Daftar Isi
Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya siapa nih yang bilang popularitas di media sosial bisa bikin kamu bahagia? Cerita Catrin ini bisa jadi bukti kalau kadang dunia digital yang tanpa batas justru membuat kita merasa paling kesepian.
Dalam cerpen yang penuh emosi ini, Catrin, seorang remaja SMA yang aktif dan punya banyak teman, harus menghadapi kenyataan pahit tentang dirinya sendiri. Bagaimana Catrin berjuang untuk mencintai diri di tengah hiruk-pikuk dunia maya? Yuk, baca ceritanya dan temukan pelajaran berharga tentang cinta diri dan arti pertemanan yang sejati!
Kisah Catrin yang Terjebak dalam Kesepian
Senyum di Balik Keramaian
Catrin menatap bayangannya di cermin. Rambut panjangnya yang terurai dengan sempurna, sedikit ikal di ujungnya, mengalir lembut di bahunya. Riasan ringan yang ia poles di wajahnya tampak natural, seolah-olah kecantikan itu datang dengan mudah. Dia menarik napas dalam, memperbaiki seragam sekolahnya, lalu melemparkan senyum kecil kepada dirinya sendiri.
“Semangat, Cat!” bisiknya, seperti sebuah mantra yang harus ia ulangi setiap hari sebelum ia berangkat ke sekolah.
Langkah kaki Catrin menyusuri koridor sekolah, diiringi tawa dan suara riuh dari teman-temannya. Dari kejauhan, dia sudah melihat teman-teman dekatnya duduk di bangku taman sekolah. Catrin melambai, dan segera, semua mata tertuju padanya.
“Catrin! Sini duduk!” teriak Nindy, salah satu teman terbaiknya, dengan senyum cerah.
Catrin balas tersenyum, berjalan ke arah mereka dengan langkah ringan, meskipun ada beban di dadanya yang sulit dijelaskan. Dia mengambil tempat di antara teman-temannya, seolah-olah posisi itu memang ditakdirkan untuknya. Tawa dan obrolan segera mengelilinginya, melibatkan dirinya tanpa ia sadari.
Obrolan tentang rencana akhir pekan, gosip-gosip kecil, hingga cerita lucu dari pelajaran tadi mulai mendominasi suasana. Catrin tertawa bersama mereka, ikut berbicara, merespons setiap cerita yang dilemparkan kepadanya. Tapi jauh di dalam, ia merasa ada sesuatu yang hilang. Semuanya terasa seperti permainan, seperti adegan yang sudah diatur. Dia berperan sebagai gadis populer, yang selalu terlihat ceria dan bahagia, sementara perasaan aslinya terkubur jauh di dalam.
“Catrin, kamu ikutan ke pantai, kan?” suara Nindy yang tiba-tiba menarik perhatiannya.
“Oh, ke pantai ya? Kayaknya seru!” Catrin sambil mencoba tersenyum lebar, ia menyembunyikan sebuah keraguan yang sangat merayap di hatinya.
“Tentu aja seru! Kamu pasti datang, kan? Gak lengkap kalau gak ada kamu,” sambung Rina, teman lainnya yang selalu ceria.
Catrin tersenyum tipis dan mengangguk pelan. “Aku coba ya.”
Senyum itu lagi. Senyum yang selalu berhasil menutupi kegelisahan yang mulai tumbuh di dalam dirinya. Catrin merasa aneh, dia tidak benar-benar tertarik dengan rencana itu. Namun, bagaimana mungkin ia menolak? Bagaimana mungkin ia membiarkan teman-temannya tahu bahwa di balik senyumannya, ada rasa sepi yang selalu menghantuinya?
Selama ini, Catrin selalu dianggap sebagai gadis yang sempurna. Popularitasnya di sekolah bukanlah sesuatu yang ia kejar, namun begitu mudah datang padanya. Dia aktif di berbagai kegiatan, dari ekstrakurikuler seni hingga klub debat. Prestasi akademiknya juga selalu terjaga dengan baik. Teman-temannya sering berkata bahwa Catrin adalah orang yang beruntung memiliki segalanya. Namun, kenyataan yang dirasakannya tidaklah sesederhana itu.
Setelah percakapan singkat itu, Catrin merasa semakin tidak nyaman. Dia memperhatikan teman-temannya yang begitu riang berbicara tentang akhir pekan, seolah-olah hidup mereka sempurna. Dia seharusnya bahagia, seharusnya menikmati saat-saat ini. Tapi mengapa, setiap kali dia tertawa, hatinya terasa kosong?
“Catrin, kamu baik-baik aja?” tanya Nindy tiba-tiba, mungkin bisa memperhatikan tatapan kosong Catrin yang sesaat hilang di antara riuhnya percakapan.
Catrin tersentak. “Eh? Iya, aku baik-baik aja kok,” jawabnya cepat, menarik senyumnya lagi, kali ini lebih meyakinkan.
Namun di dalam hatinya, dia bertanya-tanya apakah benar dirinya baik-baik saja. Setiap hari ia memaksa dirinya untuk tampil sempurna, untuk menjaga citra sebagai gadis yang selalu bahagia dan penuh energi. Tidak ada yang tahu bahwa ada malam-malam di mana Catrin menatap kosong langit-langit kamar, merasakan kesepian yang begitu dalam, meskipun dikelilingi oleh banyak orang.
Sepulang sekolah, Catrin berjalan sendirian di trotoar yang biasa ia lewati. Sinar matahari sore yang seharusnya hangat justru terasa dingin di kulitnya. Di tangannya, ponsel terus bergetar dengan pesan-pesan dari teman-teman yang terus membicarakan rencana mereka. Seharusnya dia senang mendapat perhatian sebanyak itu, tapi rasanya semakin membuatnya tertekan.
Ketika tiba di rumah, Catrin langsung menuju kamar dan mengunci pintu. Dia meletakkan tas sekolahnya di sudut dan berbaring di tempat tidur. Matanya tertuju pada langit-langit, pikiran-pikirannya melayang tanpa arah. Dia mulai berpikir tentang dunia di sekelilingnya dunia yang seharusnya tanpa batas, di mana setiap orang terhubung melalui media sosial, di mana tidak ada alasan untuk merasa kesepian. Tapi mengapa ia merasa sebaliknya?
Catrin membuka ponselnya, melihat ratusan foto-foto di Instagram yang memperlihatkan senyumannya bersama teman-teman. Setiap gambar menunjukkan kehidupan yang sempurna. Catrin tersenyum dalam setiap foto, seolah hidupnya dipenuhi kebahagiaan. Namun kenyataan yang dia rasakan tak sama. Setiap senyuman itu hanya menambah rasa terasing yang terus tumbuh di hatinya.
Air mata mulai menggenang di sudut matanya. “Kenapa semuanya terasa kosong?” bisiknya pada dirinya sendiri. Tangannya terkulai lemas, ponselnya jatuh ke tempat tidur.
Catrin tahu bahwa dia tidak bisa menunjukkan kelemahannya di hadapan teman-temannya. Dunia yang mereka tinggali menuntut kesempurnaan, menuntut kebahagiaan yang konstan. Tidak ada tempat untuk kesedihan, tidak ada ruang untuk merasa tersesat. Namun, dia merasa semakin jauh dari dirinya sendiri. Dunia yang tampak luas dan tanpa batas ini justru terasa sempit dan mengekang.
Catrin berbalik memeluk bantal, air matanya kini mengalir deras tanpa bisa dihentikan. Ini bukan pertama kalinya dia menangis sendirian di kamarnya. Tapi setiap kali, perasaan itu semakin menyakitkan. Dia hanya berharap seseorang bisa melihat melalui senyumnya, bahwa ada sesuatu yang salah, bahwa dia tidak sekuat dan sebahagia yang mereka kira.
Di balik segala keriuhan dan popularitasnya, Catrin hanyalah seorang gadis yang terjebak dalam kesepiannya sendiri, dalam dunia tanpa batas yang justru membuatnya merasa terasing.
Dunia Tanpa Suara
Catrin terbangun dengan mata yang berat. Sisa-sisa air mata masih terasa di sudut matanya, dan bantalnya basah oleh tangisan malam yang panjang. Dia menarik napas panjang, mencoba mengusir rasa sesak yang masih menghimpit dadanya. Namun, seperti biasa, hari harus tetap dijalani. Ia kembali mengenakan topeng senyum yang selalu ia andalkan.
Pagi itu, suasana di rumah Catrin sunyi. Kedua orangtuanya sudah berangkat kerja sebelum matahari benar-benar terbit. Rumah yang luas itu selalu terasa dingin dan sepi. Setiap pagi, dia duduk di meja makan, menikmati sarapan seorang diri. Biasanya, dia menyalakan musik atau video dari ponselnya untuk mengisi keheningan, namun pagi ini, dia hanya ingin diam. Bahkan suara yang biasa menemaninya terasa mengganggu.
Di sekolah, keramaian yang sudah menunggunya tidak memberikan kelegaan. Teman-temannya langsung mengerumuni Catrin begitu dia melangkah masuk ke kelas, dengan canda tawa yang melimpah. Semua orang tampak bahagia. Mereka berbicara tentang rencana akhir pekan di pantai, sementara Catrin hanya tersenyum samar dan mengangguk.
“Cat, kamu pasti ikut, kan?” tanya Nindy lagi, antusias seperti biasanya. “Gak mungkin kita pergi tanpa kamu!”
Catrin ingin mengatakan “tidak,” ingin mengatakan bahwa dia butuh waktu untuk dirinya sendiri. Tapi dia tahu jawabannya sudah pasti. Setiap orang menunggu dia untuk ada di sana, menjadi pusat perhatian, menjadi gadis yang selalu ceria dan penuh energi.
“Iya, tentu,” jawabnya dengan senyum yang terlatih.
Namun, setiap kata yang keluar dari mulutnya itu terasa sangat hampa. Sejak pagi, dunia di sekeliling Catrin terasa lebih sunyi dari biasanya. Suara tawa, obrolan, dan bahkan teriakan-teriakan ceria teman-temannya terdengar jauh, seolah-olah Catrin berada dalam gelembung kaca yang memisahkannya dari realitas di sekitarnya. Dunia luar yang selalu ramai itu kini berubah menjadi dunia tanpa suara bagi Catrin.
Di dalam kelas, guru menjelaskan pelajaran sejarah dengan penuh semangat, tapi semua itu seolah hanya bergema di kepala Catrin tanpa arti. Matanya tertuju pada papan tulis, tetapi pikirannya melayang jauh. Tadi malam, air mata yang turun membuatnya sadar bahwa selama ini dia hidup dengan dua wajah: satu wajah untuk dunia luar yang penuh senyum, dan wajah lain yang ia sembunyikan di dalam hatinya, wajah yang penuh dengan keraguan, kesepian, dan rasa hampa.
Catrin mencoba untuk fokus, tapi tak bisa. Kepalanya terasa penuh, seolah-olah ada kabut tebal yang menutupi setiap pikirannya. Ketika jam istirahat tiba, dia memutuskan untuk pergi ke tempat yang selalu memberinya sedikit ketenangan taman kecil di belakang sekolah. Tempat itu hampir selalu sepi, jarang ada siswa yang datang ke sana kecuali saat istirahat makan siang yang lebih panjang.
Setelah duduk di bangku taman yang sudah mulai berlumut, Catrin menatap langit biru di atasnya. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya, membawa aroma bunga dan dedaunan kering. Di tempat ini, jauh dari hiruk-pikuk sekolah, Catrin bisa sejenak melepaskan dirinya dari peran yang ia mainkan setiap hari. Di sini, dia tidak perlu tersenyum. Dia tidak perlu menjadi gadis sempurna.
Namun, bahkan di tempat yang sunyi ini, suara batinnya tidak berhenti bergema. Rasa kesepiannya semakin jelas terasa di tengah keheningan taman. Catrin menunduk, tangannya bermain-main dengan ujung rok seragamnya, pikirannya penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab.
Kenapa semua ini terasa begitu sulit? Kenapa di dunia yang begitu luas, yang terhubung dengan teknologi, media sosial, dan ribuan pesan dari teman-teman, ia justru merasa semakin terasing?
Dia teringat obrolan di grup WhatsApp semalam. Teman-temannya terus menerus berbagi meme lucu, merencanakan hal-hal yang akan mereka lakukan di pantai, tanpa henti. Catrin bahkan ikut tertawa dalam percakapan itu. Tapi ketika ponselnya kembali hening, hatinya juga ikut tenggelam dalam kesunyian.
Pikirannya beralih ke keluarganya. Orangtuanya selalu sibuk, mereka sering bepergian atau bekerja lembur. Komunikasi mereka terbatas pada percakapan singkat di waktu makan malam, ketika mereka membicarakan hal-hal praktis tanpa pernah menyentuh perasaan Catrin yang sesungguhnya. Catrin tahu mereka mencintainya, tapi rasa cinta itu terasa jauh, seolah-olah terhalang oleh jarak yang tak terlihat.
Dia menarik napas dalam, mencoba menenangkan dirinya. Namun semakin dia berpikir, semakin besar kesedihan yang ia rasakan. Catrin tahu dia harus melawan perasaan ini, harus menemukan cara untuk keluar dari perangkap kesepian yang semakin menjeratnya. Tapi bagaimana caranya? Setiap kali dia mencoba, dia merasa semakin tenggelam dalam dunia yang tanpa suara, dunia yang tak pernah benar-benar memahami apa yang dia rasakan.
“Catrin?” Sebuah suara tiba-tiba mengejutkannya. Nindy berdiri di ujung taman, wajahnya terlihat khawatir. “Kamu ngapain di sini sendirian?”
Catrin mengerjap, mencoba mengusir rasa terkejutnya. Dia segera mengganti ekspresinya menjadi senyum kecil, meskipun hati kecilnya menjerit. “Ah, nggak apa-apa, cuma lagi pengen cari udara yang segar aja,” jawabnya santai.
Nindy berjalan mendekat dan duduk di samping Catrin. “Kamu kelihatan beda hari ini. Ada yang mau kamu ceritain?”
Untuk sesaat, Catrin hampir tergoda untuk menceritakan semuanya—kesepiannya, rasa terasingnya, perasaannya yang hampa meskipun dikelilingi oleh banyak orang. Tapi kemudian dia mengurungkan niatnya. Bagaimana dia bisa menjelaskan sesuatu yang bahkan sulit ia pahami sendiri? Bagaimana mungkin Nindy, yang selalu ceria dan penuh energi, bisa mengerti bahwa Catrin yang mereka lihat selama ini hanyalah sebuah topeng?
“Nggak kok, aku baik-baik aja,” jawab Catrin, suaranya pelan namun tegas.
Nindy menatapnya sebentar, seolah ia mencoba membaca perasaan di balik senyuman Catrin, tapi akhirnya dia hanya cuma bisa mengangguk. “Oke. Tapi kalau kamu butuh seseorang buat dengerin, kamu tahu kan, aku selalu ada?”
Catrin hanya tersenyum dan mengangguk. “Iya, aku tahu.”
Setelah Nindy pergi, Catrin kembali menatap langit. Angin sore masih berhembus lembut, membawa kedamaian yang semu. Dia tahu dia tidak bisa terus bersembunyi dari perasaannya, tapi dia juga tidak tahu harus bagaimana menghadapi semuanya. Dunia yang tanpa batas ini semakin membuatnya merasa terasing, semakin jauh dari dirinya sendiri. Meski berada di tengah keramaian, Catrin terus hidup dalam dunia tanpa suara, di mana hanya dirinya yang bisa mendengar jeritan kesepian di hatinya.
Dan di situ, di taman yang sepi itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Catrin merasa benar-benar sendiri.
Hanya Suara Hati yang Tersisa
Catrin kembali ke rumah dengan perasaan yang campur aduk. Sepanjang perjalanan pulang, pikirannya dipenuhi oleh momen di taman bersama Nindy. Kalimat sederhana yang temannya ucapkan, “Aku selalu ada,” terus terngiang di telinganya. Meski ia menghargai perhatian Nindy, perasaan terasingnya justru semakin dalam. Rasanya seperti terjebak dalam lubang yang semakin gelap, dan ia tidak tahu cara memanjat keluar. Nindy memang berusaha, tapi bagaimana mungkin seseorang mengerti apa yang bahkan Catrin sendiri tak mampu ungkapkan?
Setibanya di rumah, Catrin mendapati rumahnya kosong lagi, persis seperti yang ia duga. Orang tuanya pasti masih bekerja. Tidak ada suara tawa atau obrolan hangat, hanya sunyi yang menekan. Catrin menaruh tas sekolahnya di kursi ruang tamu dan menuju kamarnya. Dia berbaring di tempat tidur, memandangi langit-langit yang putih. Sebuah keheningan menyelimuti kamar, persis seperti yang terjadi di dalam dirinya.
Ia mengeluarkan ponsel dari tas dan membuka aplikasi media sosial, tempat yang biasanya penuh dengan kebisingan digital foto-foto, status-status lucu, obrolan grup yang tak pernah berhenti. Namun kali ini, jari-jarinya hanya bergerak lamban, menelusuri linimasa tanpa benar-benar melihat apa yang ada di sana. Semua itu terasa hampa.
Hatinya mendadak terasa sesak. Meski di layar ponselnya ada ratusan teman yang tampak begitu dekat, yang selalu memberinya like dan komentar, kenyataannya semua itu tidak berarti apa-apa. Di dalam dunia maya, ia merasa seperti bintang, semua orang mengenalnya, tapi mengapa di dunia nyata ia merasa begitu sendirian? Pertanyaan itu menghantui pikirannya, memukul setiap dinding emosinya yang mulai runtuh satu per satu.
Malam itu, setelah menyelesaikan tugas-tugas sekolah yang terasa seperti beban tambahan, Catrin duduk di meja belajar, menatap cermin yang tergantung di dinding. Bayangan wajahnya terlihat jelas, tapi ada sesuatu yang terasa salah. Ada sejumput kegelapan di balik senyum yang biasa ia paksakan. Mata yang terlihat jernih bagi orang lain, ternyata menyimpan kebingungan dan kesedihan yang dalam.
“Kamu ini siapa sebenarnya, Cat?” bisiknya pada diri sendiri. Suaranya terdengar serak dan bergetar.
Pikirannya kembali pada masa-masa di awal SMA, ketika ia begitu bersemangat menghadapi dunia. Waktu itu, hidup terasa mudah, penuh dengan tawa dan rencana-rencana yang menyenangkan. Popularitas datang tanpa usaha, dan Catrin menjadi pusat perhatian di mana pun ia berada. Namun, seiring berjalannya waktu, kelelahan mulai menyusup. Ia terus-menerus berusaha menjadi ‘Catrin yang sempurna’, gadis yang semua orang harapkan. Tapi siapa yang tahu bahwa di dalam dirinya, ada suara-suara yang berbisik, memberontak, mencari arti dari semua ini?
Catrin menutup mata, mencoba menghalau air mata yang mulai menggenang. Tapi semakin ia berusaha menahan, semakin keras isak tangisnya meledak. Di malam yang sunyi itu, Catrin akhirnya membiarkan dirinya menangis. Ia menangisi semua rasa sakit yang ia simpan rapat-rapat, semua senyum palsu yang ia berikan, semua tawa yang tidak berasal dari kebahagiaan sejati. Di balik semua topeng yang ia kenakan, ada Catrin yang terluka, merasa sendirian meski dikelilingi begitu banyak orang.
Saat air matanya mengering, Catrin merasa hampa. Dunia yang tanpa batas ini ternyata adalah jebakan yang tak terlihat. Semua orang terhubung, tapi semakin terhubung, semakin ia merasa hilang di dalam kerumunan. Seperti berteriak di tengah pesta yang bising, tapi tidak ada yang mendengar. Dunia tanpa batas ini adalah dunia yang tanpa suara untuknya.
Keesokan harinya, Catrin terbangun dengan mata yang sembap, tapi hatinya sedikit lebih tenang. Ia tahu bahwa rasa kesepiannya belum pergi, tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa tidak perlu menyembunyikan air mata itu dari dirinya sendiri. Ia mencoba menata diri di depan cermin, namun senyuman yang biasa ia paksakan kali ini tidak muncul. Sebagai gantinya, Catrin hanya membiarkan dirinya terlihat apa adanya tanpa riasan, tanpa kepalsuan.
Ketika sampai di sekolah, teman-temannya, seperti biasa, segera mengerubunginya. Mereka berbicara tentang rencana-rencana baru, tentang pesta yang akan datang, namun Catrin hanya mendengarkan tanpa benar-benar terlibat. Sore itu, setelah pelajaran selesai, Catrin memutuskan untuk pergi ke tempat yang selalu memberinya sedikit kedamaian taman belakang sekolah.
Ia duduk di bangku yang sama, merasakan angin lembut menyentuh kulitnya. Namun kali ini, ia tidak sendirian. Dari kejauhan, ia melihat Nindy datang mendekat. Hatinya sedikit berdebar. Ia tahu percakapan ini tak bisa dihindari lagi.
“Kamu lagi-lagi di sini sendiri,” kata Nindy, duduk di samping Catrin tanpa menunggu undangan. Matanya meneliti wajah Catrin dengan cermat. “Kamu benar-benar nggak kelihatan seperti biasanya.”
Catrin menarik napas dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Ini adalah saat yang tepat, mungkin satu-satunya saat di mana ia bisa mengungkapkan semua yang selama ini terpendam.
“Aku lelah, Nin,” suara Catrin terdengar lemah, tapi ada kejujuran yang menyelimutinya. “Lelah pura-pura bahagia. Lelah mencoba jadi orang yang semua orang harapkan.”
Nindy terdiam, memberi Catrin ruang untuk melanjutkan. Catrin merasa lega bahwa sahabatnya tidak langsung menyerang dengan pertanyaan atau saran yang klise.
“Aku merasa kesepian,” lanjutnya, air mata mulai menggenang di sudut matanya. “Semua orang mengira aku selalu bahagia, selalu ada di puncak dunia. Tapi kenyataannya… aku nggak pernah merasa lebih sendirian dari ini.”
Nindy memandangnya, kali ini dengan tatapan yang penuh pengertian. Dia meraih tangan Catrin, menggenggamnya erat. “Kenapa kamu nggak pernah bilang? Aku selalu di sini buat kamu, Cat.”
“Karena aku nggak tahu harus mulai dari mana,” Catrin mengakui. “Aku merasa seperti terjebak dalam dunia yang nggak ada batasnya. Semua orang ada di sana, semua orang terhubung, tapi aku… aku justru merasa semakin jauh dari semuanya.”
Kata-kata itu keluar dengan mudah, seolah-olah selama ini hanya menunggu momen yang tepat untuk terucap. Catrin tidak pernah menyangka betapa melegakan rasanya mengatakan apa yang selama ini ia simpan.
Nindy menghela napas panjang. “Kamu tahu Cat, bahwa kamu nggak harus selalu jadi yang paling kuat, yang ceria. Kalau kamu merasa sedih, ya, nggak apa-apa. Kita semua manusia. Dan kamu berhak untuk istirahat.”
Air mata Catrin tak lagi bisa dibendung. Kali ini, bukan tangisan kesedihan, tapi tangisan karena merasa dimengerti. Untuk pertama kalinya, ia merasakan kehangatan dari perhatian seseorang. Perasaan bahwa dia tidak sepenuhnya sendirian di dunia ini. Bahwa meskipun dunia ini tanpa batas, masih ada orang-orang yang benar-benar peduli.
Di tengah taman yang sunyi itu, dengan sahabat di sampingnya, Catrin akhirnya merasa bahwa mungkin masih ada harapan. Bahwa di balik dunia tanpa batas yang sering kali membuatnya merasa terasing, masih ada suara hati yang bisa didengar. Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Catrin merasa bahwa perjuangannya untuk menemukan diri sendiri tidak harus ia lalui sendirian.
Cahaya di Ujung Jalan yang Panjang
Setelah percakapan yang penuh emosi di taman belakang sekolah, hubungan Catrin dan Nindy menjadi lebih dalam daripada sebelumnya. Ada kelegaan dalam hati Catrin. Namun, meski air mata dan kata-kata sudah terungkap, perjuangan batinnya belum selesai. Rasa kesepian yang begitu kuat, walaupun sedikit berkurang, masih menghantui hari-harinya.
Hari-hari berikutnya, Catrin berusaha menjalani rutinitas sekolah seperti biasa, tetapi kini ada perasaan yang berbeda. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tidak lagi merasa harus menyembunyikan perasaannya dari Nindy. Di setiap istirahat atau saat mereka berjalan pulang bersama, Catrin berbicara lebih terbuka, meskipun tidak selalu tentang hal-hal yang berat. Kadang-kadang mereka hanya tertawa, membahas hal-hal sepele, tapi itu cukup untuk mengingatkan Catrin bahwa ia tidak sepenuhnya sendiri.
Namun, di balik tawa dan percakapan ringan itu, ada rasa takut yang mendalam. Takut bahwa suatu hari semua ini akan hilang. Bahwa kejujuran yang ia bagikan pada Nindy akan menjadi bumerang, membuat sahabatnya merasa terbebani. Catrin tak ingin membuat Nindy khawatir atau merasa bertanggung jawab atas kebahagiaannya. Di malam-malam sunyi, rasa khawatir itu sering kali muncul, memeluknya erat, membuat napasnya terasa berat.
Satu malam, Catrin kembali merasa dikepung oleh kesunyian yang menusuk. Orang tuanya pulang terlambat lagi, sibuk dengan pekerjaan mereka. Ia duduk di meja belajarnya, menatap tumpukan buku pelajaran yang belum tersentuh. Meski tugas-tugas sekolah menumpuk, otaknya terasa terlalu lelah untuk berpikir. Di layar ponselnya, notifikasi dari media sosial terus bermunculan, tapi kali ini, ia tidak tergoda untuk membukanya.
Tatapannya jatuh pada kotak kecil yang terletak di sudut meja sebuah kotak tua berwarna biru dengan hiasan bunga yang mulai pudar. Itu adalah kotak kenangan, tempat Catrin menyimpan benda-benda yang penuh dengan memori masa kecilnya. Ia menggeser kursinya mendekat dan perlahan membuka tutup kotak tersebut. Di dalamnya, ada foto-foto lama, surat-surat kecil, dan benda-benda kecil yang tak berharga tapi sangat berarti baginya.
Ia mengambil sebuah foto yang memperlihatkan dirinya saat masih kecil, duduk di pangkuan ibunya, dengan senyum lebar menghiasi wajah keduanya. Kenangan masa itu begitu jauh dari kenyataan sekarang. Dulu, segalanya terasa begitu sederhana. Dunia terbatas hanya pada keluarganya, teman-teman di lingkungan sekitar, dan sekolah dasar yang kecil. Namun sekarang, dunia tanpa batas ini membuatnya merasa kehilangan arah. Teknologi telah menghubungkan semua orang, tapi mengapa ia justru merasa semakin jauh dari dirinya sendiri?
Malam itu, saat ia terdiam dengan foto itu di tangan, sebuah keputusan mulai terbentuk di dalam hatinya. Catrin menyadari bahwa ia tak bisa terus-menerus lari dari kenyataan. Ia tak bisa berharap orang lain selalu memahami apa yang ia rasakan jika ia sendiri tak berusaha mengerti. Mungkin, bagian dari kesedihannya bukan hanya tentang dunia di luar sana, tapi juga tentang bagaimana ia memandang dirinya sendiri.
Keesokan harinya di sekolah, Nindy menyadari ada yang berbeda dari sikap Catrin. Meskipun masih ada senyum di wajahnya, ada sesuatu yang lebih dalam, lebih kuat dalam tatapan matanya. Saat mereka duduk bersama di kantin, Nindy memandang sahabatnya dengan penuh rasa ingin tahu.
“Kamu kelihatan… beda,” kata Nindy pelan. “Lebih tenang, mungkin?”
Catrin tersenyum kecil. “Aku cuma berpikir banyak berbagai hal akhir-akhir ini, Nin. Tentang semuanya. Tentang hidupku. Tentang kenapa aku merasa seperti ini.”
Nindy menaruh sandwich-nya dan memiringkan kepala, menunggu Catrin melanjutkan.
“Aku merasa terlalu lama menggantungkan kebahagiaanku pada hal-hal yang nggak penting,” Catrin menghela napas panjang, menatap jauh ke depan. “Selama ini aku fokus banget sama apa yang orang lain pikirkan tentang aku. Tentang seberapa populer aku di media sosial. Tentang berapa banyak orang yang menyukai fotoku, atau berapa banyak teman yang selalu ada di sekitar. Tapi, Nin… aku lupa satu hal penting.”
“Apa itu?” tanya Nindy, suara lembutnya penuh perhatian.
“Aku lupa buat suka sama diri aku sendiri.”
Kata-kata itu terasa begitu berat keluar dari mulut Catrin, tapi setelah terucap, beban di pundaknya sedikit terangkat. Nindy menatapnya, mata temannya berkaca-kaca, tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya meraih tangan Catrin dan menggenggamnya erat.
“Mungkin inilah yang selama ini bikin aku merasa kosong,” lanjut Catrin, suaranya bergetar. “Aku terlalu sibuk menjadi seseorang yang orang lain harapkan, sampai aku lupa siapa aku sebenarnya. Aku cuma… aku ingin belajar menerima diriku, Nin. Dengan segala kekuranganku. Dan aku tahu itu nggak akan mudah.”
Nindy mengangguk pelan. “Aku selalu bilang kan, bahwa aku akan selalu ada buat kamu. Kamu nggak harus menjalani ini sendirian.”
Catrin tersenyum, tapi kali ini senyumnya bukan untuk menyembunyikan kesedihan. Itu adalah senyum yang tulus, senyum yang datang dari hati yang mulai sembuh.
Hari-hari berikutnya, meski perjuangan Catrin belum selesai, ia mulai merasa sedikit lebih kuat. Setiap kali ia merasa terpuruk, ia mencoba mengingat percakapan dengan Nindy dan keputusannya untuk mencintai dirinya sendiri. Ia mulai mengurangi waktunya di media sosial, menghindari dunia yang tak terbatas itu dan kembali ke hal-hal kecil yang membuatnya bahagia. Seperti membaca buku, menulis di jurnal, atau sekadar berjalan-jalan di sekitar rumahnya.
Perlahan, hubungan Catrin dengan orang-orang di sekitarnya mulai berubah. Ia tidak lagi mencari validasi dari orang-orang yang tidak mengenalnya dengan baik. Ia mulai lebih selektif dalam memilih siapa yang benar-benar berarti dalam hidupnya. Meski masih sulit, ia berusaha untuk tidak merasa bersalah ketika memilih diri sendiri di atas ekspektasi orang lain.
Di akhir semester, ketika sekolah mengadakan acara perpisahan kecil-kecilan untuk merayakan pencapaian siswa-siswanya, Catrin berdiri di antara teman-temannya dengan perasaan yang berbeda. Biasanya, momen-momen seperti ini adalah saat di mana ia akan merasakan kekosongan yang dalam, tapi kali ini, ada rasa syukur yang mengisi hatinya. Ia memandang sekeliling dan menyadari bahwa, meski dunia di sekelilingnya luas dan penuh kebisingan, di dalam hatinya kini ada ketenangan yang telah lama ia cari.
Catrin melihat Nindy di ujung ruangan, tersenyum kepadanya. Ada cahaya lembut di mata sahabatnya yang mengingatkan Catrin bahwa ia tidak lagi sendiri. Dan meski perjalanan untuk mencintai diri sendiri masih panjang, ia kini tahu bahwa ia mampu melaluinya.
Malam itu, saat acara perpisahan berakhir, Catrin berdiri di luar sekolah, menatap bintang-bintang di langit. Dunia memang tak terbatas, pikirnya, tapi itu tidak berarti ia harus tersesat di dalamnya. Dengan setiap langkah kecil yang ia ambil, ia semakin mendekati versi dirinya yang paling sejati dan itu adalah perjalanan terpenting dari semuanya.
Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian ynag bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Cerita Catrin mengajarkan kita semua bahwa di balik gemerlap dunia digital, ada hal yang lebih penting: mencintai diri sendiri. Dunia tanpa batas bisa membuat kita merasa tersesat, tapi ketika kita mulai mengenali siapa diri kita sebenarnya, kita akan menemukan arah yang jelas. Semoga perjalanan Catrin menginspirasi kamu untuk lebih menghargai diri, karena pada akhirnya, kebahagiaan sejati datang dari dalam. Terima kasih sudah membaca, semoga cerita ini memberikan sudut pandang baru tentang cinta diri di era digital!