Daftar Isi
Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya pernah nggak sih kamu merasa ada sesuatu yang nggak beres di sekolah tapi nggak tahu gimana cara menghadapinya? Nah, di cerpen seru ini, kamu bakal diajak mengikuti petualangan Andhra, cowok gaul yang aktif dan punya banyak teman, saat dia mencoba mengungkap siapa sebenarnya yang menjebak sahabatnya dalam kasus kecurangan ujian.
Kisah ini nggak cuma penuh dengan emosi dan perjuangan, tapi juga sarat dengan makna tentang pentingnya keadilan di tengah berbagai tantangan. Yuk, simak cerita lengkapnya dan rasakan ketegangan setiap detiknya!
Andhra dan Perjuangan Keadilan di Sekolah
Senyum Andhra dan Kecurigaan Tak Terduga
Pagi itu, sinar matahari menembus jendela kelas XII IPA 3 dengan lembut. Para siswa sibuk mengobrol dan bercanda satu sama lain sebelum pelajaran dimulai. Suasana riuh penuh canda tawa, seperti hari-hari biasa di sekolah. Di pojok ruangan, duduk seorang pemuda yang menjadi pusat perhatian banyak teman di kelas. Dia adalah Andhra, sosok yang selalu energik, penuh senyum, dan tidak pernah absen dari percakapan hangat.
Andhra adalah tipikal remaja yang dikenal semua orang, bukan karena dia terlalu menonjol, tapi karena dia selalu ada untuk siapa saja yang membutuhkan. Sosok yang akrab, penuh kepercayaan diri, dan mudah bergaul. Dengan tubuh yang tegap, rambut yang sedikit berantakan namun tetap terlihat keren, serta senyum yang seolah-olah tak pernah pudar, Andhra memang tipe anak yang disukai banyak orang.
“Eh, Andhra! Besok sore futsal, jangan lupa ya! Tim kita lagi butuh kapten nih,” ujar Bagas, teman dekat Andhra yang selalu ceria. Bagas dikenal sebagai anak yang pendiam, tetapi rajin dan cerdas. Mereka berdua sering bermain futsal bersama, meski Bagas lebih senang di bagian belakang sebagai bek yang kokoh.
Andhra menepuk pundak Bagas sambil tersenyum lebar. “Tenang, bro. Gak bakal gue tinggalin. Kita hajar mereka besok!” ucapnya dengan semangat, mengundang gelak tawa dari teman-teman sekelas yang mendengar.
Namun, di balik keceriaan itu, hari ini sebenarnya bukan hari biasa. Ujian akhir matematika baru saja selesai kemarin, dan rumor tentang kecurangan sudah mulai menyebar di antara para siswa. Ada bisik-bisik tentang beberapa siswa yang dicurigai mencontek, dan salah satu nama yang mulai disebut-sebut adalah Bagas. Hal ini tentu saja mengejutkan banyak orang, termasuk Andhra. Bagaimana mungkin Bagas, yang terkenal jujur dan rajin, bisa tertuduh mencontek?
Bel masuk berbunyi, menandakan awal pelajaran. Namun, sebelum guru memasuki kelas, pintu terbuka dan seorang guru yang tidak asing lagi, Pak Firman, muncul dengan wajah serius. Guru matematika yang terkenal tegas ini langsung melangkah masuk tanpa basa-basi, membuat seluruh kelas mendadak sunyi.
“Saya ingin berbicara sebentar sebelum pelajaran dimulai,” kata Pak Firman dengan nada dingin. “Saya telah mengumpulkan hasil ujian kemarin, dan sayangnya, saya bisa menemukan indikasi yang kuat bahwa salah satu dari kalian mencontek.”
Seketika itu juga, kelas menjadi tegang. Bisik-bisik kecil mulai terdengar di antara siswa, namun Pak Firman melanjutkan dengan tegas, “Bagas, kamu yang saya maksud.”
Semua mata langsung tertuju pada Bagas yang duduk di sebelah Andhra. Wajah Bagas memucat, jelas ia tidak siap untuk menghadapi tuduhan seperti itu. Andhra, yang duduk di sebelahnya, merasakan kejanggalan dan kesedihan yang terpancar dari sahabatnya. Bagas adalah anak yang jujur. Dia tahu itu. Tidak ada sedikit pun keraguan dalam pikiran Andhra bahwa sahabatnya tidak bersalah.
“Pak, saya tidak mencontek,” jawab Bagas dengan suara rendah namun penuh keyakinan.
Pak Firman menatapnya tajam. “Saya melihat kamu menoleh ke arah siswa lain saat ujian berlangsung. Ada bukti kuat, dan saya sudah melaporkan hal ini ke kepala sekolah. Nilai kamu akan dibatalkan dan kamu tidak diizinkan untuk mengikuti ujian susulan.”
Perasaan cemas mulai menjalari seluruh kelas. Andhra bisa melihat teman-temannya saling bertukar pandang, tidak percaya atas tuduhan itu. Bagas hanya bisa menundukkan kepalanya, terlalu terkejut untuk berkata lebih banyak. Sementara itu, Andhra merasa darahnya mendidih. Ini bukan hanya soal nilai atau ujian, ini soal kehormatan temannya. Dan bagi Andhra, membiarkan ketidakadilan seperti ini terjadi adalah sesuatu yang tidak bisa diterima.
Setelah Pak Firman keluar, suasana kelas terasa sunyi. Beberapa siswa mulai berbisik, membicarakan apa yang baru saja terjadi. Namun, Andhra tetap fokus pada satu hal: Bagas. Ia harus melakukan sesuatu, tapi apa?
Dia tahu bahwa ini tidak akan mudah. Menghadapi seorang guru yang memiliki kekuasaan dan keyakinan tegas seperti Pak Firman membutuhkan keberanian dan strategi. Namun, Andhra juga tahu satu hal yang pasti—dia tidak akan membiarkan Bagas menghadapi ini sendirian. Ada sesuatu dalam dirinya yang mendorongnya untuk bertindak.
Sore harinya, setelah sekolah berakhir, Andhra menemui Bagas di lapangan sekolah. Temannya itu tampak terpukul. Tatapan matanya kosong, dan ia hanya duduk diam sambil memegang bola futsal, memandang lapangan yang sepi.
“Bro, gue tau lo gak mungkin bohong. Gue juga yakin lo gak bersalah,” kata Andhra, duduk di sebelah Bagas sambil menatapnya dengan serius.
Bagas menghela napas panjang, lalu berkata pelan, “Gue gak tau lagi, Ndra. Semua bukti kayaknya nunjukin kalo gue salah. Gue cuma nolak anak di belakang gue yang minta jawaban, tapi Pak Firman salah paham.”
Andhra merasakan hatinya bergetar. Ia tidak pernah melihat Bagas sekecil ini. Sosok yang biasanya penuh kepercayaan diri kini terlihat hancur oleh ketidakadilan. Ia merasa kemarahan dan kepedulian bercampur aduk dalam dirinya. “Gue gak bakal tinggal diam. Gue akan bantu lo ngebuktiin kalo lo gak bersalah,” jawab Andhra dengan tekad yang kuat.
Bagas menatapnya, ada secercah harapan di matanya, meski samar. “Lo yakin, Ndra? Ini gak gampang. Pak Firman itu guru, bro. Gue bisa kena masalah lebih besar kalo gue melawan.”
Andhra tersenyum tipis, namun tegas. “Gue yakin. Gue percaya kalo kebenaran selalu menang, dan gak peduli seberapa sulit, gue gak bakal biarin lo sendirian.”
Malam itu, Andhra tidak bisa tidur. Pikirannya dipenuhi oleh rencana-rencana yang belum jelas. Namun, satu hal yang pasti, ia akan mencari cara untuk membersihkan nama Bagas. Karena bagi Andhra, persahabatan tidak hanya tentang tawa, tapi juga tentang berdiri bersama ketika keadaan menjadi sulit.
Ketika Kebenaran Diuji
Malam itu, pikiran Andhra terus berputar. Setelah pertemuan singkat dengan Bagas di lapangan sekolah, hatinya semakin tergerak untuk mencari jalan keluar dari tuduhan yang menimpa sahabatnya. Meski semua bukti tampak menjurus pada kesalahan Bagas, Andhra tahu ada yang salah dalam tuduhan ini. Tapi bagaimana cara membuktikannya? Ia harus berpikir cerdas dan strategis.
Keesokan harinya, suasana di sekolah terasa berbeda. Andhra dapat merasakan tatapan-tatapan penuh bisik-bisik yang mengarah ke Bagas, yang berjalan dengan kepala tertunduk melewati koridor. Beberapa siswa berbisik-bisik, dan sebagian lagi memandang dengan rasa kasihan. Namun, di antara semua itu, satu hal tetap konstan: kepercayaan Andhra pada sahabatnya.
“Andhra, lo serius mau bantu gue?” tanya Bagas ketika mereka duduk di kantin sekolah pada jam istirahat. Wajahnya masih pucat, meskipun ada sedikit rasa terima kasih dalam sorot matanya. “Lo tahu kan ini bisa bikin lo kena sebuah masalah juga?”
Andhra menatap sahabatnya dalam-dalam, memastikan bahwa Bagas tahu betapa serius niatnya. “Gue gak peduli soal masalah, Gas. Yang penting, lo gak bersalah. Dan gue gak bakal tinggal diam.”
Mereka duduk dalam keheningan sejenak, sebelum akhirnya Andhra mulai berbicara lagi. “Gue punya ide, tapi juga ini gak bakal gampang.”
Bagas meneguk minumannya pelan, menunggu Andhra melanjutkan. “Apa yang lo pikirin?”
“Kita harus kumpulin bukti sendiri. Ada CCTV di ruang ujian, kan?” ujar Andhra sambil mencondongkan tubuhnya ke depan, berbicara dengan pelan agar tidak akan ada yang didengar orang lain. “Gue yakin, kalau kita bisa dapetin rekamannya, kita bakal bisa lihat kejadian yang sebenarnya. Itu bisa jadi bukti yang sangat kuat buat kita ngebuktiin lo gak bersalah.”
Bagas mengerutkan keningnya, ragu-ragu. “Lo yakin bahwa kita bisa dapetin akses ke CCTV? Itu urusan sekolah, bro.”
Andhra tahu itu bukan hal mudah. Sekolah pasti sangat ketat dalam hal keamanan dan akses terhadap rekaman CCTV. Namun, ia juga tahu bahwa tidak ada yang mustahil jika mereka bekerja keras untuk mencari keadilan. Lagi pula, rekaman itu adalah satu-satunya bukti yang bisa membersihkan nama Bagas.
“Gue tahu. Tapi ada cara. Gue bakal coba ngomong sama Satpam sekolah, Pak Darto. Dia biasanya jaga ruangan CCTV. Siapa tahu, kalau kita minta baik-baik dan jelasin situasinya, dia mau bantu.”
Bagas terdiam, mencerna rencana yang terdengar nekat itu. Di satu sisi, ia sangat ingin namanya dibersihkan. Namun, di sisi lain, ia tak mau Andhra terlibat terlalu jauh. Tapi melihat kesungguhan di mata Andhra, Bagas merasa sedikit lega ia tidak sendirian dalam menghadapi semua ini.
Sore itu, setelah jam sekolah usai, Andhra dan Bagas menuju pos Satpam di dekat gerbang sekolah. Suasana sepi, sebagian besar siswa sudah pulang. Dari kejauhan, mereka melihat Pak Darto duduk di kursinya, menikmati segelas teh hangat sambil menonton televisi kecil di pos jaga.
“Nah, ini dia, Gas,” bisik Andhra, mencoba menyusun kata-kata yang tepat sebelum mendekati Satpam yang sudah cukup akrab dengannya.
Mereka berjalan mendekat, dan ketika Pak Darto melihat keduanya, senyum ramah segera menyambut. “Eh, Andhra! Bagas! Tumben sore-sore masih di sekolah. Ada apa ini?”
Andhra langsung menjelaskan tujuan mereka. Ia berbicara dengan hati-hati, memastikan untuk tidak terdengar seperti mereka hendak menantang aturan sekolah. “Pak Darto, kami sebenarnya butuh bantuan kecil. Ini soal tuduhan terhadap Bagas di ujian kemarin. Bapak pasti dengar kan soal itu?”
Pak Darto mengangguk pelan, raut wajahnya berubah serius. “Iya, iya. Saya dengar. Kasihan si Bagas ini, padahal setahu saya dia anak baik.”
“Justru itu, Pak. Kami mau cari tahu kebenarannya. Kami yakin ada kesalahpahaman. Dan, kalau Bapak tidak keberatan, kami mau minta tolong lihat rekaman CCTV di ruang ujian waktu itu. Kami yakin, kalau kita lihat rekamannya, kebenaran bakal ketahuan,” kata Andhra dengan nada penuh harap.
Pak Darto terlihat ragu sejenak. Ia menghela napas panjang dan menatap keduanya bergantian. “Kalian tahu, rekaman CCTV itu bukan untuk umum. Sekolah punya aturannya sendiri soal siapa yang bisa mengakses rekaman.”
Andhra tidak menyerah. “Kami ngerti, Pak. Tapi ini buat keadilan. Kalau Bagas bener-bener gak bersalah, masa kami harus biarin dia dihukum tanpa alasan yang jelas?”
Pak Darto menggosok dagunya, berpikir keras. Baginya, Andhra dan Bagas bukan anak-anak nakal. Mereka selalu dikenal baik dan berprestasi. Meski ragu, ia juga merasakan bahwa ada sesuatu yang tidak adil di sini.
“Baiklah, saya akan bantu,” katanya akhirnya, meski dengan nada hati-hati. “Tapi kalian cuma bisa lihat, ya. Jangan macam-macam. Kalau ada yang tanya, saya gak tahu apa-apa.”
Wajah Andhra langsung berseri-seri. “Makasih banyak, Pak Darto. Kami janji gak bakal buat masalah.”
Pak Darto lalu membuka pintu kecil menuju ruang CCTV, di mana layar-layar kecil menampilkan berbagai sudut sekolah. Ia memutar kembali rekaman dari hari ujian matematika itu, mencari momen yang tepat ketika kejadian itu terjadi.
Saat rekaman diputar, Andhra dan Bagas menatap layar dengan cemas. Pada layar, terlihat para siswa mengerjakan ujian dengan serius. Sesekali, ada siswa yang menggerakkan kepala atau memperbaiki posisi duduk. Lalu, tibalah pada bagian yang mereka tunggu. Di layar, terlihat Bagas menoleh sebentar ke belakang, tetapi tidak melakukan apa-apa. Tidak ada tanda-tanda ia memberikan jawaban kepada siapa pun. Ternyata, Pak Firman telah salah paham.
“Lo lihat, Gas?” bisik Andhra sambil menunjuk layar. “Lo gak ngapa-ngapain.”
Bagas mengangguk pelan, perasaan lega mulai merayapi dadanya. “Bener, Ndra. Gue cuma ngeliat ke belakang sebentar, tapi gak ada niat buat nyontek.”
Pak Darto menonton rekaman itu bersama mereka, lalu mengangguk setuju. “Memang gak ada bukti jelas kalau kamu nyontek, Bagas. Saya bakal ngomong ke Pak Kepala Sekolah kalau kalian mau jelasin hal ini.”
Andhra tersenyum penuh kemenangan. “Makasih, Pak Darto. Ini bakal ngebantu banget.”
Malam itu, setelah pulang dari sekolah, Andhra merasakan beban di pundaknya sedikit berkurang. Ia tahu bahwa perjuangan belum selesai, tapi setidaknya mereka sudah punya bukti yang bisa membersihkan nama Bagas. Dan untuk itu, Andhra merasa senang karena usahanya mulai membuahkan hasil.
Namun, perjuangan ini belum selesai. Langkah berikutnya adalah bagaimana mereka bisa membawa bukti ini ke hadapan sekolah dan meyakinkan mereka bahwa Bagas tidak bersalah. Meski tantangan masih menunggu, Andhra tahu satu hal kebenaran tidak akan pernah bisa dibungkam, dan ia akan terus berjuang hingga keadilan benar-benar ditegakkan.
Langkah Awal untuk Kebenaran
Hari Senin tiba lebih cepat dari yang Andhra harapkan. Meskipun weekend berlalu tanpa gangguan, pikirannya terus dihantui oleh apa yang akan terjadi di sekolah hari itu. Langkah demi langkah yang sudah mereka susun terasa makin berat. Dia tahu bahwa membawa bukti dari rekaman CCTV ke hadapan Kepala Sekolah bukanlah langkah yang mudah. Namun, ini satu-satunya cara untuk membersihkan nama Bagas.
Begitu sampai di gerbang sekolah, suasana pagi seperti biasa, tetapi ada ketegangan di udara yang hanya Andhra dan Bagas bisa rasakan. Mereka bertemu di depan ruang OSIS seperti yang sudah dijanjikan. Bagas terlihat lebih baik dari sebelumnya, sedikit lega karena mereka kini memiliki bukti, tapi raut khawatir masih tampak di wajahnya.
“Kita siap, Ndra?” tanya Bagas sambil menggigit bibirnya. Matanya menatap ke arah pintu kantor guru, tempat di mana nasibnya akan ditentukan.
Andhra menepuk pundaknya dengan senyuman tipis. “Gue siap, lo juga harus siap. Ini gak bakal gampang, tapi kita punya bukti kuat. Jangan khawatir.”
Mereka berdua kemudian berjalan menuju ruang Kepala Sekolah, diiringi detak jantung yang kian cepat. Setibanya di sana, mereka mengetuk pintu dengan perlahan. Dari dalam, terdengar suara berat Pak Anwar, sang Kepala Sekolah, mempersilakan mereka masuk.
“Selamat pagi, Pak,” sapa Andhra dengan nada hormat ketika mereka melangkah ke dalam ruangan.
Pak Anwar mengangguk sambil melirik kedua siswa yang datang dengan wajah serius. Di sebelahnya, Pak Firman duduk dengan wajah dingin, tangannya terlipat di depan dada, menunggu penjelasan yang akan diberikan.
“Ada apa ini? Apa kalian datang untuk membela Bagas?” tanya Pak Anwar dengan nada tegas. “Saya dengar Bagas mau menyampaikan sesuatu tentang masalah ujiannya.”
Andhra mengangguk tegas. “Betul, Pak. Kami punya bukti yang ingin kami sampaikan untuk membuktikan bahwa Bagas tidak bersalah. Kami sudah melihat rekaman CCTV di ruang ujian, dan rekaman itu menunjukkan bahwa Bagas tidak melakukan kecurangan apa pun.”
Pak Firman mengangkat alisnya, tampak tidak terkesan. “CCTV? Bagaimana kalian bisa melihat rekaman itu?”
“Pak Darto membantu kami, Pak,” jawab Andhra jujur. “Kami merasa penting untuk menunjukkan kebenaran agar tidak ada tuduhan yang salah.”
Pak Anwar memandangi mereka dengan raut wajah yang sulit ditebak. “Baik, mana rekaman itu? Saya ingin melihatnya.”
Andhra mengeluarkan USB yang mereka dapatkan dari Pak Darto, lalu menyerahkannya ke Kepala Sekolah. Jantungnya berdegup kencang, rasa cemas dan harapan bercampur aduk dalam dirinya. Pak Anwar mengambil USB itu, menyambungkannya ke laptopnya, dan mulai memutar rekaman CCTV.
Ruangan itu hening saat rekaman diputar. Semua mata tertuju pada layar kecil di atas meja, menunjukkan detik-detik ketika ujian matematika berlangsung. Tampak para siswa fokus mengerjakan soal, termasuk Bagas. Mereka semua menunggu saat yang penting.
Lalu, pada detik yang krusial, terlihat Bagas menoleh ke belakang sebentar. Namun, seperti yang telah mereka lihat sebelumnya, tidak ada tindakan yang mencurigakan. Tidak ada isyarat, tidak ada contekan. Bagas hanya melihat sekeliling, lalu kembali fokus mengerjakan soal.
“Ini buktinya, Pak,” ujar Andhra. “Bagas tidak melakukan kecurangan. Dia hanya menoleh sebentar, tapi tidak memberikan jawaban atau melakukan hal yang melanggar aturan.”
Pak Firman, yang sejak tadi duduk diam, akhirnya angkat bicara. “Tapi ini tidak membuktikan bahwa dia tidak memberi contekan. Bisa saja dia memberi isyarat sebelum kamera menangkapnya.”
Andhra segera menjawab, meskipun hatinya terasa panas mendengar tuduhan tanpa dasar itu. “Tapi, Pak, rekaman ini menunjukkan keseluruhan waktu di ruang ujian. Jika ada isyarat atau tindakan curang, pasti sudah terlihat di rekaman.”
Pak Anwar terdiam, mencerna informasi yang baru saja dilihatnya. Sementara itu, Bagas tampak semakin tegang. Semua ini terasa seperti ujian yang lebih berat dari ujian matematika mana pun yang pernah mereka jalani.
“Baiklah,” ujar Pak Anwar akhirnya, dengan nada yang lebih lembut daripada sebelumnya. “Saya akan mempertimbangkan bukti ini. Tentu saja, kami perlu melakukan penyelidikan lebih lanjut. Tapi untuk sekarang, Bagas, kamu akan tetap diizinkan mengikuti ujian berikutnya. Kami tidak akan memberikan sanksi sampai penyelidikan selesai.”
Bagas menghela napas lega, meskipun keputusan ini belum sepenuhnya membebaskannya dari tuduhan. Tapi ini adalah langkah awal. Ia menoleh ke arah Andhra dan tersenyum tipis, mengucapkan terima kasih dalam hatinya. Andhra sudah melakukan segalanya untuk membantu, dan itu lebih dari yang ia bisa minta.
“Terima kasih, Pak,” kata Bagas dengan suara yang masih gemetar.
Setelah keluar dari ruangan Kepala Sekolah, mereka berdua berdiri di koridor yang sepi, merasakan beban yang sedikit berkurang meski masalah ini belum sepenuhnya selesai. Langkah kecil menuju kebenaran telah diambil, tapi masih ada jalan panjang di depan mereka.
“Kita belum selesai, Gas,” ujar Andhra sambil menepuk bahu sahabatnya. “Tapi setidaknya, lo bisa lanjut ujian.”
Bagas tersenyum lemah. “Gue gak tahu gimana caranya bilang ke kalian terima kasih, Ndra. Lo udah bantu gue banget.”
Andhra hanya tersenyum, menahan emosinya. Bagas adalah sahabatnya, dan baginya, membantu sahabat bukanlah sesuatu yang perlu dibalas dengan kata-kata. Itu adalah kewajiban moral yang lahir dari persahabatan yang tulus.
Hari itu, di tengah kegembiraan kecil yang mereka rasakan, Andhra mulai berpikir tentang langkah selanjutnya. Dia tahu bahwa mereka tidak bisa berhenti di sini. Meski rekaman CCTV sudah memperlihatkan bahwa Bagas tidak bersalah, ada hal yang masih mengganjal di benaknya.
“Lo pernah mikir nggak kalau mungkin ada orang yang sengaja buat nuduh lo?” tanya Andhra ketika mereka berjalan kembali menuju kelas.
Bagas menoleh dengan alis terangkat. “Maksud lo?”
Andhra berhenti sejenak, merenungkan teori yang semakin kuat dalam pikirannya. “Gue gak tahu pasti, tapi gue merasa ada yang gak beres. Kenapa cuma lo yang dituduh, padahal ada banyak siswa di ruang ujian itu? Gue rasa, ada yang gak suka sama lo dan sengaja nuduh lo buat jatuh.”
Bagas terdiam. Kemungkinan itu belum pernah terpikirkan olehnya sebelumnya, tapi sekarang, mendengar penjelasan Andhra, semuanya mulai masuk akal.
“Lo pikir ada orang yang mau ngejebak gue?” tanya Bagas dengan nada penuh kebingungan dan kecurigaan.
Andhra mengangguk pelan. “Mungkin aja. Gue cuma bisa bilang, kita harus cari tahu siapa yang sebenernya ngelakuin ini. Dan kalau bener ada orang yang mau ngejatuhin lo, kita bakal bongkar semua kebohongannya.”
Dengan semangat baru dan keyakinan yang lebih kuat, Andhra dan Bagas sepakat untuk tidak berhenti sampai di sini. Mereka akan terus berjuang, tidak hanya untuk membersihkan nama Bagas, tapi juga untuk mengungkap kebenaran sepenuhnya.
Mereka tahu bahwa jalan yang akan mereka tempuh penuh rintangan, tapi di dalam hati, keduanya merasa bahwa kebenaran pasti akan menang di akhir. Dan selama mereka berjuang bersama, tidak ada yang bisa menghentikan mereka.
Menguak Kebenaran di Balik Layar
Pagi yang cerah di hari Rabu tak membawa ketenangan bagi Andhra dan Bagas. Meskipun mereka sudah melangkah satu langkah lebih maju dengan bukti CCTV, masih ada sesuatu yang belum selesai. Ada kecurigaan yang menempel di kepala Andhra sejak pertemuan mereka dengan Kepala Sekolah. Bagaimana mungkin, di tengah sekian banyak siswa, hanya Bagas yang dituduh? Pasti ada yang lebih besar yang terjadi di balik layar.
Selama dua hari terakhir, mereka berusaha fokus pada ujian, tapi pikiran keduanya terus-menerus terganggu oleh teka-teki ini. Siapa yang bisa begitu tega? Andhra tak mau tinggal diam, dan hari itu, ketika lonceng istirahat berbunyi, dia memutuskan sudah saatnya mengambil tindakan.
“Gas, kita harus cari tahu siapa yang di balik semua ini,” kata Andhra dengan nada tegas. Mereka berdua duduk di bangku taman sekolah, sambil memandang sekeliling dengan waspada.
Bagas mengangguk setuju, meskipun tampak ragu. “Tapi gimana caranya? Kita gak punya petunjuk lagi selain rekaman CCTV itu.”
Andhra menyandarkan punggungnya ke bangku, sambil berpikir keras. “Gue ada ide. Gue inget sesuatu soal ruang CCTV, tapi gue belum yakin.”
“Apaan tuh?”
“Lo inget gak? Waktu kita minta rekaman CCTV, Pak Darto bilang kalau semua yang lewat ruang CCTV bisa kelihatan di monitor mereka. Artinya, siapa pun yang ngelaporin lo pasti pernah dateng ke situ, setidaknya buat ngecek kamera atau yang lainnya.”
Bagas menatap Andhra dengan tatapan bingung. “Lo pikir yang ngejebak gue ada hubungannya sama orang di ruang CCTV?”
Andhra mengangguk. “Bisa jadi. Kita gak tau pasti, tapi itu satu-satunya tempat yang terhubung langsung ke bukti penting yang bisa nentuin nasib lo. Dan, kita bisa mulai dari situ.”
Sore itu, setelah bel pulang berbunyi, Andhra dan Bagas memutuskan untuk pergi ke ruang CCTV lagi. Mereka ingin berbicara dengan Pak Darto dan mencari tahu siapa saja yang mungkin pernah mendatangi ruang itu beberapa hari sebelum tuduhan kecurangan muncul.
Saat mereka tiba di sana, Pak Darto sedang sibuk dengan beberapa monitor di depan meja kerjanya. Begitu melihat mereka, pria paruh baya itu menyambut dengan senyuman ramah.
“Eh, anak-anak yang kemarin. Ada apa lagi? Apa rekamannya belum cukup?” tanya Pak Darto dengan nada bersahabat.
Andhra maju selangkah, menatap Pak Darto dengan serius. “Pak, kami perlu bantuan lagi. Kami mau tahu, siapa saja yang pernah datang ke ruang CCTV ini beberapa hari sebelum Bagas dituduh nyontek.”
Pak Darto mengangkat alisnya, sedikit terkejut dengan permintaan itu. “Wah, kalian serius banget, ya? Memangnya ada masalah apa?”
“Kami cuma curiga, Pak,” jawab Andhra. “Kami merasa ada orang yang sengaja mau ngejebak Bagas, dan mungkin orang itu pernah datang ke sini buat nyari rekaman atau semacamnya.”
Pak Darto terdiam sejenak, berpikir. Setelah beberapa detik, dia menghela napas panjang dan berdiri dari kursinya. “Baiklah, saya akan lihat catatan pengunjung. Kami memang punya log siapa saja yang pernah datang ke sini dan minta akses ke CCTV.”
Pak Darto membuka sebuah laci di mejanya, mengeluarkan sebuah buku catatan tebal yang tampak sudah cukup usang. Dia membolak-balik halaman demi halaman dengan teliti, hingga akhirnya sampai pada tanggal yang dimaksud.
“Nah, ini dia,” kata Pak Darto sambil menunjuk nama-nama yang terdaftar. “Beberapa hari sebelum Bagas dituduh, ada tiga orang yang datang ke sini. yaitu Satu guru, satu petugas keamanan, dan satu lagi siswa.”
Andhra dan Bagas mendekat, memperhatikan daftar nama yang ditunjukkan oleh Pak Darto. Di sana tertulis:
Bu Irma, guru matematika.
Pak Hari, petugas keamanan sekolah.
Farel, siswa kelas sebelas.
“Farel?” Bagas membacanya dengan suara kecil. Nama itu langsung membuatnya teringat pada seseorang yang cukup populer di sekolah, meskipun ia sendiri tidak terlalu dekat dengannya. Farel adalah salah satu siswa yang terkenal cerdas dan aktif, bahkan sering bersaing dengan Bagas dalam hal prestasi akademik.
Andhra menatap nama itu dengan tajam. “Lo kenal Farel, Gas?”
Bagas mengangguk pelan. “Dia anak pintar. Sering banget dapet ranking atas, dan kita kadang-kadang barengan di kelas tambahan. Tapi gue gak nyangka kalau dia ada hubungannya sama masalah ini.”
Andhra tersenyum tipis, sedikit merasa lega karena mulai menemukan arah yang jelas. “Ini mulai masuk akal, Gas. Mungkin Farel ngelihat lo sebagai saingan dan mau ngejatuhin lo.”
“Tapi… dia sepertinya gak pernah menunjukkan tanda-tanda benci ke gue,” sahut Bagas, kebingungan. “Gue gak ngerti kenapa dia mau ngelakuin itu.”
Pak Darto, yang sejak tadi memperhatikan percakapan mereka, menepuk pundak Andhra pelan. “Kalian harus hati-hati. Ini baru dugaan, tapi jangan langsung menuduh sebelum kalian benar-benar punya bukti.”
Andhra mengangguk paham. “Terima kasih, Pak. Kami bakal cari tahu lebih lanjut.”
Mereka pun meninggalkan ruang CCTV dengan pikiran yang berputar-putar. Kecurigaan terhadap Farel makin kuat, tapi tanpa bukti langsung, mereka tidak bisa begitu saja menuduh. Andhra dan Bagas tahu, langkah selanjutnya adalah mencari tahu lebih dalam tentang apa yang Farel lakukan di hari-hari menjelang ujian.
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Andhra mulai mengamati Farel lebih dekat. Ia tak ingin membuat tuduhan tanpa dasar, tapi setiap kali melihat Farel berinteraksi dengan teman-teman atau guru, ada sesuatu yang terasa janggal. Farel selalu tersenyum ramah, tapi di balik senyuman itu, Andhra merasa ada yang disembunyikan.
Suatu hari, saat jam istirahat, Andhra sengaja mendekati kelompok teman-teman Farel yang sedang berkumpul di kantin. Ia berbicara dengan salah satu dari mereka, Daniel, yang kebetulan kenal baik dengan Bagas juga.
“Dan, lo pernah liat Farel belakangan ini gak? Gue denger dia sibuk banget,” tanya Andhra santai, seolah-olah hanya berbasa-basi.
Daniel mengangguk sambil mengunyah makanannya. “Iya, dia sibuk banget. Gue denger dia sering ke ruang guru buat bantuin proyek Bu Irma.”
“Proyek apa emang?”
“Katanya soal monitoring ujian. Farel kayaknya disuruh bantu ngecek kelengkapan soal atau apalah. Gue gak terlalu ngerti, tapi yang jelas dia banyak banget di ruang guru akhir-akhir ini.”
Mendengar penjelasan itu, jantung Andhra berdetak lebih cepat. Ruang guru, proyek monitoring ujian? Semua ini mulai terdengar terlalu mencurigakan.
“Thanks, Dan. Gue jadi penasaran aja,” ucap Andhra sambil berpura-pura tak acuh, tapi dalam hatinya, ia semakin yakin bahwa Farel terlibat.
Setelah berbicara dengan Daniel, Andhra segera menemui Bagas dan menceritakan apa yang didengarnya. Bagas, yang awalnya masih ragu, kini mulai memahami kenapa semua ini terjadi.
“Jadi, lo pikir Farel sengaja buat ngejebak gue supaya dia bisa dibilang unggul di ujian?” tanya Bagas dengan nada yang sedih.
Andhra menepuk pundaknya dengan pelan. “Gue gak yakin seratus persen, tapi semua petunjuk mengarah ke situ. Kita harus hati-hati dan coba kumpulin bukti yang lebih kuat.”
Hari itu, mereka berdua sepakat untuk menyelidiki lebih jauh tentang keterlibatan Farel. Mereka tahu bahwa ini bukanlah perjuangan yang mudah, tapi demi kebenaran dan keadilan, mereka siap menghadapi apa pun yang datang.
Dengan semangat baru, Andhra dan Bagas memulai misi mereka untuk menguak kebenaran. Dan di dalam hati, mereka tahu bahwa perjuangan ini baru saja dimulai.
Jadi, gimana semua gimana, seru kan kisah perjuangan Andhra dalam menguak misteri di sekolahnya? Cerpen ini ngajarin kita kalau keadilan nggak datang dengan mudah kadang butuh keberanian dan kerja keras buat melawan ketidakadilan, apalagi kalau itu menyangkut orang terdekat. Jadi, kalau kamu pernah merasa dicurangi atau nggak diperlakukan dengan adil, ingatlah, selalu ada jalan untuk mencari kebenaran, sama kayak Andhra. Semoga cerita ini bisa menginspirasi kamu buat nggak pernah menyerah menghadapi masalah, apapun bentuknya!