Daftar Isi
Hai, kamu pernah ngerasain nggak sih, betapa serunya ketika hidup kamu tiba-tiba berubah karena secangkir kopi? Nah, di sini ada cerita tentang Yandra, lelaki yang berani ngejain mimpi dengan kafe-nya sendiri. Dan yang bikin makin seru, ada Dinda, si bintang yang bikin hatinya berdebar-debar. Yuk, kita ikuti perjalanan mereka dalam mengejar cinta dan kebahagiaan di antara aroma kopi yang menggoda!
Kisah Yandra dan Dinda
Kenangan di Balik Hujan
Hujan deras memukul-mukul jendela rumah mungil kami di lereng gunung. Suaranya seperti simfoni yang menenangkan, meski di luar sana, angin mendesing kencang. Aku duduk di tepi jendela, menatap butiran hujan yang berjatuhan tanpa henti. Di tanganku, sebuah benda kecil terasa ringan, namun menyimpan beban kenangan yang begitu berat—bunga edelweis kering yang sudah bertahun-tahun kusimpan.
Pikiranku melayang ke masa-masa dulu, waktu aku masih kecil dan Ayah masih ada. Setiap kali musim hujan tiba, Ayah selalu bercerita tentang gunung-gunung yang pernah kami daki bersama. Salah satu kenangan paling jelas adalah ketika Ayah menunjukkan padaku bunga edelweis yang katanya adalah simbol cinta abadi.
“Yandra, bunga ini tidak layu walaupun sudah dipetik. Dia akan tetap utuh, sama seperti cinta yang sejati,” kata Ayah dengan senyum khasnya, sambil menatap langit biru di atas gunung tempat kami berdiri.
Aku menarik napas panjang, mataku masih terpaku pada bunga itu. “Apa cinta benar-benar bisa abadi, Ayah?” tanya batinku sendiri. Kini, tanpa Ayah di sini, rasanya semua kenangan itu hanya sekadar angin lalu, seperti suara hujan di luar jendela ini.
Tiba-tiba, sebuah suara memecah lamunanku. “Yandra?” Suara Ibu terdengar lembut dari pintu kamar. Aku menoleh, dan di sana berdiri sosok wanita yang selalu kutemui di setiap awal dan akhir hariku. Senyumannya masih sama seperti dulu, tapi aku bisa melihat kerut lelah di ujung matanya.
“Ibu,” jawabku pelan, menggeser tubuh agar dia bisa duduk di sebelahku.
Ibu duduk perlahan, tangannya yang hangat meraih pundakku. Dia diam, seperti tahu bahwa aku butuh waktu untuk berbicara. Namun, entah kenapa, diam Ibu justru membuat hatiku makin penuh dengan emosi.
“Ibu, aku kangen Ayah.” Aku akhirnya membuka suara, meski kata-kata itu terdengar berat keluar dari mulutku.
Ibu mengangguk pelan. “Ibu juga kangen, Nak.” Suaranya terdengar lembut namun penuh ketegasan, seolah ada kekuatan tersembunyi di balik setiap kata yang ia ucapkan.
Kami terdiam lagi, hanya ditemani oleh suara hujan. Di luar, angin semakin kencang, menggetarkan kaca jendela. Aku menatap kembali bunga edelweis yang ada di tanganku. “Dulu Ayah selalu bilang, bunga ini lambang cinta abadi. Tapi… aku nggak tahu apakah aku percaya dengan itu sekarang.”
Ibu tersenyum tipis, kali ini menatap bunga yang ada di tanganku. “Cinta abadi itu ada, Yandra. Tapi mungkin kita terlalu sering menganggap cinta itu hanya soal perasaan romantis antara dua orang. Padahal, cinta jauh lebih luas dari itu.”
Aku menatap Ibu, bingung. “Maksud Ibu?”
“Cinta abadi itu ada di banyak hal, Nak. Seperti cinta seorang ibu ke anaknya, yang nggak akan hilang walaupun anak itu tumbuh dewasa atau pergi jauh. Atau cinta seorang ayah yang terus hidup di dalam kenangan kita, meski dia sudah nggak ada di sini lagi.”
Aku terdiam, mencerna setiap kata yang Ibu ucapkan. Aku selalu tahu bahwa Ibu kuat. Sejak Ayah meninggal lima tahun lalu, Ibu sendirian mengurus aku, bekerja siang dan malam tanpa pernah mengeluh. Aku tahu semua itu, tapi aku tidak pernah benar-benar memahaminya. Tidak sampai saat ini.
“Ibu nggak pernah merasa lelah?” tanyaku akhirnya, dengan suara yang lebih pelan. “Aku selalu lihat Ibu bekerja keras setiap hari, tapi Ibu nggak pernah ngeluh.”
Ibu menoleh padaku, tatapannya lembut namun tegas. “Lelah itu pasti, Yandra. Tapi aku selalu ingat satu hal—aku bekerja keras karena aku ingin kamu punya kehidupan yang baik. Dan melihat kamu tumbuh jadi seperti sekarang ini, itu sudah cukup buat aku.”
Aku merasakan dadaku sesak, ada sesuatu yang menggelitik di tenggorokanku. Rasanya ingin menangis, tapi aku tahan. Ibu selalu membuatku kagum dengan kekuatannya, dengan cara dia menjalani hidup. Aku tahu dia bukan hanya sekadar ibu, dia juga wanita yang penuh kasih sayang, yang mencintai dengan seluruh hati dan jiwanya tanpa pernah meminta balasan.
“Ibu…” Aku tak bisa melanjutkan kata-kataku. Rasanya, semua yang ingin aku ucapkan tersangkut di tenggorokan.
Ibu hanya tersenyum dan mengusap kepalaku dengan lembut, seperti yang biasa ia lakukan waktu aku masih kecil. “Kamu nggak perlu khawatir tentang ibu, Yandra. Yang penting sekarang, kamu bahagia. Itu cukup buat Ibu.”
Aku menggigit bibirku, menahan air mata yang hampir jatuh. Bahagia? Tentu saja aku ingin bahagia, tapi bagaimana aku bisa benar-benar bahagia kalau Ibu masih harus bekerja keras untukku? Bagaimana bisa aku melihat Ibu kelelahan setiap hari dan merasa tenang?
Tiba-tiba, sebuah ide muncul di kepalaku. “Ibu, aku kepikiran sesuatu.”
Ibu menatapku dengan penasaran. “Apa itu?”
Aku tersenyum sedikit, merasa ada percikan semangat di dalam hatiku. “Gimana kalau kita buka kafe kecil di sini? Di kota ini. Aku bisa bantu Ibu kerja, dan kita nggak perlu lagi repot-repot ke kota besar. Aku juga bisa tinggal di sini, bareng Ibu.”
Ibu tampak terkejut. “Kafe kecil? Tapi… kamu udah punya pekerjaan bagus di kota. Kenapa kamu mau balik ke sini?”
Aku mengangkat bahu, berusaha terlihat santai meski dalam hatiku ada sedikit keraguan. “Aku nggak mau Ibu kerja terlalu keras. Dan aku pikir, di sini kita bisa lebih bahagia. Bareng-bareng. Apa salahnya coba, kan?”
Ibu terdiam sejenak, lalu tersenyum. “Kalau itu yang kamu mau, Ibu dukung. Tapi pastikan kamu nggak merasa terpaksa, ya? Ibu nggak mau kamu mengorbankan kebahagiaanmu hanya buat Ibu.”
Aku menggeleng cepat. “Enggak kok, Bu. Aku yakin ini yang terbaik. Lagipula, aku juga kangen sama tempat ini. Sama rumah, sama gunung, sama semuanya.”
Ibu tertawa kecil. “Baiklah. Kalau begitu, kita coba. Kita mulai hidup baru di sini.”
Dan malam itu, di bawah derasnya hujan yang terus turun, aku merasa untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ada harapan baru yang menyala di dalam hati. Sebuah rencana kecil, sebuah impian sederhana, namun dengan cinta dan kasih sayang yang besar. Di sinilah semuanya akan dimulai—di rumah kecil kami di lereng gunung, dengan bunga edelweis kering yang terus mengingatkan kami bahwa cinta, meski tersembunyi di tempat sunyi, selalu abadi.
Cinta Tak Terukur Waktu
Keesokan harinya, aku terbangun dengan cahaya matahari yang menerobos jendela. Hujan telah berhenti, menyisakan aroma tanah yang segar. Di luar, pohon-pohon yang basah oleh sisa hujan semalam tampak berkilau di bawah sinar matahari. Ada sesuatu yang berbeda hari ini—semacam rasa tenang yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Mungkin karena keputusan yang aku buat semalam, atau mungkin karena aku merasa semakin dekat dengan Ibu.
Saat aku turun ke dapur, Ibu sudah sibuk di depan kompor, seperti biasanya. Tangannya yang cekatan mengaduk panci kecil, dan aroma tumisan yang menggugah selera memenuhi ruangan. Dia selalu bangun lebih awal, dan itu sudah jadi kebiasaan selama bertahun-tahun.
“Selamat pagi, Bu,” sapaku sambil menarik kursi dan duduk di meja makan.
Ibu menoleh, tersenyum hangat. “Selamat pagi. Tidurmu nyenyak?”
Aku mengangguk, meraih cangkir kopi yang sudah disiapkan Ibu di meja. “Nyenyak banget. Rasanya beda aja tidur di rumah ini. Lebih damai.”
Ibu tertawa pelan sambil menuang sup ke dalam mangkuk. “Mungkin karena di sini udaranya lebih bersih. Di kota, kamu jarang bisa lihat matahari seperti ini.”
Aku menghirup kopi panas itu, lalu diam sejenak. Pikiranku kembali pada percakapan kami semalam, tentang rencana membuka kafe kecil di kota ini. Walaupun aku semangat, ada sedikit ketidakpastian yang merayap di dalam hati. Apa benar aku siap meninggalkan semuanya di kota dan memulai hidup baru di sini? Tapi kemudian, tatapan penuh kasih sayang Ibu membuatku yakin bahwa ini adalah keputusan yang tepat.
“Ibu, soal rencana kita semalam…” aku mulai, mencoba menyusun kata-kata yang tepat. “Aku udah mikir, dan aku beneran serius. Aku pengen kita coba buka kafe. Aku bisa bantu dari awal, mulai dari desain, menu, sampai promosi. Di kota, aku udah belajar banyak soal bisnis kuliner, jadi ini nggak akan terlalu sulit.”
Ibu meletakkan mangkuk sup di depanku dan duduk di kursi seberangku. Dia menatapku dengan tatapan lembut namun sedikit khawatir. “Tapi, Yandra… kamu yakin mau meninggalkan pekerjaanmu di kota? Ibu nggak mau kamu merasa terpaksa. Kalau kamu cuma ingin membantu Ibu, itu nggak adil buat kamu.”
Aku tersenyum sedikit, mencoba menenangkan hatinya. “Aku yakin, Bu. Di kota, meskipun pekerjaan bagus dan gajinya lumayan, rasanya aku nggak benar-benar bahagia. Aku selalu ngerasa ada yang hilang. Dan sekarang aku tahu, mungkin yang hilang itu adalah kedekatan kita. Aku pengen kita bisa lebih dekat lagi, kayak dulu waktu Ayah masih ada.”
Ibu terdiam sejenak, menatapku dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. Dia menarik napas dalam, lalu tersenyum hangat. “Ibu selalu percaya kamu anak yang kuat, Yandra. Ibu tahu, kamu pasti bisa melalui semua ini dengan baik. Kalau ini keputusanmu, Ibu akan selalu mendukung.”
Aku mengangguk, merasa hatiku hangat. “Terima kasih, Bu.”
Hari itu, kami menghabiskan waktu membicarakan detail rencana kafe kecil kami. Aku mulai membuat sketsa desain interior yang simpel tapi nyaman. Kafe kami akan kecil saja, dengan nuansa hangat dari kayu, dihiasi tanaman-tanaman kecil di setiap sudut. Mungkin aku juga akan menambahkan beberapa foto gunung tempat Ayah dulu suka mendaki, sebagai penghormatan kecil untuknya.
“Bagaimana kalau kita pakai nama ‘Edelweis Café’?” usulku saat kami duduk di ruang tamu, melihat-lihat inspirasi dekorasi dari majalah lama.
Ibu tersenyum, mengangguk pelan. “Itu ide yang bagus. Edelweis kan simbol cinta abadi. Dan mungkin ini juga cara kita mengenang Ayah.”
Aku merasakan kehangatan mengalir dalam hatiku. Nama itu sempurna, karena bukan hanya sekadar nama, tapi juga pengingat akan cinta yang tetap hidup, meski orang yang kita cintai sudah pergi.
Beberapa hari kemudian, aku sudah mulai membuat langkah konkret. Aku mencari tempat kecil yang bisa disewa di pusat kota, tak jauh dari rumah kami. Kota ini memang tidak besar, tapi cukup ramai dengan wisatawan yang datang untuk mendaki gunung dan menikmati pemandangan alam. Aku yakin, dengan konsep kafe yang nyaman dan hangat, kami bisa menarik banyak pengunjung.
Suatu sore, aku dan Ibu berjalan menyusuri jalan-jalan kecil di kota ini, mencari tempat yang cocok. Udara dingin pegunungan terasa menyegarkan, dan di setiap sudut jalan, aku bisa melihat gunung yang berdiri kokoh di kejauhan, seolah mengingatkan kami akan masa-masa dulu bersama Ayah.
“Kamu yakin tempat ini cocok?” tanya Ibu saat kami berhenti di depan sebuah bangunan kecil yang sudah agak tua, tapi masih terlihat kokoh.
Aku menatap bangunan itu dengan mata penuh harap. “Aku rasa tempat ini punya potensi, Bu. Tinggal kita renovasi sedikit, dan bisa jadi kafe yang nyaman.”
Ibu menatap bangunan itu, kemudian tersenyum. “Kalau kamu yakin, Ibu juga yakin.”
Kami akhirnya memutuskan untuk menyewa tempat itu. Proses renovasi dimulai beberapa hari kemudian. Aku sibuk mengawasi pekerja yang merombak interior, memasang lantai kayu baru, dan mengecat dinding dengan warna hangat yang sesuai dengan konsep yang sudah aku rancang. Rasanya menyenangkan melihat sesuatu yang dulu hanya sekadar ide di kepalaku, kini mulai terbentuk di dunia nyata.
Suatu hari, saat renovasi hampir selesai, aku duduk di salah satu kursi baru di dalam kafe yang masih berantakan. Ibu datang dengan membawa dua cangkir teh hangat, dan kami duduk bersama di sana, di tengah ruang yang nantinya akan jadi tempat di mana cinta dan kenangan hidup kembali.
“Aku masih ingat waktu pertama kali Ayah ngajak kita ke gunung,” ucapku sambil menyeruput teh. “Aku waktu itu nggak ngerti kenapa Ayah suka banget mendaki. Tapi sekarang, aku bisa lihat kenapa. Gunung itu kayak rumah kedua buat kita. Ada sesuatu di sana yang nggak bisa dijelasin dengan kata-kata.”
Ibu tersenyum, menatapku dengan penuh kasih. “Ayahmu selalu bilang, gunung itu mengajarkan kita tentang ketenangan dan keteguhan. Sama seperti cinta. Cinta yang sejati nggak akan tergoyahkan oleh apapun, sama seperti gunung yang tetap berdiri kokoh meski diterpa angin kencang.”
Aku tersenyum, merasakan semacam kehangatan di dalam dadaku. Kata-kata Ibu mengingatkanku lagi bahwa cinta sejati memang ada, dan itu bisa ditemukan di tempat yang paling sederhana—di dalam hati orang yang kita cintai.
Kami duduk di sana, menatap kafe yang hampir selesai dibangun, membayangkan masa depan yang mungkin akan kami jalani bersama. Dan di dalam hati, aku tahu bahwa apa pun yang terjadi, cinta Ibu adalah cinta yang tak terukur oleh waktu. Seperti edelweis, cinta itu akan tetap ada, abadi.
Pilihan di Tengah Keheningan
Beberapa minggu berlalu sejak kami mulai renovasi kafe kecil itu. Setiap sudut ruangan kini perlahan-lahan berubah menjadi sesuatu yang lebih hidup. Pagi-pagi, Ibu dan aku akan datang ke tempat itu, bersemangat merancang menu, merapikan meja, dan memilih dekorasi yang tepat. Kafe kami tidak hanya akan menjadi tempat untuk menikmati kopi dan kue, tapi juga tempat di mana cerita-cerita bisa hidup, tempat berkumpulnya orang-orang yang merindukan kehangatan.
Suatu sore, saat kami sedang istirahat di kafe, aku mendapat pesan dari Alif, teman baikku dari kota. Kami sudah berteman sejak kecil, dan dia selalu menjadi orang yang paling mendukungku. Dia tahu tentang rencanaku untuk pindah ke kota kecil ini dan membuka kafe.
“Hai, Yandra! Gimana kabar? Aku mau mampir ke kafe kamu minggu depan. Bisa tunjukin tempatnya?” tulisnya.
Aku segera membalas pesan itu. “Hai, Alif! Kabar baik. Kafe kita hampir selesai. Pasti kamu bakal suka! Aku tunggu ya!”
Aku merasakan kegembiraan di dalam hatiku saat membayangkan kedatangan Alif. Dia adalah sosok yang selalu bisa membuatku tertawa, dan aku sangat ingin menunjukkan kafe yang sudah kami impikan bersama Ibu.
Keesokan harinya, saat aku sedang mengecat salah satu dinding, Ibu datang membawakan makan siang. Dia menyajikan nasi goreng spesial yang selalu jadi favoritku. “Yuk, kita istirahat sejenak,” ajaknya.
Kami duduk di tengah-tengah kafe yang masih berantakan. Ibu mengamati hasil kerja kami dan tersenyum. “Nggak nyangka ya, anakku bisa membuat sesuatu yang indah dari nol. Ibu bangga.”
Aku menunduk, merasakan hangatnya pujian Ibu. “Ini semua berkat Ibu. Tanpa dukungan dan cinta ibu, aku nggak akan bisa melakukannya.”
Saat kami makan, tiba-tiba Ibu menatapku serius. “Yandra, ibu mau tanya sesuatu. Kamu benar-benar yakin dengan keputusan ini? Maksud ibu, ini bukan hanya soal membuka kafe, tapi juga soal meninggalkan hidup yang sudah kamu jalani di kota. Kadang, ibu khawatir kamu merasa tertekan dengan semua ini.”
Aku terdiam, menggigit bibir. Memang, keputusan untuk pindah ke sini bukanlah hal yang mudah. Ada rasa rindu akan teman-teman dan kehidupan di kota, tapi aku juga tahu bahwa ini adalah jalan yang harus aku ambil. “Bu, aku tahu ini bukan keputusan yang mudah, tapi aku ngerasa ini yang terbaik. Aku ingin merasakan hidup yang lebih sederhana, dekat dengan Ibu. Kafe ini bukan hanya tentang bisnis, tapi tentang menciptakan kenangan baru, dan juga tentang kita.”
Ibu mengangguk, tampak sedikit lega. “Baiklah, jika itu yang kamu inginkan, Ibu akan mendukungmu sepenuhnya. Tapi ingat, kita harus siap menghadapi tantangan.”
Setelah makan, aku kembali ke pekerjaan. Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Alif akhirnya datang ke kafe kami. Dia terlihat segar dengan senyuman lebar di wajahnya. “Yandra! Kafe ini keren banget! Kamu berhasil!” serunya saat masuk.
Aku tertawa dan memeluknya. “Terima kasih, Alif! Masih banyak yang harus dikerjakan, tapi kami hampir siap.”
Kami berjalan mengelilingi kafe, dan aku menunjukkan berbagai sudut yang sudah kami dekorasi. Saat itu, aku merasa bangga bisa menunjukkan hasil kerja keras kami. Alif juga membantu dengan beberapa ide menarik untuk promosi kafe. Kami merencanakan untuk mengadakan acara pembukaan dengan mengundang teman-teman dan masyarakat sekitar.
“Jadi, kamu beneran mau tinggal di sini ya?” tanya Alif sambil duduk di salah satu kursi baru. “Gimana dengan hidupmu di kota? Teman-teman? Cinta?”
Aku menghela napas. Pertanyaan itu membuatku merenung. Memang ada yang hilang di kota—tapi aku juga tahu, di sinilah aku bisa menemukan kedamaian yang tidak bisa aku dapatkan di sana. “Cinta? Entahlah. Aku rasa sekarang fokusku ada di kafe dan Ibu. Yang lain, biar mengalir aja.”
Alif mengangguk, sepertinya memahami. “Iya, kadang kita harus memilih prioritas. Tapi ingat, jangan terlalu memaksakan diri. Hidup ini aneh, kadang kita dapat kejutan dari tempat yang tidak kita duga.”
Kami menghabiskan sore itu dengan banyak tawa dan cerita. Ada sesuatu yang menyegarkan dalam kebersamaan kami. Di saat kami berbagi cerita, tiba-tiba aku mendengar suara pintu kafe dibuka, dan seorang wanita masuk. Dia tampak bingung, seolah mencari sesuatu.
“Selamat sore! Maaf, apakah ini kafe baru yang sedang dibangun?” tanyanya dengan suara lembut.
Aku menatapnya dan melihat keindahan dalam senyumnya. Dia mengenakan gaun sederhana dengan warna cerah dan rambut panjangnya tergerai indah. “Iya, kami sedang dalam proses persiapan. Ada yang bisa kami bantu?” jawabku, berusaha menjaga suasana tetap hangat.
Dia tersenyum lagi. “Aku cuma penasaran. Namaku Dinda, baru saja pindah ke sini. Aku suka suasana di sini.”
Aku merasa ada sesuatu yang istimewa dari Dinda. Ada aura positif yang mengelilinginya. “Kami akan membuka kafe ini secepatnya. Kamu harus datang ya!”
Dinda mengangguk. “Tentu! Aku akan sangat menantikan itu.”
Setelah Dinda pergi, aku dan Alif saling pandang. “Siapa dia? Menarik banget,” kata Alif dengan nada menggoda.
Aku tersenyum, merasakan jantungku berdebar. “Nggak tahu. Dia baru pindah ke sini. Mungkin dia bisa jadi pelanggan pertama kita.”
Kafe kami semakin dekat dengan hari pembukaan, dan di dalam hatiku, aku merasa ada sesuatu yang baru. Mungkin ini bukan hanya tentang kafe dan cinta Ibu, tapi juga tentang menemukan kembali diri sendiri di tempat yang baru—tentang membangun ikatan yang lebih kuat dengan orang-orang di sekitarku.
Hari-hari berikutnya dipenuhi dengan persiapan. Semuanya mulai terasa nyata. Dan meskipun ada tantangan di depan, aku yakin bahwa dengan cinta dan dukungan Ibu, aku bisa menghadapi apa pun.
Cinta yang Muncul di Tengah Kafe
Hari pembukaan kafe kami akhirnya tiba. Pagi itu, Ibu dan aku datang lebih awal untuk memastikan semuanya siap. Kafe sudah didekorasi dengan lampu-lampu kecil yang berkilau, menambah kehangatan suasana. Aroma kopi yang baru diseduh dan kue-kue lezat memenuhi ruangan, membuatku semakin bersemangat.
“Yandra, kamu siap?” tanya Ibu sambil menyusuri meja yang sudah didekorasi cantik. “Ini adalah momen yang kita tunggu-tunggu.”
Aku mengangguk, meski perutku terasa bergejolak. “Iya, Bu. Semoga semua berjalan lancar.”
Seiring waktu berlalu, para tamu mulai berdatangan. Beberapa teman dari kota datang untuk mendukung, dan ada juga penduduk lokal yang penasaran dengan kafe baru ini. Alif menjadi semangat di sisi kami, membantu menyambut para tamu dan menjelaskan menu. Kafe kami dipenuhi tawa dan kebahagiaan, seolah-olah semua yang kami impikan akhirnya menjadi kenyataan.
Di tengah keramaian, aku melihat Dinda di sudut ruangan, tertawa bersama teman-temannya. Senyumnya membuatku merasa hangat di dalam hati. Aku berusaha mendekatinya. “Hai, Dinda! Senang kamu bisa datang!” sapaku, berusaha terdengar santai meski hati berdebar.
“Dari tadi aku nungguin kamu! Ini tempat yang luar biasa, Yandra!” Dinda menjawab dengan semangat. “Kue ini enak banget! Apakah kamu membuatnya sendiri?”
“Terima kasih! Kami bekerja keras untuk semuanya. Alif juga banyak bantu. Rasanya menyenangkan bisa melakukannya bersama orang-orang yang aku sayangi,” jawabku, merasakan kebanggaan di hati.
Saat kami berbincang, Alif datang dengan segelas kopi. “Eh, jangan lupa untuk mencicipi kopi spesial kita, Dinda!” serunya, menawarkan segelas kopi dengan senyum lebar. Dinda mencicipi dan matanya berbinar. “Ini enak! Kamu memang hebat, Yandra!”
Aku merasa semakin nyaman berada di dekat Dinda. Namun, ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. Kenapa aku merasa ada ketertarikan lebih dari sekadar pertemanan? Dia adalah sosok yang ceria dan hangat, dan kehadirannya membuat kafe ini terasa lebih hidup.
Ketika suasana semakin ramai, aku meluangkan waktu untuk berbincang dengan Ibu. “Bu, lihat semua orang bahagia di sini. Ini adalah hal terindah yang pernah kita buat,” ucapku sambil menunjukkan para tamu yang tertawa dan menikmati waktu mereka.
Ibu mengangguk, matanya berbinar. “Ya, Yandra. Dan semua ini berkat kerja kerasmu. Ibu tahu kamu bisa melakukannya.”
Malam mulai menjelang dan kafe dipenuhi dengan cahaya lampu yang hangat. Aku merasa terharu melihat semua senyuman di wajah orang-orang yang berkumpul. Tiba-tiba, Ibu memberi tanda bahwa dia perlu pergi ke dapur untuk memeriksa pesanan.
“Yuk, kita ambil foto bareng para tamu!” Alif berteriak, menyuruhku berkumpul dengan beberapa teman yang datang. Kami semua tersenyum lebar, dan ketika aku melihat ke arah Dinda, dia juga tersenyum padaku. Jantungku berdebar lebih cepat.
Setelah sesi foto, aku menghampiri Dinda lagi. “Malam ini luar biasa, ya? Senang kamu bisa datang. Kafe ini terasa lebih hidup dengan kehadiranmu,” kataku, berusaha untuk mengungkapkan apa yang aku rasakan.
Dinda menatapku dengan lembut. “Aku juga merasa demikian. Terima kasih sudah mengundangku, Yandra. Kafe ini adalah refleksi dari dirimu yang sebenarnya.”
Aku terdiam sejenak, kata-katanya mengena di hati. “Aku ingin membuat tempat ini menjadi rumah bagi orang-orang, tempat di mana mereka bisa berbagi cerita dan merasakan cinta. Dan ternyata, cinta itu tidak hanya tentang Ibu, tapi juga tentang orang-orang di sekitarku.”
Dinda tersenyum lebar. “Kamu tahu, terkadang kita menemukan cinta dalam hal-hal kecil. Dalam tawa, dalam canda, dan bahkan dalam secangkir kopi.”
Kami berdua tertawa, dan saat itu, aku merasakan ketertarikan yang lebih dalam. Seolah ada benang merah yang menghubungkan kami. Kafe ini, dengan semua keramaian dan kehangatannya, membuatku merasa dekat dengannya.
Ketika malam semakin larut, para tamu mulai meninggalkan kafe. Aku melihat ke arah Dinda yang masih tersisa. “Mau ikut membantu merapikan? Atau ingin menikmati kopi lagi?” tanyaku.
Dinda mengangguk. “Aku bantu deh, sambil menikmati suasana. Kafe ini adalah tempat yang bikin aku merasa nyaman.”
Kami berdua mulai merapikan meja dan mengumpulkan gelas-gelas yang kosong. Dalam kesibukan itu, kami berbagi cerita tentang kehidupan kami, harapan, dan impian. Tanpa terasa, waktu berlalu begitu cepat.
Setelah semua beres, aku menatap Dinda, dan entah kenapa, hatiku bergetar. “Dinda, aku senang bisa mengenalmu. Kafe ini menjadi lebih berarti karena kamu ada di sini.”
Dia menatapku, dan matanya berkilau. “Aku juga senang, Yandra. Ini adalah awal dari sesuatu yang baru, kan?”
Kata-kata itu seolah menggugah perasaanku. Mungkin ini adalah momen yang kutunggu-tunggu. Momen di mana cinta mulai tumbuh, bukan hanya untuk kafe ini, tapi juga untuk orang-orang yang mengisinya.
Kafe kami bukan hanya sekadar tempat untuk minum kopi; ini adalah tempat di mana kasih sayang mulai mengalir, di mana pertemanan dapat tumbuh menjadi sesuatu yang lebih indah. Dengan semangat dan cinta, kami siap menjelajahi apa pun yang akan datang selanjutnya—bersama-sama.
Dan di sinilah, di kafe kecil ini, aku mulai merasakan cinta yang baru. Cinta yang melampaui batasan, cinta yang berakar dari kesederhanaan, dan cinta yang akan terus tumbuh seiring waktu.
Jadi, siapa sangka, kafe kecil ini bukan hanya jadi tempat ngopi, tapi juga jadi saksi bisu dari tumbuhnya cinta yang tulus. Dengan aroma kopi dan tawa yang mengisi ruang, Yandra dan Dinda membuktikan bahwa cinta bisa muncul dari hal-hal sederhana.
Siapa tahu, mungkin secangkir kopi berikutnya juga bisa bawa kamu ke dalam petualangan cinta yang seru? Jadi, siap-siap aja, karena hidup ini penuh kejutan manis yang bisa bikin hati kamu berdebar-debar!