Daftar Isi
Hai, guys! Siapa di sini yang pernah ngerasain punya sahabat yang deket banget, tapi tiba-tiba harus jauh-jauhan? Pasti rasanya campur aduk, kan?
Nah, ini dia cerita seru tentang Clara dan Kairo, dua sahabat yang harus berjuang melawan jarak yang nyebelin itu. Siapin tisu, karena perjalanan mereka bakal bikin kamu ketawa, nangis, dan mungkin pengen segera video call sahabat kamu setelah baca! Let’s go!
Mengatasi Jarak
Pertemuan di Ujung Lorong
Sore itu, sinar matahari berusaha menembus dedaunan hijau yang rimbun di taman kecil di dekat perpustakaan. Clara duduk di salah satu bangku, tenggelam dalam dunia buku yang selalu menghiburnya. Ia menggenggam sebuah novel tebal, halaman-halamannya menguning, tetapi kisah di dalamnya masih mampu menarik perhatiannya. Suasana tenang, hanya terdengar suara burung berkicau dan angin berdesir lembut.
Namun, kedamaian itu tiba-tiba pecah ketika suara ceria menghampirinya.
“Eh, itu buku favoritku! Kamu sudah sampai di bagian yang seru?” suara itu mengusik konsentrasi Clara.
Clara mengangkat kepala dan melihat seorang pemuda dengan senyum lebar yang menghiasi wajahnya. Rambutnya yang gelap berantakan, seolah baru saja bangun dari tidur, dan matanya bersinar penuh semangat. Clara mengernyit sedikit, merasa sedikit terganggu dengan gangguannya, tetapi ada sesuatu yang membuatnya ingin mendengarkan lebih lanjut.
“Iya, baru mulai. Kamu siapa?” Clara bertanya sambil berusaha menahan rasa ingin tahunya.
“Aku Kairo! Pindahan baru di sini. Lagi nyari teman, sih,” Kairo menjawab, dengan nada yang sangat antusias. “Gimana, buku itu asyik nggak?”
Clara merasa hatinya bergetar. Tidak biasa baginya untuk berbicara dengan orang asing, tapi ada sesuatu di diri Kairo yang membuatnya merasa nyaman.
“Lumayan. Ini tentang perjalanan seorang penulis yang mencoba menemukan jati dirinya,” jawab Clara sambil tersenyum tipis.
Kairo langsung duduk di sebelah Clara, seolah sudah kenal lama. “Wah, kedengarannya menarik! Aku suka membaca juga, tapi lebih ke buku petualangan. Kapan-kapan, kita bisa tukar rekomendasi.”
Clara terkejut dengan tawarannya. “Hmm, oke juga. Tapi, aku jarang banget ada waktu untuk membaca buku lain.”
“Ah, jangan bilang gitu! Hidup terlalu singkat untuk tidak menikmati cerita-cerita yang ada di luar sana!” Kairo membalas dengan semangat yang tulus. “Aku percaya, setiap buku itu bisa jadi jendela ke dunia baru.”
Mendengar itu, Clara merasa ada kehangatan yang menyentuh hatinya. Kalimat Kairo seakan menggugah semangatnya yang mulai padam. Dia mengangguk pelan. “Iya, kamu benar. Mungkin aku harus mulai mencoba membaca genre lain.”
Kairo kemudian melanjutkan, “Dari mana asalmu, Clara?”
“Aku tinggal di sini sejak lahir. Senang bisa tinggal di kota ini, tapi terkadang rasanya sepi,” Clara menjawab dengan nada ragu. Dia tidak ingin membuka cerita tentang dirinya lebih jauh.
“Sepi? Kenapa bisa gitu?” Kairo bertanya dengan penasaran.
Clara terdiam sejenak, meraba-raba dalam pikirannya. Ia tidak ingin mengungkapkan rasa kesepian yang mendalam di hatinya, namun Kairo seolah mampu membaca pikiran.
“Jangan khawatir, aku juga merasa sepi di tempat baru ini. Makanya, aku senang bisa ketemu kamu,” Kairo mencoba mencairkan suasana.
Kata-kata itu membuat Clara merasa sedikit lega. “Mungkin kita bisa menjelajahi kota ini bersama. Aku tahu beberapa tempat yang seru!”
“Deal! Pertama, kita harus ke kafe yang terkenal di dekat sini. Makanan penutupnya enak banget!” Kairo berkata dengan mata berbinar.
Keduanya tertawa, seolah mereka sudah berteman lama. Hari itu terasa lebih cerah, dan Clara merasa ada harapan baru dalam hidupnya. Saatnya menutup buku, dan membuka lembaran baru dalam persahabatan.
Ketika matahari mulai terbenam, mereka berdua berjalan menuju kafe sambil bercanda. Suara tawa mereka mengisi udara, membuat waktu seolah terhenti. Di tengah keramaian, Clara merasa Kairo adalah sosok yang selama ini ia cari—seseorang yang bisa mengisi kekosongan di hatinya.
Clara mulai menyadari, persahabatan ini bukan hanya tentang berbagi tawa dan cerita. Ini tentang memahami satu sama lain, mengisi celah yang kosong, dan menciptakan kenangan yang akan dikenang selamanya. Dia merasa, mungkin, Kairo adalah teman yang bisa membuat hidupnya menjadi lebih berarti.
Tapi, di sudut hati yang paling dalam, Clara tak bisa menghilangkan rasa was-was. Sebuah pertanyaan muncul di benaknya: Seberapa lama persahabatan ini akan bertahan?
Kairo berbalik dan menatap Clara, seolah bisa membaca keraguan di wajahnya. “Kita harus selalu ingat, Clara. Persahabatan ini tidak mengenal waktu. Yang penting, kita ada satu sama lain.”
Clara mengangguk, namun rasa cemas itu tetap menghantui. Momen indah ini tidak akan selamanya, dan dia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan. Namun, dia memutuskan untuk menikmati setiap detik kebersamaan yang mereka miliki.
Hari itu hanyalah awal dari sebuah perjalanan panjang. Sementara bintang-bintang mulai bermunculan di langit malam, Clara dan Kairo berjanji untuk terus bersama, meskipun masa depan masih tersembunyi dalam bayang-bayang.
Momen-Momen Indah
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Clara dan Kairo semakin akrab. Setiap akhir pekan, mereka menjelajahi sudut-sudut kota yang sebelumnya tak pernah Clara datangi sendirian. Kairo, dengan semangatnya yang tak ada habisnya, selalu menemukan cara untuk membuat momen-momen sederhana menjadi istimewa.
Suatu pagi yang cerah, mereka memutuskan untuk mengunjungi pasar pagi yang terkenal dengan makanan lokalnya. Aroma segar dari sayuran dan buah-buahan yang dijual membuat Clara tersenyum. Dia melihat Kairo berkeliling, mengamati setiap jajanan dengan mata berbinar.
“Kita harus coba semua ini!” Kairo berkata sambil menunjukkan berbagai makanan yang dijual. “Ini dia, sate lilit! Kamu pasti suka!”
Clara tertawa, menggelengkan kepala. “Kamu tahu, aku belum pernah mencobanya. Tapi, kalau kamu bilang enak, aku percaya.”
Mereka membeli beberapa makanan dan duduk di bangku taman, menikmati semua yang mereka beli. Clara tak bisa menahan tawa melihat ekspresi Kairo saat mencicipi setiap makanan baru. “Kairo, kamu ini lucu banget! Rasa penasaranmu itu bikin aku senang.”
“Begitulah, Clara! Hidup ini tentang menjelajahi hal-hal baru!” Kairo menjawab dengan semangat, sementara mulutnya masih penuh dengan sate lilit.
Saat mereka berbagi makanan, Clara merasa seolah semua kekhawatiran di hidupnya sirna. Dia melihat Kairo, dengan wajah ceria dan tawa yang menular, dan dia tidak bisa tidak merasakan kebahagiaan. Dalam momen itu, Clara tahu, persahabatan mereka adalah hal yang sangat berharga.
Beberapa minggu setelah pertemuan mereka di perpustakaan, Clara dan Kairo mulai berbagi lebih banyak cerita pribadi. Di sebuah sore yang tenang, mereka duduk di atas rumput hijau di taman. Kairo mulai bercerita tentang keluarganya yang tinggal jauh dan betapa sulitnya baginya untuk beradaptasi di kota baru.
“Aku sering merasa kesepian. Awalnya, aku ragu untuk pindah ke sini, tapi setelah bertemu kamu, semuanya terasa berbeda,” kata Kairo dengan nada serius.
Clara merasakan hatinya tergerak. “Aku juga merasakannya. Kadang-kadang, aku merasa terjebak di dunia sendiri. Tapi kamu membuatku merasa hidup lagi.”
Kairo tersenyum lembut, matanya berkilau saat melihat Clara. “Aku senang bisa melakukan itu. Setiap kali kita bersama, aku merasa kita bisa melakukan apapun.”
Keduanya menghabiskan sore itu dengan bercerita tentang cita-cita dan impian. Kairo ingin menjadi penulis, menyebarkan kisah-kisah petualangannya ke dunia. Clara, di sisi lain, bermimpi menjadi ilustrator dan mendesain cover buku. Mereka berbagi harapan dan ketakutan, menciptakan ikatan yang semakin erat.
Malam itu, saat bintang-bintang bersinar terang, Kairo menunjukkan sesuatu yang istimewa. Dia mengeluarkan buku catatan kecil dari tasnya. “Ini adalah buku ide-ide dan mimpiku. Aku ingin kita berdua menulis sesuatu di dalamnya.”
Clara mengangguk, penuh rasa ingin tahu. “Apa yang ingin kamu tulis?”
“Setiap pengalaman yang kita jalani bersama. Kita bisa menuliskan petualangan kita, dan mungkin suatu saat nanti, kita bisa menerbitkannya,” Kairo menjelaskan dengan semangat yang membara.
Clara tersenyum lebar. “Itu ide yang brilian! Mari kita mulai sekarang!”
Mereka berdua menulis di bawah sinar bulan, mengabadikan setiap momen indah yang mereka lalui. Dalam proses itu, Clara merasakan ikatan yang lebih dalam. Seolah-olah mereka tidak hanya berbagi momen, tetapi juga menciptakan cerita yang akan dikenang selamanya.
Suatu hari, saat mereka mengunjungi kafe favorit, Kairo membawa berita mengejutkan. “Clara, ada festival buku di kota minggu depan. Aku ingin kita ikut! Banyak penulis dan pembaca dari berbagai tempat, pasti seru!”
Clara merasakan semangatnya meluap. “Wow, itu luar biasa! Kita harus membuat rencana. Aku ingin melihat penulis favoritku di sana!”
“Mari kita persiapkan! Kita bisa membuat poster, dan bahkan melakukan pembacaan puisi!” Kairo bersorak. Clara melihat semangatnya dan tidak bisa menahan tawa.
Hari-hari menjelang festival itu dipenuhi dengan kebahagiaan dan persiapan. Mereka membuat poster kreatif dengan cat warna-warni, menggambar karakter dari buku-buku yang mereka suka, dan merencanakan kegiatan di festival.
Hari festival tiba. Taman kota dipenuhi dengan suara gelak tawa, musik, dan aroma makanan yang menggugah selera. Kairo dan Clara berkeliling, melihat berbagai stan buku dan bertemu dengan penulis. Clara merasa bersemangat, tetapi di dalam hatinya ada keraguan yang menyelinap. Dia tidak ingin moment indah ini berakhir.
“Clara, lihat! Itu penulis yang aku ceritakan! Ayo, kita ambil foto bersamanya!” Kairo menarik tangan Clara dan mengajaknya berlari ke arah penulis tersebut.
Setelah berpose dengan penulis idola mereka, Clara merasa seolah-olah mereka telah mencapai sesuatu yang luar biasa. “Ini luar biasa, Kairo! Terima kasih telah mengajakku ke sini,” Clara berkata dengan antusias.
Kairo hanya tersenyum, tetapi dalam senyumnya, Clara bisa merasakan ada sesuatu yang lebih dalam, seolah dia menyimpan sebuah rahasia.
Saat mereka melanjutkan petualangan di festival, Clara mengingat semua momen indah yang telah mereka lalui. Dia tahu, persahabatan ini adalah hal yang tak ternilai, dan dia ingin mengabadikannya selamanya. Namun, di dalam hatinya, dia juga merasakan bayangan gelap yang tak bisa diabaikan. Apa yang akan terjadi setelah semua ini?
Tanpa mereka sadari, waktu berjalan dengan cepat. Dan setiap momen indah yang mereka ciptakan, ada rasa cemas yang terus menghantui Clara. Apakah persahabatan ini akan bertahan? Ataukah ada sesuatu yang tak terduga yang akan mengubah segalanya?
Dengan perasaan campur aduk, Clara bertekad untuk menjalani setiap hari dengan Kairo sebaik mungkin. Dia ingin membuat setiap detik berharga, karena mereka tidak tahu seberapa lama mereka bisa bersama.
Ketegangan yang Terpendam
Festival buku yang mereka tunggu-tunggu akhirnya menjadi kenangan indah. Clara dan Kairo merasakan euforia di antara kerumunan orang yang bergembira, tetapi di balik kegembiraan itu, Clara merasakan ketegangan yang mengendap di dalam hatinya. Dia ingin melindungi persahabatan ini, tetapi bayang-bayang ketidakpastian terus mengintai.
Setelah festival, suasana di antara mereka sedikit berubah. Kairo tampak lebih serius dan sering melamun. Clara menyadari bahwa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Kairo. Dia mencoba mencari tahu, tetapi setiap kali dia bertanya, Kairo hanya menjawab dengan senyuman dan berusaha mengalihkan pembicaraan.
Suatu sore, saat mereka berjalan-jalan di taman yang sama di mana mereka pertama kali bertemu, Clara memutuskan untuk membuka diri. “Kairo, aku merasa ada yang berbeda akhir-akhir ini. Apakah kamu baik-baik saja?”
Kairo terdiam sejenak, tatapannya beralih ke tanah. “Aku… aku hanya berpikir tentang beberapa hal. Kadang-kadang, hidup ini sulit, Clara.”
Clara merasakan hatinya bergetar. “Kau tahu, kamu bisa bercerita padaku. Kita adalah teman, bukan? Aku ingin membantumu.”
Kairo menarik napas dalam dan memandang Clara. “Aku… mungkin aku tidak punya banyak waktu lagi di sini. Keluargaku mungkin pindah lagi. Mereka mendapatkan tawaran pekerjaan yang lebih baik di kota lain.”
Kata-kata itu membuat Clara terhenyak. Semua kenangan indah dan momen berharga yang mereka lalui terasa seperti terancam. “Tapi… bagaimana dengan kita? Kita baru saja mulai membangun semuanya!”
Kairo meraih tangan Clara, matanya bersinar dengan kepastian. “Aku tidak ingin kehilangan ini juga. Persahabatan kita berarti banyak bagiku, Clara. Tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.”
Clara merasa air mata menggenang di matanya. “Aku tidak ingin kita terpisah. Kita sudah melalui banyak hal bersama. Ini terasa sangat berharga.”
Kairo mengangguk. “Aku juga. Tetapi kita tidak bisa mengontrol keadaan. Yang bisa kita lakukan adalah menghargai waktu yang kita miliki.”
Hari-hari berlalu dengan perasaan cemas. Clara dan Kairo berusaha untuk tetap menikmati setiap momen, tetapi ketegangan di antara mereka tidak bisa diabaikan. Kairo semakin sering menghabiskan waktu dengan keluarganya, dan Clara merasa ditinggalkan. Momen-momen yang biasanya mereka habiskan bersama mulai berkurang.
Suatu malam, saat mereka bertemu di kafe untuk minum cokelat panas, Clara tidak bisa menahan lagi. “Kairo, aku merasa kita semakin jauh. Aku ingin kita berbicara tentang apa yang akan terjadi.”
Kairo menghela napas berat. “Aku tahu, Clara. Tapi aku tidak tahu apa yang harus aku katakan. Sepertinya semuanya akan berubah, dan aku tidak ingin menyakiti perasaanmu.”
“Aku bukan orang yang lemah. Aku bisa menerima kenyataan. Yang paling penting adalah kejujuran,” Clara menjawab tegas, matanya penuh harapan.
Kairo melihat ke arah jendela, memandangi hujan yang turun di luar. “Jika aku pergi, aku tidak ingin kita hanya menjadi kenangan. Aku ingin kita tetap terhubung, meskipun jarak memisahkan kita.”
Clara merasakan hatinya bergetar. “Kita bisa berusaha. Kita bisa saling menulis, mengirimi pesan, atau bahkan video call! Persahabatan kita tidak harus berakhir hanya karena jarak.”
Kairo tersenyum tipis, tetapi matanya masih penuh keraguan. “Aku ingin berjanji itu, tetapi aku tidak tahu apakah kita akan bisa melakukannya. Hidup ini tidak pernah mudah.”
Setelah pertemuan itu, Clara merasa hatinya berat. Dia ingin Kairo berjuang untuk persahabatan mereka, tetapi sepertinya Kairo terjebak dalam pikirannya sendiri. Dia merindukan momen-momen indah yang mereka jalani, tetapi saat-saat itu terasa semakin jauh.
Di satu sisi, Clara tahu bahwa mereka berdua perlu melanjutkan hidup, tetapi di sisi lain, dia tidak bisa melepaskan kenangan indah yang telah mereka ciptakan bersama. Dalam benaknya, pertanyaan-pertanyaan terus mengganggu: Apakah Kairo akan pergi? Apakah persahabatan mereka akan bertahan?
Malam-malam yang sebelumnya dipenuhi tawa kini terasa sepi. Clara berusaha untuk tetap optimis, tetapi setiap kali dia melihat Kairo, dia merasakan bahwa waktu yang mereka miliki semakin menipis. Clara bertekad untuk tidak menyerah. Dia ingin membuat setiap detik berharga, terlepas dari apa pun yang akan terjadi.
Suatu sore, Clara mengambil keputusan. Dia mulai menulis surat untuk Kairo. Dia menuliskan semua kenangan indah, semua tawa, semua mimpi yang mereka bagi. Dia ingin Kairo tahu betapa berharganya persahabatan mereka, terlepas dari apapun yang akan datang.
Saat dia menyelesaikan suratnya, Clara merasakan harapan dan ketegangan bercampur dalam hatinya. Dia tahu bahwa keputusan besar akan segera datang, tetapi dia ingin Kairo tahu bahwa dia akan selalu ada untuknya, apa pun yang terjadi.
Dia menaruh surat itu dalam amplop dan menyimpannya di dalam tasnya, bersiap untuk memberikannya kepada Kairo di pertemuan mereka berikutnya. Dengan harapan bahwa surat itu bisa menjadi jembatan untuk mengatasi ketegangan yang mereka rasakan, Clara siap menghadapi apapun yang akan datang.
Persahabatan yang Abadi
Hari-hari berlalu, dan Clara merasa semangatnya perlahan-lahan memudar. Kairo tampak semakin menjauh, dan meski mereka masih bertemu, ada sesuatu yang hilang dalam interaksi mereka. Clara menunggu dengan harapan bisa menyerahkan suratnya, tetapi selalu ada saja yang menghalangi. Kairo seolah semakin tenggelam dalam dunianya, dan Clara merasa tak berdaya.
Suatu sore, saat mereka duduk di bangku taman tempat mereka sering bercanda, Clara akhirnya mengumpulkan keberaniannya. Dia mengeluarkan surat dari tasnya, tangannya sedikit bergetar. “Kairo, ada sesuatu yang ingin aku berikan padamu.”
Kairo melihat dengan tatapan penasaran. “Apa itu?”
Clara menarik napas dalam-dalam, berusaha menahan emosi. “Ini… ini surat untukmu. Aku ingin kau membacanya. Ini tentang kita.”
Kairo mengambil surat itu, ragu-ragu. Dia membuka amplop dan mulai membaca. Clara memperhatikan ekspresi Kairo berubah seiring dia menyimak kata-kata yang ditulisnya dengan sepenuh hati. Hatinya berdegup kencang, takut dengan reaksi Kairo.
Setelah selesai membaca, Kairo menatap Clara, matanya penuh kebingungan dan keharuan. “Clara, aku… aku tidak tahu harus berkata apa. Semua yang kau tulis sangat berarti. Aku tidak ingin menganggap remeh persahabatan kita.”
Clara merasa harapannya terbangun kembali. “Kita bisa bertahan, Kairo. Kita hanya perlu berusaha. Kita bisa tetap terhubung, meskipun jarak memisahkan kita.”
Kairo mengangguk, tetapi ada keraguan yang tersisa di matanya. “Aku ingin begitu, tetapi hidup ini tidak selalu sesuai harapan. Kadang-kadang, hal-hal tidak berjalan seperti yang kita inginkan.”
“Bukan berarti kita harus menyerah. Kita bisa menciptakan cara baru untuk saling mendukung. Aku ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu ada untukmu,” Clara berkata dengan penuh keyakinan.
Kairo tersenyum lemah, tetapi sorot matanya menunjukkan bahwa dia berjuang dengan perasaannya sendiri. “Aku… aku akan berusaha, Clara. Untuk kita.”
Malam itu, saat mereka berjalan pulang, Clara merasa lebih optimis. Meski Kairo mungkin pergi, dia merasa bahwa persahabatan mereka bisa bertahan jika mereka sama-sama berusaha.
Setelah beberapa minggu, Kairo mengumpulkan keberaniannya untuk berbicara dengan orang tuanya. Dia mengungkapkan rasa ingin tahunya tentang melanjutkan hidup di kota baru dan bagaimana dia ingin menjaga hubungan dengan Clara. Meskipun keluarganya mendorongnya untuk pindah, mereka menghargai keinginan Kairo untuk tetap berhubungan.
Akhirnya, Kairo memutuskan untuk mengajak Clara ke tempat favorit mereka. Di bawah cahaya bulan yang purnama, dia berbisik, “Aku memutuskan untuk tidak menyerah. Aku ingin kita tetap berhubungan, meskipun jarak menjadi penghalang.”
Clara merasakan aliran hangat mengalir dalam hatinya. “Aku ingin kita bisa saling berbagi cerita, meskipun hanya lewat pesan. Kita bisa membuat janji untuk bertemu di masa depan. Ini tidak akan pernah berakhir.”
Kairo menatap Clara dengan keyakinan. “Persahabatan kita adalah hal terpenting bagiku. Kita bisa menjadi yang terbaik dari jarak yang terpisah.”
Hari-hari berlalu menjadi minggu, dan minggu menjadi bulan. Mereka rutin mengirim pesan dan berbagi cerita kehidupan sehari-hari, merayakan pencapaian kecil, dan saling mendukung di tengah kesulitan. Meskipun mereka terpisah secara fisik, Clara merasa Kairo tidak pernah benar-benar pergi.
Satu hari, Clara menerima pesan video dari Kairo. Di layar, Kairo tersenyum lebar, dan di belakangnya, terlihat pemandangan kota baru yang indah. “Clara! Ini luar biasa di sini! Tapi aku merindukanmu. Kita harus merencanakan pertemuan ketika aku kembali.”
Clara tersenyum, hatinya berdebar. “Aku juga merindukanmu! Kita pasti akan membuat itu terjadi.”
Waktu berlalu, dan setiap kali Kairo kembali ke kota lama, mereka selalu bertemu, mengenang kembali momen-momen indah. Mereka bercerita tentang mimpi-mimpi mereka, dan persahabatan itu semakin kuat.
Clara menyadari bahwa meskipun mereka terpisah, cinta dan dukungan yang mereka miliki tidak akan pernah pudar. Kairo bukan hanya temannya, tetapi bagian dari hidupnya yang tak tergantikan.
Suatu malam, saat mereka duduk di bangku taman yang sama di mana semuanya dimulai, Kairo menggenggam tangan Clara. “Aku percaya bahwa kita akan selalu menemukan jalan untuk satu sama lain. Persahabatan ini akan selamanya hidup, tidak peduli seberapa jauh kita terpisah.”
Clara mengangguk, harapannya semakin kuat. “Kita akan selalu menjadi teman, tidak peduli apapun yang terjadi. Dan aku berjanji, tidak akan ada jarak yang bisa memisahkan kita.”
Malam itu, di bawah bintang-bintang yang bersinar, mereka merasakan kekuatan persahabatan yang abadi, berjanji untuk terus berjuang dan saling mendukung, apa pun yang terjadi. Momen itu menjadi penegasan bahwa persahabatan sejati tidak mengenal batas dan selalu menemukan jalannya kembali.
Jadi, itu dia kisah Clara dan Kairo, sahabat yang membuktikan bahwa jarak bukan penghalang untuk menjaga hubungan. Semoga cerita ini bikin kamu lebih menghargai setiap momen bareng sahabat-sahabatmu, ya!
Ingat, meski jarak kadang bikin kita merindukan, persahabatan sejati selalu bisa menemukan jalannya kembali. Jadi, jangan lupa hubungi sahabat kamu sekarang juga! Sampai jumpa di cerita selanjutnya!