Daftar Isi
Hai, guys! Siapa sih yang nggak pernah merasakan sedih ketika harus berpisah dengan orang yang kita sayang? Cerita ini bakal bawa kamu masuk ke dalam dunia Aylana dan Nirvana, dua saudara yatim piatu yang menghadapi perpisahan yang bikin hati kamu meleleh. Siap-siap ya, karena kisah mereka nggak cuma tentang kesedihan, tapi juga tentang cinta yang kuat meski jarak memisahkan. Yuk, kita ikuti perjalanan mereka!
Cinta dan Perpisahan
Senja yang Hilang
Senja di panti asuhan selalu membawa Aylana kembali ke satu ingatan yang sama—hari di mana semuanya berubah. Langit jingga yang mulai memudar itu seperti mengingatkannya pada detik-detik sebelum hidupnya terbalik, sebelum ia dan Nirvana menjadi yatim piatu. Langit yang dulu mereka nikmati bersama orang tua kini terasa dingin dan sepi.
Aylana duduk di bawah pohon beringin tua di sudut lapangan panti, memeluk lututnya sambil menatap jalanan di depan sana. Jalanan itu selalu ramai oleh mobil dan motor yang lalu-lalang, tapi buat Aylana, semua itu tak lebih dari bayang-bayang hampa. Jalan itu mengingatkannya pada hari terakhir keluarganya. Hari di mana kecelakaan itu terjadi.
“Ka, kamu lagi mikirin apa?” suara lembut Nirvana membuyarkan lamunannya. Bocah kecil itu duduk di sebelahnya, menatap kakaknya dengan mata bening yang penuh tanya.
Aylana tersenyum kecil, meski dalam hatinya, dia tahu Nirvana pasti sudah bisa menebak jawabannya. “Nggak ada. Aku cuma… ya, mikir aja. Udah sore, nih, kamu udah selesai ngerjain PR?”
Nirvana mengangguk pelan, tapi senyumnya pudar. “Kak, kapan kita bisa pulang?”
Pertanyaan itu. Lagi dan lagi. Hati Aylana terasa sakit setiap kali Nirvana mengucapkannya. Bagaimana mungkin dia bisa menjelaskan ke adiknya kalau mereka nggak punya rumah lagi? Kalau ‘pulang’ udah nggak ada dalam kamus hidup mereka? Tapi Aylana tahu, Nirvana masih terlalu kecil untuk benar-benar memahami apa yang terjadi. Baginya, panti asuhan ini hanya tempat sementara. Rumah—rumah mereka yang dulu—selalu ada di dalam benak Nirvana.
“Kita udah nggak bisa pulang, Van. Rumah kita udah nggak ada,” jawab Aylana, suaranya nyaris berbisik.
Nirvana menunduk. “Aku masih kangen, Kak… Kangen banget sama Mama sama Papa.”
Aylana menarik napas panjang, menatap lurus ke depan sambil berusaha menahan air mata. Sejak kecelakaan itu, setiap harinya terasa seperti cobaan yang berat. Sebagai kakak, dia harus jadi kuat. Dia harus terus bergerak maju demi Nirvana. Tapi di dalam hatinya, dia juga nggak pernah berhenti merindukan kedua orang tua mereka.
“Iya, aku juga kangen,” gumam Aylana pelan. “Tapi, kita cuma punya satu sama lain sekarang. Kita harus kuat, Van.”
Nirvana mengangguk, meski tatapannya tetap sedih. “Aku janji akan kuat, Kak. Tapi, kalau bisa… aku pengen mimpi ketemu Mama sama Papa lagi.”
Aylana terdiam, menatap adiknya dengan perasaan bercampur aduk. Nirvana selalu bilang dia pengen mimpi tentang orang tua mereka, seolah-olah itu satu-satunya cara buat bertemu lagi. Setiap malam, Nirvana berdoa agar bisa tidur dan bermimpi tentang keluarga mereka yang utuh, meskipun Aylana tahu, mimpi seperti itu nggak akan cukup buat menghapus kenyataan pahit yang mereka jalani sekarang.
Hari-hari di panti asuhan sebenarnya nggak buruk, tapi tetap aja terasa sepi. Panti itu dipenuhi banyak anak yang kehilangan orang tuanya juga, masing-masing dengan cerita sedihnya sendiri. Tapi buat Aylana, kesepian itu nggak datang dari kurangnya teman atau keramaian, melainkan dari perasaan hampa karena kehilangan sesuatu yang nggak bisa digantikan.
Setiap pagi, Aylana bangun lebih awal dari anak-anak lain. Dia biasa bangun dini hari untuk menyiapkan sarapan bagi Nirvana—rutinitas yang udah jadi bagian dari hidupnya sejak kecelakaan itu. Di sini, di panti ini, dia nggak bisa lagi masak, tapi tetap aja, kebiasaan bangun pagi itu nggak hilang. Kadang, dia cuma duduk di tempat tidur, menatap langit yang mulai terang, sambil berharap sesuatu akan berubah. Tapi setiap hari, semuanya tetap sama.
Nirvana, meski masih kecil, mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan emosional. Senyumnya nggak lagi cerah seperti dulu. Kadang, Aylana melihatnya termenung lama di sudut ruangan, matanya menerawang jauh, seperti sedang mengingat-ingat sesuatu yang nggak bisa dia gapai.
Suatu sore, Aylana menemukan Nirvana duduk sendiri di ruang makan, piring makan malamnya hampir nggak disentuh.
“Kamu kenapa, Van?” tanya Aylana sambil duduk di sampingnya.
Nirvana menggeleng. “Aku cuma… nggak lapar aja, Kak.”
Aylana tahu Nirvana berbohong. Bocah itu selalu nafsu makan, apalagi kalau ada makanan favoritnya, tapi akhir-akhir ini, Nirvana semakin sering menghindari makan atau berbicara dengan anak-anak lain. Aylana tahu, adiknya sedang berjuang keras melawan kesedihannya sendiri.
“Kamu kangen Mama sama Papa lagi, ya?” Aylana menebak, suaranya pelan.
Nirvana nggak menjawab. Dia hanya menunduk, menggenggam sendok di tangannya dengan erat, seolah itu bisa menghentikan perasaan yang sedang menghimpit dadanya.
“Nirvana…” Aylana memeluk adiknya erat, berusaha menenangkan bocah kecil itu meski dia sendiri nyaris tak kuasa menahan tangis. “Aku tahu ini susah, tapi kamu nggak sendirian. Aku ada di sini. Kita bisa lewatin ini bareng-bareng.”
Nirvana terisak pelan, akhirnya mengeluarkan tangis yang sudah lama dia tahan. “Aku… aku takut, Kak. Aku takut kita nggak akan pernah bisa bahagia lagi.”
Perkataan Nirvana membuat hati Aylana serasa ditusuk. Bocah sekecil itu seharusnya nggak perlu merasa takut. Tapi Aylana nggak bisa menyangkal kenyataan bahwa dunia mereka sudah berubah. Bahagia—konsep itu terasa begitu jauh dan sulit dijangkau.
“Kita pasti bisa bahagia lagi, Van,” kata Aylana, mencoba meyakinkan adiknya meski dia sendiri tak yakin dengan kata-katanya. “Kita cuma harus kuat. Kamu kuat, kan? Aku juga akan terus ada buat kamu.”
Nirvana mengangguk dalam pelukan Aylana, meski isaknya masih terdengar. “Aku akan kuat, Kak… asal kita tetap bareng-bareng.”
Aylana mengusap kepala adiknya lembut, sambil memandang keluar jendela. Langit senja yang memerah itu terasa begitu akrab, namun juga menyakitkan. Seolah-olah dunia di luar sana masih berjalan seperti biasa, meski dunia mereka sudah hancur. Di balik segala janji yang diucapkan, Aylana tahu bahwa masa depan mereka masih penuh dengan ketidakpastian. Dan di panti ini, mereka hanya dua dari sekian banyak anak yang juga berharap akan keajaiban.
Aylana memandang Nirvana yang tertidur dengan wajah tenang malam itu, hatinya dipenuhi rasa campur aduk. Kakak mana yang nggak takut kehilangan adiknya? Meski sudah mencoba kuat, Aylana tahu ada hal-hal di luar kendalinya. Satu hal yang pasti, dia nggak akan pernah membiarkan Nirvana merasa sendirian. Meski jalan yang mereka tempuh penuh dengan luka dan kehilangan, Aylana berjanji akan terus berada di sisinya.
Angin malam berhembus pelan melalui jendela yang sedikit terbuka, dan Aylana hanya bisa berharap esok hari akan membawa sedikit keajaiban dalam hidup mereka.
Janji di Bawah Langit
Malam itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Angin dingin berhembus pelan, menggoyangkan daun-daun di luar jendela kamar mereka. Aylana berbaring di tempat tidur, memandang langit-langit panti yang semakin terasa menyesakkan. Nirvana sudah tertidur pulas di ranjang sebelahnya, setelah tangisannya mereda. Aylana menatap adiknya, wajahnya masih basah dengan sisa air mata, tapi ada ketenangan yang akhirnya datang. Meski begitu, di dalam hati Aylana, ada sesuatu yang nggak bisa dia biarkan pergi—rasa takut. Takut kalau suatu hari, Nirvana akan menyerah. Takut kalau suatu hari dia sendiri yang menyerah.
Dia menarik napas panjang, berusaha mengusir bayangan buruk itu. Aylana harus tetap kuat. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk Nirvana. Mereka cuma punya satu sama lain. Janji yang terus diucapkannya—mereka akan tetap bersama, akan kuat, akan menemukan kebahagiaan lagi. Tapi semakin dia berusaha meyakinkan diri, semakin berat rasanya.
Esoknya, hari seperti biasa dimulai. Di panti asuhan, rutinitas berjalan sama setiap harinya. Anak-anak bangun, mandi, makan pagi, lalu belajar atau bermain. Tapi hari ini, ada yang berbeda di ruang makan. Suara riuh anak-anak bergema, dan di tengah keramaian itu, seorang wanita dan pria berdiri bersama dengan Bu Reni, pengasuh panti.
“Anak-anak, mari sini sebentar,” panggil Bu Reni, suaranya lembut tapi tegas.
Aylana dan Nirvana mendekat bersama anak-anak lain. Mereka memandang pasangan yang tampak rapi dan berwibawa itu. Aylana merasa perutnya bergejolak, dia tahu persis apa yang akan terjadi. Setiap kali ada orang datang dengan tatapan penuh harap seperti itu, artinya akan ada yang pergi. Artinya, akan ada adik atau teman baru yang diadopsi.
Bu Reni tersenyum. “Ini adalah Pak Damar dan Bu Ratna. Mereka sedang mencari anak yang bisa menjadi bagian dari keluarga mereka.”
Jantung Aylana berdegup lebih cepat. Perasaannya bercampur aduk—antara harapan dan kecemasan. Dia tahu Nirvana selalu bermimpi untuk punya keluarga lagi. Tapi Aylana? Dia nggak yakin. Bagi Aylana, keluarga mereka sudah hilang sejak hari itu. Kehangatan keluarga yang sesungguhnya hanya ada dalam kenangan.
“Aku nggak mau,” gumam Aylana pelan sambil memandang ke arah Nirvana yang berdiri di sebelahnya.
Tapi Nirvana tampak berbeda. Tatapan adiknya melekat pada pasangan di depan mereka. Mata Nirvana bersinar, seolah-olah dia melihat sesuatu yang dia dambakan selama ini. Aylana tahu, Nirvana ingin pergi dari panti ini. Ingin merasakan apa yang dulu mereka miliki—keluarga, rumah, kehangatan.
“Bu Ratna dan Pak Damar akan menghabiskan beberapa hari di sini untuk mengenal kalian,” lanjut Bu Reni, “Mereka ingin melihat siapa di antara kalian yang paling cocok untuk menjadi bagian dari keluarga mereka.”
Aylana menghela napas berat. Bukan kali pertama dia menghadapi situasi seperti ini, tapi setiap kali, rasanya selalu sama—takut kehilangan. Takut Nirvana akan dipilih dan meninggalkannya. Dan jika itu terjadi, apa yang akan dia lakukan? Dia nggak bisa bayangin hidup tanpa Nirvana.
Malam itu, Nirvana tak henti-hentinya berbicara tentang Pak Damar dan Bu Ratna. Mereka membawa mainan, buku cerita, dan bahkan memberikan perhatian yang nggak pernah Nirvana rasakan selama di panti.
“Kak, mereka baik banget. Aku seneng banget bisa ngobrol sama mereka tadi,” cerita Nirvana sambil berbaring di kasurnya, senyumnya lebar.
Aylana tersenyum tipis, berusaha menutupi kekhawatirannya. “Iya, mereka kelihatannya memang baik.”
“Kakak pikir mereka bakal pilih aku?” tanya Nirvana tiba-tiba, suaranya penuh harapan.
Pertanyaan itu menusuk jantung Aylana. Dia nggak mau melihat adiknya kecewa, tapi dia juga nggak bisa bayangin harus berpisah dengan Nirvana. Aylana menatap adiknya yang begitu polos dan lugu. Dia menarik napas, lalu menjawab dengan hati-hati.
“Aku nggak tahu, Van. Tapi, kalau pun mereka memilih kamu… apa kamu beneran mau pergi?” Aylana mencoba tersenyum, meski hatinya hancur.
Nirvana menatap kakaknya dalam-dalam, sejenak kebingungan tergurat di wajahnya. “Kalau aku pergi… Kakak ikut, kan?”
Aylana terdiam. Dia ingin menjawab ‘iya,’ tapi kenyataannya nggak semudah itu. Di panti, biasanya adopsi dilakukan untuk satu anak, bukan dua sekaligus. Jika Nirvana diadopsi, Aylana tahu dia mungkin nggak akan ikut.
“Aku nggak tahu, Van. Tapi kita lihat aja nanti, ya?” jawab Aylana akhirnya, berusaha mengalihkan pembicaraan.
Nirvana terdiam, ekspresi senangnya berubah ragu. Aylana bisa merasakan betapa adiknya mencoba untuk nggak kecewa, tapi dia tahu Nirvana sudah terlalu lama berharap. Dan harapan itu, bagaimanapun juga, nggak akan bisa Aylana hentikan.
Hari-hari berlalu dengan perlahan. Pak Damar dan Bu Ratna sering datang ke panti, menghabiskan waktu bersama anak-anak, termasuk Nirvana. Setiap kali pasangan itu datang, Nirvana selalu terlihat antusias. Dan setiap kali itu pula, Aylana merasa semakin terasing. Seolah-olah ada jarak yang mulai terbentuk di antara mereka.
Suatu sore, Aylana duduk di bawah pohon beringin tua, sama seperti sore-sore sebelumnya. Tapi kali ini, Nirvana nggak ada di sampingnya. Nirvana sedang bersama Pak Damar dan Bu Ratna di ruang depan, bermain dengan anak-anak lain. Aylana tahu, waktunya mungkin semakin dekat.
“Kamu nggak ikut main sama Nirvana?” Suara lembut Bu Reni tiba-tiba terdengar dari belakang.
Aylana menoleh, melihat pengasuh panti itu berdiri dengan senyum penuh perhatian. Aylana menggeleng pelan. “Aku lagi pengen sendiri, Bu.”
Bu Reni duduk di sebelah Aylana, memandangnya dengan tatapan penuh pengertian. “Aku tahu kamu sayang banget sama Nirvana. Tapi, kalau dia memang terpilih untuk diadopsi… kamu harus ikhlas, ya?”
Kata-kata itu membuat dada Aylana terasa sesak. Dia menatap lurus ke depan, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku nggak bisa bayangin hidup tanpa Nirvana, Bu. Dia… dia satu-satunya yang aku punya.”
Bu Reni mengangguk pelan, wajahnya menunjukkan kesedihan yang sama. “Aku mengerti. Tapi kamu juga harus ingat, Nirvana berhak mendapatkan kesempatan untuk bahagia. Kalau itu memang yang terbaik untuk dia, kamu harus mengizinkannya pergi.”
Aylana terdiam. Dia tahu Bu Reni benar, tapi di dalam hatinya, rasa takut kehilangan itu tetap ada. Bagaimana mungkin dia bisa melepas adiknya, satu-satunya orang yang dia sayangi di dunia ini?
Langit mulai berubah jingga, dan senja pun tiba. Aylana menatap langit yang semakin memerah. Di bawah langit yang sama ini, dia pernah berjanji pada Nirvana kalau mereka akan selalu bersama. Tapi sekarang, janji itu terasa semakin sulit untuk dipertahankan.
Malamnya, setelah Nirvana tertidur, Aylana duduk di tepi jendela kamar mereka. Bulan bersinar terang, tapi entah kenapa, cahaya itu terasa begitu dingin dan jauh. Aylana menarik lututnya ke dada, memeluk dirinya sendiri sambil menatap langit malam.
Di dalam hati, Aylana berdoa. Dia berharap, apapun yang terjadi nanti, Nirvana akan tetap bahagia. Meski itu berarti dia harus berpisah dengan adiknya, Aylana akan mencoba untuk kuat. Karena, seperti yang Bu Reni katakan, Nirvana berhak mendapatkan kesempatan itu.
Dan kalau takdir memutuskan mereka harus berpisah, Aylana berjanji akan selalu menjaga Nirvana, meski dari kejauhan.
Di Ujung Harapan
Hari demi hari berlalu, dan rasanya waktu berjalan semakin cepat. Aylana merasa seperti berada di tengah badai yang tak kunjung reda. Di panti asuhan, kebahagiaan dan kesedihan berjalan berdampingan. Anak-anak bermain dengan tawa, sementara di sudut hati Aylana, kegelisahan terus berakar.
Suatu pagi, saat Aylana sedang menyapu halaman, dia melihat Nirvana berlari menghampirinya dengan wajah bersinar. “Kak, Kak! Pak Damar dan Bu Ratna mau mengajak kita pergi ke taman! Ayo!”
Aylana tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan ketidakpastian yang merayapi hatinya. “Oh, ya? Ke taman?”
“Yap! Mereka bilang kita bisa piknik! Mereka juga bawa banyak makanan!” Nirvana melompat-lompat dengan kegirangan, tak menyadari betapa beratnya hati Aylana saat mendengar namanya.
Aylana hanya mengangguk, berusaha menjaga semangat adiknya. “Kalau gitu, kita siap-siap, ya?”
Beberapa saat kemudian, mereka berkumpul di halaman panti, bersama anak-anak lain dan pasangan yang terlihat bersemangat. Aylana merasakan tatapan penuh harap Nirvana yang menginginkan kasih sayang dari orang tua baru mereka. Namun, ada juga keraguan yang menggelayut di dalam hatinya. Mampukah dia merelakan adiknya jika hari itu tiba?
Di taman, suasananya cerah. Mereka menggelar tikar di bawah pohon besar dan menikmati makanan yang dibawa. Nirvana, dengan antusias, memperlihatkan mainan baru yang diberikan Pak Damar. “Kak, lihat! Ini robotnya bisa gerak!”
Aylana tersenyum, tapi hatinya serasa teriris. Satu bagian dari dirinya ingin merasakan kebahagiaan adiknya, tapi bagian lainnya berjuang untuk tidak merasa kehilangan.
Pak Damar dan Bu Ratna terlihat sangat perhatian. Mereka bercanda, tertawa, dan membangun keakraban dengan semua anak. Aylana mengamati bagaimana Nirvana berinteraksi dengan mereka, senyum manis tak pernah lepas dari wajah adiknya.
“Kalau kamu mau, kita bisa bawa kamu pulang ke rumah kami. Kamu bisa tinggal sama kami selamanya,” ujar Bu Ratna sambil merangkul Nirvana. Aylana merasakan napasnya tercekat. Ternyata, percakapan itu mulai mengarah ke hal yang Aylana tak ingin dengar.
Nirvana berbalik, matanya berbinar. “Benarkah? Aku bisa tinggal dengan Kakak Damar dan Kak Ratna?”
Aylana merasa hatinya seperti tertegun. Dia tidak ingin membongkar mimpi Nirvana, tetapi dia juga tidak bisa berpura-pura tidak merasakan sakitnya.
“Nirvana, kamu ingat kita punya janji?” Aylana berusaha berbicara lembut, meski suaranya serak.
“Tapi Kak, ini kesempatan! Ini kesempatan kita!” Nirvana menegaskan, wajahnya memancarkan harapan yang besar.
Aylana menatap Nirvana, melihat betapa polosnya adiknya. Sebagai kakak, seharusnya dia melindungi Nirvana, tetapi di saat yang sama, dia merasa terjebak dalam perasaannya sendiri.
“Aku… aku tidak tahu, Van. Mungkin ini memang kesempatan yang baik. Tapi kita harus berpikir matang-matang, ya?”
Nirvana mengangguk, meski wajahnya tampak kecewa. Aylana bisa merasakan beban berat di antara mereka, seolah-olah satu janji yang mereka buat itu mulai retak.
Setelah piknik, mereka pulang ke panti. Di perjalanan, Nirvana terus berbicara tentang rencana mereka di rumah baru, betapa menyenangkannya bisa memiliki keluarga. Dan di setiap kata yang keluar dari mulut Nirvana, Aylana merasakan sesuatu yang makin menyesakkan.
Malam itu, Aylana terjaga. Dia melihat Nirvana tertidur pulas dengan senyuman, wajahnya yang damai membuat Aylana ingin berdoa agar semuanya baik-baik saja. Dia ingin menjadi kakak yang kuat, yang selalu ada untuk adiknya.
Tapi tiba-tiba, pintu kamar terbuka. Bu Reni masuk dengan ekspresi serius. “Aylana, kita perlu bicara.”
Aylana mengernyitkan dahi, tidak suka jika ada sesuatu yang tidak baik. “Ada apa, Bu?”
Bu Reni duduk di tepi tempat tidur, wajahnya tampak penuh beban. “Ada kemungkinan bahwa Pak Damar dan Bu Ratna akan memilih Nirvana untuk diadopsi dalam waktu dekat.”
Aylana merasa dunianya seakan runtuh. “Tapi… apa ini artinya mereka akan memisahkan kita?” suaranya bergetar, air mata mulai menggenang di matanya.
“Jika mereka memilih Nirvana, mungkin tidak ada cara untuk menghindarinya. Ini adalah kesempatan yang sangat baik untuknya, Aylana. Dan kamu juga harus ingat, ini bukan akhir dari segalanya. Kamu selalu bisa berkunjung ke Nirvana,” Bu Reni mencoba meyakinkan Aylana.
Tapi Aylana merasakan hatinya remuk. “Tapi, Bu! Dia adikku! Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa dia. Aku tidak bisa membayangkan dia pergi.”
Bu Reni menarik napas dalam-dalam, lalu menggenggam tangan Aylana. “Aylana, kamu harus mengizinkan Nirvana untuk bahagia. Sekalipun itu berarti harus berpisah darinya. Kamu harus kuat.”
Aylana menatap Bu Reni, merasakan kekuatan dan ketulusan dalam kata-katanya. Dalam hatinya, Aylana tahu itu benar, tapi emosi yang menguasai pikirannya membuat semuanya terasa sangat berat.
Malam itu, Aylana berbaring di kasur, memandangi langit malam yang gelap. Semua bintang berkilau indah, tetapi di dalam hatinya hanya ada kesedihan dan kekhawatiran.
Di ujung harapan, Aylana berdoa. Dia berharap agar apapun yang terjadi selanjutnya, dia dan Nirvana bisa bertemu lagi. Harapan itu menjadi satu-satunya pegangan yang bisa dia andalkan di tengah badai ini.
Jejak yang Tertinggal
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan saat yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Aylana berdiri di depan cermin, melihat bayangannya. Hari ini adalah hari di mana Pak Damar dan Bu Ratna akan memutuskan apakah mereka akan mengadopsi Nirvana. Perasaannya campur aduk; antara bahagia untuk Nirvana dan sedih karena kemungkinan kehilangan adiknya.
“Bisa nggak, kak?” tanya Nirvana yang tiba-tiba muncul di belakangnya, memegang boneka beruang kesayangannya.
“Bisa apa?” Aylana bertanya, berusaha menyembunyikan kegugupannya.
“Bisa ngak aku jadi anak mereka?” Nirvana mengerutkan dahi, tidak memahami ketegangan di wajah kakaknya.
Aylana menunduk, berusaha menemukan kata-kata yang tepat. “Mungkin… iya, Van. Tapi kamu harus ingat, walaupun jauh, kita tetap saudara. Aku akan selalu ada untukmu.”
“Ya, Kak! Kita kan punya janji!” Nirvana tersenyum lebar, seolah semua beban yang ada di pundak Aylana lenyap seketika.
Setelah beberapa saat, mereka berdua menuju ruang tamu. Suasana di sana tegang; anak-anak lain sudah berkumpul, menunggu keputusan. Aylana bisa merasakan detakan jantungnya yang semakin kencang.
Pak Damar dan Bu Ratna datang, wajah mereka terlihat serius tetapi ramah. “Kami sudah memikirkan dengan matang,” Pak Damar mulai berbicara, “Dan kami sangat menyukai Nirvana. Kami ingin mengadopsi dia.”
Semua mata langsung tertuju pada Nirvana, yang melompati kegirangan. “Yeay! Kak, aku bisa tinggal di rumah baru!” Nirvana melompat-lompat dengan penuh sukacita.
Aylana merasakan air mata menggenang di pelupuk matanya. Meski dia tahu ini adalah kesempatan terbaik untuk adiknya, hatinya terasa seperti ditusuk. “Nirvana, kamu pasti akan bahagia, kan?”
Nirvana menatap Aylana dengan penuh kepastian. “Iya, Kak! Aku janji akan sering main ke sini!”
Tapi Aylana tahu, janji itu mungkin sulit ditepati. Di dalam hatinya, dia merasakan sebuah kekosongan yang tak terlukiskan.
Setelah pertemuan itu, mereka memiliki beberapa waktu untuk berpamitan. Aylana berusaha bersikap positif, bahkan saat hatinya berteriak menolak kenyataan. “Ingat, Van. Kita selalu satu hati. Dimanapun kamu berada, aku akan selalu memikirkanmu,” Aylana berusaha tersenyum.
Satu minggu berlalu, dan hari terakhir Nirvana di panti asuhan tiba. Aylana menggenggam tangan adiknya dengan erat. “Jangan lupakan semua kenangan kita, ya?”
Nirvana mengangguk, tetapi Aylana bisa melihat di mata adiknya bahwa dia juga merasakan kesedihan yang sama. Di depan mereka, Pak Damar dan Bu Ratna sedang mengemas barang-barang Nirvana, siap membawanya ke rumah baru.
“Apakah kamu siap, Van?” tanya Bu Ratna lembut.
“Siap!” jawab Nirvana, meskipun Aylana bisa merasakan keraguan di balik senyumnya.
Saat mobil datang, Aylana tidak bisa menahan air matanya lagi. Dia memeluk Nirvana erat-erat, berharap momen ini bisa bertahan selamanya. “Jangan lupa, aku di sini, ya? Jika kamu membutuhkan apapun, beritahu saja.”
Nirvana memeluk balik dengan erat, “Aku tidak akan pernah lupa, Kak! Kita akan bertemu lagi, aku janji!”
Dengan hati yang berat, Aylana melihat Nirvana melangkah menuju mobil. Dia berusaha menahan perasaannya, tetapi rasanya mustahil. Melihat adiknya pergi membuatnya merasa seolah kehilangan separuh jiwanya.
Mobil bergerak menjauh, dan Aylana melambai dengan penuh harapan. Dia tahu, hidup mereka tidak akan sama lagi. Namun, dia juga percaya bahwa setiap akhir adalah sebuah awal.
Di tengah kesedihan, Aylana menemukan kekuatan baru. Dia bertekad untuk tetap berhubungan dengan Nirvana, melalui surat, panggilan, atau bahkan kunjungan. Dia ingin menjadi kakak yang selalu mendukung, meski jarak memisahkan mereka.
Malam itu, Aylana duduk di tepi tempat tidur, melihat ke luar jendela. Bintang-bintang berkilau indah, seolah-olah menghiburnya. Dalam hati, dia berdoa agar Nirvana selalu bahagia di rumah barunya.
Aylana tahu bahwa cinta mereka sebagai saudara tak akan pernah pudar. Dan meskipun jalan mereka berpisah, jalinan kasih sayang mereka akan selalu menjadi jejak yang tak terlupakan.
Di sudut hatinya, Aylana berharap. Dia berharap bisa melihat senyuman Nirvana lagi, berharap masa depan yang cerah menanti mereka berdua. Dengan keyakinan dan harapan, dia siap untuk melangkah ke depan, meski tanpa adiknya di sampingnya.
Jadi, guys, meski Aylana dan Nirvana terpisah oleh jarak dan keadaan, cinta mereka sebagai saudara nggak akan pernah pudar. Kadang, hidup memang memberikan ujian yang berat, tapi dengan cinta dan harapan, kita bisa melalui semuanya.
Ingat, setiap perpisahan adalah awal dari sebuah cerita baru. Semoga kisah ini bisa menginspirasi kita semua untuk terus menghargai orang-orang terkasih di sekitar kita. Sampai jumpa di cerita selanjutnya, ya!