Daftar Isi
Halo, guys! Siapa di antara kalian yang pernah merasa terjebak di antara pilihan yang sulit? Apalagi kalau itu melibatkan kejujuran dan persahabatan di sekolah. Nah, di cerita ini, kita bakal menyelami perjalanan Sivalda dan Aldrich—dua sahabat yang berjuang menghadapi kebenaran yang bisa mengubah segalanya. Siap-siap untuk merasakan momen tegang, haru, dan mungkin sedikit bikin kalian berpikir ulang tentang arti kejujuran. Yuk, kita mulai petualangan ini!
Kejujuran di Balik Bayangan
Kejujuran yang Terkunci
Di tengah hiruk pikuk aktivitas di SMA Astamora, Sivalda berjalan perlahan menuju ruang kelas XI-B. Suasana sekolah saat itu agak menegangkan. Di koridor, wajah-wajah siswa tampak lesu karena persiapan menghadapi ujian akhir semester yang sudah di depan mata. Beberapa di antara mereka terlihat berbisik-bisik dengan gugup, saling bertukar informasi soal-soal yang mereka prediksi bakal keluar.
Sivalda, gadis berambut sebahu dengan kacamata bundarnya, hanya berjalan melewati mereka semua dengan tenang. Dia tak terlibat dalam percakapan atau bisik-bisik itu. Sejak kecil, Sivalda dikenal cerdas, selalu menjadi yang terdepan di kelas. Tapi akhir-akhir ini, ia merasa terasing dari orang lain. Mungkin bukan karena mereka yang menjauhinya, melainkan dia yang menarik diri. Ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, sesuatu yang terus menerus menghantuinya.
Ketika Sivalda masuk ke kelas, pandangannya langsung tertuju ke satu meja di pojok belakang. Meja Aldrich. Anak laki-laki yang sering dijuluki ‘bad boy’ oleh teman-teman sekelasnya. Aldrich selalu tampak cuek, dengan seragam sekolah yang seringkali tidak rapi, rambutnya acak-acakan, dan sikapnya yang terlihat acuh tak acuh. Tapi entah kenapa, meskipun banyak yang menganggapnya pemalas, nilai-nilai Aldrich tidak pernah buruk. Bahkan, dia selalu bisa lolos ujian dengan hasil yang cukup baik.
Sivalda tahu sesuatu yang orang lain tidak tahu. Beberapa bulan lalu, tanpa sengaja, dia menemukan sebuah catatan kecil yang terselip di meja Aldrich setelah ujian matematika selesai. Isinya? Rangkuman soal-soal yang muncul di ujian hari itu. Tidak sulit untuk menyimpulkan dari mana asalnya, dan siapa yang menggunakannya.
Awalnya, Sivalda ingin melaporkannya ke pihak sekolah. Tapi kemudian dia berpikir ulang. Apa yang akan terjadi jika dia melaporkan Aldrich? Mungkin Aldrich akan dikeluarkan. Mungkin teman-temannya akan mulai menjauh darinya, menganggapnya pengadu. Atau mungkin, Aldrich sendiri yang akan membalas dendam. Jadi, Sivalda memutuskan untuk diam.
Hari ini, kelas XI-B akan menghadapi ujian bahasa Indonesia. Sivalda duduk di kursinya, membuka buku catatan terakhir kali, mencoba menyerap pelajaran sebanyak mungkin sebelum bel ujian berbunyi. Namun, pikirannya kembali melayang pada Aldrich. Mungkinkah dia akan melakukannya lagi? Menggunakan catatan kecil seperti waktu itu?
Saat ia sedang larut dalam pikiran, tiba-tiba pintu kelas terbuka dan Aldrich masuk dengan langkah santai seperti biasa. Wajahnya tampak tak peduli dengan atmosfer tegang di dalam kelas. Ia berjalan ke bangkunya tanpa berkata apa-apa, tapi matanya sedikit melirik ke arah Sivalda. Sebuah lirikan singkat, namun cukup untuk membuat Sivalda merinding. Apakah Aldrich tahu bahwa dia pernah melihat catatan itu?
Sivalda menghela napas pelan, berusaha menenangkan dirinya sendiri. “Mungkin dia tidak akan melakukan itu lagi,” gumamnya dalam hati.
Beberapa menit kemudian, Bu Maira, guru yang terkenal tegas dan disiplin, masuk ke kelas. Dia membagikan kertas ujian dengan wajah serius, tanpa basa-basi. Suara lembaran-lembaran kertas yang dibagikan terasa seperti detak jantung di ruang kelas yang tiba-tiba sunyi. Ketika Bu Maira selesai membagikan kertas ujian, dia berdiri di depan kelas dengan tangan terlipat di dada, mengawasi setiap gerakan murid-muridnya dengan tatapan tajam.
“Mulai sekarang, kalian punya waktu 90 menit,” ucap Bu Maira dengan suara dingin.
Sivalda menunduk, mengamati soal-soal ujian di depannya. Sebagian besar pertanyaan terasa familiar, tak jauh berbeda dari yang ia pelajari tadi malam. Tapi kali ini, pikirannya tidak sepenuhnya fokus. Jantungnya berdetak lebih cepat, bukan karena ujian, melainkan karena rasa bersalah yang diam-diam menyergap dirinya.
Di tengah keheningan kelas, suara lembut robekan kertas terdengar dari arah belakang. Sivalda langsung menoleh, dan matanya menangkap Aldrich yang sedang mengeluarkan sesuatu dari balik meja—selembar kertas kecil, persis seperti yang ia temukan beberapa bulan lalu. Hatinya tercekat. Ia tahu, Aldrich masih melakukannya.
Selama beberapa detik, Sivalda terdiam. Dalam benaknya, berputar seribu pertanyaan. Haruskah ia tetap diam seperti sebelumnya? Atau melaporkan Aldrich sekarang juga? Tapi, bagaimana jika Aldrich tertangkap karena dirinya? Bagaimana jika hidupnya berubah karena hal ini?
Sivalda tak kuasa menahan kegelisahannya. Tangannya gemetar saat menulis jawaban ujian, dan beberapa kali ia kehilangan konsentrasi. Sesekali ia menoleh ke arah Aldrich, yang tetap tenang mengisi lembar jawabannya tanpa ragu. Bagaimana bisa dia begitu tenang, sementara ada sesuatu yang salah yang sedang terjadi?
Tak terasa, waktu ujian hampir habis. Sivalda mencoba fokus kembali pada soal-soal di depannya, tapi perasaannya semakin gelisah. Suara detik jam di dinding terdengar semakin cepat, seolah menghitung mundur waktu untuk sebuah keputusan yang tak bisa ia hindari.
“Sepuluh menit lagi,” ucap Bu Maira. Waktu semakin sempit, tapi bukan hanya soal ujian yang menghantui pikiran Sivalda. Kini, dia harus memutuskan apakah akan tetap diam dan mengubur rahasia ini, ataukah berani mengatakan yang sebenarnya. Suara hatinya berbisik, mengingatkan bahwa kejujuran adalah sesuatu yang selalu dia pegang teguh.
Namun, di sisi lain, ada rasa takut. Bagaimana jika ia memilih jalan yang salah? Bagaimana jika melaporkan Aldrich justru menimbulkan masalah lebih besar? Atau mungkin, Aldrich akan semakin jauh darinya dan menjadi musuh? Sivalda terjebak dalam dilema.
Saat bel berbunyi, menandakan akhir dari ujian, Sivalda masih belum menemukan jawaban atas kebingungannya. Ia menyerahkan kertas ujiannya dengan tangan gemetar, menyadari bahwa meskipun ujian akademisnya telah selesai, ujian moral dalam dirinya baru saja dimulai.
Mengungkap Bayangan
Suara bel yang menandakan akhir ujian masih terngiang di telinga Sivalda ketika ia berjalan keluar dari kelas. Langit di luar tampak cerah, tetapi suasana hatinya gelap. Sepanjang jalan menuju perpustakaan, langkahnya terasa berat, seperti ada beban yang menumpuk di dadanya.
Sivalda mencoba mengalihkan pikirannya dengan membaca buku di perpustakaan, namun gagal. Di benaknya, bayangan Aldrich dan kertas kecil itu terus menghantuinya. Dia tahu, hal itu tak bisa dibiarkan begitu saja. Meski dia mencoba menenangkan diri, pikiran tentang kejujuran yang seharusnya ia junjung selalu kembali mengusiknya. Diam-diam, ada perasaan takut bahwa kebohongan ini suatu saat akan terungkap, dan saat itu terjadi, semua bisa berakhir buruk.
Suara langkah seseorang mendekat di belakangnya, membuat Sivalda sedikit tersentak. Ia menoleh dan melihat Aldrich berdiri di pintu perpustakaan, menatapnya dengan mata dingin. Napas Sivalda tercekat. “Kenapa dia ada di sini?” pikirnya.
Aldrich perlahan mendekat, wajahnya seperti biasa: datar, tanpa ekspresi. Tidak ada senyum, tidak ada amarah, hanya sorot mata yang sulit ditebak. Ia duduk di kursi tepat di depan Sivalda, dan beberapa detik mereka hanya saling bertatapan tanpa kata-kata. Sivalda bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, sementara kepalanya penuh dengan berbagai skenario buruk yang mungkin terjadi.
“Aku tahu kamu lihat tadi,” ucap Aldrich tiba-tiba, memecah keheningan. Sivalda terkejut, meskipun sebenarnya ia sudah menduga kalimat itu akan keluar dari mulutnya. Tangannya mulai berkeringat, tetapi ia berusaha tetap tenang.
“Aku… aku nggak ngerti maksud kamu,” jawab Sivalda pelan, mencoba menghindar.
Aldrich menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Sivalda tanpa berkedip. “Jangan pura-pura nggak tahu, Sivalda. Aku lihat kamu terus-terusan ngeliatin aku waktu ujian tadi. Kamu tahu apa yang aku lakukan.”
Sivalda terdiam, terjebak antara rasa takut dan keinginan untuk berkata jujur. “Apa kamu bakal laporin aku ke Bu Maira?” lanjut Aldrich, suaranya tetap datar. Tidak ada nada mengancam, tapi ada sesuatu di balik suaranya yang membuat Sivalda semakin gelisah.
Ia menunduk, memainkan ujung buku yang ada di depannya. “Aku… nggak tahu,” katanya pelan, meskipun sebenarnya dalam hatinya sudah ada jawaban yang jelas. Sebenarnya, Sivalda tidak ingin menghancurkan Aldrich. Ia tahu bahwa di balik sikap acuh tak acuhnya, mungkin ada alasan mengapa Aldrich melakukan semua itu. Tapi, dia juga tak bisa terus membiarkan ini berlanjut.
Aldrich menghela napas, kemudian bersandar lebih dekat ke meja. “Aku nggak nyangka kamu secerdas itu, Sivalda. Biasanya orang-orang di kelas nggak bakal peduli sama apa yang aku lakuin.”
“Aku nggak mau peduli,” gumam Sivalda, hampir tak terdengar. “Tapi, aku nggak bisa juga pura-pura nggak lihat.”
Aldrich tertawa kecil, namun tawanya terasa kosong. “Jadi, kamu mau bilang apa? Mau laporin aku ke guru?” Ada jeda beberapa detik sebelum Aldrich melanjutkan, “Atau, kamu takut kalau kamu ngomong, aku bakal balas?”
Perasaan takut itu tiba-tiba kembali menyerang Sivalda. Bagaimana kalau benar? Bagaimana kalau Aldrich membalasnya dengan cara yang tidak ia duga? Tapi, tatapan Aldrich tak menunjukkan kebencian. Justru, ada sesuatu yang aneh dalam cara Aldrich menatapnya—seperti dia sedang menunggu sesuatu darinya.
Sivalda akhirnya memberanikan diri menatap balik Aldrich. “Kenapa kamu terus lakuin ini, Aldrich? Kamu nggak perlu nyontek. Aku yakin kamu bisa kalau kamu usaha. Tapi kenapa?” Pertanyaan itu keluar begitu saja, lebih sebagai rasa penasaran yang selama ini mengganggunya.
Aldrich menatapnya untuk beberapa saat, lalu mengalihkan pandangan ke arah jendela. “Kenapa? Karena aku nggak peduli,” jawabnya dingin. “Nilai itu cuma angka di atas kertas. Aku nggak pernah benar-benar peduli tentang itu.”
Sivalda tertegun. “Tapi, kamu tetap curang buat dapetin nilai itu. Kalau kamu nggak peduli, kenapa harus repot-repot?”
Aldrich terdiam sejenak, seperti sedang berpikir. “Kamu nggak ngerti, Sivalda. Hidupku nggak kayak hidup kamu. Aku nggak punya tujuan kayak kamu. Semua orang di sini—guru, orang tua, bahkan teman-teman—mereka cuma lihat aku dari nilai yang aku dapat. Kalau aku gagal, mereka nggak akan peduli siapa aku sebenarnya.”
Sivalda tak tahu harus berkata apa. Ada keheningan di antara mereka, tapi Sivalda mulai memahami sesuatu. Mungkin, di balik sikap dingin Aldrich, ada ketakutan yang ia sembunyikan. Ketakutan akan kekecewaan orang-orang di sekitarnya, ketakutan bahwa ia tidak akan pernah cukup baik.
Sebelum Sivalda bisa menjawab, Aldrich berdiri dari kursinya. “Aku tau kamu nggak akan laporin aku,” katanya sambil menatap Sivalda tajam. “Tapi kalau kamu mau laporin, silakan aja. Aku siap buat hadapi apa pun.”
Sivalda menggigit bibirnya. Dia tahu, pilihan sekarang ada di tangannya. Diam atau melapor. Namun, ketika Aldrich berjalan keluar dari perpustakaan, Sivalda menyadari bahwa ini bukan hanya tentang lapor atau tidak lapor. Ini tentang bagaimana ia bisa membuat Aldrich melihat nilai dari kejujuran, bukan hanya nilai di atas kertas ujian.
Saat itu, sebuah ide mulai tumbuh dalam benaknya. Mungkin, dia bisa membantu Aldrich. Bukan dengan melaporkannya, tapi dengan membantunya menemukan kepercayaan diri dan tujuan yang selama ini ia rasakan hilang.
Sivalda menatap punggung Aldrich yang semakin menjauh, dan sebuah keputusan muncul di hatinya. “Aku akan membantumu, Aldrich,” bisiknya pada diri sendiri. Tapi caranya? Itu masih menjadi misteri. Namun, satu hal yang ia yakini, kali ini ia tidak akan lagi diam.
Dua Dunia yang Bertabrakan
Hari-hari setelah pertemuan mereka di perpustakaan terasa aneh bagi Sivalda. Seperti ada batas tak terlihat yang memisahkan dirinya dengan orang lain. Setiap kali ia melihat Aldrich di kelas, ada rasa canggung yang muncul. Aldrich tetap seperti biasa—diam, dingin, dan menjaga jarak. Namun, tatapan mereka sering kali bertemu, seolah ada komunikasi tak terucapkan di antara keduanya.
Sivalda tahu, ini tidak bisa berlanjut seperti ini. Meskipun ia sudah bertekad untuk membantu Aldrich, ia masih belum punya rencana pasti. Rasa takut kalau semuanya bakal salah langkah masih mengintai, tapi ada dorongan kuat di hatinya untuk melakukan sesuatu.
Sore itu, setelah jam pelajaran selesai, Sivalda memutuskan untuk menghampiri Aldrich di lapangan basket. Ia tahu Aldrich selalu nongkrong di sana, jauh dari keramaian sekolah. Ketika Sivalda tiba, Aldrich sedang duduk di bangku kayu, memainkan bola basket di tangannya. Wajahnya tetap dingin, meski ada sedikit rasa heran di matanya ketika melihat Sivalda mendekat.
“Boleh duduk?” tanya Sivalda, mencoba tetap tenang meski jantungnya berdebar kencang.
Aldrich menatapnya sejenak sebelum mengangguk. Sivalda duduk di sampingnya, dan beberapa saat keheningan menyelimuti mereka. Hanya ada suara bola basket yang perlahan dipantulkan Aldrich di atas tanah.
“Aku masih belum ngerti kenapa kamu lakuin itu,” Sivalda membuka pembicaraan, suaranya pelan tapi tegas. “Kamu bilang nilai nggak penting buat kamu, tapi aku rasa kamu cuma berusaha keras buat nggak peduli.”
Aldrich mendesah pelan, lalu melempar bola basketnya ke pinggir lapangan. “Kamu kenapa sih, Val?” tanyanya, nada suaranya terdengar agak kesal. “Aku pikir setelah obrolan kita di perpustakaan, kamu bakal berhenti ngurusin aku. Tapi sekarang malah kayak gini.”
“Aku cuma nggak bisa diam,” jawab Sivalda cepat. “Aku nggak mau lihat kamu terus-terusan hidup di balik kebohongan. Kamu nggak butuh itu, Aldrich.”
Aldrich menatapnya dengan sorot mata yang sulit ditebak. “Kenapa kamu peduli? Kamu bahkan nggak tau apa yang aku lalui.”
Sivalda terdiam sejenak, berusaha merangkai kata-kata yang tepat. “Mungkin aku nggak tahu segalanya. Tapi aku tahu satu hal, Aldrich: kamu punya potensi. Kamu lebih dari yang kamu kira. Kamu nggak perlu curang buat berhasil.”
Aldrich tertawa, tapi tawanya terdengar pahit. “Potensi? Yang aku lihat cuma tekanan dari semua orang. Guru, orang tua, mereka semua cuma peduli sama hasil akhir. Aku cuma berusaha untuk tetap bertahan. Kamu nggak akan ngerti apa rasanya hidup kayak gitu.”
Sivalda menatap Aldrich, mencoba mencari tahu apa yang sebenarnya disembunyikan di balik kata-katanya. “Tekanan itu berat, aku ngerti. Tapi, kamu tetap bisa jalan di jalan yang benar, tanpa harus nipu orang lain atau nipu diri kamu sendiri. Aku yakin kamu bisa.”
Aldrich menggeleng, lalu berdiri dan berjalan menuju pagar lapangan. “Kamu terlalu idealis, Val. Dunia ini nggak sesimpel itu.”
Sivalda bangkit, mengikuti Aldrich. “Mungkin, tapi itu nggak berarti kita bisa semena-mena. Apa kamu beneran nggak peduli sama apa yang terjadi kalau kamu ketahuan curang?”
Aldrich berhenti, tangannya meremas pagar besi di depannya. Ada keheningan sesaat sebelum akhirnya ia bicara lagi, kali ini dengan nada suara yang lebih pelan, lebih lelah. “Aku udah capek, Val. Capek jadi orang yang selalu diukur dari angka-angka. Nilai-nilai ini nggak ada hubungannya sama siapa aku sebenarnya. Dan jujur, aku benci itu.”
Sivalda berjalan mendekat, berdiri di samping Aldrich. “Kamu bisa berubah, Aldrich. Nggak ada kata terlambat buat mulai jujur, buat mulai hidup dengan cara yang benar. Aku nggak tahu apa kamu percaya, tapi aku yakin kamu bisa.”
Aldrich menatap ke arah langit yang mulai berubah oranye, tanda senja akan segera tiba. “Aku nggak tau, Val. Mungkin aku udah terlalu jauh masuk ke dalam ini semua.”
“Kamu nggak pernah terlalu jauh,” potong Sivalda cepat. “Selama kamu sadar kalau ini salah, kamu bisa keluar. Aku ada di sini kalau kamu butuh bantuan.”
Aldrich terdiam lagi, kali ini lebih lama. Sivalda bisa melihat pertempuran batin di dalam dirinya—antara keraguan, ketakutan, dan mungkin sedikit harapan. Dia tahu, Aldrich bukan orang yang mudah terbuka, apalagi menerima bantuan dari orang lain.
“Aku nggak mau ngerusak hidupmu, Val,” kata Aldrich tiba-tiba, mengejutkan Sivalda. “Kalau kamu terlibat lebih jauh, kamu bisa kena masalah. Kamu nggak ngerti gimana mereka akan bereaksi kalau aku ketahuan.”
Sivalda tersenyum kecil. “Aku nggak takut, Aldrich. Selama aku tau apa yang aku lakuin benar, aku nggak akan mundur.”
Aldrich menatapnya, dan untuk pertama kalinya, Sivalda melihat ada sesuatu yang berbeda di matanya—sebuah keterbukaan, meskipun masih samar. Dia tidak menjawab, hanya memandang Sivalda dengan sorot mata yang seolah berkata, “Mungkin kamu benar.”
Senja mulai turun perlahan, meninggalkan mereka berdua dalam keheningan yang jauh lebih damai daripada sebelumnya. Sivalda tahu, ini baru permulaan. Aldrich mungkin belum sepenuhnya berubah, tapi setidaknya sekarang dia tahu bahwa dia tidak sendiri. Bahwa ada seseorang yang percaya padanya, seseorang yang mau membantunya keluar dari kegelapan yang dia ciptakan sendiri.
Namun, meski ada sedikit harapan, Sivalda tahu perjalanan ini tidak akan mudah. Ada banyak tantangan di depan mereka, dan Sivalda hanya bisa berharap bahwa mereka berdua cukup kuat untuk menghadapinya. Sebab, dalam setiap kebohongan, selalu ada bayangan yang akan terus menghantui, sampai kejujuran akhirnya menemukan jalannya untuk bersinar.
Cahaya di Tengah Bayangan
Hari demi hari berlalu, dan dinamika antara Sivalda dan Aldrich terus berubah. Meskipun Aldrich masih sering terlihat dingin dan menjauh, ada momen-momen kecil di mana Sivalda bisa melihat sisi lain dari dirinya—sisi yang rapuh, lelah, tapi juga ingin memperbaiki diri. Percakapan mereka lebih sering terjadi, bukan hanya di kelas atau di perpustakaan, tetapi di mana saja mereka bertemu. Namun, perasaan tegang selalu hadir di antara mereka, karena mereka tahu ada sesuatu yang lebih besar yang harus mereka hadapi.
Suatu hari, sebuah kejadian besar mengguncang sekolah. Guru Matematika mereka, Pak Rendra, mengumumkan bahwa akan ada pemeriksaan besar-besaran atas kasus kecurangan di ujian sebelumnya. Desas-desus mulai menyebar di antara siswa-siswa bahwa beberapa siswa yang hasil ujiannya dianggap “terlalu sempurna” sedang diperiksa lebih dalam.
Sivalda merasa jantungnya berhenti saat mendengar kabar itu. Dia tahu Aldrich mungkin salah satu yang akan diperiksa. Tapi yang lebih mengganggunya adalah Aldrich sendiri yang belum menunjukkan tanda-tanda ingin mengaku atau berhenti dari jalan yang salah. Bagaimana jika Aldrich tetap bungkam?
Setelah kelas berakhir, Sivalda langsung mencari Aldrich. Dia menemukannya di belakang gedung sekolah, tempat favoritnya untuk menyendiri. Wajah Aldrich terlihat lebih tegang dari biasanya, dan itu membuat Sivalda semakin khawatir.
“Aku dengar tentang pemeriksaan itu,” kata Sivalda tanpa basa-basi. “Kamu tau apa artinya ini, kan?”
Aldrich hanya menatap tanah, tidak mengatakan apapun. Sivalda mendekatinya, menatap wajahnya yang penuh kebingungan dan rasa bersalah.
“Kamu nggak bisa terus sembunyi, Aldrich. Kalau kamu nggak jujur sekarang, semuanya bakal jadi lebih buruk,” kata Sivalda dengan nada yang lebih tegas daripada sebelumnya.
Aldrich menghela napas panjang. “Aku nggak bisa, Val. Kalau aku ngaku, bukan cuma aku yang kena. Orang tuaku… mereka bakal kecewa, sekolah bisa membekukan beasiswaku, dan semua yang udah aku bangun akan hancur.”
“Aku ngerti,” jawab Sivalda pelan. “Tapi, kalau kamu terus kayak gini, kamu cuma akan memperpanjang penderitaan kamu sendiri. Kamu selalu bilang kamu capek hidup dalam tekanan ini, kan? Dengan jujur, setidaknya kamu bisa berhenti lari.”
Aldrich memalingkan wajahnya, menatap jauh ke arah lapangan yang kosong. Ada keraguan yang begitu besar di dalam dirinya, dan Sivalda bisa melihat itu dengan jelas.
“Kamu nggak ngerti, Val,” Aldrich akhirnya berbicara, suaranya pelan dan penuh kesedihan. “Aku udah terlalu jauh. Mungkin ini semua adalah satu-satunya cara aku bertahan.”
“Bukan, Aldrich,” Sivalda berkata cepat. “Bertahan itu berarti tetap berpegang pada prinsip kamu, bahkan ketika keadaan sulit. Kamu udah tau ini salah, dan aku tahu, jauh di dalam hati kamu, kamu pengen keluar dari semua ini.”
Keheningan yang panjang kembali menyelimuti mereka. Sivalda merasakan napasnya tertahan, menunggu jawaban dari Aldrich. Waktu seakan melambat, dan sejenak, seolah dunia berhenti berputar.
Tiba-tiba, Aldrich berbicara. “Aku… aku nggak bisa terus kayak gini.”
Sivalda merasakan secercah harapan. “Kalau begitu, ayo jujur. Kita temui Pak Rendra bareng. Aku nggak akan ninggalin kamu sendiri.”
Aldrich menatapnya, mata kelamnya yang penuh rasa ragu mulai sedikit melunak. “Kenapa kamu mau ngelakuin ini buat aku? Kamu bahkan nggak punya kewajiban buat bantuin aku.”
Sivalda tersenyum lembut. “Karena aku peduli. Dan aku percaya kamu bisa berubah.”
Setelah beberapa detik yang seakan terasa seperti selamanya, Aldrich mengangguk pelan. “Oke… kita temui Pak Rendra.”
Sore itu, mereka berdua berjalan menuju ruang guru. Sivalda merasa hatinya berdebar keras, tetapi tekadnya sudah bulat. Mereka masuk ke dalam ruang Pak Rendra dengan kepala tegak, meskipun hati mereka diliputi kecemasan.
Pak Rendra mengangkat wajahnya dari tumpukan kertas ketika mereka masuk. “Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya, sedikit terkejut melihat keduanya datang bersamaan.
Aldrich menelan ludah, terlihat sangat tegang, tapi dia mengambil langkah maju. “Pak, saya mau bicara soal ujian terakhir,” suaranya terdengar goyah. Sivalda merasakan jantungnya ikut berdebar mendengar Aldrich mulai bicara.
“Apa yang ingin kamu sampaikan, Aldrich?” Pak Rendra menatapnya tajam, seolah sudah menebak arah pembicaraan ini.
Aldrich menarik napas panjang, lalu berkata dengan suara pelan namun tegas, “Saya… saya curang di ujian itu.”
Ruangan seketika terasa hening. Pak Rendra menatap Aldrich dengan wajah yang tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Dia membiarkan Aldrich bicara lagi.
“Saya… Saya tahu ini salah. Tapi saya tertekan, Pak. Rasanya seperti saya nggak punya pilihan lain,” Aldrich melanjutkan. “Tapi, saya di sini karena saya ingin bertanggung jawab.”
Pak Rendra tetap diam selama beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam. Sivalda merasakan ketegangan di udara, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Akhirnya, Pak Rendra menarik napas dan meletakkan kertas yang ada di tangannya.
“Aldrich, saya menghargai kejujuranmu. Ini bukan hal yang mudah untuk diakui. Tapi, kamu tahu, tindakan ini tetap memiliki konsekuensi.”
Aldrich mengangguk, sudah siap menerima apapun yang akan terjadi. “Saya tahu, Pak. Saya akan terima apapun hukumannya.”
Pak Rendra menghela napas lagi, sebelum akhirnya berkata, “Kita akan selesaikan ini sesuai prosedur. Tapi saya ingin kamu tahu satu hal, Aldrich. Kejujuran yang kamu tunjukkan hari ini mungkin tidak mengubah masa lalu, tapi ini akan mengubah masa depanmu. Jangan pernah takut untuk mengakui kesalahan, karena dari situlah kamu akan tumbuh.”
Sivalda merasakan lega yang luar biasa. Meskipun masalah ini belum selesai sepenuhnya, setidaknya langkah pertama telah diambil. Aldrich telah jujur, dan itulah yang paling penting. Mereka keluar dari ruang guru dengan perasaan campur aduk—takut akan konsekuensi, tapi juga sedikit lebih ringan, seolah beban berat yang selama ini mereka pikul telah sedikit terangkat.
Saat mereka berdiri di luar gedung, Aldrich menatap Sivalda. “Terima kasih, Val. Aku nggak akan bisa ngelakuin ini tanpa kamu.”
Sivalda tersenyum lembut, merasa puas dengan apa yang telah mereka capai. “Aku cuma bantu kamu lihat apa yang sebenarnya udah ada di dalam dirimu, Aldrich. Kejujuran itu kamu yang pilih.”
Mereka berdua berdiri di sana, di bawah langit yang mulai berubah senja. Meskipun masih ada banyak hal yang harus dihadapi, satu hal kini sudah jelas—kebenaran, seberat apapun itu, selalu punya cara untuk membawa seseorang kembali ke jalan yang benar.
Dan bagi Sivalda, melihat Aldrich akhirnya jujur adalah kemenangan terbesar. Bukan hanya untuk Aldrich, tapi juga untuk dirinya sendiri. Karena ia percaya, kejujuran—meski terasa menyakitkan di awal—selalu akan membawa cahaya di akhir perjalanan.
Jadi, teman-teman, cerita ini mungkin tentang Sivalda dan Aldrich, tetapi sebenarnya ini tentang kita semua. Kejujuran memang bukan hal yang mudah, tapi percayalah, setiap langkah untuk menghadapinya membawa kita lebih dekat dengan diri kita yang sebenarnya.
Jangan pernah ragu untuk berkata jujur, karena di balik setiap kebenaran ada pelajaran berharga yang bisa mengubah hidup kita. Sampai jumpa di petualangan selanjutnya, dan ingat, kejujuran itu selalu bersinar, meskipun dalam bayangan yang gelap!