Pecahan Warna di Ujung Jalan: Merayakan Solidaritas dalam Perbedaan

Posted on

Hello, kamu pernah ngerasa kayak dunia ini penuh warna, tapi kadang kita masih aja bingung buat ngeblend sama yang lain? Nah, cerpen ini bakal ngasih kamu gambaran tentang gimana dua cewek beda karakter bisa bareng-bareng bikin sesuatu yang keren!

Siapa sangka, dari perbedaan itu, mereka malah menemukan kekuatan yang bikin mereka makin dekat. Ayo, kita intip perjalanan seru Aluna dan Zara dalam merayakan perbedaan lewat seni dan persahabatan!

 

Pecahan Warna di Ujung Jalan

Pertemuan Dua Dunia

Di pinggir desa Seruni, di mana aroma kopi hangat bercampur dengan embun pagi, seorang pemuda bernama Aluna duduk di dalam studionya. Ruangan itu penuh dengan cat-catan berwarna-warni, kanvas yang setengah jadi, dan tumpukan kertas. Tapi meski tempatnya cerah, hati Aluna terkurung dalam nuansa kelabu. Dia meraih kuasnya dan melukis, mencoba menyampaikan perasaannya yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.

Pagi itu, saat mentari baru saja muncul di ufuk timur, suara langkah kaki menghentikan fokusnya. Aluna menoleh dan melihat seorang gadis berdiri di pintu studio. Rambutnya panjang dan terurai, serta matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. Itu adalah Zara, gadis baru yang baru saja pindah ke desa.

“Eh, kamu lagi ngapain?” tanya Zara dengan nada ceria, sambil melangkah masuk tanpa diminta. Aluna terkejut, tidak biasa ada orang lain yang memasuki dunianya yang tertutup.

“Eh, ini… lagi melukis,” jawab Aluna, berusaha terdengar santai. “Tapi belum selesai.”

Zara mendekat, melihat kanvas yang penuh dengan semburat warna biru dan abu-abu. “Wow, menarik juga! Tapi kenapa warnanya gitu-gitu aja? Coba deh pakai lebih banyak warna, biar hidup!” katanya dengan semangat.

Aluna mengernyitkan dahi. “Ini kan cara aku melihat dunia. Kadang, dunia itu memang terasa kelabu.”

“Gak setuju! Dunia ini indah, dan kamu bisa bikin orang lain lihat itu juga,” Zara balas, menatapnya tajam. “Kalau kamu terus pakai warna kelabu, orang-orang akan pikir kamu gak mau berbagi keindahan yang ada.”

Dia mengalihkan pandangannya kembali ke kanvas, berusaha menyembunyikan rasa tidak nyaman yang mulai menjalar. “Lagipula, siapa yang mau lihat lukisanku?” gumamnya.

“Ya banyak! Kamu kan pelukis! Ini baru permulaan. Gak usah pesimis,” Zara menjawab dengan nada bersemangat. “Aku rasa kamu cuma butuh sedikit keberanian untuk menunjukkan warna-warni di dalam dirimu.”

Aluna terdiam, merasa tertegun. Dalam hatinya, ada sesuatu yang bergerak, tapi dia tidak bisa menangkapnya. Dia melihat Zara, gadis yang penuh semangat dan rasa percaya diri, sementara dirinya masih terjebak dalam ketidakpastian.

“Eh, mau gak ikut aku ke festival desa nanti?” Zara tiba-tiba menawarkan. “Di sana banyak orang dan pasti ada banyak warna!”

Festival? Aluna mengernyit lagi. “Maksud kamu… keramaian? Banyak orang? Aku… tidak yakin.”

“C’mon! Ini kesempatan bagus! Kamu bisa lihat betapa banyaknya warna yang ada di luar sana,” Zara menggoda, mencoba meyakinkan.

“Aku… bisa pikir-pikir dulu,” jawab Aluna, berusaha menutupi rasa takut yang tiba-tiba menggerogoti.

Zara melangkah mendekat, memperlihatkan senyum yang tulus. “Kalau kamu mau, aku bisa temenin. Mungkin kamu bisa menemukan inspirasi baru di sana.”

Aluna merasakan ketegangan di dadanya, mencampur adukkan rasa antusias dan ketakutan. Dia ingin berkata tidak, tetapi ada sesuatu yang menahannya. Mungkin ini saatnya untuk melangkah keluar dari zona nyaman. Namun, rasa khawatir terus mengganggu pikirannya.

“Gimana kalau kita pergi bareng? Aku janji bakal seru,” kata Zara sekali lagi, seolah membaca pikirannya.

“Baiklah, aku ikut. Tapi jangan harap aku bakal ikut semua kegiatan,” Aluna menyerah, tersenyum kecil.

“Deal! Yang penting kamu datang. Kita bisa bikin momen seru bareng!” balas Zara, meloncat kegirangan.

Dengan keputusan itu, rasa cemas dalam diri Aluna mulai sedikit mereda. Dia membayangkan festival, keramaian, suara musik, dan aroma makanan yang menggoda. Tetapi di sisi lain, ketakutan masih membayangi pikirannya.

“Jadi, kita berangkat jam berapa?” tanya Aluna, berusaha terdengar lebih percaya diri.

“Setelah sore, yuk! Kita bisa bawa peralatanmu. Siapa tahu bisa dapat inspirasi buat lukisan baru,” Zara menjawab, penuh semangat.

Hari pun berlalu, Aluna merasa seperti sedang menunggu sesuatu yang besar. Di dalam hatinya, dia berdoa agar festival itu tidak jadi mimpi buruk. Dia mulai membayangkan warna-warni yang mungkin akan dilihatnya, meskipun di sisi lain, suara hatinya masih berbisik untuk tidak pergi.

Saat matahari mulai terbenam, Aluna mempersiapkan diri. Ia mengamati kanvas kosong yang menanti. “Mungkin aku bisa menangkap keindahan malam,” pikirnya.

Ketika waktu akhirnya tiba, dia melangkah keluar dari studionya. Di luar, Zara sudah menunggu dengan senyum lebar. “Ayo, kita berangkat! Hari ini adalah awal dari sesuatu yang baru!” serunya.

Dengan keraguan dan harapan yang bercampur, mereka berdua berjalan menuju festival. Aluna merasa seolah ia sedang melangkah ke dalam dunia yang tak dikenal, tetapi entah kenapa, rasa berdebar itu terasa menyenangkan. Dalam perjalanan menuju festival, Aluna berharap bisa menemukan warna baru dalam hidupnya.

 

Perbedaan yang Memperkuat

Aluna dan Zara berjalan beriringan menuju festival. Suara musik tradisional menggema di udara, seolah-olah memanggil mereka untuk merasakan kehangatan dan kebahagiaan yang menyelimuti malam itu. Ketika mereka mendekati kerumunan, semarak warna-warni lampu dan tenda-tenda yang berhiaskan lampion membuat jantung Aluna berdegup kencang.

“Lihat! Ada stan lukisan!” seru Zara, menunjuk ke arah tenda yang dipenuhi karya seni. “Kita harus lihat!”

Mereka melangkah cepat, mengabaikan kerumunan yang sibuk. Ketika mereka tiba di stan, Aluna terpesona oleh berbagai lukisan yang dipajang. Setiap karya mengekspresikan perasaan dan cerita yang berbeda. Dia merasa terpesona sekaligus cemas, memikirkan lukisannya yang belum selesai.

“Wow, luar biasa! Ini semua sangat indah!” ucap Zara, tak henti-hentinya mengagumi karya-karya yang ada. Aluna hanya bisa tersenyum canggung, merasa seolah karyanya sendiri tidak ada artinya di sini.

“Eh, kamu mau coba lukis di sini?” Zara tiba-tiba bertanya, menunjuk ke sudut yang disediakan untuk pengunjung. “Mungkin bisa jadi momen berharga buat kamu!”

Aluna menggeleng cepat. “Enggak deh, aku masih belum siap,” jawabnya, suara ragu mengisi kata-katanya. Meskipun dia ingin mencoba, rasa takut akan penilaian orang lain kembali menghangatkan dadanya.

“Come on! Coba aja! Semua orang di sini saling mendukung,” Zara mendorongnya, melihat keraguan di wajah Aluna. “Bisa jadi kamu mendapatkan banyak inspirasi.”

Dengan sedikit dorongan dari Zara, Aluna merasa terpaksa. Mereka berdua melangkah ke arah area lukis, di mana kanvas kosong menunggu dengan janji akan kreativitas baru. Aluna mengambil kuasnya, mencoba menenangkan diri di tengah hiruk-pikuk suara.

“Saya pikir kita semua di sini untuk berbagi dan belajar,” seorang wanita paruh baya mendekati mereka. “Lukislah apa yang ada di dalam hatimu.”

Kata-kata itu mengena di hati Aluna. Dia menghela napas dalam-dalam dan mulai mencampurkan warna di paletnya. Dengan setiap sapuan kuas, rasa cemasnya mulai sedikit memudar. Dia mencoba melukis suasana festival—lampu-lampu berkelap-kelip, orang-orang yang tertawa, dan aroma makanan yang menggoda.

Zara berdiri di sampingnya, sesekali mengintip lukisan Aluna. “Keren! Aku suka warna yang kamu pilih!” serunya.

“Aku masih ragu…,” Aluna menjawab, mengerutkan kening saat melihat garis-garis yang mulai terbentuk di kanvasnya.

“Gak usah ragu. Kamu hanya perlu percaya pada dirimu sendiri. Ini adalah ekspresi kamu,” Zara memberikan semangat, menciptakan suasana yang lebih hangat di antara mereka.

Aluna melanjutkan, merasakan setiap detak jantungnya sejalan dengan ritme musik yang mengalun. Dia mulai melihat wajah-wajah orang yang berinteraksi, anak-anak yang bermain, dan pasangan yang tertawa. Semua itu membangkitkan warna baru di dalam dirinya, membuatnya berani menyentuh kuasnya lebih leluasa.

“Eh, lihat! Ada pertunjukan tari!” Zara tiba-tiba berteriak, menunjuk ke arah panggung di ujung jalan. Aluna mengikuti arah tunjukannya, melihat sekelompok penari dengan kostum berwarna-warni yang bergerak anggun.

“Wow, mereka luar biasa! Ayo kita lihat lebih dekat!” Zara menggenggam tangan Aluna dan menariknya menuju panggung.

Di sana, Aluna terpesona oleh gerakan penari yang harmonis. Setiap langkah dan putaran mengalir dengan indah, menciptakan ilusi warna dan energi. Dalam sekejap, dia merasa seperti bagian dari dunia ini, mengalir bersama irama.

“Kalau kamu melukis mereka, itu bakal jadi luar biasa,” Zara berbisik, tidak ingin mengganggu konsentrasi penari. Aluna menatap, meresapi setiap gerakan dan warna yang ada.

Ketika pertunjukan berakhir, Aluna bertepuk tangan, merasakan getaran keceriaan yang mengalir di dalam dirinya. “Ini… luar biasa,” katanya terpesona, matanya bersinar dengan semangat baru.

“Kan? Sekarang kamu merasa lebih hidup!” Zara menjawab, senyumnya lebar. “Sekarang, kita cari makanan!”

Mereka berdua melanjutkan menjelajahi festival, mencicipi jajanan lokal yang menggugah selera. Aluna merasakan kegembiraan yang belum pernah dia alami sebelumnya. Setiap suapan makanan dan setiap gelak tawa membuat warna-warna di dalam dirinya semakin cerah.

Saat mereka berhenti sejenak di bangku untuk beristirahat, Aluna mengamati Zara. Gadis itu tampak begitu bersemangat, menikmati setiap detik dalam festival ini. “Kamu tahu, aku merasa lebih baik sekarang,” katanya pelan. “Terima kasih udah mengajak aku.”

“Gak usah terima kasih! Kita kan teman. Aku cuma ingin kamu tahu betapa indahnya dunia ini. Kita harus bisa berbagi rasa ini,” Zara menjawab, menatap Aluna dengan hangat.

Malam semakin larut, namun semangat di dalam hati Aluna semakin membara. Dia mulai menyadari bahwa setiap perbedaan antara dirinya dan Zara justru bisa saling melengkapi. Dan mungkin, hanya mungkin, dia akan mulai menemukan warna baru dalam hidupnya.

“Kalau gitu, aku mau coba melukis di festival ini. Gimana kalau kita kembali ke stan lukis setelah ini?” tawar Aluna, perasaannya bergetar penuh harapan.

“Ya, ayo! Aku tunggu! Kita akan buat karya yang tidak terlupakan!” jawab Zara dengan antusias.

Aluna merasa ada getaran baru dalam jiwanya. Dia siap untuk menghadapi tantangan baru dan berharap bisa menangkap semua keindahan yang dia lihat malam itu. Dan di dalam keramaian itu, dia mulai merasakan ikatan baru yang terbentuk antara mereka.

 

Merajut Cerita dalam Warna

Suasana festival semakin meriah saat Aluna dan Zara kembali ke stan lukis. Kerumunan orang semakin ramai, namun ada energi positif yang mengalir di antara mereka. Aluna merasakan jantungnya berdebar, campuran antara kegembiraan dan sedikit kecemasan. Dia sudah siap untuk melukis.

“Kalau kamu butuh inspirasi, lihat ke sekelilingmu,” kata Zara sambil menyiapkan kuas dan cat. “Ambil semua warna yang kamu lihat dan masukkan ke dalam lukisanmu.”

“Baiklah, aku coba!” Aluna menjawab, mengambil napas dalam-dalam. Dia mengambil kanvas kosong dan mulai meresapi warna-warna di sekelilingnya. Dengan setiap sapuan kuas, dia mulai melukis apa yang ada di dalam pikirannya—suasana, perasaan, dan bahkan keraguan yang pernah membelenggunya.

Sementara Aluna berkonsentrasi, Zara tidak jauh darinya. Dia mengambil kuas dan mulai melukis sesuatu yang berbeda—potret wajah Aluna yang sedang terfokus. “Ini untuk kamu!” seru Zara, dengan senyum lebar. “Aku ingin mengabadikan momen ini.”

“Eh, jangan! Itu aneh!” Aluna terkejut dan sedikit malu, namun Zara sudah terlanjur asyik dengan lukisannya.

“Gak ada yang aneh! Justru ini momen berharga, dan aku ingin menunjukkan betapa seriusnya kamu saat melukis!” Zara tertawa, membuat Aluna merasa lebih nyaman.

Keduanya terus melukis, merasakan semangat dan keceriaan yang terus membara. Saat Aluna melukis, dia merasakan keterhubungan dengan dunia di sekelilingnya. Suara tawa, musik, dan keramaian menjadi bagian dari lukisannya. Perlahan, dia menyadari bahwa setiap warna yang dia pilih adalah representasi dari perasaannya sendiri.

“Eh, lihat! Kita harus ambil foto setelah selesai!” Zara menyeru saat dia mengangkat lukisannya. “Potret bersama karya kita!”

“Ya, kita harus!” Aluna setuju, merasakan antusiasme Zara menular padanya.

Setelah beberapa saat, lukisan Aluna hampir selesai. Dia menatap hasil karyanya dengan rasa bangga dan percaya diri. Ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya—rasa percaya diri yang tumbuh seiring dengan setiap warna yang dituangkan di kanvas.

“Bagaimana? Menarik, kan?” Aluna bertanya pada Zara yang masih asyik dengan potret wajahnya.

“Luar biasa! Aku bisa merasakan perasaanmu di sini,” Zara menjawab, matanya berbinar. “Kamu harus tunjukkan ini kepada orang lain. Karya ini berbicara!”

“Gak tahu deh, aku masih agak ragu…” Aluna mengerutkan dahi. Meski dia merasa bangga, ketakutannya akan penilaian orang lain kembali menggerogoti pikirannya.

“Ah, gak usah mikir macam-macam! Kita kan di sini untuk bersenang-senang. Semua orang saling mendukung, ingat?” Zara membujuknya. “Jadi, ayo tunjukkan!”

Dengan sedikit keberanian, Aluna mengangguk. “Oke, ayo kita cari orang yang mau melihat lukisan kita!”

Mereka berdua pergi berkeliling stan, menunjukkan karya masing-masing kepada pengunjung festival. Beberapa orang memberikan pujian, sementara yang lain berkomentar tentang detail dan warna yang dipilih. Aluna merasa senang mendengar tanggapan positif, dan rasa percaya dirinya semakin menguat.

Di tengah perjalanan, mereka tiba di stan lain yang memperlihatkan kerajinan tangan lokal. Di situ, mereka bertemu dengan seorang lelaki paruh baya bernama Arman yang menjelaskan proses pembuatan kerajinan tersebut.

“Setiap kerajinan ini memiliki cerita. Kami percaya bahwa perbedaan adalah kekuatan kami. Apa yang kalian lakukan di sini?” tanya Arman, melihat lukisan mereka.

“Ini lukisan kami dari festival! Kami mencoba mengekspresikan perasaan kami,” Zara menjawab antusias.

Arman mengangguk, matanya menyoroti lukisan Aluna. “Lukisan ini sangat kuat. Apa yang kamu rasakan saat melukisnya?”

Aluna merasa sedikit terkejut dengan pertanyaan tersebut. “Aku… aku mencoba menangkap perasaan di sekitar festival ini. Kegembiraan, keragaman, dan semua yang membuatku merasa hidup.”

“Luar biasa! Ketika kita mampu mengungkapkan perasaan kita, kita juga memberi warna pada hidup orang lain. Teruslah berkarya!” Arman memberi semangat, dan Aluna merasakan hangat di hatinya.

Setelah perbincangan itu, Aluna dan Zara melanjutkan perjalanan mereka. Sekarang, Aluna merasa lebih percaya diri. Kata-kata Arman terngiang di telinganya, menguatkan tekadnya untuk terus berkarya dan berbagi.

“Gimana kalau kita buat acara seni bareng teman-teman lain setelah festival ini?” Zara tiba-tiba mengusulkan saat mereka berjalan.

“Acara seni? Seperti apa?” Aluna bertanya, merasa penasaran.

“Kayak pameran kecil di rumahku, kita bisa ajak semua orang untuk tampilkan karya masing-masing. Kita bisa saling berbagi pengalaman!” Zara menjelaskan dengan semangat. “Jadi, kita bisa menunjukkan betapa indahnya keragaman dalam seni!”

“Hmm, ide yang menarik. Aku suka!” Aluna menjawab, merasa bersemangat. “Akan jadi kesempatan untuk belajar dari satu sama lain.”

Keduanya semakin bersemangat dengan rencana itu. Semakin jauh mereka berjalan, semakin banyak pengalaman baru yang mereka dapatkan, semakin kuat hubungan di antara mereka. Saat matahari terbenam, festival itu semakin gemerlap, menciptakan suasana yang membuat Aluna merasa bersemangat untuk berbagi.

Aluna tahu, perbedaan yang ada di antara mereka adalah kekuatan yang memperkuat persahabatan mereka. Dia bertekad untuk mengangkat suara dalam setiap lukisannya, dan setiap karya yang dia ciptakan akan menjadi bagian dari perjalanan mereka dalam merayakan keberagaman.

“Ayo kita kembali ke lukisan kita!” Zara berseru, penuh semangat. “Aku ingin melihat reaksi orang-orang saat melihat karyamu!”

“Ya, ayo! Ini hanya awal dari perjalanan kita,” Aluna menjawab, senyumnya merekah penuh percaya diri.

Dengan langkah penuh semangat, mereka kembali menuju stan lukis, siap untuk merajut cerita baru yang penuh warna dalam perjalanan persahabatan mereka.

 

Karya dalam Berbagi

Ketika Aluna dan Zara kembali ke stan lukis, mereka disambut oleh kerumunan yang semakin ramai. Senyum di wajah Aluna semakin lebar saat melihat beberapa orang terpesona oleh lukisannya. Sementara itu, Zara juga memamerkan potret wajah Aluna yang telah selesai.

“Wow! Ini bagus banget!” seorang pengunjung berkomentar, mengagumi detail dan ekspresi yang terekam di lukisan Zara. Aluna merasakan bangga melihat sahabatnya mendapat pujian.

“Ini semua berkat inspirasi dari festival ini,” kata Zara dengan percaya diri. “Kamu juga harus melihat bagaimana orang lain mengapresiasi karyamu!”

“Baiklah, aku akan coba!” Aluna menjawab, merasakan semangat yang kembali membara. Mereka berkeliling untuk mendengarkan komentar dari pengunjung lain dan berbagi cerita tentang proses kreatif di balik lukisan masing-masing.

Saat malam semakin larut, suara musik dan tawa semakin mengisi udara. Aluna merasakan kedekatan dengan semua orang di sekitar, seolah mereka semua menjadi satu keluarga yang saling mendukung. Melihat senyum dan tawa orang-orang membuatnya semakin bersemangat untuk berkarya.

“Eh, ayo kita coba buat sesuatu yang lebih besar!” Zara tiba-tiba mengusulkan saat mereka kembali ke lukisan mereka. “Kenapa kita nggak mengajak orang lain untuk ikut melukis di sini? Kita bisa bikin mural kolaboratif!”

“Wah, ide yang seru!” Aluna setuju, merasa terinspirasi. “Kita bisa menggambarkan semua warna dan perbedaan yang ada di antara kita!”

Dengan semangat baru, mereka mulai mengajak orang-orang yang ada di sekitar untuk ikut serta. Aluna dan Zara menjelaskan rencana mural kolaboratif mereka, dan respon yang didapat sangat positif.

“Mari kita tunjukkan kepada dunia betapa indahnya keragaman!” seru Aluna, terinspirasi oleh reaksi positif dari orang-orang.

Seluruh kerumunan mulai berkumpul, setiap orang membawa cat dan kuas mereka. Aluna merasakan kebahagiaan yang luar biasa saat melihat semua orang berkontribusi. Momen itu terasa sangat magis, seperti sepotong keajaiban yang sedang terjadi di depan matanya.

Satu per satu, mereka mulai melukis. Aluna mengawali dengan warna-warna cerah yang menggambarkan kegembiraan, sementara Zara menambahkan elemen yang menunjukkan kekuatan persahabatan. Orang-orang di sekitarnya menyumbangkan ide dan warna, menjadikan mural tersebut kaya dengan makna.

“Jangan lupa untuk memasukkan elemen budaya masing-masing! Ini akan membuat mural ini semakin beragam,” seorang wanita yang baru bergabung memberikan masukan.

Aluna dan Zara saling bertukar pandang, merasa senang dengan semangat kolaborasi yang ada. Dengan setiap sapuan kuas, mereka menyatukan warna, gaya, dan teknik masing-masing. Tidak hanya lukisan, tetapi juga sebuah cerita yang merayakan keberagaman dan solidaritas.

Setelah beberapa jam, mural kolaboratif itu pun hampir selesai. Dengan bangga, Aluna mundur sejenak untuk melihat hasil kerja sama mereka. Lukisan itu menjadi representasi dari setiap individu yang terlibat, momen-momen kecil yang membentuk sesuatu yang indah.

“Lihat! Kita berhasil!” Zara berteriak, tak bisa menahan kegembiraannya. “Ini luar biasa!”

“Ya, dan ini semua karena kita saling mendukung dan menghargai perbedaan masing-masing,” Aluna menjawab, merasa terharu.

Saat festival berakhir, Aluna merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Dia tidak lagi ragu untuk menunjukkan karyanya. Dia belajar bahwa keindahan terletak pada keberagaman, dan tidak ada yang perlu ditakutkan ketika berbagi dengan orang lain.

Sebelum pulang, mereka semua berkumpul di depan mural untuk berfoto bersama. Dengan senyum lebar dan hati yang penuh, mereka tahu bahwa hari itu bukan hanya tentang seni, tetapi juga tentang persahabatan dan solidaritas.

“Terima kasih, semua! Karya kita adalah bukti bahwa kita bisa bersatu dalam perbedaan,” Aluna mengungkapkan perasaannya, dan seluruh kerumunan bersorak menyetujui.

Dengan langkah penuh semangat, Aluna dan Zara pulang, membawa serta pengalaman yang tidak akan pernah terlupakan. Mural itu akan menjadi pengingat bahwa setiap warna, setiap perbedaan, dan setiap cerita memiliki tempatnya masing-masing di dunia ini.

Aluna menghela napas dalam-dalam, merasakan semangat baru mengalir di dalam dirinya. Di tengah kerumunan, dia menemukan suara dan keberaniannya sendiri. Dan yang paling penting, dia menemukan kekuatan dalam persahabatan yang tulus.

 

Jadi, di balik setiap perbedaan, pasti ada potensi buat bikin sesuatu yang luar biasa, kan? Aluna dan Zara ngebuktiin bahwa ketika kita saling mendukung dan menghargai, kita bisa menciptakan keindahan yang lebih dari sekadar lukisan.

Jadi, ingat ya, persahabatan itu bukan soal seberapa mirip kita, tapi seberapa besar kita bisa saling menghargai. Yuk, terus warnai hidup kita dengan warna-warna yang unik, dan jangan takut untuk berbagi cerita! Sampai jumpa di petualangan seru selanjutnya!

Leave a Reply