Daftar Isi
Hai, kamu! Siap masuk ke dunia penuh misteri dan aksi seru? Cerita ini bakal bikin kamu merinding dan penasaran. Ikuti perjalanan Althea, Ciro, dan Anya yang nekat menjelajahi Pondok Tua yang angker dan penuh rahasia. Siapa tahu, mereka bisa menyelamatkan sahabat mereka dari kegelapan! Yuk, baca dan rasakan ketegangan serta kejutan yang mengintai di setiap sudut ceritanya!
Jejak di Antara Bayang
Malam Tanpa Bintang
Malam itu, langit kota Astra terlihat kelabu, seakan-akan hujan gerimis siap turun. Di sebuah café kecil yang disebut “Café Merah,” suasana terasa agak mencekam. Di sudut ruangan, Althea duduk sendiri dengan secangkir kopi hangat di tangan. Rambutnya yang ikal dan gelap tergerai, menambah aura misterius pada wajahnya. Matanya yang tajam memperhatikan setiap orang yang lewat, seperti predator yang sedang mengawasi mangsanya.
“Duh, di mana sih Ciro?” gumam Althea sambil menatap jam di dinding. Detik demi detik berlalu, dan rasa khawatir mulai merayap ke dalam pikirannya. Sejak Lina menghilang, semua terasa tidak beres. Althea tahu Ciro adalah satu-satunya orang yang bisa membantunya menyelidiki misteri ini.
Tak lama setelah itu, pintu café berderit terbuka. Seorang pria dengan jaket hitam dan topi fedora masuk, menyapu pandangannya ke sekeliling. Althea mengenali sosok itu, dan hatinya sedikit berdegup kencang. Ciro, detektif swasta yang selalu dingin dan misterius, akhirnya datang.
“Maaf, aku telat,” katanya sambil melangkah ke arah Althea, senyumnya tipis tetapi tidak bisa menyembunyikan ketegangan di wajahnya.
“Aku sudah mulai khawatir,” jawab Althea sambil meletakkan cangkirnya. “Kita perlu bicara soal Lina.”
Ciro mengangguk, langsung mengambil kursi di depannya. “Apa yang kamu tahu?”
Althea mengambil napas dalam-dalam. “Lina terakhir terlihat di sini. Dia bilang ada sesuatu yang aneh tentang gedung tua di pinggiran kota. Katanya, gedung itu menyimpan rahasia.”
“Rahasia?” Ciro mengernyit. “Seperti apa?”
“Dia bilang ada suara-suara aneh setiap malam dan cahaya misterius dari dalam gedung,” jelas Althea, matanya berbinar dengan semangat. “Aku rasa dia menemukan sesuatu yang lebih besar dari sekadar cerita hantu.”
Ciro menyandarkan punggungnya ke kursi, memikirkan semua yang baru saja didengar. “Kita harus pergi ke sana. Sekarang juga.”
“Serius? Kita akan menyusuri gedung tua itu?” Althea merasa adrenalinnya mulai berdenyut. Sebagian dari dirinya merasa takut, tapi keinginan untuk menemukan Lina lebih besar.
“Jika kita ingin tahu apa yang terjadi, tidak ada cara lain,” jawab Ciro, matanya berkilau penuh tekad.
Dengan semangat baru, mereka beranjak dari café. Althea memimpin jalan ke mobilnya, dan saat mereka melangkah keluar, hujan mulai turun. Titik-titik air membasahi jalanan yang bersinar di bawah lampu jalan. Althea menyalakan mobil dan mengemudikan mereka menuju gedung tua itu.
Di perjalanan, Althea mencuri pandang ke arah Ciro. “Kau yakin kita aman?”
“Kalau kita tidak menemukan Lina, kita tidak akan tahu,” jawab Ciro singkat, tetapi ada nada lembut dalam suaranya. Althea merasa seolah ada jaminan dari setiap kata yang keluar dari bibirnya.
Setelah beberapa menit berkendara, mereka tiba di depan gedung tua yang megah. Bangunan itu berdiri angkuh dengan dinding penuh lumut dan jendela yang pecah. Suara angin menggerakkan dedaunan, menciptakan suasana yang menakutkan.
“Ini dia,” bisik Althea, merasakan ketegangan di udara.
Ciro mematikan mesin mobil dan menatap gedung dengan serius. “Kita masuk,” katanya sambil membuka pintu. Althea mengangguk, berusaha menenangkan dirinya meski detak jantungnya semakin cepat.
Mereka melangkah memasuki gedung, dan aroma lembap menyambut mereka. Lantai kayu berderit di bawah kaki, menambah kesan angker. Ciro mengeluarkan senter dari sakunya, menyalakannya, dan sinarnya menyapu ruangan yang gelap.
“Lihat, ada banyak buku di sini,” seru Althea, menunjuk ke rak buku yang berdebu. Dia melangkah lebih dekat, mengamati setiap detail.
“Jangan teralihkan, kita fokus pada pencarian,” Ciro mengingatkan, meski senyumnya terlihat ketika melihat semangat Althea. Mereka mulai menjelajahi ruangan demi ruangan, setiap sudut menyimpan misteri yang menunggu untuk terungkap.
Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar dari arah lantai atas. Althea saling memandang dengan Ciro, merasakan ketegangan di antara mereka.
“Kau dengar itu?” Althea berbisik, suaranya bergetar.
“Ya, sepertinya datang dari atas. Ayo,” jawab Ciro, langkahnya mantap menuju tangga yang mengarah ke lantai dua.
Setiap langkah mereka berderit, dan suara ketukan itu semakin jelas. Althea merasa napasnya terengah, tapi dia berusaha menenangkan diri. Ketika sampai di lantai dua, mereka menemukan sebuah pintu setengah terbuka.
Ciro melangkah maju, menekan pintu sedikit lebih lebar. Di dalam, mereka melihat ruangan penuh buku tua dan tumpukan kertas. Di tengah ruangan, sebuah meja kayu besar menampung berbagai dokumen, dan di atasnya ada foto-foto Lina.
“Ini… Lina,” seru Althea, mendekat sambil berusaha menahan air matanya. Di samping foto, ada sebuah notebook terbuka. Ciro mengambilnya dan membaca dengan suara pelan.
“Aku telah menemukan sesuatu yang tidak seharusnya aku ketahui. Siapa pun yang membaca ini harus berhati-hati… mereka sedang mengawasi.”
Althea merasakan jantungnya berdegup kencang. “Apa maksudnya ini?”
Ciro menggelengkan kepala, berusaha mencerna kata-kata itu. “Kita harus terus mencari tahu apa yang terjadi. Kita tidak bisa mundur sekarang.”
Tiba-tiba, suara langkah berat terdengar mendekat. Ciro dan Althea saling berpandangan, dan rasa takut mulai menggelayuti suasana. Dengan cepat, mereka mencari tempat bersembunyi di balik tumpukan buku.
Sosok yang mereka lihat adalah Tuan Jati, pemilik café. Dia tampak berbeda; tatapannya tajam dan penuh ancaman. “Apa yang kalian lakukan di sini?” tanyanya, suaranya serak dan mengerikan.
“Aku tahu tentang Lina!” teriak Althea, merasa berani.
Tuan Jati tersenyum sinis, membuat bulu roma Althea meremang. “Kalian sebaiknya pergi sebelum terlambat.”
Ciro dan Althea tahu mereka harus bertindak cepat. “Kami tidak akan pergi sampai kami menemukan Lina!” Ciro bersuara tegas, siap menghadapi apa pun yang ada di depan mereka.
Suara sirene polisi tiba-tiba terdengar di kejauhan, memecah ketegangan malam itu. Tuan Jati terlihat terkejut dan berbalik, memberi kesempatan bagi mereka untuk melarikan diri.
“Mari kita keluar!” seru Ciro, menarik tangan Althea, dan mereka melarikan diri dari ruangan itu.
Setibanya di luar gedung, mereka menghela napas lega. Tapi di sudut pikiran mereka, pertanyaan tetap ada: Apakah mereka benar-benar aman? Dan apa yang akan terjadi selanjutnya?
Gedung Tua
Ketegangan masih terasa di udara saat Althea dan Ciro berlari menjauh dari gedung tua. Suara sirene yang semakin mendekat membuat mereka berdua bergegas ke mobil. Althea meraih kunci dari sakunya dengan tangan bergetar, berusaha menenangkan diri saat dia menekan tombol untuk membuka pintu. Ciro duduk di sampingnya, matanya melirik ke belakang, memastikan tidak ada yang mengikut mereka.
“Siapa sebenarnya Tuan Jati itu?” tanya Althea sambil menghidupkan mesin mobil.
“Dia adalah pemilik café. Tapi lebih dari itu, dia terlibat dalam banyak hal yang tidak seharusnya terjadi di kota ini,” jawab Ciro, suaranya tenang meskipun terlihat cemas. “Kita perlu tahu apa yang dia sembunyikan.”
Mobil melaju meninggalkan gedung tua itu. Althea melirik ke arah jendela, masih bisa melihat bayangan gedung yang megah tapi menyeramkan, seolah-olah menyimpan banyak rahasia di dalamnya. Rasa penasaran semakin membara dalam dirinya. Lina, sahabatnya, harus ada di suatu tempat, dan dia bertekad untuk menemukannya.
“Kita perlu kembali ke café,” kata Ciro tiba-tiba, membuat Althea menoleh. “Mungkin ada petunjuk lain di sana.”
“Sekarang?” Althea terkejut. “Setelah semua yang terjadi?”
“Ya, jika kita ingin menyelesaikan ini, kita harus berani mengambil risiko,” jawab Ciro, nada suaranya tegas. “Dan aku tidak akan membiarkanmu pergi sendiri.”
Althea mengangguk, merasakan dukungan Ciro membuatnya lebih berani. Dia memutar arah dan menuju kembali ke “Café Merah.” Di dalam hatinya, dia tahu bahwa tidak ada pilihan lain. Jika Lina masih hidup, mereka harus menemukan cara untuk mengeluarkannya dari masalah ini.
Setelah beberapa menit berkendara, mereka tiba di café. Suasana di luar tampak tenang, seolah-olah tidak ada yang terjadi. Althea dan Ciro melangkah masuk dengan hati-hati, mendapati suasana yang agak sepi. Meja-meja kosong tampak bersih, dan aroma kopi yang masih tersisa membuat Althea merasa sedikit tenang.
“Coba periksa bagian belakang,” kata Ciro, gestur tangannya menunjukkan ke arah dapur. “Mungkin kita bisa menemukan sesuatu.”
Althea mengikuti perintahnya, dan ketika mereka mendekati pintu dapur, dia merasakan kegugupan di dalam dirinya. Pintu itu sedikit terbuka, dan suara desahan pelan bisa terdengar dari dalam. Althea menatap Ciro, dan mereka saling mengangguk sebelum mendorong pintu pelan-pelan.
Di dalam, suasana terasa berbeda. Ada meja kayu besar yang tertutup oleh kain putih dan tumpukan peralatan dapur yang berserakan. Namun, di sudut ruangan, ada sesuatu yang mencolok: sebuah notebook kecil tergeletak di atas meja, dikelilingi oleh beberapa foto.
Althea mendekat, mengambil notebook itu. Tulisannya acak dan terburu-buru, seolah-olah ditulis oleh seseorang yang ketakutan. “Mereka mengawasi. Jangan percaya siapa pun.” Althea menatap Ciro dengan mata lebar.
“Ini pasti milik Lina,” kata Ciro, membungkuk untuk melihat isi notebook. “Kita harus membawanya. Ini bisa jadi petunjuk.”
“Lina pasti ingin kita tahu sesuatu,” gumam Althea, menggenggam notebook erat-erat. “Kita harus menemukan lebih banyak informasi tentang Tuan Jati dan apa yang dia lakukan.”
Ciro setuju dan berkata, “Mari kita cari tahu lebih lanjut tentang café ini. Mungkin ada sesuatu yang bisa kita gunakan.”
Mereka kembali ke ruang utama dan mulai mengamati sekeliling. Di sudut dinding, ada papan pengumuman yang terlihat tua dan lusuh. Althea mendekat, dan ketika dia melihat lebih dekat, dia menemukan beberapa poster dan foto-foto lama.
“Ciro, lihat ini!” serunya. Dia menunjuk pada sebuah poster yang menjelaskan sejarah café. “Ternyata café ini dulunya adalah tempat berkumpul para penulis dan seniman. Tapi ada beberapa cerita gelap di baliknya.”
Ciro melirik poster itu, dan matanya terfokus pada bagian yang paling menarik perhatian. “Ada cerita tentang gedung tua itu. Dulu, ada seorang penulis terkenal yang hilang di sana.”
“Hilang?” tanya Althea, tidak bisa menahan rasa ingin tahunya. “Apa ada hubungannya dengan Lina?”
“Bisa jadi,” jawab Ciro. “Mungkin Lina menemukan sesuatu yang berkaitan dengan penulis itu. Kita perlu mencari tahu lebih dalam.”
Saat mereka berdiskusi, tiba-tiba pintu café terbuka lebar. Seorang wanita berambut pendek dengan tampilan misterius masuk, menatap mereka dengan tajam. Wajahnya familiar, tapi Althea tidak bisa langsung mengingat di mana dia pernah melihatnya.
“Siapa kalian?” tanya wanita itu, suaranya tenang tetapi penuh tekanan.
“Kami—kami hanya mencari teman kami,” jawab Althea, berusaha terdengar meyakinkan.
“Teman yang hilang? Aku tahu tentang itu.” Wanita itu melangkah lebih dekat, dan Althea merasakan sesuatu yang aneh tentang kehadirannya. “Dia berada di tempat yang tidak seharusnya.”
“Siapa kau?” tanya Ciro, waspada.
“Aku Anya,” jawabnya singkat. “Dan aku tahu bagaimana cara menemukan Lina.”
Kata-kata Anya menggugah harapan di hati Althea. “Kau tahu di mana dia?”
“Ya, tapi itu berbahaya. Mereka akan memburu kita jika tahu kita mencarinya,” kata Anya, tatapannya tajam menilai mereka.
“Kami siap menghadapi apa pun,” seru Ciro, menggenggam tangan Althea dengan kuat. “Kami tidak bisa mundur sekarang.”
Anya menatap mereka sejenak, kemudian mengangguk pelan. “Baiklah. Tapi ingat, ini bukan hanya tentang mencari Lina. Ada sesuatu yang lebih besar yang sedang bermain di balik ini. Kita harus siap untuk segala kemungkinan.”
Althea merasakan ketegangan dalam kata-kata Anya. Dia tahu bahwa pencarian ini tidak akan mudah, tetapi dia tidak akan mundur. Dengan notebook di tangan dan harapan yang baru muncul, mereka bersiap untuk menghadapi malam yang penuh misteri.
Mereka bertiga keluar dari café, menyadari bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai. Rintik hujan mulai turun lagi, menghapus jejak langkah mereka di jalan yang basah. Namun, di dalam hati Althea, ada kepercayaan bahwa mereka akan menemukan Lina, dan mungkin, jawaban atas semua misteri ini.
Pencarian Dimulai
Hujan semakin deras ketika Althea, Ciro, dan Anya melangkah keluar dari “Café Merah.” Suara tetesan air menambah suasana misterius malam itu. Althea memandang ke arah jalan yang basah, berusaha mencari tanda-tanda yang bisa mengarahkannya kepada Lina. Dalam benaknya, hanya satu hal yang terlintas: menemukan sahabatnya dan mengungkap semua misteri di balik kehilangan ini.
“Jadi, ke mana kita harus pergi?” tanya Ciro, matanya penuh tekad. “Apa yang kau tahu tentang di mana Lina berada?”
Anya menatap lurus ke depan, langkahnya mantap saat mereka menelusuri jalanan yang sepi. “Ada tempat yang dikenal sebagai ‘Pondok Tua’ di pinggiran kota. Itu adalah tempat terakhir Lina terlihat sebelum menghilang.”
“Pondok Tua?” Althea bertanya. “Aku pernah mendengar tentang tempat itu. Banyak cerita menakutkan yang beredar.”
“Ya, banyak orang bilang pondok itu angker. Konon ada sesuatu yang aneh terjadi di sana,” Anya menjelaskan. “Tapi Lina adalah orang yang tidak takut pada hal-hal seperti itu. Dia pasti menemukan sesuatu.”
Ciro melirik Althea, menyemangatinya. “Kita harus berangkat sekarang. Waktu tidak berpihak pada kita.”
Tanpa ragu, Althea menyalakan mobil dan mengarahkan kendaraannya menuju pinggiran kota. Ketegangan memenuhi ruangan, tetapi ada rasa optimisme yang membuat jantungnya berdebar. Misi ini lebih dari sekadar menyelamatkan Lina; ini adalah tentang mengungkap kebenaran yang tersembunyi.
Setelah beberapa puluh menit berkendara, mereka tiba di lokasi Pondok Tua. Dari kejauhan, tampak bangunan kayu yang kumuh dan usang, dikelilingi semak-semak lebat. Suasana di sekitarnya terlihat menyeramkan, membuat Althea merinding.
“Ini dia,” bisik Anya, suaranya hampir tak terdengar di antara desiran angin. “Kita harus hati-hati. Banyak yang tidak kembali setelah masuk.”
“Lina pasti ada di dalam,” ujar Ciro tegas, matanya tak lepas dari pintu masuk pondok. “Mari kita masuk.”
Dengan hati-hati, mereka bertiga melangkah menuju pintu depan yang terbuat dari kayu tua. Pintu itu berdecit pelan saat mereka membukanya, mengungkapkan kegelapan yang menyelimuti di dalam. Lampu senter Althea menyinari ruangan yang penuh debu dan jaring laba-laba.
“Coba lihat ke sekeliling,” kata Ciro. “Kita mungkin bisa menemukan sesuatu.”
Althea mengangguk, membagi perhatian antara pencariannya dan rasa ketakutan yang mencekam. Dia melihat dinding-dinding yang dipenuhi gambar-gambar aneh, seolah-olah menggambarkan kisah yang telah lama terlupakan. Di sudut ruangan, dia menemukan sebuah foto besar yang pecah di sudutnya. Dalam foto itu, terlihat sekelompok orang yang tersenyum, di depan sebuah bangunan yang tampak mirip dengan pondok itu.
“Ciro, lihat ini!” seru Althea, menunjukkan foto itu padanya.
“Siapa mereka?” Ciro mendekat, mencoba menelaah gambar dengan seksama. “Mungkin ini bisa memberi kita petunjuk.”
Anya bergabung, memperhatikan foto itu dengan saksama. “Aku pernah melihat foto ini sebelumnya. Ada satu orang yang mirip dengan Lina di sebelah kanan.”
“Benar! Itu dia!” Althea berseru, merasa harapannya bangkit kembali. “Kita harus mencari tahu lebih banyak tentang mereka.”
Saat mereka membahas foto itu, sebuah suara keras tiba-tiba terdengar dari dalam pondok, membuat ketiga orang itu terlonjak. Suara itu seperti sesuatu yang jatuh, dan seolah mengingatkan mereka akan bahaya yang mengintai.
“Apa itu?” tanya Ciro, bersiap-siap untuk melindungi Althea.
“Tidak tahu, tapi kita harus cek,” kata Anya, suara tegas meskipun ada sedikit ketegangan. Mereka bergerak maju, mengikuti suara yang membimbing mereka menuju ruangan belakang.
Ruangan itu lebih gelap dan lebih sempit. Dindingnya dihiasi dengan alat-alat aneh dan peralatan yang tidak mereka kenali. Di sudut ruangan, mereka melihat sebuah meja kayu besar dengan beberapa buku berserakan.
Althea mendekati meja itu, merasakan getaran aneh saat dia melihat buku-buku tersebut. “Coba lihat ini,” katanya, membuka salah satu buku. Halaman-halamannya berisi tulisan tangan yang terukir rumit dan sketsa-sketsa aneh.
“Sepertinya ini catatan seseorang,” Ciro berkomentar, memperhatikan halaman-halaman yang terbuka. “Mungkin ini punya Lina.”
“Ya, lihatlah! Ada catatan tentang ‘Kegelapan di Pondok’,” Althea membaca dengan hati-hati. “Dia mencatat semua hal aneh yang terjadi di sini.”
Sebelum mereka bisa melanjutkan membaca, suara gemuruh datang lagi, kali ini lebih dekat. Ketiganya saling pandang dengan ketakutan.
“Sepertinya kita tidak sendiri di sini,” Anya berkata, suaranya bergetar sedikit. “Kita harus cepat.”
Mereka menutup buku dengan cepat dan berlari menuju pintu belakang, tetapi saat mereka berusaha keluar, pintu itu mendadak tertutup rapat. Althea dan Ciro terkejut, sementara Anya mencoba memaksa pintu itu terbuka.
“Jangan panik! Kita harus mencari jalan lain!” Ciro berteriak, mencoba menenangkan Althea yang mulai panik.
“Tapi di mana?” tanya Althea, matanya melirik ke sekeliling dengan rasa takut.
Di sudut ruangan, dia melihat sebuah jendela kecil yang mungkin bisa mereka lewati. “Ciro, lihat!” dia menunjuk ke arah jendela itu.
“Mari kita coba!” kata Ciro, berlari ke jendela sambil mengangkat Althea untuk membantunya keluar.
Anya mengikuti, dan saat mereka berusaha melewati jendela, suara di belakang mereka semakin mendekat. Althea bisa merasakan detak jantungnya berdebar kencang. Mereka berhasil keluar dan mendarat di tanah dengan keras, tetapi tidak ada waktu untuk istirahat.
Mereka berlari menjauh dari pondok, terengah-engah dan penuh ketakutan. Dalam perjalanan, Althea berdoa dalam hati agar Lina selamat. Ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar pencarian yang harus mereka hadapi, dan dia bertekad untuk menemukan jawabannya, tidak peduli seberapa berbahayanya.
Ketika mereka menoleh ke belakang, pondok itu berdiri megah dalam kegelapan, seolah-olah mengawasi mereka pergi. Althea merasa ada mata yang mengikuti mereka, dan di dalam hatinya, dia tahu bahwa pencarian mereka baru saja dimulai. Kegelapan tidak akan membiarkan mereka pergi begitu saja.
Kebenaran Terungkap
Setelah melarikan diri dari Pondok Tua, Althea, Ciro, dan Anya bergegas menuju mobil. Jantung Althea berdegup kencang, napasnya tersengal-sengal saat ia melirik kembali ke arah pondok yang semakin menjauh. Suasana di dalam mobil terasa tegang; mereka semua berusaha mencerna apa yang baru saja terjadi.
“Bagaimana bisa ada suara itu di dalam?” Ciro bertanya, mengemudikan mobil dengan cepat. “Aku merasa seperti ada yang mengawasi kita.”
“Entahlah, tapi yang jelas kita tidak bisa kembali ke sana,” jawab Anya, suara tegasnya sedikit bergetar. “Kita butuh rencana.”
Althea mengangguk, merasakan beban di dadanya. “Kita harus mencari tahu lebih banyak tentang catatan itu dan tentang Lina. Dia pasti tahu sesuatu.”
Setelah beberapa saat, mereka tiba di perpustakaan kota. Ruangan itu sepi, hanya ada suara langkah kaki mereka yang bergema. Althea mengarahkan langkahnya menuju rak-rak buku yang menjulang tinggi, mencari buku-buku tentang sejarah pondok dan daerah sekitarnya.
“Ciro, bantu aku cari referensi tentang Pondok Tua,” kata Althea, berusaha menenangkan pikiran yang kacau. “Aku yakin ada sesuatu yang terlupakan.”
Ciro mengangguk dan mulai mencari di rak buku, sementara Anya duduk di meja dekat jendela, membuka catatan yang mereka ambil dari pondok. Althea melihat Anya mengamati dengan saksama.
“Anya, ada apa?” tanya Althea, tertarik dengan ekspresi serius di wajah Anya.
“Di sini tertulis tentang ritual yang dilakukan di Pondok Tua,” kata Anya, menunjukkan catatan itu. “Sepertinya ada sesuatu yang lebih besar daripada sekadar legenda. Ini tentang kekuatan gelap yang dikendalikan oleh sekelompok orang yang menghilang beberapa tahun lalu.”
“Jadi, Lina terlibat dengan mereka?” Ciro bertanya, bergabung dengan mereka. “Mungkin dia menyelidiki sesuatu yang berbahaya.”
“Bisa jadi,” jawab Althea, mencemaskan sahabatnya. “Kita harus mencari tahu siapa orang-orang ini dan apa yang mereka inginkan.”
Mereka melanjutkan pencarian informasi di perpustakaan hingga malam menjelang. Berbagai cerita dan catatan sejarah mengungkapkan bahwa Pondok Tua pernah menjadi tempat berkumpulnya sekte yang menjalankan praktik-praktik aneh dan berbahaya. Althea dan Ciro berusaha mengumpulkan sebanyak mungkin informasi untuk menemukan cara membantu Lina.
“Aku tidak bisa membiarkan Lina sendirian menghadapi ini,” ujar Althea, rasa bersalah mengisi hatinya. “Dia butuh kita.”
“Kita harus pergi kembali ke pondok,” kata Ciro dengan tegas. “Kita perlu menemukan cara untuk masuk ke tempat itu dan mencari Lina.”
Sebelum berangkat, mereka merencanakan langkah-langkah dengan hati-hati. Mereka membawa senter, peta, dan perlengkapan yang bisa membantu mereka menjelajahi pondok dengan aman. Ketika mobil mereka melaju kembali ke arah pondok, suasana tegang terasa di antara mereka.
Sesampainya di Pondok Tua, malam semakin gelap, dan bayangan pohon-pohon besar mengintimidasi mereka. Namun, tekad Althea tidak goyah. “Kita bisa melakukannya. Kita hanya perlu bersatu.”
Mereka memasuki pondok, dan Althea merasakan aura yang mengganggu, seolah-olah sesuatu mengawasi mereka dari kegelapan. Mereka berjalan perlahan menuju ruangan tempat mereka menemukan catatan sebelumnya. Namun, kali ini, mereka menemukan sesuatu yang lebih mengejutkan: sebuah pintu rahasia yang tersembunyi di balik dinding.
“Lihat, ini!” seru Anya, menunjuk ke arah pintu itu.
Ciro dan Althea mendekati pintu yang terlihat sangat tua dan berkarat. Dengan sedikit usaha, mereka berhasil membukanya. Pintu itu mengeluarkan suara berderit, mengungkapkan tangga yang curam menuju ruang bawah tanah.
“Ini bisa jadi tempat Lina berada,” kata Ciro, matanya bersinar penuh semangat. “Ayo!”
Mereka turun dengan hati-hati, sinar senter menerangi dinding yang basah dan lembap. Ketika sampai di dasar tangga, mereka menemukan sebuah ruangan luas yang dipenuhi simbol-simbol aneh dan altar kecil di tengahnya. Althea merasa jantungnya berdegup kencang saat melihat sesuatu yang bergerak di sudut ruangan.
“Lina!” teriak Anya, melangkah maju dengan cepat.
Di sana, di sudut ruangan, Lina terikat di sebuah kursi, wajahnya pucat dan tertegun. “Althea! Anya! Ciro!” suaranya penuh harapan. “Kau datang!”
Althea bergegas menuju Lina dan berusaha melepaskannya. “Kita akan membawamu keluar dari sini!”
Namun, sebelum mereka bisa beraksi, sosok misterius muncul dari bayang-bayang. Pria itu mengenakan jubah hitam, wajahnya tersembunyi dalam kegelapan. “Kau tidak seharusnya datang ke sini,” katanya, suaranya dingin dan menakutkan.
“Siapa kau?” tanya Ciro, bersiap menghadapi ancaman.
“Aku penjaga rahasia ini,” pria itu menjawab, senyum sinis di wajahnya. “Kau telah memasuki wilayah yang tidak seharusnya kau jamah.”
Althea merasakan hawa dingin menyelimuti ruangan. “Lina tidak melakukan kesalahan. Lepaskan dia!”
“Dia terjebak dalam lingkaran ini,” kata pria itu, mengabaikan teriakan Althea. “Sekarang, kalian harus memilih: tetap di sini dan menjadi bagian dari misteri ini, atau pergi dan melupakan semua yang kalian lihat.”
Tanpa berpikir panjang, Althea, Ciro, dan Anya saling berpandangan. Mereka tidak bisa membiarkan Lina jatuh ke dalam kegelapan. “Kami tidak akan pergi!” Althea bersikeras.
Lima detik kemudian, suasana hening seolah waktu berhenti. Althea berusaha mendekati Lina dan menggenggam tangannya, saat itu juga, ruangan mulai bergetar, dinding bergetar seolah-olah ada kekuatan yang tidak terlihat menyerang mereka.
“Bersiaplah!” Ciro berteriak, mengangkat senter untuk menerangi area di sekeliling mereka.
Mereka menghadapi pria itu dengan keberanian, tetapi pada saat yang sama, Althea merasakan ada energi yang mengalir dalam dirinya. Sesuatu mulai bergetar dalam jiwanya, seolah-olah menghidupkan kembali kenangan yang telah lama hilang.
Dengan segenap kekuatan, Althea berseru, “Kami tidak takut pada kegelapan!”
Suara itu menggema di ruangan, menciptakan gelombang energi yang mengalir ke arah pria itu. Dia tampak terkejut, kegelapan yang menyelimuti ruangan mulai memudar. Dalam momen itu, Althea merasakan keterikatan yang dalam dengan Lina, seolah-olah mereka terhubung oleh benang merah yang tidak terlihat.
Kekuatan mereka bersatu, dan dalam sekejap, pria itu terlempar ke belakang, menghilang dalam kegelapan. Ruangan itu kembali tenang, dan Althea segera memotong tali yang mengikat Lina.
“Kau baik-baik saja?” tanya Anya dengan cemas.
Lina mengangguk, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. “Kau datang untuk menyelamatkanku!”
“Tidak ada yang akan membiarkanmu sendirian di sini,” kata Ciro, merangkulnya erat. “Mari kita keluar dari sini!”
Mereka berempat bergegas keluar dari ruang bawah tanah, tidak ingin menunggu lebih lama lagi. Saat mereka melangkah keluar dari pondok, angin malam berembus lembut, seolah menyambut mereka kembali ke dunia luar.
Pondok Tua kini terlihat berbeda, seakan tidak lagi menyimpan rahasia kelam yang selama ini tersembunyi. Althea menoleh ke belakang dan merasakan kedamaian. Mereka telah menghadapi kegelapan dan berhasil menemukan cahaya.
“Terima kasih, teman-teman. Kalian telah menyelamatkanku,” ujar Lina dengan haru, menatap sahabat-sahabatnya.
“Ini baru permulaan,” kata Althea, tersenyum lebar. “Kita masih memiliki banyak petualangan yang menanti!”
Dengan tawa dan rasa syukur yang melimpah, mereka melanjutkan perjalanan pulang, menyadari bahwa persahabatan mereka telah mengalahkan kegelapan dan memberikan kekuatan untuk menghadapi setiap misteri yang akan datang.
Malam itu, saat mereka meninggalkan Pondok Tua, Althea merasa seolah mereka telah melangkah ke dalam babak baru dalam hidup mereka, dengan lebih banyak petualangan dan cerita untuk dibagikan. Setiap jejak yang mereka tinggalkan di malam yang berangin itu menjadi saksi dari kekuatan cinta dan persahabatan yang tidak akan pernah pudar.
Jadi, begitulah kisah Althea, Ciro, dan Anya di Pondok Tua. Kadang, petualangan terbesar datang dari tempat yang paling tidak terduga, dan persahabatan sejati bisa menjadi cahaya di tengah kegelapan. Semoga kamu menikmati setiap detiknya, dan siapa tahu, mungkin ada jejak misteri lain yang menantimu di luar sana. Sampai jumpa di petualangan selanjutnya!