lambaikan tangan. Shinta, dengan senyum lebarnya, berlari kecil menghampiri.
“Viona! Kamu sampai juga!” seru Shinta riang. Tanpa menunggu jawaban, dia langsung memeluk Viona erat.
Viona tertawa kecil. “Iya, aku sampai juga, Sin.”
“Selamat datang di Jakarta!” Shinta menarik koper besar Viona dan membantu membawanya menuju mobil. “Gimana, udah siap jadi anak kota besar?”
“Siap nggak siap, aku udah di sini,” jawab Viona, mencoba terdengar lebih yakin dari yang sebenarnya ia rasakan.
Dalam perjalanan menuju apartemen kecil yang sudah Shinta siapkan untuk Viona, keduanya saling bercerita. Shinta, dengan gayanya yang selalu penuh semangat, bercerita tentang segala hal yang harus Viona persiapkan untuk menghadapi kehidupan di Jakarta: mulai dari kemacetan, gaya hidup, hingga budaya kerja yang sangat kompetitif.
“Aku tahu kamu bakal ngerasa overwhelmed di awal, Vi,” Shinta menasihati dengan nada lebih serius ketika mereka tiba di apartemen. “Tapi ingat, kamu nggak sendirian. Aku di sini. Dan kamu bakal baik-baik aja. Kamu orang yang kuat.”
Viona menatap sahabatnya itu dan mengangguk. Dia berharap kata-kata Shinta benar. Malam itu, setelah Shinta pulang, Viona berbaring di tempat tidur apartemen barunya. Suasana sunyi, berbeda dengan rumahnya yang hangat dan penuh kenangan. Di sini, semuanya terasa asing.
Tapi, ini adalah langkah pertama dalam perjalanannya. Meskipun jalannya tidak mudah, Viona tahu bahwa ia tidak bisa selamanya bersembunyi di balik kenangan. Ada hidup yang menunggunya di luar sana, dan meskipun ibunya tidak lagi bersamanya, dia masih bisa mendengar suaranya, membimbing setiap langkah.
Sebelum tidur, Viona membuka ponselnya sekali lagi, memandang foto ibunya yang tersimpan di layar. Senyuman sang ibu seakan berbicara kepadanya, seolah mengatakan bahwa ia bangga pada putrinya yang berani mengambil langkah ini.
“Bimbing aku, Bu, meski kau jauh,” bisik Viona pelan sebelum akhirnya memejamkan mata, menyiapkan diri untuk hari-hari yang akan datang.
Melangkah di Antara Bayang-Bayang
Hari-hari berlalu dan Viona mulai menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya di Jakarta. Meskipun tantangan banyak bermunculan, Shinta selalu ada untuk mendukungnya. Setiap kali Viona merasa terpuruk, sahabatnya itu seperti cahaya yang membimbingnya keluar dari kegelapan.
Pagi itu, Viona berangkat ke kampus barunya, Universitas Taman Sari. Dengan tas punggung yang sedikit lebih berat dari biasanya—diisi dengan buku-buku dan harapan—dia berjalan memasuki gerbang universitas yang megah. Tak bisa dipungkiri, jantungnya berdegup kencang. Suara riuh rendah teman-teman baru, tawa, dan obrolan di sekelilingnya membuatnya merasa kecil dan tidak berarti.
Viona memilih untuk duduk di sudut taman, jauh dari keramaian, mengeluarkan buku catatan dari tasnya. Dia berusaha mencatat beberapa hal tentang materi kuliah yang akan datang, tetapi pikirannya terus melayang kembali ke rumah. Bagaimana kabar ayahnya? Apakah dia merasa kesepian? Viona berharap ayahnya tidak terlalu merindukannya.
“Vi!” Suara ceria Shinta memecah lamunannya. Dia melambai-lambaikan tangan, berjalan mendekat. “Nggak usah duduk sendirian di sini! Ayo, kita ke kelas!”
Viona tersenyum, berusaha untuk tidak menunjukkan betapa gelisahnya dia. “Iya, Sin. Aku hanya… berpikir.”
“Jangan terlalu banyak berpikir, nanti pusing,” balas Shinta sambil menepuk pundaknya, membuat Viona merasa sedikit lebih baik.
Mereka menuju ruang kelas, dan ketika dosen masuk, Viona berusaha untuk menyimak dengan seksama. Tapi, sepertinya, konsentrasinya hilang. Selama perkuliahan, bayang-bayang ibunya datang kembali. Dia teringat semua nasihat dan dukungan yang diberikan sang ibu. Rasanya, semua itu sangat berharga, dan kini hanya tinggal kenangan.
Selesai kuliah, Viona dan Shinta mampir ke kafe di kampus. Tempatnya ramai, tetapi aroma kopi dan kue kering membuat Viona merasa sedikit lebih nyaman.
“Gimana kuliah pertama? Ada yang menarik?” tanya Shinta sambil menuangkan kopi ke gelasnya.
Viona menggelengkan kepala. “Nggak ada yang spesial. Cuma… aku merasa asing, Sin. Kayak orang luar di tempat yang seharusnya aku miliki.”
Shinta memandangnya dengan empati. “Itu wajar, Vi. Semua orang butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Yang penting, kamu tetap bersikap terbuka. Semakin banyak kamu bersosialisasi, semakin cepat kamu merasa nyaman.”
“Ya, aku tahu. Cuma… kadang aku merasa kesepian,” Viona mengakui. “Seperti ada sesuatu yang hilang.”
Shinta menyentuh tangan Viona dengan lembut. “Kamu nggak sendirian, Vi. Aku di sini, dan kita bisa menghadapi semuanya bersama-sama. Ingat, kita udah janji untuk saling mendukung.”
Viona tersenyum tipis, merasakan kehangatan dari sahabatnya. “Makasih, Sin. Kamu selalu bisa bikin aku merasa lebih baik.”
Setelah beberapa minggu beradaptasi, Viona mulai merasa lebih percaya diri. Ia menemukan beberapa teman baru di kelas, dan perlahan-lahan mulai aktif dalam organisasi kampus. Namun, di balik senyumnya, ada rasa rindu yang masih menggantung di hatinya—terutama pada ibunya.
Suatu malam, setelah seharian penuh dengan kuliah dan kegiatan di kampus, Viona pulang ke apartemen dan merasa lelah. Dia duduk di tepi tempat tidur, membuka buku catatannya, dan menemukan banyak catatan tentang cita-cita dan impian yang pernah dituliskan. Ada satu catatan yang menonjol—sebuah pesan dari ibunya: “Jangan pernah ragu untuk bermimpi, Viona. Ibu selalu ada di sini, meskipun jauh.”
Air mata menggenang di matanya. Viona merasa seolah ibunya sedang mengawasi dan membimbingnya dari kejauhan. Dia ingin sekali bisa berbagi semua pencapaiannya dengan sang ibu, membiarkannya tahu betapa dia berusaha keras untuk mencapai semua impiannya.
Saat merenung, ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Shinta.
Shinta: “Vi, besok ada acara di kampus. Kita harus ikut! Ini kesempatan bagus buat kamu kenalan sama banyak orang.”
Viona ragu sejenak, tetapi memutuskan untuk membalas.
Viona: “Oke, aku ikut. Tapi aku nggak janji bisa bersosialisasi.”
Shinta: “Nggak apa-apa, yang penting kamu coba. Iya kan?”
Semalaman Viona berpikir tentang acara itu. Dia menyadari bahwa jika ingin menjalani hidupnya sepenuhnya, dia harus berani melangkah maju, meski tanpa ibunya di sampingnya. Pagi harinya, dia bersiap-siap dengan semangat baru, mengenakan baju yang membuatnya merasa percaya diri.
Ketika tiba di kampus, keramaian acara membuatnya sedikit tertekan. Tapi begitu melihat Shinta yang ceria, Viona merasa terangkat semangatnya. Dengan keberanian yang baru, dia mulai berbaur dengan orang-orang di sekitarnya, mengenal banyak teman baru, dan terlibat dalam diskusi yang menyenangkan.
Di tengah kesibukan, seorang lelaki menarik perhatian Viona. Namanya Rio, seorang mahasiswa tahun kedua yang tampak santai dan percaya diri. Dia tersenyum ramah ketika mereka berkenalan, dan Viona merasakan getaran positif. Mereka mulai berbincang, dan untuk pertama kalinya sejak kedatangannya di Jakarta, Viona merasa sedikit lebih ringan.
“Senang kenalan sama kamu, Viona. Aku dengar kamu baru di sini. Gimana pendapatmu tentang Jakarta?” tanya Rio, sambil menyajikan minuman di kafe kampus.
Viona mengangguk. “Awalnya sulit, tapi aku mulai bisa beradaptasi. Ini semua baru bagi aku.”
Rio mengangguk, memahami. “Aku paham. Jakarta itu memang ramai dan kadang bikin stres, tapi seru kok! Banyak hal yang bisa kamu eksplorasi di sini.”
Perbincangan mereka berlangsung hangat, membuat Viona lupa akan kesedihan yang membebani hatinya. Hari itu menjadi salah satu hari terbaik dalam hidupnya di Jakarta. Dan ketika dia pulang ke apartemen, Viona merasakan sedikit harapan baru.
Di malam harinya, sebelum tidur, Viona membuka foto ibunya di ponselnya. “Ibu, hari ini aku melangkah lebih jauh. Aku bertemu orang baru, dan aku berusaha lebih terbuka. Aku berjanji akan terus maju, meski kau jauh.”
Dengan perasaan campur aduk namun optimis, Viona menutup matanya, bersiap untuk menghadapi hari-hari berikutnya dengan semangat yang baru, percaya bahwa setiap langkah yang diambilnya akan membawanya lebih dekat kepada impian yang diidamkan, dan pada akhirnya, kepada kenangan indah bersama ibunya yang akan selalu hidup dalam hatinya.
Akhirnya, Viona menyadari bahwa meskipun jarak memisahkan, cinta dan bimbingan ibunya akan selalu menyertainya dalam setiap langkah. Dia mungkin jauh dari rumah, tapi semangat ibunya selalu hidup di dalam hatinya.
Dengan harapan baru dan tekad yang kuat, Viona siap menghadapi segala tantangan di depan. Siapa tahu, di tengah perjalanan ini, dia akan menemukan lebih dari sekadar mimpi—mungkin, dia juga akan menemukan dirinya sendiri.