Daftar Isi
Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya ada nggak nih diantara kalian yang penasaran sama cerita cerpen kali ini? Yuk, ikuti petualangan seru Dirga dan teman-temannya dalam study tour ke Jogja! Dari serunya berjalan-jalan di Malioboro sampai pengalaman tak terduga di Candi Prambanan, cerita ini bakal bikin kamu nostalgia dengan momen-momen study tour SMA.
Bukan cuma jalan-jalan biasa, Dirga menemukan banyak pelajaran hidup yang menginspirasi di balik candi-candi megah. Artikel ini pas banget buat kamu yang suka cerita seru, penuh emosi, dan perjuangan. Jangan lewatkan kisah seru mereka!
Serunya Study Tour ke Malioboro
Semangat Pagi Menuju Malioboro
Pagi itu, udara terasa lebih segar dari biasanya. Jam baru menunjukkan pukul lima, tapi Dirga sudah terjaga sejak subuh. Ia duduk di tepi ranjang, merasakan denyut kegembiraan yang mulai menyeruak di dadanya. Matahari belum sepenuhnya terbit, namun semangat Dirga sudah meluap-luap. Ini bukan hari biasa ini hari study tour ke Yogyakarta, dan tempat yang paling ia tunggu adalah Malioboro.
Dirga selalu menjadi yang pertama soal persiapan seperti ini. Sudah beberapa hari ia menyiapkan pakaian terbaik untuk perjalanan. Ia bahkan meminjam kamera dari ayahnya agar bisa mengabadikan setiap momen bersama teman-temannya. Pagi itu, setelah mandi dan berpakaian dengan cepat, ia langsung mengeluarkan ponsel, memastikan grup kelas di WhatsApp sudah ramai.
“Bro, kalian udah siap, kan? Jangan sampai telat!” tulis Dirga di grup, mengingatkan teman-temannya.
Balasan langsung berdatangan. Teman-temannya, terutama Arka, Gibran, dan Kian, sudah sama-sama semangat. Mereka bahkan sudah sepakat akan duduk bareng di dalam bus. Dirga tersenyum melihat respon yang positif dari grup sepertinya semua sudah tak sabar untuk petualangan ini.
Setelah memastikan semua peralatan siap, Dirga berpamitan pada orang tuanya. Ayahnya, yang sudah terbiasa dengan antusiasme Dirga, hanya tersenyum sambil berpesan, “Hati-hati di jalan. Jangan lupa foto banyak ya, biar bisa cerita ke kita nanti!”
“Iya, Pak. Pasti! Nanti aku kasih lihat semua fotonya,” jawab Dirga penuh semangat.
Ia segera bergegas menuju sekolah, tempat berkumpulnya seluruh siswa. Suasana pagi di sekolah sudah ramai meski hari baru saja dimulai. Teman-teman sudah berkumpul, masing-masing membawa ransel besar dan wajah penuh semangat. Dirga segera menemukan sahabat-sahabatnya yang sudah menunggu di dekat gerbang sekolah.
“Woi, Dirg! Tumben nggak duluan datang,” sapa Arka dengan tawa lebar.
“Baru kali ini kalah cepat, nih!” tambah Kian sambil memukul bahu Dirga.
Dirga hanya tertawa kecil. “Kalian ini, nggak ada tandingannya soal pagi-pagi. Tapi yang penting, kita semua siap, kan?”
Mereka pun masuk ke dalam bus bersama-sama. Di dalam bus, suasana segera berubah menjadi lebih meriah. Musik diputar, candaan mulai bertebaran, dan tawa menggema di setiap sudut. Dirga, seperti biasa, menjadi pusat perhatian. Ia selalu tahu cara membuat suasana menjadi lebih hidup. Sesekali, ia berdiri dari kursi, mengajak teman-temannya untuk bernyanyi mengikuti lagu yang diputar dari speaker bus.
“Eh, nanti kita foto-foto di Malioboro! Jangan ada yang ketinggalan di sebuah momen!” seru Dirga dengan suara yang penuh semangat.
Gibran yang duduk di sampingnya hanya mengangguk. “Pasti, Dirg. Siapa sih yang mau ketinggalan? Malioboro, bro! Ini momen kita!”
Perjalanan yang memakan waktu beberapa jam terasa seperti sekejap. Canda tawa Dirga dan teman-temannya membuat waktu berlalu tanpa terasa. Mereka membicarakan segala hal, mulai dari rencana membeli oleh-oleh, mencicipi kuliner khas Yogyakarta, hingga pose terbaik yang harus mereka ambil saat berada di Malioboro. Dirga, dengan gayanya yang santai, selalu menjadi yang paling antusias dalam merancang momen-momen ini.
“Eh, nanti jangan lupa aku yang jadi seorang fotografer, ya. Biar fotonya keren!” ujar Dirga sembari menirukan gaya fotografer profesional, membuat teman-temannya tertawa.
Namun, di balik tawa dan kegembiraan itu, Dirga punya satu misi pribadi. Ia bukan hanya ingin bersenang-senang, tapi juga ingin memanfaatkan momen ini untuk belajar lebih banyak tentang Yogyakarta. Di dalam tas ranselnya, terselip sebuah buku catatan kecil. Ia berencana mencatat hal-hal menarik yang dilihatnya selama perjalanan. Bagi Dirga, study tour ini lebih dari sekadar liburan. Ia ingin pulang dengan cerita-cerita yang tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk keluarganya di rumah.
Ketika bus mulai memasuki kawasan Yogyakarta, mata Dirga tak bisa berhenti menatap keluar jendela. Pemandangan kota yang penuh dengan nuansa tradisional bercampur dengan modernitas membuat hatinya berdesir. Ada sesuatu tentang Yogyakarta yang selalu memikat hatinya, meski ini baru pertama kali ia menginjakkan kaki di sini.
“Ini dia, Jogja!” seru Kian dengan nada antusias, menggema di dalam bus.
Namun, Dirga yang biasanya riuh tiba-tiba terdiam sejenak. Ia memandang keluar dengan senyum tipis, merasa begitu beruntung bisa berada di kota ini bersama teman-teman terbaiknya.
“Dirg, kenapa diem aja?” tanya Gibran yang sudah menyadari sebuah perubahan dari sikap Dirga.
Dirga tersenyum. “Nggak apa-apa, bro. Cuma lagi menikmati suasana aja. Jogja keren banget, ya?”
Gibran mengangguk setuju. “Iya, dan kita baru mulai nih. Malioboro masih nunggu kita!”
Ketika bus akhirnya berhenti di area parkir Malioboro, semua siswa turun dengan wajah cerah dan semangat. Mereka bergegas keluar, berlari kecil menuju trotoar Malioboro yang legendaris. Dirga berjalan paling depan, memimpin kelompoknya seperti seorang kapten yang siap memulai petualangan. Perasaan senang mengalir dalam dirinya. Ini bukan sekadar perjalanan biasa ini adalah momen yang akan selalu ia kenang.
Dengan langkah mantap dan penuh semangat, Dirga berseru, “Oke, guys! Malioboro, here we come!” Dan dengan begitu, petualangan pun dimulai.
Petualangan Seru di Jalan Malioboro
Begitu kaki Dirga menjejak trotoar Malioboro, ia merasakan semilir angin lembut yang membawa aroma khas dari jalan legendaris itu. Suara riuh rendah dari para pedagang kaki lima, alunan musik tradisional yang dimainkan oleh pengamen, serta warna-warni lampu toko yang mulai menyala menyambut sore hari semuanya membuat Malioboro terasa hidup. Dirga tertegun sejenak, menyadari bahwa inilah momen yang sudah lama ia tunggu.
“Wow, ini dia, bro! Malioboro!” seru Kian dengan nada yang kagum sambil berdiri di samping Dirga.
Dirga mengangguk sambil tersenyum. “Ini lebih dari yang aku bayangkan,” gumamnya, namun cukup keras sehingga teman-temannya mendengarnya. Ia kemudian menepuk bahu Arka yang berdiri di sebelahnya. “Ayo, kita jelajahi tempat ini! Banyak yang harus kita lihat.”
Tanpa buang waktu, Dirga memimpin rombongan kecil mereka menyusuri jalan yang dipadati oleh wisatawan dan warga lokal. Mereka berjalan santai, mengagumi berbagai barang yang dijual oleh para pedagang kaki lima. Ada batik, pernak-pernik, aksesoris, hingga aneka kerajinan tangan khas Yogyakarta. Setiap langkah mereka membawa kejutan baru, membuat mata Dirga dan teman-temannya berbinar penuh antusiasme.
Namun, di balik semua kesenangan itu, Dirga punya satu misi: dia ingin mengabadikan setiap momen ini, tidak hanya untuk dirinya, tetapi juga sebagai kenangan yang bisa ia bagi dengan orang tuanya di rumah. Dia tahu, tidak setiap hari ia bisa berkunjung ke Malioboro. Setiap detik di tempat ini adalah sesuatu yang istimewa.
Dirga kemudian mengeluarkan kamera dari tasnya, siap menangkap momen yang tak terlupakan. “Oke, ayo kita foto dulu di sini,” serunya sambil menunjuk ke sebuah sudut jalan dengan latar belakang deretan toko yang dipenuhi lampu-lampu indah.
Arka, Gibran, dan Kian langsung berdiri berdampingan, berpose dengan gaya kocak yang membuat Dirga tertawa.
“Siap… satu, dua, tiga!” Klik! Kamera itu mengabadikan tawa riang dan kebersamaan mereka.
Namun, Dirga tahu momen-momen menyenangkan ini harus seimbang dengan rasa tanggung jawabnya. Di tengah keasyikan berkeliling, ia juga mengingat satu hal penting: tidak boleh terlambat kembali ke titik pertemuan dengan guru dan teman-teman lainnya. Ia memeriksa jam tangan, memastikan mereka masih punya cukup waktu.
“Ayo kita cepat beli oleh-oleh, biar nggak telat balik ke bus,” kata Dirga mengingatkan. “Kalau sampai ditinggal, susah pulangnya.”
Teman-temannya sepakat, tapi bukan tanpa canda. “Santai, Dirg. Baru kali ini kamu kayaknya lebih serius dari biasanya,” ujar Gibran sambil tertawa.
Dirga tersenyum, tapi tetap memastikan langkah mereka tak melambat. Di benaknya, ada perasaan tanggung jawab yang kuat untuk menjaga teman-temannya agar tetap teratur, meski mereka sedang bersenang-senang. Mereka mampir ke beberapa kios oleh-oleh, membeli batik untuk orang tua, aksesoris untuk teman-teman, dan tak lupa camilan khas Jogja seperti bakpia.
Saat berjalan menuju toko terakhir, sebuah pemandangan menarik perhatian Dirga. Di seberang jalan, ada sekelompok seniman jalanan yang sedang menampilkan pertunjukan wayang kulit. Meski terdengar suara ramai dari sekitar, alunan musik gamelan yang mengiringi pertunjukan itu berhasil menarik perhatian mereka.
Dirga tiba-tiba berhenti. “Eh, tunggu sebentar. Kita lihat ini dulu, yuk!” ajaknya.
Meski awalnya teman-temannya agak ragu, mereka akhirnya setuju. Mereka berdiri di depan kelompok seniman itu, menonton dengan takjub. Dirga, yang sejak kecil memang menyukai seni tradisional, merasakan perasaan yang berbeda. Ini bukan sekadar hiburan; ini adalah bagian dari budaya yang selama ini hanya ia ketahui dari buku-buku sejarah.
Perlahan-lahan, ia merasa terhubung dengan suasana Jogja yang begitu kental dengan nuansa tradisionalnya. Matanya tak lepas dari bayangan wayang kulit yang menari di balik layar. Sesekali, ia melirik ke arah teman-temannya, berharap mereka merasakan hal yang sama.
“Aku baru sadar, Jogja nggak cuma tempat yang seru buat liburan. Budaya di sini luar biasa, ya,” gumam Dirga pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Namun, Arka yang berdiri di sampingnya mendengar. “Iya, Dirg. Kita beruntung bisa ke sini. Ini lebih dari sekadar perjalanan biasa.”
Setelah beberapa menit menonton, Dirga akhirnya mengajak teman-temannya melanjutkan perjalanan. “Ayo, kita nggak bisa lama-lama. Masih banyak yang harus kita lihat.”
Tapi tak lama setelah mereka berjalan beberapa langkah, mereka sadar waktu hampir habis. Dirga memeriksa jam tangan dan sedikit panik. “Wah, kita harus cepat! Udah mau jam kumpul!”
Dalam situasi yang mulai mendesak, Dirga memimpin teman-temannya berlari kecil menyusuri jalan. Ia berusaha tetap tenang, meski di dalam hatinya ada perasaan khawatir kalau-kalau mereka terlambat dan ditinggal bus. Perjuangan ini terasa lebih intens karena jalanan begitu ramai, membuat mereka harus berusaha melewati kerumunan orang.
“Nanti kalau sampai telat, kita yang dimarahi guru duluan,” celetuk Kian dengan napas terengah-engah.
“Tapi kalau kita nggak berhenti tadi, pasti udah nyampe,” balas Gibran sambil tersenyum nakal, mengingat Dirga yang berhenti untuk menonton pertunjukan wayang.
Dirga, meski ngos-ngosan, hanya bisa tertawa kecil. “Biarin aja! Worth it banget, kan?”
Mereka akhirnya sampai di titik pertemuan dengan napas tersengal-sengal, tepat ketika bus sudah bersiap untuk berangkat. Para guru sudah menunggu dengan wajah serius, namun terselip sedikit senyum melihat tingkah para siswa yang berlari-lari.
“Dirg, kita aman. Tapi lain kali, jangan mepet-mepet gini, ya,” ujar salah satu guru sambil tersenyum tipis.
Dirga mengangguk cepat. “Siap, Bu! Maaf, tadi keasyikan, tapi kita nggak akan terlambat lagi.”
Setelah memastikan semuanya sudah lengkap, bus pun mulai bergerak. Di dalam bus, Dirga dan teman-temannya tertawa lega, menikmati suasana perjalanan kembali ke penginapan. Meski penuh perjuangan, hari ini menjadi salah satu petualangan terbaik mereka.
Di tengah tawa riang, Dirga menatap keluar jendela, melihat matahari yang perlahan terbenam di balik gedung-gedung tua Malioboro. Perasaan puas mengalir di dalam dirinya. Meski ada tantangan kecil, mereka berhasil menikmati setiap momen, dan itu yang paling penting. Yogyakarta sudah memberikan lebih dari yang ia harapkan kenangan, pelajaran, dan kebahagiaan yang tak tergantikan.
Dirga menutup mata sejenak, tersenyum, lalu berbisik pada dirinya sendiri, “Ini baru awal petualangan kita. Masih banyak yang harus kita jelajahi.”
Kejutan di Alun-Alun Kidul
Setelah hari yang panjang di Malioboro, Dirga dan teman-temannya akhirnya sampai di penginapan mereka di Jogja. Malam itu, suasana di penginapan terasa lebih santai. Para siswa mulai beristirahat setelah seharian berkeliling, sementara beberapa lainnya masih bercengkerama di teras depan kamar masing-masing. Dirga sendiri merasa tubuhnya lelah, tapi hatinya masih penuh kegembiraan. Ia tidak bisa berhenti memikirkan betapa menyenangkannya hari ini.
Sambil berbaring di atas kasur, Dirga memandangi langit-langit kamar yang dihiasi bayangan lembut lampu kamar. Gibran yang sekamar dengannya sedang asyik bermain ponsel di pojok ruangan. Tiba-tiba, ponsel Dirga berbunyi sebuah pesan masuk di grup WhatsApp teman-teman kelas mereka.
Kian mengirim pesan: “Bro, masih ada yang mau jalan-jalan lagi malam ini? Ada yang bilang Alun-Alun Kidul keren buat dikunjungi malam-malam.”
Dirga yang awalnya sudah hampir tertidur langsung bangkit duduk. “Wah, Alun-Alun Kidul? Kayaknya seru juga sih,” gumamnya pelan. Ia lalu melihat ke arah Gibran yang masih asyik dengan ponselnya.
“Gib, lo gimana? Mau ikut ke Alun-Alun Kidul?” tanya Dirga, mencoba memancing minat temannya.
Gibran mengangkat bahu, lalu tersenyum kecil. “Boleh juga, daripada tidur-tiduran aja. Lagian katanya seru buat muter-muter di sana.”
Dengan cepat, Dirga dan Gibran bersiap-siap. Mereka bergabung dengan beberapa teman lainnya, termasuk Kian, Arka, dan yang lainnya yang sudah menunggu di depan penginapan. Semua tampak antusias meskipun hari sudah mulai larut. Ada sesuatu tentang suasana malam Jogja yang membuat mereka tidak ingin menyia-nyiakan waktu. Dirga merasa ini adalah kesempatan langka yang tidak boleh mereka lewatkan.
Setelah beberapa menit berjalan kaki, mereka tiba di Alun-Alun Kidul. Meski malam telah turun, suasana di sana terasa hidup. Lampu-lampu hias yang menggantung di pohon beringin besar memancarkan cahaya hangat, sementara deretan penjual makanan dan minuman tampak sibuk melayani para pengunjung. Suara riuh rendah dari pengunjung lainnya bercampur dengan tawa ceria anak-anak yang bermain di sekitar alun-alun.
Dirga dan teman-temannya terdiam sejenak, menikmati pemandangan. “Wah, indah banget, ya,” ucap Arka kagum.
“Iya, suasana malamnya beda banget,” tambah Gibran sambil mengamati sekeliling.
Mereka berjalan perlahan, menikmati setiap sudut alun-alun. Tapi perhatian Dirga tertuju pada sesuatu yang menarik di tengah-tengah lapangan besar itu: dua pohon beringin besar yang terkenal dengan mitosnya. Kata orang, siapa pun yang bisa berjalan lurus dengan mata tertutup melewati kedua pohon itu, keinginannya akan terkabul.
“Kalian tahu nggak mitos pohon beringin itu?” tanya Dirga tiba-tiba, memecah suasana.
Arka mengangguk. “Iya, katanya kalau bisa lewat di antara kedua pohon itu tanpa melenceng, keinginan kita bakal terwujud.”
Dirga tersenyum penuh tantangan. “Gimana kalau kita coba? Siapa yang berani?”
Tanpa ragu, Kian langsung menyahut, “Gue duluan!”
Kian mengambil kain penutup mata yang dipinjam dari salah satu pedagang di sana. Teman-teman yang lain berdiri di pinggir lapangan, bersiap melihat apakah Kian bisa melewati tantangan itu. Dengan penuh percaya diri, Kian mulai berjalan lurus ke arah kedua pohon.
Namun, baru beberapa langkah, arah jalannya mulai melenceng. Teman-teman yang menonton tak bisa menahan tawa saat Kian berbelok jauh ke kanan, padahal dia merasa sudah berjalan lurus.
“Ternyata susah banget, ya!” Kian bisa membuka penutup matanya sambil tertawa terbahak-bahak.
Melihat kegagalan Kian, Dirga merasa semakin tertantang. Ia selalu menjadi orang yang tidak mudah menyerah, dan malam itu ia memutuskan untuk membuktikan dirinya. Ia mengambil kain penutup mata dari tangan Kian dan memasangnya.
“Oke, sekarang giliran gue. Lihat aja, gue bakal berhasil,” ujar Dirga penuh percaya diri.
Suasana di sekitar mereka tiba-tiba menjadi tegang. Teman-temannya diam, menahan napas sambil menyaksikan Dirga bersiap memulai langkahnya. Dirga menarik napas dalam-dalam, mencoba fokus. Ia tahu bahwa banyak yang gagal karena kehilangan fokus dan terlalu cepat menyerah. Tapi dia tidak seperti itu. Dirga yakin bisa.
Dengan perlahan, ia mulai melangkah. Setiap langkah terasa berat, bukan karena fisik, tetapi karena dia tidak bisa melihat apapun dan hanya mengandalkan perasaan. Namun, Dirga terus berjalan, berusaha menyeimbangkan dirinya di tengah deru angin malam yang mulai menghembus lebih kencang.
Di kepalanya, Dirga memikirkan banyak hal keluarganya, teman-temannya, impian-impian yang ingin ia raih. Ada sesuatu yang membara di dalam dirinya, semacam keyakinan kuat bahwa malam ini bukan hanya soal permainan mitos, melainkan juga tentang membuktikan pada dirinya sendiri bahwa ia bisa mengendalikan arah hidupnya, seperti halnya ia mengendalikan langkah-langkahnya saat ini.
Suara sorakan teman-temannya mulai terdengar samar di kejauhan, tapi Dirga tidak memedulikan itu. Ia tetap fokus, hingga tiba-tiba… ia berhenti. Ia membuka penutup matanya, dan betapa terkejutnya ia melihat bahwa ia berhasil—ia benar-benar berjalan lurus melewati kedua pohon beringin itu.
“Wah, Dirg lo berhasil!” teriak Arka penuh kegembiraan.
Teman-temannya langsung menghampirinya dengan sorakan dan tepukan di punggung. Dirga tersenyum lebar, merasa bangga sekaligus lega. “Gue nggak nyangka bisa lewat,” katanya sambil tertawa kecil.
Malam itu, di bawah langit penuh bintang dan di tengah keramaian Alun-Alun Kidul, Dirga merasa ada sesuatu yang berbeda di dalam dirinya. Bukan sekadar kemenangan kecil dari permainan ini, tapi ada kepuasan batin yang lebih dalam. Dia belajar bahwa terkadang hidup bukan tentang seberapa banyak hal yang bisa kita kontrol, melainkan seberapa kuat kita bisa bertahan di tengah ketidakpastian.
Selesai dengan permainan beringin, mereka semua duduk di salah satu warung kaki lima, menikmati segelas wedang ronde hangat. Suasana semakin akrab, canda tawa menghiasi malam mereka.
“Lo tahu nggak, Dirg?” ujar Kian sambil menyesap ronde. “Gue salut sama lo. Lo selalu punya cara buat nikmatin setiap momen, dan lo selalu berhasil di situasi yang susah.”
Dirga tersenyum mendengar pujian itu. Ia hanya menggelengkan kepala. “Gue cuma berusaha sebaik mungkin, Ki. Toh, kita ke sini buat menikmati semuanya, kan? Nggak ada yang sia-sia kalau kita benar-benar menikmati perjalanan ini.”
Malam itu terasa panjang, tapi penuh makna. Perjalanan mereka ke Jogja bukan hanya sekadar wisata sekolah biasa. Bagi Dirga, ini adalah kesempatan untuk mengenal dirinya lebih jauh tentang bagaimana ia melihat hidup, menikmati momen-momen kecil, dan meraih sesuatu yang berarti di setiap kesempatan.
Saat mereka kembali ke penginapan dengan langkah kaki yang lebih ringan, Dirga tahu, perjalanan mereka belum selesai. Masih ada hari-hari seru lainnya yang menanti, dan ia siap untuk menikmati setiap detiknya.
Momen Tak Terduga di Candi Prambanan
Pagi hari di Jogja terasa lebih sejuk dari biasanya, terutama setelah semalaman Dirga dan teman-temannya menikmati suasana Alun-Alun Kidul. Meski malam sebelumnya diisi tawa dan permainan, pagi ini mereka harus bangun lebih awal untuk melanjutkan agenda study tour mereka: mengunjungi Candi Prambanan. Dirga bangun dengan perasaan campur aduk, antara semangat dan lelah, namun semangat untuk petualangan baru mengalahkan rasa kantuknya.
Seperti biasa, Dirga langsung menyapa Gibran yang masih tertidur di sebelahnya. “Bangun, bro. Hari ini kita ke Prambanan!” ucap Dirga sambil menggoyang tubuh temannya.
Gibran mengerang pelan sebelum akhirnya bangun setengah sadar. “Astaga, gue masih capek, Dirg… Tapi, yaudahlah, ini kan momen langka. Yuk, siap-siap!” balas Gibran sembari berusaha untuk bisa tetap bersemangat.
Setelah semua siap, mereka berkumpul di lobby penginapan sebelum berangkat menuju Candi Prambanan dengan bus. Dirga duduk di pojok kursi belakang bersama Arka, Gibran, dan Kian, yang sudah mulai sibuk mengambil selfie dan mengabadikan momen.
“Gue udah lama pengen ke Prambanan,” kata Kian, matanya berbinar. “Nggak cuma karena candinya, tapi juga sejarahnya. Rasanya, ini kayak impian kecil yang terwujud.”
Perjalanan mereka ke Prambanan diwarnai dengan tawa dan cerita-cerita seru. Meskipun rasa lelah belum sepenuhnya hilang, semangat mereka untuk melihat salah satu candi terbesar di Indonesia membuat semua rasa kantuk terlupakan. Di sepanjang jalan, Dirga sempat termenung, membayangkan betapa megahnya Candi Prambanan yang hanya ia lihat dari foto-foto dan cerita di buku sejarah.
Begitu mereka tiba di area parkir, keindahan Prambanan langsung menyapa dari kejauhan. Menara-menara tinggi yang menjulang dengan relief-detail yang terukir indah di setiap sisinya tampak begitu megah, seolah menyimpan ribuan kisah di balik bebatuan kuno tersebut. Dirga berdiri sejenak, memandangi kemegahan candi yang berdiri kokoh di depan matanya.
“Wah, nggak nyangka bisa sebesar ini, ya?” Arka mengagumi bangunan tua yang dipenuhi cerita.
“Iya, kalau dilihat dari dekat, lebih menakjubkan. Kita kayak berdiri di hadapan sejarah,” jawab Dirga sambil menghela napas dalam-dalam, merasa betapa kecil dirinya di hadapan warisan masa lalu ini.
Di depan candi, rombongan siswa dibagi menjadi beberapa kelompok untuk mendengarkan penjelasan pemandu tentang sejarah Candi Prambanan. Dirga dan teman-temannya mengikuti dengan penuh antusias. Setiap cerita yang disampaikan terasa begitu hidup, mulai dari kisah Ramayana yang menjadi dasar candi hingga bagaimana Prambanan dibangun dengan sentuhan arsitektur yang rumit.
Namun, di tengah penjelasan, perhatian Dirga tiba-tiba teralihkan oleh suara bisikan pelan dari Gibran. “Eh, lo tahu nggak, katanya di sekitar candi ini, ada tempat yang dipercaya punya energi mistis. Banyak yang bilang kalo lo duduk di batu tertentu, lo bisa ngerasain sesuatu.”
Dirga, meski awalnya skeptis, menjadi penasaran. “Seriusan lo, Gib? Kok lo tiba-tiba ngomongin yang gituan sih?”
“Ya, gue denger-denger aja dari orang sini. Katanya, banyak pengunjung yang ngerasain hal aneh di tempat-tempat tertentu.”
“Berarti kita harus coba nih,” ucap Arka setengah bercanda, menantang Dirga.
Mereka tertawa kecil, tapi tantangan itu membuat Dirga semakin penasaran. Setelah sesi tur selesai, mereka memutuskan untuk berkeliling lebih jauh di area candi, mencari tempat yang dimaksud Gibran. Meskipun pemandu telah menyuruh mereka berhati-hati dan tidak sembarangan, rasa penasaran lebih kuat daripada kekhawatiran.
Di salah satu sudut kompleks candi, mereka menemukan sebuah batu besar yang tampak berbeda dari yang lain. Dirga memandangi batu itu dengan rasa ingin tahu yang mendalam. Batu itu tampak lebih tua, dengan permukaan yang licin dan sedikit retak.
“Ini kali ya batunya?” tanya Dirga sambil melihat Gibran dan Arka.
“Coba aja dulu, Dirg. Siapa tahu lo dapet pengalaman mistis,” Gibran menjawab sambil tertawa.
Tanpa berpikir panjang, Dirga duduk di atas batu itu. Awalnya, tidak ada yang terasa berbeda. Namun, setelah beberapa saat, ia merasakan sesuatu yang aneh sebuah perasaan damai yang anehnya tidak biasa. Seolah-olah seluruh kelelahan dari perjalanan mereka hilang, tergantikan oleh ketenangan mendalam. Ada semacam getaran halus di dalam tubuhnya yang membuatnya merasa lebih kuat, lebih yakin akan sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan.
“Kok lo diem aja, Dirg?” tanya Kian sambil memandanginya curiga.
Dirga tersenyum tipis. “Nggak tahu, tapi gue ngerasa tenang banget di sini. Aneh, tapi gue ngerasa kayak ada yang ngasih gue energi.”
Teman-temannya hanya tertawa kecil, menganggap itu mungkin hanya sugesti. Tapi bagi Dirga, pengalaman itu terasa begitu nyata. Ia merasa seperti mendapat pelajaran hidup dari tempat ini, seolah-olah Candi Prambanan sedang berbisik kepadanya, mengingatkannya tentang kekuatan ketenangan di tengah badai kehidupan.
Saat mereka melanjutkan perjalanan keliling candi, Dirga mulai merenung tentang makna dari pengalaman tadi. Ia teringat perjalanan mereka sejak Malioboro, bagaimana semua momen kecil memberikan pelajaran tersendiri. Dari tantangan berjalan lurus di antara pohon beringin hingga pengalaman duduk di atas batu ini, semuanya seolah-olah mengajarkannya untuk tetap teguh, tetap tenang di tengah tekanan, dan selalu percaya pada kemampuan diri sendiri.
Sebelum mereka meninggalkan Prambanan, Dirga melihat sekali lagi ke arah candi-candi yang menjulang tinggi. Ia merasa ada sesuatu yang lebih besar daripada sekadar liburan sekolah. Perjalanan ini bukan hanya soal menikmati tempat-tempat baru, tetapi juga tentang menemukan jati diri.
Di dalam bus, saat perjalanan pulang ke penginapan, Dirga merasakan kehangatan di dalam dadanya. Ia melihat ke luar jendela, menyaksikan pemandangan pedesaan Jogja yang mulai diselimuti senja. Di sana, di antara candi-candi kuno dan cerita-cerita masa lalu, ia menemukan makna baru tentang perjuangan dan kedamaian.
“Lo kenapa, Dirg? Dari tadi kok diem aja?” tanya Gibran yang duduk di sebelahnya.
Dirga tersenyum kecil. “Nggak apa-apa gue hanya cuma lagi mikir aja tentang semua yang sudah kita alamin di sini. Gue ngerasa ada banyak pelajaran yang gue dapet, dan… gue bersyukur bisa ngerasain semuanya bareng kalian.”
Gibran tersenyum, lalu menepuk punggung Dirga. “Gue setuju. Perjalanan ini lebih dari sekadar jalan-jalan biasa. Gue rasa kita semua akan inget momen ini seumur hidup.”
Dirga mengangguk, dan ia tahu, di balik setiap perjalanan, ada makna yang lebih dalam. Hari-hari di Jogja mungkin akan segera berakhir, tapi kenangan dan pelajaran yang ia dapatkan akan selalu terpatri di hatinya tentang bagaimana menemukan ketenangan di tengah perjuangan, dan bagaimana kebahagiaan sering kali datang dari hal-hal sederhana yang tak terduga.
Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Nah, itulah kisah seru Dirga dan teman-temannya selama study tour di Jogja yang nggak cuma menyenangkan, tapi juga penuh pelajaran berharga. Dari Malioboro sampai Prambanan, perjalanan ini ngasih Dirga pengalaman yang lebih dari sekadar liburan biasa. Kalo kamu lagi kangen suasana study tour atau pengen merasakan petualangan seru ala anak SMA, cerita ini wajib banget kamu baca. Yuk, buat setiap perjalananmu punya makna seperti Dirga, karena di balik setiap petualangan, pasti ada pelajaran hidup yang tak terduga!