Daftar Isi
Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya pernah nggak sih kalian ngerasain susahnya jadi anak kos? Nah, di artikel ini, kita bakal bahas cerita tentang Adira, seorang remaja SMA yang harus menghadapi kerasnya kehidupan jauh dari rumah.
Dari urusan uang kos yang nunggak, sampai perasaan kesepian yang nggak bisa dihindarin, perjuangan Adira bikin kita terharu dan mikir, seberapa jauh kita berani berjuang? Yuk, simak kisah lengkapnya yang penuh emosi dan perjuangan hidup sebagai anak rantau!
Meniti Hidup di Balik Dinding Kosan
Langkah Pertama di Kosan Sempit
Adira memandangi papan nama kecil di depan rumah kontrakan itu, bertuliskan “Kosan Putri Mandiri.” Ada perasaan campur aduk yang bergemuruh di dadanya. Bagian dari dirinya merasa lega karena akhirnya ia memiliki tempat tinggal di kota besar ini. Namun, ada bagian lain yang begitu berat, seolah-olah sesuatu telah berubah untuk selamanya. Pintu rumah kecil itu adalah gerbang yang memisahkan dirinya dari kenyamanan rumah yang telah ia tinggalkan.
Sebuah suara serak dari balik pintu kos mengejutkannya. “Kamar nomor tiga, ya? Itu di lantai atas, sayang.” Ibu kos, seorang wanita tua dengan rambut beruban dan wajah yang penuh kerut, berdiri di ambang pintu. Senyumnya lelah tapi ramah.
Adira mengangguk pelan, merasa canggung saat melangkah masuk dengan koper kecil yang berderit di belakangnya. Langkah kakinya terasa berat saat ia menaiki tangga sempit menuju lantai dua. Aroma lembab yang khas dari bangunan tua menyambutnya, mengingatkannya pada gudang di rumah neneknya. Kamar kos itu tidak besar. Dindingnya sedikit kusam dengan cat yang mulai mengelupas di beberapa tempat. Kasur tipis diletakkan di sudut ruangan, hanya berjarak beberapa langkah dari meja belajar kayu yang sedikit reyot. Tidak ada lemari, hanya rak gantungan besi yang disandarkan pada dinding. Di sudut lainnya, ada sebuah jendela kecil yang langsung menghadap gang sempit di luar.
Adira berdiri di tengah kamar, sejenak terdiam. Kamar ini akan menjadi dunia barunya, tempat ia akan menghabiskan hari-harinya jauh dari orang tua. Tempat ini akan menjadi saksi bisu perjuangannya sebagai seorang anak kos, anak SMA yang dipaksa lebih cepat dewasa.
“Ini rumahku sekarang,” gumamnya pelan, mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Tapi kenyataan itu terasa lebih pahit dari yang ia bayangkan.
Setelah meletakkan barang-barangnya, Adira duduk di tepi kasur dan menghela napas panjang. Pikirannya melayang jauh ke rumahnya di desa. Ia teringat pelukan hangat ibu di pagi hari sebelum ia berangkat sekolah, atau suara ayahnya yang selalu bersahabat di meja makan setiap malam. Betapa sederhana namun nyaman hidupnya dulu. Dan sekarang, ia berada di sini, sendirian.
Tanpa disadari, air matanya mulai menetes, jatuh tanpa suara di pipinya yang dingin. Ia segera menyekanya dengan punggung tangan. “Tidak boleh menangis, Adira. Kamu harus kuat,” bisiknya pada diri sendiri. Tapi, semakin ia mencoba menahan, semakin deras air mata itu mengalir. Seluruh beban dan ketakutan yang selama ini ia pendam pecah begitu saja.
Adira bukan tipe orang yang mudah menyerah. Sejak kecil, ia selalu diajarkan oleh orang tuanya untuk mandiri, untuk tidak bergantung pada orang lain. Namun, hidup di kosan seperti ini terasa begitu sepi. Tak ada suara keluarga yang menemani, tak ada canda tawa yang menyambutnya di rumah. Hanya ada dirinya dan dinding kamar yang terasa begitu menekan.
Setelah beberapa saat, Adira bangkit. Ia mengeluarkan satu persatu barang dari dalam kopernya pakaian, beberapa buku pelajaran, serta sebuah foto keluarga kecil yang ia bawa dari rumah. Foto itu ia letakkan di atas meja belajar, sebagai pengingat akan asal-usulnya, akan keluarga yang ia cintai. Melihat wajah kedua orang tuanya dalam foto itu, hati Adira sedikit tenang. Meskipun jauh, ia tahu mereka selalu ada di hatinya.
Waktu berlalu, malam pun tiba. Kamar kos Adira kini terasa semakin sunyi. Suara bising kendaraan dari luar jalan tidak mampu mengusir kesepian yang menelan suasana kamar. Ia duduk di tepi jendela, menatap langit malam yang sebagian besar tertutup oleh atap-atap rumah tetangga. Di luar sana, lampu-lampu rumah dan toko-toko masih menyala, seakan tidak peduli pada kesedihan yang menggerogoti hati seorang anak perempuan di kamar kecil ini.
Adira mengambil ponselnya dan membuka pesan dari ibunya yang terakhir ia terima. “Jaga diri baik-baik ya, Nak. Ibu dan ayah selalu mendoakanmu.”
Membaca pesan itu, air mata kembali menggenang di matanya. Namun kali ini, ia tersenyum di sela-sela tangisnya. Meski jauh, ia tahu bahwa orang tuanya selalu ada untuknya, meski hanya lewat kata-kata.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Adira mulai mengetik balasan, “Iya, Bu. Adira baik-baik saja di sini. Kamar kosnya nyaman kok. Jangan khawatir ya.” Setelah menekan tombol ‘kirim’, ia merasa sedikit lega meskipun kata-kata yang ia tulis tidak sepenuhnya jujur. Kamar kosnya mungkin tidak seindah yang ia ceritakan, tapi ia tidak ingin membuat ibunya khawatir.
Malam semakin larut, dan Adira pun berbaring di atas kasur yang terasa keras. Ia menutup matanya, mencoba mengusir segala pikiran negatif yang menghantui. Namun, pikiran tentang keesokan hari terus mengganggu. Bagaimana jika ia tidak mampu bertahan? Bagaimana jika hidup di kosan lebih sulit dari yang ia kira?
Dalam kegelapan malam, Adira bergumul dengan perasaannya. Namun, di balik semua ketakutan itu, ada dorongan kuat dalam hatinya untuk tetap melangkah. Ia tahu, jalan hidup yang ia pilih ini bukanlah yang mudah. Tapi, ia yakin, di balik semua kesulitan ini, akan ada kebahagiaan yang menunggunya suatu hari nanti.
“Besok akan lebih baik,” gumamnya, sebelum akhirnya ia tertidur dengan harapan bahwa esok hari akan membawa cahaya baru dalam hidupnya yang kini berbeda.
Dua Dunia Adira: Ceria di Sekolah, Sepi di Kamar
Pagi itu, suara alarm yang nyaring membangunkan Adira dari tidurnya. Matahari pagi yang hangat mengintip dari jendela kecil kamar kosnya, tetapi Adira masih terbaring lemas. Tidurnya malam itu tidak nyenyak kesepian, rasa rindu, dan kekhawatiran tentang hidup di kota besar menghantui mimpinya. Kasur tipis yang terasa keras hanya memperparah keletihannya. Namun, ia tak punya pilihan lain. Hidup di kosan kecil ini adalah bagian dari perjuangannya, dan hari ini adalah hari pertama sekolah.
Adira merapikan seragamnya yang ia setrika dengan sangat hati-hati malam sebelumnya. Meskipun kondisi di kosnya jauh dari sempurna, ia selalu berusaha tampil rapi dan percaya diri. Ia memandang dirinya di cermin kecil di atas meja belajar yang reyot. “Kamu bisa, Adira,” katanya pelan pada bayangan dirinya. Tak ada yang boleh tahu tentang kesulitan yang ia hadapi di balik kehidupan kos ini. Di sekolah, ia harus tetap menjadi Adira yang ceria, aktif, dan punya banyak teman.
Saat tiba di sekolah, suasana langsung berubah. Sekolah selalu menjadi tempat pelarian bagi Adira dari segala masalahnya. Di sini, ia bisa melupakan sejenak betapa sunyinya kamar kosnya. Begitu masuk gerbang, Adira langsung disambut oleh Sari dan teman-teman lainnya yang sudah menunggunya di depan kelas.
“Adira! Akhirnya kamu datang juga!” seru Sari sambil melambai antusias. Di sekolah, Adira memang dikenal sebagai sosok yang selalu bisa membuat suasana menjadi ceria. Ia pintar bergaul, dan orang-orang selalu merasa nyaman berada di sekitarnya.
Adira tersenyum lebar, menyembunyikan segala beban yang ia rasakan pagi itu. “Iya, tadi macet di jalan. Kalian udah dari tadi?”
“Kita udah lama nungguin! Eh, nanti kita makan bareng di kantin, ya!” ajak salah satu temannya.
Adira mengangguk meski dalam hatinya ia merasa cemas. Uang saku yang dibawa sangat terbatas. Sisa dari kiriman bulan ini hanya cukup untuk makan siang seadanya dan menutup beberapa kebutuhan penting. “Ya, nanti kita lihat, ya,” jawabnya dengan senyum terpaksa.
Seperti biasa, Adira berusaha sebaik mungkin mengikuti pelajaran. Ia tak ingin kesulitan hidup di kosan memengaruhi prestasinya di sekolah. Namun, ada saat-saat di mana pikirannya melayang, terutama ketika ia melihat teman-temannya yang berbicara tentang rencana makan siang atau jalan-jalan bersama. Mereka terlihat begitu bebas, tanpa memikirkan berapa banyak uang yang tersisa di dompet atau apa yang harus mereka makan malam nanti.
Ketika bel istirahat berbunyi, teman-temannya langsung mengajaknya ke kantin. Sari menggandeng lengan Adira, menariknya dengan semangat. “Ayo, kita makan! Aku udah lapar banget!”
Adira berusaha menahan rasa cemas. Ia tahu kantin sekolah menyediakan berbagai makanan enak, tapi juga tidak murah. Ketika sampai di kantin, Adira mengambil nampan, berusaha memilih makanan yang paling murah. “Nasi putih sama sayur aja, ya, Mbak,” katanya pelan, berusaha terlihat biasa saja.
“Cuma itu, Adira? Kamu gak ambil ayam?” tanya Sari yang sudah bisa membawa piring penuh dengan makanan.
Adira tersenyum, lagi-lagi menyembunyikan rasa berat di hatinya. “Lagi gak selera makan banyak,” jawabnya singkat. Sari mengangguk tanpa curiga, lalu kembali ke meja bersama yang lainnya. Adira mengikuti dari belakang, mencoba menikmati makanan seadanya di tengah obrolan ceria teman-temannya. Dalam hati, ia berharap tak ada yang menyadari bahwa setiap hari ia harus menghitung setiap rupiah yang ia keluarkan.
Saat kembali ke kelas, Adira meyakinkan dirinya untuk fokus. Ia harus tetap semangat, apapun yang terjadi. Sekolah adalah satu-satunya tempat di mana ia bisa merasa sedikit lebih normal, lebih lepas dari masalah yang ada di kos. Dan di sini, ia tak ingin terlihat lemah.
Namun, setiap kali ia kembali ke kamar kosnya yang sempit, semua beban itu datang menghantamnya tanpa ampun. Kamar kos adalah tempat di mana ia tak bisa lagi berpura-pura. Di sana, kesunyian berbicara lebih keras daripada keramaian sekolah yang ia nikmati. Sore itu, saat ia membuka pintu kamar, Adira merasa seperti masuk ke dunia yang berbeda dunia yang hanya diisi oleh dirinya sendiri, penuh dengan kekhawatiran dan kelelahan.
Setelah melepas seragam dan menggantinya dengan kaus sederhana, Adira duduk di meja belajarnya. Ia menatap buku pelajaran yang terbuka di depannya, tapi pikirannya melayang jauh. Sesekali, ia menatap foto keluarganya yang ada di atas meja. Melihat senyum ayah dan ibunya di foto itu membuat hatinya terasa hangat sekaligus perih. Betapa ia merindukan suasana rumah yang sederhana namun penuh kasih sayang. Betapa ia merindukan makanan hangat buatan ibunya, pelukan ayahnya yang selalu membuatnya merasa aman.
Malam semakin larut. Adira mencoba menyibukkan diri dengan belajar, tapi pikirannya tetap terusik oleh banyak hal. Uang kos yang harus segera dibayar, makanan yang semakin hari semakin terbatas, dan rasa rindu yang begitu kuat. Ia tahu, ia tak bisa terus-terusan hidup dalam ketidakpastian seperti ini. Tapi, apa yang bisa ia lakukan? Ia hanya seorang anak SMA yang terpaksa mandiri di usia yang terlalu muda.
Adira meraih ponselnya dan membuka chat dengan ibunya. Jari-jarinya bergerak pelan di layar, mengetik pesan. “Bu, Adira baik-baik aja di sini. Jangan khawatir, ya.” Tapi sebelum ia bisa mengirimnya, ia hanya bisa terdiam. Ia ingin sekali jujur tentang semua yang ia rasakan tentang betapa sulitnya hidup jauh dari rumah, tentang malam-malam yang dilalui dengan perut kosong dan hati yang hampa. Tapi ia tak ingin membuat ibunya khawatir. Ia tahu, keluarganya juga sedang berjuang keras di desa. Ia tidak ingin menambah beban mereka.
Dengan hati berat, Adira menekan tombol ‘kirim’. Meskipun pesannya sederhana dan tidak mencerminkan apa yang sebenarnya terjadi, ia berharap kata-kata itu bisa memberikan ketenangan bagi ibunya.
Adira merebahkan tubuhnya di atas kasur yang terasa lebih keras dari biasanya. Matahari sudah lama tenggelam, dan malam semakin dingin. Suara-suara dari kamar sebelah terdengar samar, suara orang-orang yang menjalani hidup mereka dengan cara yang berbeda. Sementara itu, di balik dinding kamar kosnya yang tipis, Adira menghadapi perasaannya sendirian.
“Besok mungkin akan lebih baik,” bisik Adira pada dirinya sendiri, mencoba mencari penghiburan dalam kata-kata itu. Tapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa perjuangan ini masih panjang. Dunia sekolah yang ceria dan dunia kosan yang sepi akan terus ia jalani. Dan di antara kedua dunia itu, Adira harus menemukan cara untuk tetap berdiri tegak, meski semua terasa begitu berat.
Kehilangan yang Tak Terduga
Keesokan harinya, Adira bangun lebih pagi dari biasanya. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya sejak malam sebelumnya. Tidur yang sempat datang hanya sebentar, digantikan dengan pikiran yang berputar tanpa henti. Masalah uang kos, makanan yang semakin menipis, dan kesunyian yang mengurungnya seperti tembok tak terlihat. Namun, pagi itu Adira berusaha mengusir rasa lelah yang bergelayut, seperti hari-hari sebelumnya. Ia harus tetap kuat, ia harus terus melangkah.
Setelah mandi dengan air yang terasa dingin menusuk tulang karena pemanas air di kosnya rusak Adira mengenakan seragamnya dengan rapi. Ia mematut diri di cermin kecil yang menempel di dinding kamar. Rambut hitamnya ia ikat ke belakang, wajahnya ia poles dengan senyum yang seharusnya bisa menutupi rasa lelah dan kekhawatirannya.
Di luar, suasana kosan sudah mulai hidup. Suara penghuni kamar lain yang sibuk mempersiapkan diri untuk hari mereka terdengar samar-samar. Adira keluar dari kamar dengan langkah pelan, menutup pintu kamar dengan hati-hati agar tidak menimbulkan bunyi yang mengganggu. Ia tidak ingin tetangganya tahu, bahwa mungkin ini adalah hari terakhir ia bisa membayar kosan. Waktu untuk membayar sudah semakin dekat, tapi uang di dompetnya hampir habis.
Hari itu di sekolah terasa sama seperti biasanya sekolah yang ceria, penuh tawa teman-temannya, dan obrolan ringan di kelas. Namun, hari ini ada yang sedikit berbeda dalam diri Adira. Matanya mungkin tertawa bersama mereka, tapi dalam hatinya ada sebuah jurang kesepian yang semakin lebar.
Di kelas, Sari dan teman-teman lainnya bercanda seperti biasa. Mereka membicarakan rencana untuk pergi bersama pada akhir pekan. Adira ikut tersenyum, meskipun pikirannya sudah jauh melayang. Ia tahu, ia tidak mungkin ikut. Uang sakunya tak cukup, bahkan untuk makan sehari-hari, apalagi untuk bersenang-senang di luar.
“Adira, kamu ikut gak nanti jalan-jalan ke mall?” tanya Sari sambil menyikut lengannya.
Adira tersentak dari lamunannya dan berusaha tersenyum. “Lihat nanti, ya. Mungkin aku ada urusan.”
Teman-temannya tidak terlalu memikirkan jawabannya. Mereka melanjutkan obrolan mereka, tapi Adira merasa semakin terasing. Di balik keceriaan itu, Adira menyadari bahwa ia menjalani kehidupan yang berbeda dari mereka. Ia harus bertarung melawan kenyataan yang keras, sementara mereka hidup dalam kenyamanan yang tak pernah ia rasakan.
Sore itu, Adira pulang dengan langkah yang lebih berat dari biasanya. Ia tahu, ia harus berbicara dengan ibu kos soal pembayaran bulan ini. Di satu sisi, ia ingin menunda pembicaraan itu, berharap ada keajaiban yang datang untuk menyelamatkannya. Tapi di sisi lain, ia tahu bahwa menunda hanya akan membuat segalanya semakin sulit.
Setelah mengganti seragamnya dan duduk di meja belajarnya yang reyot, Adira menatap buku catatannya. Bukannya belajar, pikirannya justru sibuk menghitung-hitung uang yang tersisa. Ia hanya memiliki beberapa puluh ribu rupiah di dompetnya, tidak cukup bahkan untuk membayar setengah uang kos.
“Harus gimana lagi?” gumam Adira pelan, frustrasi mulai menyelimuti dirinya. Pikirannya melayang ke keluarganya di kampung. Ia tahu kondisi keuangan keluarganya tidak jauh lebih baik darinya. Meminta uang lebih bukanlah solusi yang mungkin.
Dalam kekalutan itu, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu. Adira merasa dadanya berdegup lebih cepat. “Siapa ya?” pikirnya, berharap itu bukan ibu kos.
Ketukan kedua terdengar, lebih keras. Dengan napas tertahan, Adira membuka pintu dan benar saja ibu kos berdiri di ambang pintu dengan ekspresi tegas di wajahnya.
“Adira, kamu ada waktu sebentar? Kita perlu bicara soal pembayaran kosan bulan ini,” kata ibu kos tanpa basa-basi.
Adira merasa seluruh tubuhnya menegang. Ia mengangguk pelan dan mengundang ibu kos masuk ke dalam kamar. Mereka duduk di kursi kayu yang agak goyah, dan suasana langsung berubah tegang. Adira berusaha menjaga agar suaranya tetap stabil.
“Saya minta maaf, Bu,” Adira memulai dengan hati-hati. “Saya belum bisa bayar bulan ini. Uangnya belum terkumpul, tapi saya janji akan segera melunasinya.”
Ibu kos menatap Adira dengan mata yang tajam. “Saya paham situasi kamu, Adira. Tapi kamu juga harus paham, saya punya banyak biaya yang harus dibayar. Kalau sampai akhir minggu ini kamu belum bayar, saya terpaksa meminta kamu untuk mencari tempat lain.”
Kata-kata ibu kos menghantam Adira seperti badai yang datang tanpa peringatan. Tempat lain? Adira bahkan tidak punya tempat untuk pergi. Ia tidak punya siapa-siapa di kota ini selain teman-teman sekolah yang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam hidupnya.
Adira menunduk, tidak berani menatap mata ibu kos. “Saya mengerti, Bu,” katanya pelan. “Saya akan cari cara.”
Setelah percakapan yang singkat namun berat itu, ibu kos keluar dari kamar, meninggalkan Adira sendirian dengan pikirannya yang penuh beban. Kamar itu terasa semakin sempit, semakin sesak dengan kekhawatiran yang menumpuk. Adira duduk di tepi kasurnya, menatap ke langit-langit dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Dalam kesunyian kamar itu, Adira merasa benar-benar sendirian. Di sekolah, ia selalu bisa berpura-pura kuat, tapi di sini, di balik pintu yang tertutup, semua kepura-puraan itu runtuh. Ia merasa tak berdaya, terjebak di antara mimpi-mimpi yang mulai pudar dan kenyataan yang tak memberinya pilihan.
Malam itu, Adira memutuskan untuk menelepon ibunya. Dengan jantung berdebar, ia menekan nomor telepon rumahnya. Suara di ujung sana terdengar pelan dan lembut, suara ibunya yang begitu dirindukannya.
“Assalamualaikum, Nak. Kamu baik-baik saja di sana?” suara ibunya yang terdengar dengan penuh kehangatan bisa membuat Adira semakin sulit sambil menahan air mata yang sejak tadi ia tahan.
“Waalaikumsalam, Bu. Aku baik-baik saja,” jawab Adira sambil berusaha untuk menahan suaranya agar tidak bergetar.
Setelah beberapa percakapan ringan tentang keadaan di rumah, Adira merasa hatinya semakin sesak. Ia ingin sekali mengatakan apa yang sebenarnya terjadi bahwa ia tidak punya cukup uang, bahwa ia mungkin harus pindah dari kosan, bahwa ia merasa sangat sendirian. Tapi suara lembut ibunya yang penuh kasih membuatnya mengurungkan niat itu.
“Bu, kalian gimana di sana? Semuanya baik-baik saja, kan?” Adira mencoba untuk mengalihkan pembicaraan sambil berusaha menyembunyikan kecemasan yang sangat berkecamuk di dalam dirinya.
“Alhamdulillah, Nak. Kita semua baik-baik saja di sini. Kamu jangan khawatirkan kami, yang penting kamu fokus belajar di sana. Ibu dan ayah selalu doakan kamu.”
Adira terdiam sejenak, mencoba menelan perasaan bersalah yang tiba-tiba membuncah. Betapa ia ingin jujur, tapi ia tahu bahwa keluarganya sudah berjuang keras hanya untuk bisa menyekolahkannya di kota ini. Ia tidak ingin menambah beban mereka.
“Iya, Bu. Terima kasih doanya. Aku akan bisa terus berusaha.” katanya akhirnya, dengan nada suara yang pelan.
Setelah telepon itu ditutup, Adira duduk di tepi kasurnya lagi, menatap kosong ke luar jendela. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ia tidak bisa terus hidup seperti ini. Sesuatu harus berubah, tapi ia tidak tahu bagaimana caranya. Dengan napas berat, ia merebahkan diri di atas kasur, berharap esok hari akan membawa jawaban atas semua masalah yang menimpanya.
Langkah Terakhir di Tepi Jurang
Pagi itu, sinar matahari yang menembus jendela kamar kos Adira tidak membawa kehangatan seperti biasanya. Segalanya terasa lebih dingin, lebih sunyi. Adira bangun dengan perasaan yang jauh dari damai. Beberapa hari telah berlalu sejak percakapannya dengan ibu kos, dan tenggat waktu yang diberikan semakin mendekat. Hari ini adalah hari terakhir sebelum ancaman itu menjadi kenyataan.
Adira memandangi kamarnya yang sempit dan kumuh. Lemari pakaian yang sudah lapuk, meja belajar kecil yang penuh dengan tumpukan buku, dan kasur tipis yang sudah tak empuk lagi. Tempat ini memang jauh dari nyaman, tapi setidaknya inilah satu-satunya ruang yang ia miliki di kota ini. Sekarang, ancaman kehilangan kamar itu terasa seperti kehilangan tempat berlindung terakhirnya.
Sebelum berangkat sekolah, Adira duduk sejenak di tepi kasur, menunduk menatap lantai yang retak-retak. Ia tahu, hari ini ia harus melakukan sesuatu. Entah bagaimana caranya, ia harus menyelesaikan masalah ini. Tapi setiap kali memikirkan solusi, Adira selalu dihadapkan pada dinding buntu. Uang yang ia miliki sama sekali tidak cukup, dan meminta kepada keluarganya bukanlah pilihan. Orang tuanya sudah cukup berjuang untuk membiayai sekolahnya.
Adira beranjak dan membuka dompetnya. Ada beberapa lembar uang receh di sana hanya cukup untuk ongkos dan makan siang seadanya. Tidak ada lagi yang bisa dijual atau dipinjam. Sekilas, pikirannya melayang pada teman-temannya di sekolah, Sari dan yang lainnya. Tapi mereka tidak tahu apa yang sedang ia hadapi. Adira terlalu gengsi untuk menceritakan masalah ini pada mereka, takut dianggap lemah atau memalukan. Lagi pula, mereka semua berasal dari keluarga yang berkecukupan. Hidup mereka tak pernah dirundung kekhawatiran soal uang seperti yang ia rasakan.
Di sekolah, Adira berusaha menjalani harinya seperti biasa, meski ada rasa gelisah yang terus menggumpal di dada. Teman-temannya tertawa, bercanda, merencanakan kegiatan-kegiatan seru untuk akhir pekan. Namun, ia hanya duduk di sana, senyum yang ia paksakan tetap menghiasi wajahnya, tapi hatinya tidak berada di tempat yang sama.
Ketika bel istirahat berbunyi, Adira memutuskan untuk duduk sendirian di sudut kantin. Ia terlalu lelah untuk bergabung dengan teman-temannya, terlalu lelah untuk berpura-pura. Di tangannya, selembar roti yang tadi ia beli di warung hanya tergenggam tanpa disentuh. Nafsu makannya lenyap seiring dengan kecemasan yang semakin menjerat.
Saat itulah Sari datang menghampirinya. “Adira, kok sendirian di sini?” tanya Sari dengan suara riang.
Adira tersenyum tipis. “Gak apa-apa, lagi pengen sendiri aja.”
Sari duduk di depannya, menatapnya dengan sedikit cemas. “Ada yang lagi dipikirin, ya? Kamu keliatan beda beberapa hari ini. Cerita dong, siapa tahu aku bisa bantu.”
Pertanyaan Sari menusuk hati Adira. Inilah kesempatan untuk jujur, untuk menceritakan semua yang ia rasakan. Tapi mulutnya terasa berat, seolah-olah semua kata yang ingin ia keluarkan tertahan di kerongkongan. Akhirnya, Adira hanya menggeleng pelan. “Enggak, gak ada apa-apa. Cuma lagi capek aja.”
Sari mengangguk, meski raut wajahnya tampak masih sedikit khawatir. “Kalau ada apa-apa kamu cerita aja ya, Dir. Kita kan sahabat.”
Kata-kata itu menggema di kepala Adira setelah Sari pergi. Sahabat. Tapi mengapa sulit sekali baginya untuk berbagi beban ini? Mengapa ia selalu merasa harus menghadapi semuanya sendirian?
Setelah pulang sekolah, Adira tidak langsung kembali ke kos. Kakinya melangkah tanpa tujuan menyusuri jalan-jalan kecil di sekitar kota, mencoba mengusir rasa kalut yang tak kunjung hilang. Udara sore itu terasa pengap, seperti beban yang menghimpit dadanya. Pikiran Adira terus berputar-putar pada masalahnya, mencoba mencari solusi yang belum juga ia temukan.
Hingga tanpa sadar, langkah kakinya membawanya ke sebuah tempat yang tak jauh dari sekolah taman kecil yang sering ia kunjungi ketika perasaannya sedang kacau. Di sana, Adira duduk di bangku kayu yang sudah mulai usang, memandangi pepohonan yang rindang dan bunga-bunga yang mulai bermekaran di awal musim hujan. Suasana taman yang tenang selalu berhasil memberinya sedikit ruang untuk bernapas, meskipun hari ini rasanya berbeda.
Dalam diam, air mata yang sejak tadi ia tahan mulai mengalir perlahan. Kesedihan yang selama ini ia pendam begitu dalam akhirnya meluap, membanjiri pipinya yang dingin. Ia menangis, bukan hanya karena takut kehilangan tempat tinggal, tapi juga karena rasa kesepian yang semakin dalam. Semua perjuangan yang ia hadapi seorang diri mulai terasa terlalu berat.
Adira teringat ibunya di rumah, betapa keras perempuan itu bekerja untuk menghidupi keluarganya. Meski jauh, ibu selalu memberinya dukungan tanpa henti. Tapi di sini, di kota ini, Adira merasa tak ada siapa-siapa. Sahabat-sahabatnya mungkin baik dan peduli, tapi tidak ada yang benar-benar memahami apa yang sedang ia alami.
Dalam tangisnya, Adira meraih ponsel di dalam tasnya. Ia membuka kontak ibunya dan menatap nama itu di layar. Sesaat ia ragu, tapi rasa rindu dan butuh akan kehangatan suara ibunya mendorongnya untuk menekan tombol panggil. Beberapa detik kemudian, terdengar suara yang sudah sangat ia kenal.
“Assalamualaikum, Nak. Bagaimana kabarmu?”
Suara lembut ibunya langsung memecah bendungan emosi yang selama ini ia tahan. Adira terisak keras, suaranya pecah dalam tangisan yang tak bisa ia kendalikan.
“Bu… aku gak kuat, Bu…”
Di seberang telepon, ibunya terdiam sesaat, seolah bingung mendengar tangisan anaknya yang tiba-tiba.
“Kenapa, Nak? Ada apa? Cerita sama Ibu…”
Dengan suara yang bergetar, Adira mulai menceritakan segalanya. Tentang uang kos yang belum bisa ia bayar, tentang ancaman untuk diusir dari kosan, dan tentang betapa ia merasa sendirian dan tak berdaya. Setiap kata yang keluar dari mulutnya seolah melepaskan sebagian beban yang selama ini ia pikul sendirian.
Mendengar cerita Adira, suara ibunya tetap tenang. “Nak, Ibu tahu ini berat untukmu. Tapi kamu gak sendirian. Kita akan cari cara bersama-sama.”
“Tapi, Bu… aku gak mau membebani kalian lagi. Kalian sudah terlalu banyak berkorban.”
“Jangan pernah berpikir begitu, Adira. Ibu dan Ayah selalu ada untukmu, apapun yang terjadi. Kita keluarga. Ibu akan coba cari uang, mungkin dari pinjaman. Kamu tenang aja di sana, jangan khawatirkan masalah ini sendirian.”
Adira terisak lagi, tapi kali ini dengan perasaan yang sedikit lega. Meski masalahnya belum selesai, mendengar suara ibunya memberinya kekuatan baru. Ia tidak sendirian. Ada orang-orang yang peduli padanya, yang bersedia membantunya meskipun jarak memisahkan mereka.
Setelah menutup telepon, Adira duduk termenung di taman itu, membiarkan angin sore menyapu wajahnya yang basah. Masalah ini belum selesai, tapi setidaknya, ia tahu bahwa ia bisa melewatinya. Ada kekuatan dalam cinta keluarganya, ada harapan di tengah kesulitan yang ia hadapi.
Dengan tekad yang baru, Adira berdiri dari bangku taman. Ia tahu, ia tidak bisa hanya diam dan menunggu. Ia harus berusaha, harus berjuang untuk bertahan. Meski jalan di depannya masih gelap, ia percaya bahwa ia bisa melewatinya. Karena setiap langkah yang ia ambil, ia tidak melakukannya sendirian.
Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Itulah kisah Adira, seorang anak kos yang harus berjuang sendirian menghadapi kerasnya hidup jauh dari keluarga. Cerita ini bukan hanya tentang uang atau tempat tinggal, tapi tentang keteguhan hati, cinta keluarga, dan semangat pantang menyerah. Semoga kisah ini bisa jadi pengingat bahwa, di tengah segala kesulitan, selalu ada harapan dan orang-orang yang peduli sama kita. Kamu yang lagi berjuang di luar sana, ingat kamu nggak sendirian!