Daftar Isi
Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya ada ngggak nih yang pernah merasakan rindu yang begitu mendalam pada seseorang yang tak kunjung kembali? Kisah Anila dalam cerita “Rindu Tak Terjawab” ini mungkin akan menyentuh hatimu.
Cerita tentang seorang gadis SMA yang sangat gaul dan penuh keceriaan, namun harus menghadapi kenyataan pahit saat kakaknya tiba-tiba menghilang. Bagaimana perjuangan Anila menghadapi rasa rindu yang tak terbalas dan pertanyaan yang tak kunjung dijawab? Yuk, simak kisah emosional ini yang penuh dengan liku perjuangan, air mata, dan harapan!
Kisah Anila dan Bayang-bayang Kakaknya
Bayang-bayang Senja di Hati Anila
Anila duduk di pojok kelas yang biasa ia tempati, di dekat jendela besar yang menghadap langsung ke taman sekolah. Dari tempatnya, ia bisa melihat pohon-pohon rindang yang bergoyang pelan terkena angin sore. Senja mulai turun, menyelimuti langit dengan semburat jingga yang memudar perlahan. Itu selalu jadi waktu favorit Anila, tapi hari ini rasanya berbeda. Seolah-olah senja tak lagi membawakan kehangatan yang dulu pernah ia rasakan, ketika kakaknya, Andra, masih berada di dekatnya.
Anila tersenyum tipis saat mendengar teman-temannya bercanda di belakang kelas. Ia bahkan ikut tertawa kecil, mencoba menutupi sesuatu yang terus menghimpit hatinya. Ia dikenal sebagai gadis yang aktif dan punya banyak teman. Di mata orang lain, ia selalu terlihat bahagia. Namun tak seorang pun tahu bahwa di dalam hatinya ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak pernah ia tunjukkan kepada siapa pun rindu mendalam kepada kakaknya.
Sejak kecil, Anila selalu dekat dengan Andra. Kakaknya bukan hanya sekadar kakak bagi Anila, tetapi juga sahabat, pelindung, dan tempatnya berbagi cerita. Dulu, saat Anila pulang sekolah dengan raut wajah penuh lelah, Andra akan selalu menyambutnya dengan senyuman. Mereka akan duduk di ruang tamu, berbincang tentang hari-hari mereka, kadang saling mengejek, kadang tertawa terbahak-bahak. Kehadiran Andra selalu membuat Anila merasa aman, seolah tak ada masalah di dunia ini yang tak bisa mereka selesaikan bersama.
Namun, semuanya berubah ketika Andra harus melanjutkan kuliah di luar negeri. Hari-hari yang biasanya penuh kehangatan itu perlahan berubah menjadi dingin dan sunyi. Tak ada lagi tawa di rumah. Tak ada lagi percakapan ringan di sore hari. Kamar kakaknya pun terasa begitu kosong, seolah tak pernah dihuni. Anila sering kali duduk di tepi tempat tidur Andra, memegang buku-buku yang dulu sering mereka baca bersama. Aroma samar-samar Andra masih tertinggal di kamarnya, membuat Anila semakin tenggelam dalam rindu yang mendalam.
Di sekolah, Anila tak pernah menunjukkan kesedihan itu. Ia pandai menutupi perasaannya dengan senyuman dan keceriaan. Teman-temannya sering kali mengagumi betapa positif dan penuh semangatnya Anila, tanpa pernah tahu bahwa di balik semua itu, ada kesepian yang merayap dalam dirinya. Setiap kali mereka bercanda tentang hal-hal sepele, Anila akan ikut tertawa, meskipun hatinya berteriak, merindukan kakaknya.
Ponselnya bergetar di atas meja. Anila berharap itu pesan dari Andra, tapi ketika ia melihat layarnya, ternyata hanya notifikasi grup teman-temannya. Sudah berbulan-bulan ia tak mendengar kabar dari Andra. Pesan-pesan yang ia kirim selalu berakhir tanpa balasan. Setiap hari, Anila membuka aplikasi chat, melihat kapan terakhir kali kakaknya online. Semakin lama, Anila semakin terbiasa dengan perasaan ditinggalkan itu, namun tidak pernah sepenuhnya menerimanya.
Senja hari itu terasa sangat berat. Usai jam sekolah, Anila berjalan pelan menuju gerbang sekolah sambil memandang langit yang mulai berwarna jingga. Senja mengingatkannya pada momen-momen kebersamaan dengan Andra. Mereka sering menghabiskan waktu duduk di beranda rumah saat senja datang, membicarakan segala hal. “Langitnya indah, ya, Kak,” Anila pernah berkata saat itu. “Indah banget, kayak mimpi,” jawab Andra sambil tertawa kecil.
Langit yang sama sekarang terasa begitu jauh dari Anila. Rasanya seperti ada dinding besar yang menghalanginya dari segala hal yang pernah ia nikmati bersama Andra. Anila tak bisa menahan perasaannya lagi. Setiap langkah yang ia ambil semakin berat, seolah-olah rindu itu menumpuk di pundaknya, membuatnya tak mampu bergerak dengan leluasa. Ia berusaha menahan air mata yang hampir jatuh, tapi semakin keras ia mencoba, semakin sesak dadanya.
Sesampainya di rumah, Anila melempar tasnya ke sofa dan langsung menuju kamar Andra. Kamar itu masih sama seperti terakhir kali kakaknya pergi tertata rapi, dengan buku-buku dan barang-barang Andra yang seolah menunggu pemiliknya kembali. Anila duduk di tepi tempat tidur, menatap rak buku yang penuh dengan novel favorit Andra. Salah satu buku itu tergeletak di meja samping tempat tidur—buku yang pernah mereka baca bersama.
Anila mengulurkan tangan, meraih buku itu dan membukanya. Aroma khas kertas yang sudah agak menguning tercium samar. Ada halaman yang dilipat, menandai bagian favorit Andra. Saat melihat lipatan itu, kenangan tentang malam-malam mereka membaca bersama seketika memenuhi benaknya. Andra selalu membacakan cerita dengan suara tenang, memberikan makna mendalam pada setiap kata yang terucap. Anila suka mendengarnya, merasa seperti dunia mereka hanya terdiri dari dua orang Anila dan Andra.
Air mata Anila mulai mengalir, tak tertahan lagi. Rindu yang selama ini ia pendam seolah meledak keluar. Ia meremas buku itu erat di dadanya, berharap bisa merasakan kehadiran kakaknya melalui kenangan itu. “Kak, aku rindu…” bisiknya pelan. Namun, hanya sunyi yang menjawab.
Waktu terus berjalan, tetapi rasa rindu itu tak pernah pudar. Malah, semakin hari, semakin besar. Meski Anila selalu dikelilingi teman-temannya di sekolah, di rumah ia selalu merasa sendirian. Tidak ada lagi sosok kakaknya yang bisa ia ajak bicara ketika ia merasa lelah atau bingung. Tidak ada lagi tempat untuknya berlari ketika ia butuh pelukan.
Malam itu, Anila duduk di beranda rumah, memandangi langit yang kini gelap. Hanya bintang-bintang kecil yang bersinar di kejauhan. Anila menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang begitu sesak oleh rindu yang tak kunjung terobati. Sesekali, ia membuka ponselnya, berharap ada pesan dari Andra. Namun, tak ada. Hanya notifikasi kosong yang membuatnya merasa semakin jauh dari kakaknya.
Anila tahu, rindu ini tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Tak bisa pula dihapus begitu saja. Namun, ia berharap, suatu saat nanti, Andra akan kembali membawakan kehangatan yang pernah ia rasakan, dan menghapus sepi yang selama ini menyelimuti hari-harinya. Hingga saat itu tiba, Anila hanya bisa bertahan, meresapi rindu yang terus tumbuh dalam hatinya.
Jarak yang Membuat Luka
Anila terbangun dengan perasaan yang sama: kosong. Matanya bengkak karena menangis semalaman. Ia menatap langit-langit kamar, mencoba menenangkan pikirannya, namun setiap kali ia memejamkan mata, wajah kakaknya, Andra, kembali memenuhi benaknya. Bagaimana kabarnya? Apakah dia merindukanku? Pertanyaan itu selalu berputar di dalam pikiran Anila, tetapi tak pernah ada jawaban.
Hari itu, matahari terasa lebih terik dari biasanya ketika Anila berjalan menuju sekolah. Langkahnya terasa berat, seolah semua energi telah terserap oleh perasaan rindunya yang tak kunjung terjawab. Namun, begitu ia tiba di sekolah, Anila kembali memasang senyumnya, menutupi semua luka yang ia rasakan. Teman-temannya menyapanya seperti biasa, bercanda dan tertawa, seolah dunia ini hanya berisi kebahagiaan.
“Anila, kamu nggak ikut makan di kantin?” tanya Rena, sahabat terdekatnya, sambil menggandeng tangannya.
Anila tersenyum kecil. “Aku nanti nyusul deh, Ren. Masih ada tugas yang harus aku selesaikan,” jawabnya, meskipun sebenarnya ia hanya ingin menyendiri.
Rena mengangguk sambil berlalu bersama teman-teman yang lain. Begitu mereka pergi, senyum Anila perlahan memudar. Ia duduk di sudut kelas, membuka ponselnya, dan lagi-lagi mengecek pesan yang ia kirimkan kepada Andra seminggu yang lalu. Tak ada balasan. Hatinya terasa semakin kosong. Bagaimana bisa seseorang yang dulu selalu ada di sampingnya, sekarang menjadi begitu jauh, tak terjangkau?
Di tengah lamunannya, suara dering ponsel membuyarkan pikiran Anila. Ia langsung melihat layarnya, berharap itu adalah pesan dari kakaknya. Namun harapannya runtuh seketika saat melihat nama yang muncul: Ibu.
“Anila, nanti jangan lupa pulang lebih awal, ya. Ada hal penting yang mau Ibu bicarakan,” bunyi pesan singkat dari ibunya.
Anila menarik napas panjang. Hubungannya dengan ibunya akhir-akhir ini juga terasa renggang. Setelah Andra pergi, ibunya sering kali terlihat sibuk dengan pekerjaannya, meninggalkan Anila sendirian di rumah. Bahkan ketika mereka berada di rumah yang sama, rasanya ada jarak yang tak terlihat, memisahkan mereka berdua. Anila sering kali merasa, sejak Andra pergi, ibunya juga mulai menjauh darinya, seolah-olah ia tak lagi menjadi pusat perhatian di rumah.
Hari-hari Anila pun terasa semakin berat. Rindu kepada Andra yang tak kunjung terbalas, ditambah dengan rasa kesepian di rumah, membuatnya semakin terpuruk. Ia mencoba mengisi kekosongan hatinya dengan kesibukan di sekolah—bergaul dengan teman-teman, ikut dalam kegiatan ekstrakurikuler, dan berusaha selalu terlihat ceria. Namun, di balik senyumannya, Anila tahu ia sedang tenggelam dalam lautan rindu yang tak pernah bisa ia ungkapkan pada siapa pun.
Sepulang sekolah, Anila berjalan cepat menuju rumah, teringat pesan ibunya yang meminta pulang lebih awal. Namun di sepanjang jalan, pikirannya terus melayang pada Andra. Ia teringat momen-momen kecil yang dulu mereka habiskan bersama perjalanan ke sekolah yang selalu penuh dengan obrolan ringan, tawa Andra yang khas ketika mereka bercanda, atau bagaimana Andra selalu ada di sisinya ketika ia merasa sedih.
Sesampainya di rumah, Anila mendapati rumah dalam keadaan sunyi seperti biasa. Ia membuka pintu dengan perlahan, berharap bisa menemukan ibunya di ruang tamu. Namun, tak ada siapa pun di sana. Ia melangkah ke dapur, mendapati ibunya sedang memasak sambil sesekali melihat ponselnya. Anila berdiri di ambang pintu, merasa canggung untuk memulai percakapan.
“Ibu…” panggilnya pelan.
Ibunya menoleh, tersenyum tipis. “Oh, kamu sudah pulang, sayang. Duduk dulu, ya. Ibu selesaiin masakannya dulu, sebentar lagi selesai.”
Anila mengangguk pelan dan duduk di meja makan. Sesekali, ia melirik ibunya yang terlihat begitu sibuk. Anila ingin berbicara, ingin mengungkapkan perasaannya yang selama ini ia pendam. Ia ingin mengatakan bahwa ia merasa kesepian, bahwa ia merindukan Andra. Namun, setiap kali ia membuka mulut, kata-kata itu seakan menguap begitu saja.
Akhirnya, mereka makan malam dalam diam. Hanya suara dentingan sendok dan piring yang terdengar. Anila mencuri pandang ke arah ibunya, berharap ibunya akan membuka pembicaraan, mengajaknya bicara tentang sesuatu yang lebih dari sekadar rutinitas. Namun, tak ada yang terjadi. Hingga akhirnya, ibunya meletakkan sendoknya dan menatap Anila dengan tatapan serius.
“Anila, Ibu ingin bicara soal Andra.”
Hati Anila berdebar kencang mendengar nama kakaknya disebut. “Kenapa, Bu?” tanyanya dengan nada hati-hati.
Ibunya menghela napas panjang sebelum melanjutkan. “Andra mungkin tidak akan bisa pulang dalam waktu dekat.”
Kalimat itu seperti pukulan keras bagi Anila. Jantungnya serasa berhenti berdetak. “Kenapa, Bu?” tanyanya, suaranya bergetar.
“Dia sedang sibuk dengan studinya di luar negeri. Kamu tahu kan, betapa pentingnya pendidikan bagi Andra. Dia juga sedang mengerjakan proyek besar yang butuh waktu dan perhatian penuh,” jelas ibunya dengan nada datar, seolah ini bukan masalah besar.
Anila menelan ludah, mencoba menahan air matanya agar tidak jatuh di depan ibunya. Ia sudah tahu kalau Andra sibuk, tapi mendengar ibunya mengatakan bahwa Andra tak akan pulang dalam waktu dekat benar-benar menghancurkan hatinya. Rasa rindu yang selama ini ia pendam semakin membesar, menyiksa jiwanya.
“Tapi, Bu… aku kangen sama Andra,” suara Anila akhirnya pecah, diiringi dengan air mata yang tak lagi bisa ia tahan.
Ibunya terdiam, terlihat bingung melihat Anila menangis. Ia meletakkan tangannya di bahu Anila, mencoba menenangkan putrinya. “Ibu tahu kamu kangen, sayang. Tapi kamu harus kuat. Andra juga pasti merindukanmu, hanya saja dia sedang sibuk. Nanti, ketika semuanya sudah selesai, dia pasti akan pulang.”
Kata-kata itu seharusnya menenangkan, tapi bagi Anila, itu hanya menambah luka di hatinya. Ia merasa semakin jauh dari kakaknya, seolah-olah jarak fisik itu tak hanya memisahkan mereka secara fisik, tapi juga secara emosional. Tak ada yang bisa mengobati rasa rindunya, bahkan kata-kata ibunya pun terasa hampa.
Malam itu, setelah berbicara dengan ibunya, Anila kembali ke kamarnya. Ia duduk di tepi tempat tidur, menatap ponselnya yang tergeletak di samping. Ia membuka pesan-pesan lama dari Andra, membaca ulang percakapan mereka yang penuh tawa dan canda. Dulu, Andra selalu merespon pesan-pesannya dengan cepat, bahkan ketika ia sedang sibuk. Tapi sekarang, Anila merasa seolah-olah ia sudah tak lagi menjadi bagian dari hidup kakaknya.
Dengan tangan gemetar, Anila mengetik pesan baru untuk Andra. “Kak, aku kangen…” Pesan itu ia kirimkan tanpa sebuah berharap yang banyak. Mungkin, seperti pesan-pesan sebelumnya, pesan ini juga akan berakhir tanpa balasan.
Anila memeluk ponselnya erat-erat, seolah dengan begitu ia bisa merasakan kehadiran kakaknya. Tapi malam itu, hanya kesunyian yang menyelimuti hatinya, membuat luka rindu semakin dalam. Dan untuk kesekian kalinya, Anila tertidur dengan air mata yang tak pernah kering di pipinya, berharap esok hari akan membawa kabar dari kakaknya yang entah kapan akan kembali.
Rindu yang Tersimpan dalam Diam
Pagi kembali datang, namun langit terlihat lebih mendung dari biasanya. Anila terbangun dengan sisa-sisa tangis yang masih membekas di wajahnya. Matanya bengkak, tubuhnya terasa lelah, namun perasaan kosong di dalam hatinya tak kunjung hilang. Ia meraih ponselnya dengan harapan kecil mungkin, kali ini Andra sudah membalas pesannya.
Namun, layar ponselnya tetap sunyi. Tak ada notifikasi yang muncul. Tidak ada pesan dari Andra.
Anila menarik napas panjang, menenangkan dirinya. Sudah berapa lama ini terjadi? Rasa rindunya pada Andra sudah menggerogoti setiap inci hatinya, namun tetap tak ada jawaban. Ia bangkit dari tempat tidur, membasuh wajahnya di depan cermin. Tatapan kosong di matanya mencerminkan perasaan hampa yang ia rasakan setiap hari. Bahkan ketika ia bersama teman-temannya, ada sesuatu yang selalu hilang seperti bagian dari dirinya yang tak lagi utuh tanpa kehadiran kakaknya.
Hari ini, Anila kembali ke sekolah dengan langkah yang lebih lambat dari biasanya. Ia berharap waktu bisa berjalan lebih cepat, agar rasa rindu ini segera hilang, atau setidaknya terobati dengan kehadiran Andra. Namun, semakin hari, ia merasa harapan itu semakin jauh dari kenyataan.
Sesampainya di sekolah, Anila mendapati suasana seperti biasa: teman-temannya berkumpul, bercanda, tertawa, dan menyapanya dengan ceria. Tapi ada sesuatu yang berbeda dengan Anila hari ini. Ia tak lagi bisa menyembunyikan perasaannya. Meski senyum masih tersungging di bibirnya, matanya tak mampu menyembunyikan kesedihan yang ia rasakan.
“Anila, kamu baik-baik aja?” tanya Rena dengan nada yang khawatir saat melihat Anila yang lebih diam dari biasanya.
Anila hanya mengangguk singkat. “Iya, aku baik-baik aja,” jawabnya cepat, meskipun hatinya tahu bahwa itu tidak benar. Di dalam dirinya, Anila berjuang keras untuk tetap terlihat tegar, untuk tetap menjadi gadis yang ceria seperti biasa. Tapi hari ini, rasanya semakin sulit untuk melakukannya.
Di kelas, Anila merasa pikirannya melayang jauh. Matanya menatap papan tulis, namun pikirannya penuh dengan bayangan Andra. Ia teringat saat-saat di mana Andra selalu ada di sisinya, menemaninya mengerjakan tugas, mendengarkan keluh kesahnya, atau sekadar berbagi cerita tentang hari mereka. Dulu, Andra adalah tempat Anila berbagi segalanya, seseorang yang selalu mengerti perasaannya tanpa perlu banyak bicara.
Tapi sekarang, rasanya Andra seperti sosok yang tak lagi nyata hanya kenangan yang tersimpan dalam ingatan Anila.
Setelah bel pulang berbunyi, Anila memutuskan untuk tidak langsung pulang. Ia berjalan pelan menuju taman sekolah, tempat yang dulu sering ia kunjungi bersama Andra. Taman itu penuh dengan kenangan tempat mereka bercanda, mengobrol, dan terkadang duduk dalam diam, hanya menikmati kebersamaan. Namun, hari ini, taman itu terasa lebih sunyi dari biasanya.
Anila duduk di bangku kayu di sudut taman. Ia menatap langit yang mulai gelap, merasakan angin dingin yang berhembus pelan. Tangannya menggenggam erat ponsel di pangkuannya, berharap ada pesan masuk dari Andra, meski harapan itu semakin tipis. Setiap detik yang berlalu tanpa kabar dari kakaknya hanya mempertebal rasa sepi di hatinya.
Tanpa sadar, air mata kembali mengalir di pipinya. Anila mencoba menahannya, tetapi rasa rindu yang telah lama ia pendam terlalu kuat untuk diabaikan. Dalam diam, ia menangis. Tangannya gemetar saat mengetik pesan baru untuk Andra, meski ia tahu kemungkinan besar pesan itu tak akan mendapat balasan.
“Kak, aku bener-bener kangen sama kamu. Aku butuh kamu di sini…”
Pesan itu ia kirimkan dengan harapan kecil yang tersisa. Ia menutup matanya, membiarkan air mata jatuh tanpa henti, merasakan setiap tetesan yang mencerminkan betapa dalam rindunya pada Andra.
Saat ia tengah larut dalam kesedihannya, tiba-tiba sebuah suara memanggil namanya.
“Anila?”
Anila menoleh dan melihat Rena berdiri tak jauh darinya. Wajah sahabatnya itu tampak khawatir melihat Anila dalam keadaan menangis sendirian. Rena mendekat, duduk di samping Anila tanpa berkata apa-apa. Mereka terdiam sejenak, hanya ditemani oleh suara angin yang berhembus lembut di antara pepohonan.
“Kenapa kamu nggak cerita ke aku kalau kamu lagi sedih?” tanya Rena pelan, memecah keheningan.
Anila terdiam. Lidahnya kelu, tidak tahu harus mulai dari mana. Bagaimana bisa ia menjelaskan rasa rindu yang begitu besar pada kakaknya, sementara Andra bahkan tak lagi memberi kabar?
“Aku nggak tahu harus cerita apa, Ren. Aku… Aku cuma kangen sama Andra,” akhirnya Anila berkata dengan suara lirih. Air matanya kembali mengalir tanpa bisa ia hentikan.
Rena menatap Anila dengan penuh pengertian. “Aku ngerti, Anil. Tapi kamu nggak harus menghadapi ini sendirian. Aku ada di sini buat kamu. Kalau kamu butuh tempat cerita, kamu bisa cerita ke aku. Jangan pendam sendiri.”
Kata-kata Rena membuat hati Anila sedikit hangat, meskipun rasa rindu pada Andra masih begitu kuat. Ia menyandarkan kepalanya di bahu Rena, merasa sedikit lega karena ada seseorang yang peduli, meskipun itu tak sepenuhnya mengobati rasa kosong yang ia rasakan.
Mereka duduk bersama dalam keheningan, membiarkan waktu berlalu. Anila akhirnya merasa ada sedikit beban yang terangkat dari dadanya. Meskipun Rena tidak bisa menggantikan Andra, setidaknya ia tahu bahwa ia tidak sepenuhnya sendirian.
Namun, saat Anila kembali ke rumah malam itu, perasaan sepi kembali menghantamnya. Rumah yang dulu penuh dengan tawa dan canda bersama Andra, kini terasa begitu sunyi. Ibunya masih sibuk dengan pekerjaannya, bahkan tak sempat menyapanya ketika Anila masuk ke rumah. Anila naik ke kamarnya dan langsung mengunci diri di dalam.
Di atas tempat tidurnya, Anila merenung. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Mengapa Andra begitu sulit dijangkau? Apakah dia sudah melupakan Anila, atau apakah dia terlalu sibuk untuk sekadar mengingat adiknya? Pertanyaan-pertanyaan itu terus mengisi benaknya, membuat hatinya semakin berat.
Anila membuka ponselnya, membuka pesan terakhir yang ia kirimkan kepada Andra. Tidak ada balasan. Seperti pesan-pesan sebelumnya, pesan itu dibiarkan tergantung tanpa jawaban. Hatinya sakit setiap kali melihat layar ponselnya yang kosong, tapi ia tak tahu harus berbuat apa.
Dengan tangan yang gemetar, Anila menulis pesan baru.
“Kak, tolong balas. Aku benar-benar kangen sama kamu…”
Anila mengirim pesan itu, meski dalam hatinya, ia sudah tahu bahwa pesan itu mungkin tak akan pernah mendapat balasan. Dan untuk kesekian kalinya, Anila tertidur dalam kesunyian, dengan hati yang penuh dengan rindu yang tak terbalas.
Jejak Luka yang Tertinggal
Pagi itu, sinar matahari tak kunjung menyapa jendela kamar Anila. Awan kelabu menggantung di langit, seolah memantulkan suasana hatinya yang kusut. Setelah malam yang panjang dengan perasaan tercekik oleh rindu yang tak kunjung terbalas, Anila merasa lebih lelah dari sebelumnya. Kepalanya terasa berat, matanya bengkak setelah menangis sepanjang malam. Ponselnya tergeletak di sampingnya tidak ada pesan baru dari Andra.
Anila memandang layar kosong itu dengan tatapan nanar. Rasanya seperti mimpi buruk yang tak ada ujungnya. Kakaknya, satu-satunya orang yang dulu selalu ada untuknya, kini seolah hilang tanpa jejak. Rasa rindunya pada Andra sudah tak tertahankan, tapi seberapa pun ia berusaha menghubungi, Andra tetap diam. Diam yang semakin lama semakin menyesakkan.
Pagi itu terasa lebih berat daripada sebelumnya. Meski tubuhnya enggan untuk bergerak, Anila tahu ia harus ke sekolah. Ia tidak ingin ada yang menyadari betapa hancurnya dirinya. Teman-temannya mungkin sudah merasakan perubahan, tapi Anila selalu berusaha menyembunyikannya dengan senyum palsu. Hari ini, senyum itu terasa lebih sulit dipasang.
Sesampainya di sekolah, Anila kembali disambut oleh hiruk-pikuk suasana yang ceria. Rena sudah menunggunya di gerbang, tersenyum hangat seperti biasa. “Anil, kamu kelihatan capek banget. Kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Rena dengan nada prihatin.
Anila mengangguk lemah. “Aku baik-baik aja, Ren,” jawabnya, meski jelas terlihat dari raut wajahnya bahwa itu bohong.
Selama jam pelajaran, Anila sulit fokus. Matanya menatap papan tulis, tapi pikirannya terus melayang. Ia teringat semua kenangan dengan Andra momen-momen kecil yang dulu ia anggap biasa, tapi sekarang terasa begitu berharga. Dulu, Andra selalu menjemputnya sepulang sekolah, mengajaknya makan di warung langganan mereka, atau sekadar berbagi cerita di perjalanan pulang. Tapi semua itu sekarang hanya cuma tinggal kenangan.
Saat bel pulang berbunyi, Anila merasa lega. Ia tidak ingin berlama-lama di sekolah hari ini. Dengan langkah berat, ia berjalan keluar sekolah, namun pandangannya tiba-tiba tertuju pada sosok yang tidak ia duga. Di sudut gerbang sekolah, berdiri seseorang yang membuat dadanya berdebar kencang Andra.
Jantung Anila seakan berhenti sejenak. Itu benar-benar Andra, kakaknya, berdiri di sana. Rambutnya tampak sedikit lebih panjang dari terakhir kali mereka bertemu, wajahnya tampak lelah, namun tetap ada ketenangan yang selalu Anila kenali. Tanpa berpikir panjang, Anila berlari mendekat, perasaan yang bercampur aduk antara lega, marah, dan rindu menguasai dirinya.
“Andra!” seru Anila dengan nada suara yang terdengar bergetar.
Andra menoleh, dan seketika itu mata mereka bertemu. Ada kerinduan yang terpancar dari mata Andra, namun juga ada sesuatu yang lain sesuatu yang tidak bisa Anila pahami. Andra tersenyum tipis, senyuman yang dulu selalu membuat hati Anila tenang, namun kali ini terasa asing.
“Anil,” Andra menyapa dengan suara pelan.
Anila berhenti di hadapannya, memandang wajah kakaknya dengan campuran emosi yang meledak-ledak di dalam dirinya. “Kenapa, Kak? Kenapa kamu nggak balas pesanku? Kenapa kamu pergi begitu aja tanpa kabar?!” Suara Anila pecah, air mata mulai mengalir di pipinya. Semua perasaan yang selama ini ia pendam akhirnya tumpah.
Andra menghela napas panjang, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Maaf, Anil… Kakak nggak bermaksud ninggalin kamu gitu aja. Tapi, Kakak punya alasan,” ucapnya lirih.
“Alasan apa?” Anila nyaris berteriak. “Kamu tahu nggak, bahwa betapa aku kangen sama kamu? Betapa aku ngerasa sendiri tanpa kamu di sini?”
Andra menatap Anila dengan penuh penyesalan. “Kakak nggak bisa bilang semuanya sekarang. Tapi, percayalah, Kakak selalu mikirin kamu. Kakak nggak pernah ninggalin kamu sepenuhnya.”
Tapi itu tidak cukup bagi Anila. Bagaimana bisa Andra mengatakan hal itu setelah semua waktu yang berlalu tanpa kabar? Rasa sakit dan kecewa mengalir deras di hatinya. “Kenapa kamu nggak bisa bilang sekarang, Kak? Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang kamu sembunyikan dari aku?” tanya Anila, suaranya bergetar.
Andra terdiam sejenak, menatap adiknya dengan sorot mata yang sulit dijelaskan. “Kakak akan cerita… tapi nggak sekarang. Ada hal yang harus Kakak selesaikan dulu,” jawabnya dengan nada yang terdengar terlalu misterius bagi Anila.
Anila menggeleng, merasa lebih bingung dari sebelumnya. “Aku nggak ngerti, Kak. Aku cuma pengen kamu balik. Aku pengen kita kayak dulu lagi.”
“Aku juga pengen itu, Anil. Tapi kadang… ada hal-hal yang nggak bisa kita kontrol,” ucap Andra dengan lirih. Dia mengusap kepala Anila pelan, mencoba menenangkan adiknya, namun sentuhan itu hanya membuat Anila semakin sadar betapa jauhnya jarak antara mereka sekarang.
Setelah momen yang penuh keheningan, Andra melangkah mundur, seolah siap untuk pergi lagi. “Kakak harus pergi sekarang. Tapi Kakak janji, suatu saat nanti kita akan ketemu lagi, dan Kakak akan jelasin semuanya.”
“Tapi kapan, Kak?” Anila memohon, tangannya berusaha meraih tangan Andra, namun kakaknya sudah melangkah pergi.
Andra hanya tersenyum tipis, mengucapkan selamat tinggal dengan anggukan kecil sebelum berbalik dan pergi. Anila berdiri di sana, merasa lebih kosong dari sebelumnya. Pertemuan singkat itu hanya meninggalkan lebih banyak pertanyaan dan luka yang belum terjawab.
Anila menatap kepergian Andra, air mata terus mengalir di pipinya. Kakaknya sudah kembali, namun tidak sepenuhnya. Rindu yang selama ini ia rasakan tidak terobati, justru semakin membesar, semakin menyakitkan. Anila merasakan perasaan tak berdaya yang begitu kuat, seolah-olah setiap harapan yang ia miliki perlahan-lahan menghilang.
Di perjalanan pulang, Anila berjalan dengan langkah gontai. Kepalanya penuh dengan pikiran yang berputar-putar, namun tak ada satupun yang memberikan jawaban. Di rumah, ia langsung masuk ke kamarnya dan mengunci diri di dalam. Ia duduk di atas tempat tidurnya, memeluk lututnya erat-erat, mencoba menahan tangis yang tak lagi bisa ia kendalikan.
Anila memikirkan kata-kata Andra tentang alasan yang tak bisa ia jelaskan, tentang janji yang entah kapan akan dipenuhi. Semua itu hanya menambah rasa sakit yang selama ini ia rasakan. Ia ingin marah, tapi pada siapa? Pada Andra, yang tiba-tiba menghilang dan kembali hanya untuk pergi lagi? Atau pada dirinya sendiri, karena berharap terlalu banyak?
Waktu terus berjalan, dan malam kembali datang. Namun bagi Anila, malam ini sama saja dengan malam-malam sebelumnya penuh dengan rasa rindu yang tak terjawab, penuh dengan perasaan kehilangan yang semakin mendalam.
Namun, satu hal yang ia tahu pasti: ia tidak akan menyerah. Anila berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan terus menunggu, akan terus berjuang untuk mengerti alasan di balik semua ini. Ia akan bertahan, meskipun setiap detik yang berlalu terasa seperti siksaan. Karena di balik semua rasa sakit ini, ada satu hal yang tidak pernah berubah cintanya pada Andra, kakaknya, yang tak tergantikan.
Dan meskipun Andra belum bisa memberikan jawabannya sekarang, Anila percaya bahwa suatu hari nanti, mereka akan kembali seperti dulu. Setidaknya, itulah harapan yang terus memotivasinya untuk bangkit setiap hari, meskipun hati kecilnya tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah.
Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Kisah Anila mengajarkan kita bahwa rindu bukan hanya tentang menunggu, tapi juga tentang keteguhan hati dan keinginan untuk bertahan meski tanpa kepastian. Bagaimana Anila terus berharap, berjuang dengan perasaan yang campur aduk, mungkin menggambarkan perasaan kita sendiri ketika merindukan seseorang yang jauh. Apakah kamu juga pernah merasakan rindu seperti Anila? Jangan menyerah, karena mungkin suatu saat, jawaban yang kita tunggu akhirnya datang. Teruslah berharap, karena perjuangan kita tidak akan pernah sia-sia!