Bijak Menggunakan Media Sosial: Kisah Inspiratif yang Mengubah Cara Pandang

Posted on

Hallo, guys! Pernah nggak sih ngerasa bingung gimana sih cara bijak pakai media sosial tanpa terjebak drama atau berita bohong? Di sini, ada kisah seru tentang Qira dan Kael yang berusaha bikin perubahan positif di kampus mereka lewat Kafe Ceria. Siap-siap terinspirasi, karena siapa sangka, dari segelas kopi bisa lahir ide-ide brilian buat menyikapi dunia digital yang kadang bikin pusing ini!

 

Bijak Menggunakan Media Sosial

Gemuruh dalam Genggaman

Di sebuah kota kecil bernama Aliran, suasana sore begitu sejuk. Angin berhembus pelan, menggoyangkan dedaunan pohon di tepi jalan. Di tengah keramaian, ada sebuah kedai kopi bernama “Kopi Ceria” yang selalu ramai oleh pengunjung. Di sudut kedai itu, seorang gadis bernama Qira duduk dengan laptopnya terbuka lebar, matanya fokus pada layar.

Qira adalah seorang mahasiswi yang dikenal cerdas dan penuh semangat. Namun, ada satu hal yang membuatnya sedikit berbeda dari teman-teman sebayanya: ia sangat skeptis terhadap dunia media sosial yang sering kali dipenuhi drama dan informasi yang menyesatkan. Meskipun ia memiliki akun media sosial yang aktif, Qira lebih suka menjadi pengamat ketimbang terlibat dalam keributan yang sering kali terjadi.

Hari itu, Qira sedang mengerjakan tugas kuliah sambil sesekali memeriksa ponselnya. Tiba-tiba, notifikasi dari grup WhatsApp-nya bergetar. Sejenak, ia ragu untuk membukanya. Namun, rasa ingin tahunya mengalahkan keraguan. Ia membuka grup dan menemukan bahwa topik yang sedang hangat dibicarakan adalah tentang Luna, seorang selebriti terkenal yang baru saja terjerat dalam skandal besar.

“Coba lihat ini!” seru Kael, sahabat Qira yang juga seorang content creator, yang tiba-tiba muncul di depannya. Wajahnya terlihat antusias, seolah baru saja menemukan harta karun. “Luna ketahuan bohong tentang produk yang dia endorse! Semua orang ngomongin ini!”

Qira mengerutkan dahi, “Bukan lagi, Kael. Kenapa sih semua orang begitu heboh dengan kesalahan orang lain? Kenapa kita enggak pernah belajar untuk lebih kritis?”

Kael mengangkat bahu, “Gue enggak tahu, deh. Mungkin karena ini seru? Drama di media sosial selalu bikin orang penasaran. Views-nya juga meningkat tajam.”

“Drama, ya?” Qira mendengus. “Tapi coba deh, kita harus lihat lebih dalam. Apa kita pernah pikirkan dampaknya? Luna itu manusia, bukan karakter di sinetron.”

Kael menatap Qira dengan tatapan bingung, “Tapi ini kan entertainment! Kita semua butuh hiburan, dan ini cara orang buat terhubung. Kalau enggak gini, boring, dong.”

“Mungkin, tapi…,” Qira mulai berfikir. “Kita bisa lebih dari sekadar penonton, Kael. Kenapa enggak kita ajak orang-orang untuk berpikir kritis? Kita bisa jadi pelopor untuk hal yang lebih baik.”

Kael terdiam sejenak, lalu tertawa. “Wah, lo mulai kayak guru, ya? Tapi serius, Qira. Dengan cara lo, siapa yang mau denger?”

Qira tersenyum, “Enggak tahu, deh. Tapi kalau kita bisa menginspirasi satu orang aja, itu udah cukup. Mungkin kita bisa bikin diskusi atau seminar kecil-kecilan. Ajak orang-orang untuk berpikir lebih bijak.”

Kael mengangguk pelan. “Hmm… menarik juga. Gue rasa ide itu bisa jadi sesuatu yang fresh. Lo harus ngajak banyak orang, ya.”

Qira merasa semangatnya mulai membara. Ia lalu mencatat ide-ide di laptopnya, membayangkan betapa serunya jika bisa mengumpulkan orang-orang di komunitasnya untuk berdiskusi. Kafe itu seakan menghidupkan suasana dengan aroma kopi yang menggugah selera dan suara gelas-gelas yang beradu.

“Lo bisa mulai dengan posting di media sosial,” saran Kael. “Ajak teman-teman lo buat ikut. Bisa jadi viral!”

“Viral? Itu yang gue hindari,” jawab Qira. “Gue bukan mau cari popularitas, Kael. Ini tentang menyebarkan pemikiran positif.”

“Baiklah, kalau gitu,” Kael berkata sambil menggigit kue yang ada di hadapannya. “Tapi jangan kaget kalau lo jadi sorotan. Dunia media sosial enggak pernah berhenti bergerak.”

Qira hanya tersenyum, membayangkan bagaimana ide itu bisa berkembang. Momen itu terasa begitu berharga. Ia melihat sekeliling, melihat orang-orang lain yang terbenam dalam ponsel mereka, terhubung dengan dunia luar, namun terpisah dari momen yang terjadi di sekitar mereka.

Setelah beberapa jam di kedai kopi, Qira pun pulang dengan tekad yang bulat. Ia ingin mengubah cara pandang orang-orang tentang media sosial. “Gue harus lakukan sesuatu,” batinnya. “Gue ingin semua orang bisa melihat media sosial bukan hanya sebagai hiburan, tapi juga sebagai alat untuk saling mendukung.”

Di dalam pikirannya, Qira mulai merancang rencana untuk membuat acara diskusi di kafe tempatnya biasa berkumpul. Mungkin, hanya dengan satu langkah kecil, ia bisa menginspirasi orang lain untuk lebih bijak dalam bersikap di dunia maya. Dan saat ia melangkah keluar dari kedai, matahari terbenam, menyisakan cahaya jingga yang indah di langit, seolah mengingatkan bahwa setiap hari baru memberikan harapan baru untuk memulai sesuatu yang berarti.

 

Cermin Refleksi

Beberapa hari setelah percakapan inspiratif di kedai kopi, Qira terbangun dengan semangat yang membara. Pikirannya terfokus pada rencana diskusi yang ingin ia adakan. Dalam benaknya, ia membayangkan sebuah ruang penuh dengan orang-orang dari berbagai latar belakang, semua berkumpul untuk berdiskusi tentang peran media sosial dalam kehidupan sehari-hari. Ia ingin menciptakan suasana yang mendukung, di mana setiap orang bisa berbagi pendapat tanpa takut dihakimi.

Hari itu, setelah menyelesaikan kuliah, Qira memutuskan untuk memposting undangan acara di akun media sosialnya. Dengan penuh rasa percaya diri, ia menulis:

“Halo, teman-teman! Aku ingin mengundang kalian semua untuk bergabung dalam diskusi santai tentang peran media sosial dalam kehidupan kita. Mari kita saling berbagi pandangan dan belajar untuk lebih bijak dalam menggunakan platform ini! Catat tanggalnya: Sabtu, jam 3 sore di Kafe Ceria! Jangan lupa bawa teman!”

Selesai memposting, Qira merasa berdebar-debar. Ia tidak tahu bagaimana reaksi orang-orang. Namun, di tengah kegelisahannya, ada secercah harapan. Jika hanya satu orang saja yang tertarik, itu sudah cukup baginya.

Hari Sabtu pun tiba. Qira tiba lebih awal di Kafe Ceria untuk mempersiapkan segala sesuatunya. Ia menata meja, menyiapkan beberapa kursi, dan menyiapkan snack ringan untuk para peserta. Dengan suasana kafe yang hangat dan aroma kopi yang mengundang, ia merasa sedikit lebih tenang.

Tak lama kemudian, satu per satu teman-teman mulai berdatangan. Ada Kael, yang selalu ceria dan penuh semangat, diikuti oleh beberapa teman kuliah lainnya. Mereka terlihat antusias, dan Qira merasa hatinya bergetar melihat kehadiran mereka.

“Wow, ternyata banyak juga yang datang!” seru Kael sambil memandang sekeliling. “Lo harus kasih mereka sesuatu yang seru, Qira.”

“Tenang aja, Kael. Ini bukan seminar formal. Gue cuma mau bikin diskusi yang asik,” jawab Qira sambil tersenyum.

Acara dimulai dengan Qira menyambut semua orang yang hadir. “Terima kasih sudah datang, teman-teman! Aku ingin kita semua berbagi pandangan tentang bagaimana kita menggunakan media sosial. Apa sih yang membuat kita merasa terhubung, dan di sisi lain, apa yang bikin kita merasa terasing?”

Seorang teman bernama Lina mengangkat tangan. “Aku merasa media sosial itu bisa jadi pedang bermata dua. Di satu sisi, aku bisa terhubung dengan teman-teman dari jauh. Tapi di sisi lain, aku merasa sering dibanding-bandingkan dan tertekan dengan postingan orang lain.”

“Bener banget,” Qira mengangguk. “Itu yang aku maksud. Media sosial bisa jadi cermin yang memantulkan berbagai hal. Tapi cermin itu juga bisa mempengaruhi cara kita melihat diri sendiri.”

Kael menambahkan, “Kadang aku merasa, kita lebih suka berbagi hal-hal positif aja. Yang jelek, enggak ada yang mau tampilkan. Jadi, siapa yang mau bikin postingan ‘hari buruk’ di Instagram, coba?”

Semua orang tertawa, dan suasana menjadi lebih santai. Qira merasa senang melihat reaksi teman-temannya. Diskusi pun berlanjut, dengan banyak pendapat dan cerita yang saling bersilang.

Salah satu peserta, Rian, seorang mahasiswa dari jurusan psikologi, berbagi pandangannya. “Aku setuju sama Qira. Media sosial itu bisa jadi cermin, tapi juga bisa jadi tempat untuk bersembunyi. Banyak orang yang merasa lebih nyaman mengekspresikan diri secara online daripada di dunia nyata.”

“Bener! Kadang kita lebih jujur di media sosial,” sahut Dita, teman sekelas Rian. “Tapi itu juga bikin kita jadi enggak peka dengan perasaan orang lain. Terkadang, kita harus lebih hati-hati dalam berkomentar atau membagikan pendapat.”

Diskusi terus mengalir, dan Qira merasa gembira mendengar setiap cerita. Di antara keraguan dan kebingungan, mereka semua saling mendukung dan memberi perspektif yang berbeda. Qira menyadari, acara ini bukan hanya tentang berbagi pendapat, tetapi juga tentang membangun jaringan dukungan.

Menjelang akhir acara, Qira mengajak semua orang untuk berbagi resolusi. “Jadi, apa yang bisa kita lakukan ke depannya untuk lebih bijak di media sosial?”

Lina menyarankan, “Bagaimana kalau kita mulai dengan postingan yang lebih positif dan mendukung satu sama lain? Misalnya, memberikan pujian atau dukungan saat teman kita mengalami hal buruk.”

“Setuju! Kita juga bisa berkomitmen untuk tidak membagikan berita yang belum jelas kebenarannya,” tambah Rian. “Kita harus jadi penyebar informasi yang bertanggung jawab.”

Acara pun ditutup dengan semangat. Qira merasa bangga melihat semua orang begitu berkomitmen untuk menjadi lebih baik. Dengan senyum yang lebar, ia berjanji pada dirinya sendiri untuk terus berjuang agar pesan ini bisa tersebar lebih luas lagi.

Ketika semua orang mulai berpamitan, Qira merasakan kehangatan di hatinya. Ia tahu, apa yang dimulai dari satu percakapan di kedai kopi kini telah menjadi sebuah gerakan kecil di komunitasnya. Dan saat ia melangkah keluar dari kafe, matahari mulai terbenam, meninggalkan cahaya indah di langit. Qira tersenyum, yakin bahwa perjalanan ini baru saja dimulai.

 

Katalis Perubahan

Minggu berlalu setelah acara diskusi di Kafe Ceria, dan Qira merasakan energi positif yang mengalir di sekitarnya. Para peserta diskusi telah mengimplementasikan beberapa ide yang mereka bicarakan, dan Qira mendapatkan beberapa pesan dari teman-temannya yang ingin berbagi lebih banyak tentang pengalaman mereka di media sosial. Suasana di kampus juga terasa lebih dinamis, dengan teman-teman yang lebih terbuka untuk berbagi pandangan.

Suatu hari, saat Qira sedang duduk di taman kampus, ia menerima pesan dari Kael.

“Qira! Lo harus lihat ini! Ada influencer terkenal yang mau bikin acara diskusi juga! Dia mau ngajak kita untuk kolaborasi!”

Qira merasa berdebar. Ia membuka tautan yang Kael kirimkan dan menemukan bahwa Luna, selebriti yang pernah terjerat skandal, ingin berkontribusi dalam membangun kesadaran tentang penggunaan media sosial yang lebih positif. Luna merasa telah belajar dari kesalahan dan ingin menggunakan platform-nya untuk menyebarkan pesan yang lebih konstruktif.

“Wow, ini luar biasa!” gumam Qira. “Mungkin ini kesempatan bagus buat kita!”

Dengan penuh semangat, Qira segera membalas pesan Kael, “Kita harus ambil kesempatan ini! Kita bisa ngajak Luna untuk ikut berdiskusi di Kafe Ceria! Ini bisa jadi peluang besar untuk membagikan pesan kita ke lebih banyak orang!”

Kael membalas dengan cepat, “Setuju! Tapi lo pikir Luna bakal mau? Dia kan superstar, pasti sibuk.”

“Gue rasa, dia juga butuh orang-orang yang bisa mendukungnya. Kita harus menunjukkan bahwa kita ada untuk membantu,” jawab Qira penuh keyakinan.

Setelah berdiskusi dengan Kael dan beberapa teman lainnya, Qira memutuskan untuk menghubungi manajer Luna melalui email. Dalam pesan tersebut, ia menjelaskan tentang diskusi yang telah mereka lakukan di Kafe Ceria, serta keinginan mereka untuk berkolaborasi dalam acara yang lebih besar. Ia berharap Luna bisa bergabung dan berbagi pengalamannya.

Beberapa hari kemudian, Qira mendapatkan balasan. “Halo, Qira. Terima kasih atas emailmu. Luna sangat tertarik untuk bergabung dan berbagi dalam diskusi ini. Kami bisa menjadwalkan acara di Kafe Ceria minggu depan.”

Qira hampir tidak percaya dengan apa yang dibacanya. Segera ia berlari ke kelas Kael, tidak sabar untuk berbagi kabar baik.

“Kael! Lo gak akan percaya! Luna mau datang ke Kafe Ceria!” teriak Qira, dan semua perhatian pun tertuju padanya.

“Seriusan? Ini gila!” Kael melompat dari kursinya, dan senyum lebar menghiasi wajahnya. “Kita harus bikin ini jadi acara yang tidak terlupakan! Lo udah siap?”

“Siap! Kita harus mempersiapkan segalanya dengan baik. Kita harus membuatnya nyaman dan memberikan ruang bagi semua orang untuk berbicara,” jawab Qira dengan semangat.

Hari acara pun tiba. Qira dan Kael bekerja sama dengan manajer Luna untuk mempersiapkan tempat. Mereka menghias Kafe Ceria dengan poster-poster inspiratif, menyiapkan kursi yang cukup untuk semua orang, dan memastikan teknologi untuk presentasi berjalan dengan lancar.

Ketika Luna tiba, seluruh ruangan dipenuhi dengan kegembiraan. Qira merasakan kegelisahan dan antusiasme yang bercampur aduk. Luna melangkah dengan percaya diri, mengenakan gaun sederhana yang tetap terlihat anggun. Semua orang tampak terpesona.

“Terima kasih sudah datang, Luna!” seru Qira, sambil menghampiri selebriti itu.

“Terima kasih sudah mengundang saya, Qira. Saya sangat senang bisa berada di sini dan berbagi pengalaman,” jawab Luna dengan ramah.

Acara dimulai dengan Qira membuka sesi diskusi. “Hari ini kita akan mendengarkan cerita dari Luna dan bagaimana dia mengatasi tantangan yang dia hadapi di media sosial. Mari kita belajar bersama tentang bagaimana kita bisa menjadi pengguna yang lebih bijak.”

Luna berbagi pengalaman tentang bagaimana media sosial bisa menjadi pedang bermata dua. “Saya pernah berada di posisi di mana saya merasa tertekan untuk memenuhi ekspektasi orang lain, dan itu sangat melelahkan. Saya belajar bahwa penting untuk tetap otentik dan tidak membiarkan opini orang lain mempengaruhi diri kita.”

Qira menyaksikan dengan penuh perhatian saat Luna berbicara. “Ini adalah kesempatan untuk mengingatkan kita bahwa media sosial seharusnya menjadi tempat untuk saling mendukung dan membangun, bukan untuk menjatuhkan satu sama lain,” lanjut Luna.

Di antara sesi tanya jawab, Rian mengangkat tangan. “Apa yang bisa kita lakukan untuk membantu orang-orang yang terjebak dalam kebiasaan negatif di media sosial?”

“Pertanyaan yang bagus, Rian,” jawab Luna. “Kita bisa mulai dengan memberikan dukungan kepada satu sama lain. Jika kita melihat teman kita merasa tertekan, jangan ragu untuk menawarkan bantuan. Kita juga bisa menjadi teladan dengan menunjukkan cara menggunakan media sosial secara positif.”

Diskusi terus berlanjut, dan Qira merasa bangga melihat teman-temannya begitu aktif bertanya dan berbagi. Mereka berani menyuarakan pendapat dan mengajukan pertanyaan yang mungkin sulit.

Seiring berjalannya waktu, suasana semakin hangat. Qira melihat bagaimana Luna menjadi penghubung yang efektif, memfasilitasi percakapan yang lebih dalam tentang tantangan yang mereka hadapi di dunia digital.

Ketika acara berakhir, Qira merasa puas. Banyak teman-teman yang mengucapkan terima kasih dan menyatakan betapa bermanfaatnya diskusi itu. Luna pun merasa senang dan berjanji untuk terus mendukung inisiatif seperti ini di masa depan.

Dalam perjalanan pulang, Qira teringat kembali saat-saat awal saat ia merasa skeptis terhadap media sosial. Kini, ia melihat bagaimana platform ini bisa digunakan untuk menyebarkan pesan positif. Perubahan kecil yang dimulai dari percakapan di kedai kopi kini telah berkembang menjadi sesuatu yang lebih besar.

Ia merasa ada harapan baru. Dengan semangat baru dan tekad yang menggebu, Qira bertekad untuk terus memfasilitasi percakapan yang bermakna dan membantu orang lain menemukan cara bijak dalam menghadapi dunia digital.

Di bawah cahaya bulan yang bersinar lembut, Qira melangkah dengan keyakinan baru. Perjalanannya belum selesai, tetapi ia tahu, setiap langkah yang ia ambil adalah bagian dari perubahan yang lebih besar.

 

Melangkah Menuju Masa Depan

Beberapa bulan telah berlalu sejak diskusi yang berkesan itu. Kafe Ceria telah menjadi tempat yang dihormati di kampus, dikenal sebagai ruang untuk berdiskusi dan berbagi ide positif. Qira dan Kael terus mengadakan acara, mengundang pembicara dari berbagai latar belakang untuk berbagi pengalaman dan wawasan mereka tentang media sosial.

Hari itu, Qira merasa sangat bersemangat. Mereka mengundang beberapa influencer muda yang dikenal karena konten positif mereka. “Kita sudah sampai di sini, Kael,” kata Qira sambil melihat persiapan terakhir di Kafe Ceria. “Semua usaha kita mulai membuahkan hasil.”

“Bener! Siapa sangka kita bisa bikin perubahan sekecil ini?” Kael tersenyum, mengatur kursi untuk para peserta.

Ketika acara dimulai, Qira melihat wajah-wajah antusias mengisi ruangan. Sebuah panel berdiri di depan, terdiri dari influencer yang membagikan pengalaman mereka dalam menciptakan konten yang mempengaruhi banyak orang secara positif. Mereka membahas bagaimana bisa tetap otentik dan menghindari tekanan untuk mengikuti tren negatif di media sosial.

Qira bersemangat saat melihat teman-temannya terlibat. Diskusi mengalir dengan dinamis, dan ada banyak pertanyaan yang muncul. Salah satu peserta, seorang mahasiswi bernama Naya, berdiri dan bertanya, “Bagaimana kalian mengatasi komentar negatif di media sosial?”

Salah satu influencer, Zara, menjawab dengan bijak. “Kita tidak bisa menghindari komentar negatif sepenuhnya, tetapi kita bisa memilih untuk tidak membiarkannya mempengaruhi kita. Mengelilingi diri dengan orang-orang yang mendukung sangat membantu.”

Satu per satu, para peserta berbagi pengalaman mereka, membuat suasana semakin akrab. Qira melihat bagaimana perbincangan yang hangat dan mendalam ini memberi ruang bagi setiap orang untuk berbagi perasaan dan pandangan mereka. Ia merasa bangga bisa menjadi bagian dari perubahan ini.

Setelah diskusi, Qira dan Kael mengadakan sesi foto dengan para pembicara dan peserta. Ketika semuanya berkumpul, Qira merasa hangat di dalam hati. Ia melihat ke sekeliling, menyadari betapa banyaknya orang yang peduli dengan isu ini dan ingin berkontribusi.

Setelah acara, saat Qira dan Kael membersihkan ruangan, Luna menghubungi Qira melalui pesan. “Halo Qira! Aku senang melihat perkembangan di Kafe Ceria. Kamu dan Kael sudah melakukan pekerjaan yang luar biasa!”

Qira membalas dengan penuh rasa syukur. “Terima kasih, Luna! Semua ini berkat dukungan dan inspirasi yang kamu berikan. Kami berharap bisa terus membawa perubahan positif di kampus.”

Luna membalas, “Aku percaya kalian bisa. Ingat, satu suara bisa membuat perbedaan. Jangan pernah ragu untuk berbicara dan mengajak orang lain untuk ikut serta.”

Mendengar pesan itu, Qira merasa lebih terinspirasi dari sebelumnya. Ia menyadari bahwa perjalanannya belum berakhir. Ada banyak hal yang bisa dilakukan untuk terus memperluas pengaruh positif di media sosial.

Beberapa minggu kemudian, Qira memutuskan untuk menulis artikel tentang pengalaman mereka di Kafe Ceria dan membagikannya di platform media sosial. Ia ingin menyebarkan pesan penting tentang kesadaran dan penggunaan bijak media sosial.

Artikel itu cepat viral, di-share oleh banyak teman dan influencer lainnya. Banyak yang mengungkapkan bagaimana diskusi yang mereka lakukan di Kafe Ceria telah mengubah cara pandang mereka terhadap media sosial.

Suatu sore, saat Qira sedang duduk di taman, ia menerima pesan dari seorang pengikut baru. “Hai Qira! Aku baca artikelnya. Terima kasih sudah membagikannya. Itu membuatku berpikir tentang cara aku menggunakan media sosial. Aku ingin bergabung di acara selanjutnya!”

Qira tersenyum. “Lihat, Kael! Ini benar-benar membuat perbedaan,” teriaknya kepada Kael yang duduk di sampingnya.

Kael menepuk bahunya. “Kita sedang membangun komunitas di sini. Setiap orang memiliki cerita, dan kita membuka ruang untuk berbagi. Itu yang membuat semua ini berarti.”

Dengan semangat baru, Qira dan Kael berencana untuk mengadakan lebih banyak acara. Mereka ingin memperluas jangkauan mereka dan menginspirasi lebih banyak orang untuk menggunakan media sosial dengan cara yang lebih bijak.

Seiring waktu, Kafe Ceria berkembang menjadi tempat yang tidak hanya menyebarkan pesan positif, tetapi juga membangun hubungan antarpeserta. Teman-teman baru bertemu, berbagi cerita, dan menciptakan ikatan yang kuat, semuanya berkat keberanian untuk berbicara tentang isu-isu yang penting.

Dalam perjalanan pulang, Qira melihat bintang-bintang bersinar di langit malam. Ia merasa optimis. Setiap langkah yang diambil, sekecil apa pun, membawa dampak yang lebih besar. Di dalam hati, ia tahu bahwa mereka telah memulai sebuah perjalanan yang tidak hanya mengubah diri mereka, tetapi juga orang-orang di sekitar mereka.

Dengan senyuman di wajahnya, Qira melangkah menuju masa depan, penuh harapan dan keyakinan bahwa dunia digital bisa menjadi tempat yang lebih baik jika setiap orang mau berkontribusi.

 

Jadi, gimana? Sudah siap buat jadi pengguna media sosial yang lebih bijak dan positif? Ingat, perubahan itu dimulai dari diri sendiri. Seperti Qira dan Kael, kita semua bisa bikin dampak kecil yang bisa jadi besar. Yuk, terus berbagi kebaikan, dan jangan lupa, dunia digital itu bisa jadi tempat seru dan inspiratif kalau kita tahu cara mainnya! Sampai jumpa di cerita seru berikutnya!

Leave a Reply