Kisah Inspiratif Seorang Musisi Muda: Koin Harapan di Kafe Koin

Posted on

Kamu pernah ngalamin momen di mana segalanya kayak tiba-tiba nyambung dan bikin kamu pengen terbang? Cerita ini tentang Dimas, si musisi ambisius yang terjebak di antara kafe kecil dan mimpi besar. Bareng Rina, sahabatnya yang selalu punya ide gila, mereka mau buktikan bahwa bahkan koin-koin biasa bisa jadi simbol harapan yang luar biasa.

Dari penampilan yang bikin hati bergetar sampai malam penuh kejutan, siap-siap deh buat ikut merasakan vibe seru yang bikin lo pengen ikut melangkah bareng mereka. Yuk, cek perjalanan Dimas dan Rina, karena siapa tahu, koin di ujung jalan itu adalah langkah awal buat mimpi kamu juga!

 

Koin Harapan di Kafe Koin

Hujan di Ujung Jalan

Hujan rintik-rintik mulai turun dari langit kelabu, membasahi jalanan kota kecil yang biasanya ramai. Aroma basah tanah dan suara air yang menetes dari atap kafe Koin membuat suasana terasa tenang. Di dalam kafe, Bu Siti, pemilik kafe yang sudah berusia setengah baya dengan wajah bersahabat, sedang menyeduh kopi tubruk kesukaannya. Dengan keahliannya, dia bisa membuat kopi yang mampu menghangatkan hati siapa pun yang meminumnya.

“Satu cangkir lagi, Bu Siti! Saya butuh dosis kopi yang cukup untuk bertahan malam ini!” teriak seorang pelanggan setia, Pak Ahmad, yang duduk di sudut dengan koran di tangannya.

Bu Siti hanya tersenyum. “Nanti saya buatkan, Pak! Tapi jangan terlalu malam ya, nanti bisa susah tidur!” Dia tahu betul kebiasaan pelanggan-pelanggannya. Kafe ini seperti rumah kedua bagi mereka.

Di tengah kesibukannya, pintu kafe terbuka lebar, dan angin dingin yang membawa embun dari luar masuk ke dalam. Seorang pemuda berkaus lusuh, tampak kedinginan dengan rambutnya yang basah, melangkah masuk. Dimas, namanya, seorang musisi jalanan yang sering ia lihat di sudut kota.

“Eh, Dimas! Masuk, masuk!” seru Bu Siti sambil mengusap tangan di apron. Dia bisa melihat kelelahan di wajah pemuda itu. Dimas biasanya membawa gitarnya, tapi kali ini tidak terlihat.

Dimas mengangguk sambil tersenyum malu. “Bu, saya… mau berteduh sebentar. Hujannya… deras banget,” katanya, sambil menggoyang-goyangkan kakinya untuk menghilangkan dingin. Dia melihat kafe yang hangat dan penuh dengan aroma kopi, seolah mengundangnya untuk tinggal lebih lama.

Bu Siti segera menyiapkan segelas kopi hangat dan sepotong kue. “Ini buat kamu. Makanlah, biar hangat,” ujarnya, menyerahkan kopi dan kue ke meja Dimas.

“Terima kasih, Bu. Saya tidak tahu harus ke mana lagi,” kata Dimas, sedikit menunduk. Ia tahu hidupnya tidak mudah. Kadang ia merasa seperti bayangan, lewat begitu saja tanpa ada yang memperhatikan.

“Ah, tidak perlu sungkan. Semua orang berhak dapat kebaikan, kan?” Bu Siti menyeringai. “Kamu seorang musisi, kan? Kenapa tidak mainkan lagu untuk kami?”

Dimas tersenyum getir. “Sebenarnya saya lebih suka main di luar, tapi… hari ini sepertinya tidak ada yang mau mendengarkan.” Dia mengaduk kopinya pelan, terlihat melamun.

Bu Siti menatapnya lekat. “Kamu harus percaya diri! Setiap orang punya cerita. Kadang, orang-orang hanya butuh sedikit dorongan untuk mendengarkan,” katanya dengan semangat.

Seolah terinspirasi, Dimas mengeluarkan ponselnya dan mulai mencari lagu. “Bu, boleh saya mainkan lagu di sini?” tanyanya.

“Boleh, boleh! Semakin ramai kafe ini, semakin baik!” Bu Siti mengangguk, memberi izin.

Dimas mulai memainkan melodi lembut, dan suara gitarnya mengalun merdu. Musiknya membawa suasana hangat ke dalam kafe, mengalir bersama hujan di luar. Beberapa pelanggan mulai menoleh, tertarik dengan alunan lagu yang membawa mereka ke dalam dunia lain.

“Coba lagu tentang harapan, Dimas!” teriak Pak Ahmad dari sudut. “Saya suka yang ceria!”

Dimas tersenyum dan mengubah lagunya menjadi lebih riang. “Oke, saya coba! Untuk semua yang ada di sini!” katanya, merasa lebih percaya diri.

Suara gitarnya terus mengalun, membangun koneksi dengan pendengar. Hujan di luar terdengar seperti irama latar yang menyempurnakan penampilannya.

Setelah selesai, tepuk tangan riuh terdengar dari pelanggan. Dimas merasa seolah dia baru saja mendapatkan energi baru. “Wah, terima kasih! Ini baru pertama kali saya main di dalam kafe,” katanya, wajahnya bercahaya.

Bu Siti bangkit dan mengusap tangannya. “Kamu hebat! Ingat, musik itu universal. Ia bisa menyatukan kita semua.”

Dimas mengangguk, seolah mengingat pesan Bu Siti. Ia tak menyadari bahwa pertemuan ini bisa mengubah hidupnya.

Malam semakin larut, dan suasana kafe semakin hangat. Saat hujan mulai reda, Dimas bersiap untuk pergi. Sebelum keluar, Bu Siti menyerahkan sepotong koin. “Ambil ini. Semoga membantu,” katanya dengan penuh kasih.

Dimas merasa terharu. “Tapi, Bu, saya tidak bisa…”

“Tidak usah banyak bicara. Ini untuk kamu. Ingatlah untuk membagikannya jika kamu merasa beruntung,” jawab Bu Siti tegas, namun lembut.

Dimas mengangguk, menyimpan koin itu di saku. Saat keluar, hujan telah berhenti, dan bintang-bintang mulai bermunculan di langit. Dia melangkah dengan rasa harapan baru, seolah ada cahaya yang membimbingnya.

Sebelum benar-benar pergi, dia menatap kembali kafe yang telah memberinya lebih dari sekadar kopi hangat. Dia merasa, di sanalah awal baru dimulai.

 

Kebaikan dalam Secangkir Kopi

Malam itu, Dimas melangkah keluar dari kafe Koin dengan hati yang lebih ringan. Aroma lembut dari kopi masih terbayang di hidungnya, dan kehangatan senyuman Bu Siti seolah menemaninya sepanjang jalan. Ia melanjutkan perjalanannya, berharap hari-hari berikutnya akan membawa angin segar.

Keesokan harinya, saat matahari mulai terbit, Dimas duduk di sebuah bangku taman di tengah kota. Ia melihat sekeliling, mengamati kehidupan yang berlangsung. Anak-anak berlarian, pasangan muda bercengkerama, dan para pedagang menjajakan barang dagangan mereka. Meskipun kehidupan di sekitarnya terlihat ceria, Dimas merasakan kesepian yang mendalam. Tanpa gitar di tangan, ia merasa seolah ada yang hilang.

Namun, ingatan tentang koin pemberian Bu Siti mengingatkannya akan harapan. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menghilangkan keraguan yang menggelayuti pikirannya. “Mungkin aku bisa beli bahan untuk lagu baru,” gumamnya pada diri sendiri. Dengan penuh semangat, Dimas melangkah menuju toko musik terdekat.

Di dalam toko, suara lonceng kecil berbunyi saat ia masuk. Penjualnya, Pak Budi, langsung menyapanya. “Dimas! Bagaimana kabarmu? Lama tak lihat di sini!”

“Baik, Pak. Saya baru kembali ke kota setelah beberapa waktu,” jawab Dimas sambil melihat-lihat alat musik yang dipajang. Matanya tertuju pada senar gitar yang baru. “Saya mau beli beberapa senar.”

“Bagus! Ini senar baru, kualitas terbaik,” kata Pak Budi sambil menunjukkan senar yang bersinar. “Bisa bikin suara gitarmu lebih jernih.”

Dimas memeriksa harganya dan menelan ludah. Uang koin yang diberikan Bu Siti cukup untuk membeli senar, tapi sedikit menguras semua simpanannya. “Bisa nggak pakai koin ini?” tanyanya, sambil mengeluarkan koin dari sakunya.

Pak Budi mengangkat alisnya, tampak terkejut. “Tentu, Dimas. Koin berharga itu, ya?” Dia tertawa kecil. “Tapi ingat, itu bukan hanya sekadar koin. Itu adalah harapan.”

Dimas tersenyum, merasa terhubung. Setelah menyelesaikan pembelian, ia bergegas kembali ke taman, merangkai rencana untuk lagu barunya. Ia ingin menciptakan sesuatu yang menggugah perasaan, yang dapat mengingatkan orang-orang akan arti harapan, sama seperti yang telah diberikan Bu Siti padanya.

Sore itu, saat Dimas duduk di bawah pohon besar, ia mulai menciptakan melodi baru. Jari-jarinya bermain di senar gitarnya, menciptakan irama lembut yang mengalun seirama dengan desiran angin. Orang-orang di sekitarnya mulai melirik, tertarik pada nada-nada yang mengisi ruang.

“Wah, lagu baru ya?” seorang gadis berambut keriting mendekatinya. “Aku suka!”

“Terima kasih! Ini tentang harapan,” jawab Dimas, merasa semangatnya meningkat dengan dukungan yang datang.

Gadis itu duduk di sampingnya, dan mereka mulai berbincang. Namanya adalah Rina, seorang mahasiswa seni yang baru pindah ke kota itu. “Aku sering lihat kamu main di jalan. Suara gitarmu bikin aku tenang,” katanya, tersenyum ceria.

Dimas merasa hangat di hatinya. “Senang bisa mendengar itu. Aku baru saja membuat lagu baru. Ingin dengar?”

Rina mengangguk antusias. Dimas pun mulai bermain lagi, kali ini dengan lebih bersemangat. Melodi yang ia ciptakan membawa kedamaian, dan Rina tak bisa menahan diri untuk tidak bertepuk tangan saat ia selesai.

“Aku suka! Kamu harus main di kafe atau festival musik,” saran Rina. “Banyak orang perlu mendengar suara bagus seperti itu.”

Dimas terdiam sejenak. Ide itu membuatnya bersemangat, tetapi ketakutan akan penolakan kembali mengganggu pikirannya. “Aku masih pemula,” jawabnya ragu. “Nggak yakin kalau bisa.”

“Coba aja! Setiap orang mulai dari nol. Kamu punya talenta, percayalah!” Rina mendorongnya, menatapnya dengan penuh keyakinan.

Dimas merasa tergerak. Ia mengingat kata-kata Bu Siti tentang berbagi cerita. “Mungkin kamu benar. Aku akan mencoba,” katanya, matanya berbinar dengan semangat baru.

Setelah berbincang lebih lama, Dimas dan Rina berjanji untuk bertemu lagi. Rina berjanji akan membantu menyebarkan kabar tentang penampilannya jika ia berani tampil di kafe Koin. “Jangan lupa ajak aku!” serunya saat mereka berpisah.

Malam itu, Dimas kembali ke kafe Koin dengan penuh antusiasme. Begitu sampai, Bu Siti menyambutnya dengan senyuman lebar. “Hai, Dimas! Apa kabar?”

“Baik, Bu! Saya ada rencana,” katanya, berbinar-binar. “Saya ingin main di kafe ini. Rina bilang banyak orang perlu mendengar lagu saya.”

Bu Siti tampak terkejut, tetapi juga senang. “Wah, itu ide yang bagus! Kita bisa adakan malam musik! Aku bantu promosinya.”

Dimas merasa seolah beban di pundaknya mulai hilang. Ia tidak sendirian lagi. “Terima kasih, Bu! Ini semua berkat kebaikanmu.”

“Jangan terlalu merendah. Kamu sudah bekerja keras. Sekarang saatnya tunjukkan apa yang kamu punya!” Bu Siti memotivasi, dan Dimas merasakan semangat baru membara dalam dirinya.

Dia merasa seolah koin kecil yang diberikan Bu Siti bukan hanya sekadar uang, tetapi simbol dari harapan dan dukungan. Dengan percaya diri yang baru, Dimas bertekad untuk tidak hanya bermimpi, tetapi juga membuat mimpinya menjadi nyata.

Saat malam menjelang, Dimas mulai menyusun rencana untuk penampilannya. Ia ingin memberikan yang terbaik, bukan hanya untuk dirinya, tetapi juga untuk orang-orang yang telah memberinya harapan. Sambil memandang bintang-bintang di langit, ia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai.

 

Malam yang Ditunggu

Malam penampilan Dimas akhirnya tiba. Kafe Koin dipenuhi dengan orang-orang yang penasaran dan antusias untuk menyaksikan debutnya. Lampu-lampu kecil berkelap-kelip menciptakan suasana hangat dan intim. Dimas berdiri di sudut panggung kecil, menatap kerumunan yang berkumpul. Jantungnya berdebar kencang, campuran antara kegembiraan dan ketakutan.

Bu Siti muncul di sampingnya, memberikan dorongan. “Ingat, kamu tidak sendirian. Semua orang di sini ingin melihat kamu bersinar.”

Dimas mengangguk, mencoba menenangkan dirinya. Di balik panggung, ia melihat Rina tersenyum lebar, memberikan isyarat dukungan. “Bisa, Dimas! Ayo!” teriaknya, menyemangati dari kerumunan.

Dia menarik napas dalam-dalam, memegang gitar yang telah menjadi teman setianya. “Oke, ini untuk semua yang percaya padaku,” gumamnya, sebelum melangkah maju dan mengambil mikrofon.

“Selamat malam, semuanya! Nama saya Dimas, dan saya akan membawakan beberapa lagu malam ini.” Suaranya sedikit bergetar, tetapi dia berusaha tersenyum. Kerumunan memberi tepuk tangan hangat sebagai tanda dukungan.

Dia memulai dengan lagu pertamanya, melodi yang telah ia ciptakan setelah berbincang dengan Rina di taman. Setiap nada mengalir dari hatinya, dan dia merasa terhubung dengan para pendengar. Saat suara gitarnya mengisi ruang, Dimas bisa melihat beberapa wajah bersinar, dan itu membuatnya semakin bersemangat.

“Lagu ini tentang harapan,” katanya sebelum melanjutkan ke lagu kedua. “Tentang bagaimana kita bisa terus berjuang meski banyak rintangan.” Ia merasakan energi positif dari kerumunan, seperti mereka menyatu dalam alunan musiknya.

Setelah beberapa lagu, Dimas mengakhiri penampilannya dengan sebuah lagu yang penuh emosi. “Lagu ini aku buat untuk seseorang yang sangat berarti bagi saya.” Ia menatap Rina, yang tampak terpesona. “Dan juga untuk semua orang yang telah memberi saya kesempatan dan harapan.”

Setelah menyelesaikan penampilan, tepuk tangan membahana. Dimas merasakan perasaan luar biasa mengalir dalam dirinya, seolah-olah beban yang selama ini menghimpit telah terangkat. Dia tidak bisa menahan senyuman lebar di wajahnya.

Ketika turun dari panggung, Rina langsung menghampirinya. “Kamu luar biasa! Aku belum pernah lihat seseorang tampil sebaik itu!” serunya, matanya bersinar penuh kekaguman.

“Terima kasih, Rina. Tanpa dukunganmu dan Bu Siti, aku mungkin tidak berani tampil,” jawab Dimas, merasa bersyukur.

Bu Siti muncul lagi, mengelus bahunya. “Kamu melakukannya dengan sangat baik, Dimas! Kami semua bangga padamu,” katanya dengan senyum hangat.

Kafe itu perlahan-lahan mulai sepi, tetapi semangat dari malam itu masih mengalir di udara. Dimas tidak ingin malam ini berakhir. “Apa kita bisa berkumpul lagi, kayak gini?” tanyanya kepada Rina dan Bu Siti.

“Bisa banget! Kita bisa bikin acara musik rutin di sini. Banyak teman yang ingin tampil juga!” Rina bersemangat. “Kita bisa saling mendukung!”

“Setuju!” Bu Siti menambahkan. “Ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Kita bisa membuat komunitas musik di sini.”

Dimas merasa terinspirasi. Semangat dan dukungan yang ia terima malam itu menjadi modal baginya untuk terus berkarya. “Aku mau membuat lebih banyak lagu,” katanya penuh tekad. “Bukan hanya untuk tampil, tetapi juga untuk berbagi cerita.”

Keesokan harinya, Dimas mulai menghabiskan lebih banyak waktu di kafe Koin, bertemu dengan musisi lain, mendengarkan cerita mereka, dan berkolaborasi. Dia mulai menyadari bahwa setiap orang memiliki cerita yang unik dan berharga untuk dibagikan. Hal itu membuatnya merasa lebih terhubung dengan komunitas di sekitarnya.

Di antara kesibukan tersebut, Dimas dan Rina semakin dekat. Mereka sering berbagi ide-ide tentang musik dan saling mendukung dalam setiap langkah. Rina bahkan mulai menggambar ilustrasi untuk lagu-lagu Dimas, yang menjadikan karyanya semakin hidup.

Suatu malam, saat Dimas sedang bermain di kafe, ia mengamati Rina yang sibuk menggambar di sudut ruangan. “Rina!” teriaknya setelah menyelesaikan lagunya. “Lihat! Aku mau bikin lagu baru lagi. Mau dengar?”

“Pasti! Apa tema lagu ini?” jawab Rina, mendekat dengan penasaran.

“Ini tentang perjalanan kita—bagaimana kita bertemu, dan semua yang terjadi setelahnya. Kayaknya kita harus saling berbagi lebih banyak cerita,” ujarnya dengan senyum.

Rina mengangguk, “Aku suka itu! Setiap lagu kamu bawa ke panggung, itu adalah cerita kita. Kita bisa buat semuanya lebih menarik.”

Dengan semangat yang baru, Dimas terus berkarya. Ia menyadari bahwa koin yang diberikan Bu Siti bukan hanya koin fisik, tetapi simbol dari perjalanan yang lebih dalam. Setiap lagu adalah sebuah koin yang menggambarkan pengalaman, harapan, dan kebangkitan.

Dimas sudah tidak lagi merasa sendirian. Sekarang, ia memiliki komunitas, teman, dan impian yang bisa digapai. Dengan semangat, ia bersiap untuk menulis lirik baru yang akan menggambarkan kebaikan yang mengubah hidupnya. Hari-hari yang dilewati adalah langkah-langkah menuju sesuatu yang lebih indah, dan ia tidak sabar menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya.

 

Koin yang Berkilau

Hari itu terasa berbeda. Dimas terbangun dengan semangat yang meluap-luap. Setelah berminggu-minggu berkumpul dan bekerja sama dengan Rina dan teman-teman musisi lainnya, akhirnya mereka merencanakan sebuah acara besar untuk menampilkan karya-karya mereka di Kafe Koin. “Ini adalah langkah pertama kita untuk menjadikan kafe ini sebagai pusat musik di kota,” pikirnya sambil tersenyum.

Ketika ia tiba di kafe, suasana sudah ramai. Banyak musisi lokal yang ingin tampil dan berbagi cerita mereka. Dimas merasa bangga bisa menjadi bagian dari komunitas ini. Rina, dengan antusiasme yang tak tertahankan, membantu mengatur panggung, sementara Bu Siti terlihat sibuk menyiapkan makanan dan minuman untuk para pengunjung.

“Dimas! Kamu siap untuk malam ini?” Rina berlari menghampirinya, mata bersinar penuh semangat. “Aku sudah menyiapkan poster dan flyer. Semua orang di kota ini bakal tahu tentang acara kita!”

“Beneran? Itu luar biasa, Rina! Terima kasih sudah membantu!” Dimas merasa bersyukur. Kehadiran Rina memberikan dorongan positif yang selalu ia butuhkan.

Acara malam itu dimulai dengan keramaian yang luar biasa. Pengunjung memenuhi setiap sudut kafe, menunggu penampilan pertama. Dimas dan Rina berada di belakang panggung, saling bertukar senyuman penuh semangat. “Kita bisa melakukannya, Dimas. Semuanya akan baik-baik saja,” Rina meyakinkannya.

Saat penampilan pertamanya tiba, Dimas melangkah ke panggung dengan penuh percaya diri. Ia menatap kerumunan, mengenali wajah-wajah yang mendukungnya. Dalam hatinya, ia bertekad untuk memberikan yang terbaik.

“Selamat malam, semuanya! Terima kasih sudah datang! Ini adalah lagu pertama dari kita semua,” katanya, dan suara gitarnya mengalun indah mengisi ruangan. Ia melanjutkan dengan lagu-lagu yang telah ia ciptakan, berbagi cerita di balik setiap nada. Dimas merasakan koneksi yang mendalam dengan penonton, seolah mereka semua berada dalam satu gelombang emosi.

Setelah beberapa penampilan, Dimas melihat Rina berdiri di samping panggung, tersenyum bangga. Dia tahu, tanpa Rina, ia tidak akan berada di tempat ini. Dengan semangat baru, ia melanjutkan lagu terakhirnya, yang telah ditulis dengan penuh perasaan tentang perjalanan mereka.

“Ini untuk kamu, Rina,” ia berbisik saat melantunkan liriknya. Suara penonton yang bersorak semakin membuatnya bersemangat. Ia bisa melihat bagaimana musiknya meresap ke dalam hati orang-orang, membuat mereka merasakan apa yang ia rasakan.

Setelah penampilan selesai, tepuk tangan membahana. Dimas merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Dia melangkah turun dari panggung, dipenuhi dengan pujian dan tepuk tangan hangat. Rina berlari menghampirinya, memeluknya dengan penuh kasih.

“Kamu luar biasa! Itu adalah penampilan terbaik yang pernah aku lihat!” Rina berseru, wajahnya bercahaya.

“Terima kasih! Tanpa dukunganmu, aku tidak bisa melakukannya,” jawab Dimas, merasa bangga dan berterima kasih.

Malam itu, para musisi lain juga menunjukkan bakat mereka. Kafe Koin dipenuhi dengan suara tawa, musik, dan kegembiraan. Semua orang berbagi cerita, tertawa, dan menikmati malam yang penuh makna.

Saat malam semakin larut, Dimas dan Rina berdiri di luar kafe, menikmati suasana. “Kita harus terus melakukan ini, Dimas. Kafe Koin bisa menjadi tempat di mana semua orang bisa menemukan kebahagiaan,” Rina berkata, matanya berkilau dengan ide-ide baru.

“Iya, aku setuju! Kita bisa mengadakan acara rutin setiap bulan. Kita bisa mengajak lebih banyak musisi dan penonton,” balas Dimas, merencanakan masa depan mereka bersama.

Mereka berdua saling bertukar pikiran, membayangkan apa yang bisa mereka capai bersama. Tidak ada batasan untuk apa yang bisa mereka buat dan bagi orang lain. Koin yang diberikan Bu Siti tidak hanya simbol dari harapan, tetapi juga kekuatan untuk terus melangkah dan berkarya.

Setelah malam yang tak terlupakan itu, Dimas merasakan bahwa hidupnya telah berubah. Ia tidak hanya menjadi musisi, tetapi juga bagian dari komunitas yang saling mendukung. Semangat dan kebaikan yang mereka bagikan adalah koin-koin yang berkilau, mengingatkan setiap orang akan kekuatan persahabatan dan kolaborasi.

Di malam yang penuh bintang itu, Dimas dan Rina mengakhiri malam dengan harapan yang lebih besar. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, tetapi mereka siap untuk menapaki langkah-langkah baru. Koin-koin itu akan selalu ada di ujung jalan, mengingatkan mereka akan perjalanan yang luar biasa ini.

 

Jadi, di balik setiap koin yang kita temukan, ada cerita yang menunggu untuk diceritakan. Dimas dan Rina mungkin hanya dua orang di antara keramaian, tapi mereka berhasil menunjukkan bahwa impian bukan sekadar angan-angan, melainkan sesuatu yang bisa diraih dengan keberanian dan kerja keras.

Ketika musik mengalun dan koin-koin itu bersinar, ingatlah, setiap langkah kecil yang kita ambil bisa membawa kita ke tempat yang lebih besar. Siapa tahu, koin yang kamu temukan di ujung jalan bisa jadi awal dari petualangan hidup kamu sendiri. Jadi, jangan ragu buat terus melangkah, karena cerita kamu juga layak untuk ditulis!

Leave a Reply