Cinta dan Takdir: Rahasia Perpisahan yang Mengharukan

Posted on

Pernah nggak sih kamu ngerasa kayak udah ketemu soulmate kamu, tapi harus pisah karena alasan yang nggak kamu duga? Nah, cerita ini bakal bikin kamu ngerasain gimana rasanya cinta yang dalam banget, tapi harus berakhir dengan cara yang nggak terduga. Siapin tisu, karena kamu bakal diajak menyelami kisah Davin dan Liora, di mana rahasia dan takdir jadi bagian dari cinta mereka yang penuh emosi. Jangan sampai kelewatan, ya!

 

Rahasia Perpisahan yang Mengharukan

Bayangan di Balik Cinta

Malam itu, di bawah langit kota yang dipenuhi gemerlap lampu, aku duduk sendirian di bangku taman. Di hadapanku, air mancur berkilauan diterpa cahaya, tapi entah kenapa, malam ini keindahan itu terasa hampa. Hatiku terasa berat, seakan ada sesuatu yang terus menghimpit, membuat napasku semakin sesak. Di sakuku, kertas hasil pemeriksaan dari dokter seperti menjadi beban tak terlihat yang mengganjal pikiran.

“Apa yang harus aku lakukan sekarang?” Aku bergumam pelan, suaraku tenggelam di antara deru air mancur. Hari itu, dokter memberi tahu sesuatu yang mengubah seluruh hidupku. Sebuah kenyataan yang sulit aku terima—bahwa waktuku tidak lama lagi.

Beberapa hari belakangan, pikiranku selalu dipenuhi oleh satu hal: bagaimana caraku memberitahu Liora? Dia adalah segalanya bagiku, cinta yang aku jaga selama ini. Tapi bagaimana mungkin aku bisa menghancurkan hatinya dengan kabar ini? Aku tahu, seberapa kuat pun dia, berita ini pasti akan merobek hatinya. Dan aku… aku terlalu pengecut untuk melihatnya terluka karena aku.

Langkah kaki ringan terdengar mendekat. Aku menoleh dan mendapati Liora dengan senyuman yang seperti biasa—hangat dan tulus. Dia duduk di sampingku, menyandarkan tubuhnya pada bangku taman, sementara matanya memandang ke arah air mancur. Setiap kali dia di dekatku, rasanya dunia menjadi lebih terang. Tapi malam ini, aku tahu ada sesuatu yang gelap yang harus aku sembunyikan darinya.

“Kamu kenapa sih, Davin? Dari tadi aku cerita banyak, tapi kamu diam aja,” kata Liora dengan nada sedikit manja. “Kamu lagi mikirin sesuatu, ya? Ayo dong, cerita ke aku. Kita kan selalu cerita apa pun.”

Aku menatapnya, mencoba memaksakan senyum. Liora selalu bisa membaca suasana hatiku. Tapi kali ini, aku tak bisa membiarkannya tahu. Bukan karena aku tidak mau, tapi karena aku tahu, jika aku jujur, itu akan membuat semuanya hancur lebih cepat.

“Aku nggak apa-apa, Li. Cuma… banyak pikiran aja,” jawabku singkat.

Liora mengerutkan kening, tatapannya semakin intens. “Aku nggak percaya. Kamu nggak pernah kayak gini. Kamu lagi sembunyiin sesuatu, kan?”

Aku menghela napas panjang. Dia benar. Ada banyak hal yang aku sembunyikan. Tapi bagaimana mungkin aku bisa mengatakan padanya bahwa aku akan segera pergi, dan bukan karena aku ingin? Bagaimana mungkin aku memberitahunya bahwa penyakit ini akan merenggutku perlahan?

“Li, gimana kalau kita… rehat dulu?” Ucapanku terdengar begitu asing, bahkan di telingaku sendiri. Itu bukan sesuatu yang pernah aku bayangkan akan kukatakan padanya.

Liora menoleh cepat, matanya melebar. “Maksud kamu apa, Vin? Kamu bercanda, kan?”

Aku menundukkan kepala, tidak berani menatapnya. Ini adalah bagian terberat dari semuanya. “Aku cuma mikir… mungkin keluarga kita nggak setuju. Aku nggak mau kita terus-terusan jalanin sesuatu yang nggak direstui.”

Liora menatapku tak percaya. “Kamu serius? Keluarga kamu nggak suka sama aku?”

Aku terdiam. Sebenarnya, bukan keluarga kami yang jadi masalah. Tapi aku menggunakan mereka sebagai alasan. Aku tahu itu pengecut, tapi lebih baik dia berpikir seperti itu daripada tahu yang sebenarnya.

“Iya, Li. Mereka nggak setuju. Aku juga nggak bisa memaksa mereka.”

Tatapan Liora berubah menjadi terluka. “Jadi kamu lebih memilih nurutin mereka daripada bertahan sama aku? Hanya karena mereka nggak setuju?”

Aku tidak bisa menjawab. Lidahku kelu. Jauh di dalam hati, aku tahu alasan sebenarnya adalah sesuatu yang jauh lebih rumit, sesuatu yang tidak bisa aku ceritakan padanya. Bukan keluargaku, tapi penyakit ini. Aku tidak ingin Liora melihatku hancur, kehilangan diriku sedikit demi sedikit. Aku ingin dia tetap melihatku sebagai Davin yang kuat, yang selalu ada untuknya.

“Kamu nggak ngerti, Li. Ini lebih baik buat kita berdua,” kataku akhirnya, berusaha terdengar meyakinkan. Tapi di dalam hati, aku tahu, kata-kataku itu tidak cukup.

“Kamu bohong, Davin.” Suara Liora bergetar. “Aku tahu kamu bohong. Kamu nggak mungkin tiba-tiba berubah kayak gini tanpa alasan yang jelas.”

Aku tersenyum tipis, pahit. “Mungkin kamu benar. Tapi aku nggak bisa bilang apa-apa lagi. Aku cuma berharap kamu ngerti suatu hari nanti.”

Liora menggelengkan kepala. Air mata mulai menggenang di matanya, tapi dia masih mencoba menahannya. “Aku nggak ngerti, Vin. Aku nggak ngerti kenapa kamu tiba-tiba kayak gini. Kalau ada masalah, kenapa kita nggak coba selesaikan sama-sama?”

Aku berdiri, merasa tak sanggup lagi menatap wajahnya yang penuh kebingungan dan kesedihan. “Li, aku nggak bisa. Aku harap kamu ngerti ini yang terbaik.”

Tanpa berkata lebih banyak, aku berjalan pergi, meninggalkan Liora sendirian di bangku taman. Setiap langkah yang aku ambil terasa semakin berat, seolah kakiku tertanam dalam tanah. Hatiku berteriak ingin berbalik, memeluknya, dan memberitahunya kebenaran. Tapi aku tahu, jika aku melakukan itu, aku hanya akan membuat semuanya lebih menyakitkan.

Aku terus berjalan, meski rasanya separuh jiwaku tertinggal di belakang. Malam ini, aku telah memutuskan sesuatu yang akan mengubah segalanya. Cinta kami mungkin kuat, tapi takdir… takdir telah memilih jalan yang berbeda.

Namun satu hal yang aku tahu pasti: meskipun aku pergi, kenangan tentang Liora akan selalu hidup dalam hatiku. Sampai akhir.

 

Rahasia yang Tak Terucap

Hari-hari setelah pertemuan di taman itu berubah menjadi kosong. Aku tak pernah lagi bertemu Liora, dan setiap malam, aku terjaga, memikirkan wajahnya yang terluka. Berulang kali aku bertanya pada diriku sendiri: apakah aku melakukan hal yang benar? Apakah dengan menjauh, aku benar-benar melindungi Liora dari rasa sakit yang lebih besar? Tapi setiap kali pertanyaan itu muncul, aku hanya bisa menelan kebisuan. Kebenarannya terlalu pahit untuk dihadapi.

Aku berusaha melanjutkan hidupku, meski di dalam hati aku tahu segalanya tidak akan pernah sama lagi. Waktu yang tersisa untukku semakin terasa mendesak, dan setiap hari yang berlalu hanyalah pengingat bahwa aku semakin mendekati batas akhir.

Suatu sore, aku menerima pesan dari sahabatku, Nathan. “Lo harus bicara sama Liora, Davin. Dia terlihat kacau,” tulisnya.

Aku mendesah panjang, menatap layar ponsel dengan hati yang berdebar. Liora… tentu saja dia akan terluka. Aku sudah menyakitinya begitu dalam, memotong hubungan kami tanpa penjelasan yang jelas. Tapi bagaimana mungkin aku bisa kembali padanya dengan beban rahasia ini? Jika aku mengaku, segalanya akan menjadi lebih buruk. Dan aku… aku tak sanggup melihatnya menangis lebih banyak karena aku.

Dengan berat hati, aku memutuskan untuk menemuinya. Bukan untuk memperbaiki segalanya—aku tahu itu mustahil. Tapi setidaknya, aku harus memberinya penjelasan yang lebih baik, meski itu pun masih setengah dari kebenaran.

Malam itu, aku berdiri di depan rumah Liora, menunggu dengan perasaan cemas yang bercampur dengan rasa bersalah. Pintu terbuka perlahan, dan di sana dia berdiri. Matanya yang biasanya bersinar kini tampak redup, wajahnya terlihat pucat, seperti seseorang yang telah kehilangan arah.

“Kamu datang,” katanya dengan suara yang begitu lembut, hampir tak terdengar.

Aku mengangguk, menelan kepahitan di tenggorokanku. “Iya, aku harus.”

Dia mundur sedikit, memberiku isyarat untuk masuk. Aku mengikuti langkahnya ke ruang tamu yang sunyi. Ruangan itu terasa dingin, bukan karena suhu, tapi karena atmosfer yang membeku di antara kami.

Liora duduk di sofa, tangannya saling menggenggam di pangkuan. “Aku masih nggak ngerti, Vin. Kenapa semua ini terjadi? Kita dulu begitu baik-baik saja. Apa yang salah?”

Aku menunduk, tak mampu menatapnya langsung. “Kita… kita nggak bisa terus bersama, Li. Ada banyak hal yang nggak bisa aku jelaskan.”

“Apa itu keluarga kamu? Atau keluargaku?” dia bertanya, suaranya mulai bergetar. “Kalau memang mereka masalahnya, kenapa kita nggak bisa lawan mereka? Bukannya kita bisa hadapi ini sama-sama?”

Aku terdiam. Bagian dari diriku ingin meneriakkan kebenaran, ingin mengatakan padanya bahwa ini bukan soal keluarga. Bahwa aku sedang menunggu waktu habis, dan aku tak ingin dia menyaksikan kehancuran itu. Tapi lidahku terasa kelu, seolah seluruh kata-kata yang ingin keluar ditahan oleh rasa takut.

“Kamu nggak ngerti, Li,” jawabku akhirnya, memilih jalan yang paling mudah sekaligus paling menyakitkan. “Kadang, cinta aja nggak cukup untuk lawan semuanya.”

“Jadi kamu menyerah?” Liora menatapku dengan tatapan penuh kekecewaan. “Kamu mau ninggalin aku gitu aja? Setelah semua yang kita lalui?”

Aku menghela napas panjang. Aku bisa merasakan betapa hancurnya dia, tapi aku tak punya kekuatan untuk menariknya kembali ke pelukan yang tak bisa memberikan masa depan. “Aku cuma nggak mau kita makin terluka.”

Liora tertawa pahit, suara tawanya penuh kepedihan. “Luka? Kamu pikir sekarang aku nggak terluka? Apa kamu pikir dengan ninggalin aku, kamu malah melindungi aku?”

Aku terdiam. Semua kalimat yang ingin aku ucapkan hilang begitu saja. Liora benar. Dia terluka. Dan ironisnya, akulah yang membuatnya seperti itu—aku yang seharusnya menjadi pelindungnya.

“Aku cinta kamu, Vin,” kata Liora pelan, penuh kesungguhan. “Aku nggak peduli soal restu mereka, aku nggak peduli soal apa pun kecuali kamu. Tapi kamu… kamu malah ninggalin aku tanpa alasan.”

Kalimat itu menusukku. Mendengar Liora mengungkapkan perasaannya dengan begitu terbuka hanya membuat beban di hatiku semakin berat. Tapi aku tetap tidak bisa memberitahunya. Bukan karena aku tidak mau, tapi karena aku tahu, jika aku mengungkapkan semuanya, dia akan semakin terluka. Dan aku tidak sanggup melihat itu.

“Kamu juga cinta aku, kan?” Liora bertanya, kali ini nadanya terdengar hampir putus asa. “Kamu masih cinta aku, kan, Vin?”

Aku tak bisa menjawab. Aku hanya bisa menatap ke lantai, berharap bumi akan menelanku dan membebaskanku dari semua ini. “Li, maafkan aku.”

Dia terdiam lama. Mata kami akhirnya bertemu, dan aku bisa melihat rasa sakit yang mendalam di balik tatapannya. Dia menggeleng pelan, lalu berdiri. “Kalau ini keputusan kamu, aku nggak bisa maksa. Tapi aku harap… aku harap suatu hari kamu sadar, Davin. Kamu sedang menghancurkan sesuatu yang sangat berarti.”

Tanpa menunggu jawaban, Liora berbalik dan berjalan pergi meninggalkan aku di ruang tamunya. Aku bisa merasakan jantungku berdetak semakin cepat, tapi aku tetap diam di tempat.

Setelah dia menghilang dari pandangan, air mata yang selama ini kutahan akhirnya jatuh. Aku menangis, tapi tak ada yang bisa kulakukan untuk mengubah apa yang sudah terjadi. Aku memilih jalan ini, dan sekarang aku harus menanggung akibatnya. Cinta kami mungkin adalah salah satu hal terindah yang pernah aku alami, tapi takdir… takdir punya rencana lain.

Aku tahu, setelah malam ini, Liora mungkin takkan pernah lagi memandangku dengan cara yang sama. Mungkin dia akan membenciku, mungkin dia akan merasa dikhianati. Tapi lebih baik begitu daripada dia tahu bahwa aku sedang sekarat.

Aku tidak ingin menjadi alasan dia menangis lebih banyak lagi. Tidak ingin dia melihat tubuhku yang semakin lemah, tidak ingin dia merasa harus merawatku ketika aku tahu aku tidak akan pernah sembuh. Ini adalah cara terbaik, meskipun terasa sangat menyakitkan.

Dan dengan itu, aku meninggalkan rumahnya malam itu, menyadari bahwa mungkin ini adalah malam terakhir aku melihatnya sebagai Davin yang dia kenal.

 

Jejak yang Semakin Hilang

Seminggu berlalu setelah malam itu. Sejak aku meninggalkan rumah Liora, hidupku terasa seperti bayangan yang bergerak tanpa arah. Ada kekosongan yang menggantung di hatiku—sebuah kehampaan yang tidak bisa aku isi dengan apa pun. Tapi inilah harga dari pilihanku, dan aku harus menerima semua ini dengan tegar.

Setiap kali aku ingin menghubungi Liora, ada suara kecil di kepalaku yang mengingatkan bahwa lebih baik aku tetap menjauh. Bahwa meski aku tahu kepergianku menyakitinya, itu tetap lebih baik daripada dia mengetahui kenyataan sebenarnya tentang kondisiku.

Aku menghabiskan hari-hariku dengan rutinitas yang membosankan—bangun, menelan obat, berjuang melalui rasa sakit, dan tidur. Namun, di tengah-tengah rasa lelah yang tak terperi, ada satu hal yang selalu aku ingat: senyum Liora. Meskipun kami terpisah, wajahnya selalu hadir dalam setiap mimpiku. Kadang aku merasa seperti orang gila, terus-menerus memikirkan seseorang yang tak mungkin lagi aku dekati. Tapi, cintaku padanya terlalu dalam untuk aku hapus begitu saja.

Di tengah semua itu, Nathan datang menemuiku. Dia adalah satu-satunya orang yang tahu tentang penyakitku, satu-satunya yang aku percayai. Kami duduk di sebuah kafe, berbicara ringan, meski aku tahu dia punya maksud lain. Ada kekhawatiran di matanya setiap kali dia menatapku.

“Lo makin kurus, Vin,” katanya tanpa basa-basi, mencoba menyembunyikan rasa khawatir di balik nada santainya.

Aku hanya mengangkat bahu. “Wajar. Obat-obat ini ngerusak nafsu makan.”

Nathan menatapku lama, lalu menghela napas. “Kenapa lo nggak bilang sama Liora?”

Pertanyaan itu, meski sudah sering muncul di pikiranku, tetap saja menghantam keras setiap kali diucapkan. Aku menggeleng pelan. “Gue nggak bisa, Nat. Gue nggak mau dia ngeliat gue kayak gini.”

Nathan mengepalkan tangannya di atas meja. “Lo pikir dia nggak lebih hancur sekarang? Lo ninggalin dia tanpa alasan yang jelas, dan dia ngerasa semua ini karena keluarganya sama keluarga lo. Lo tuh harusnya kasih tahu dia kebenarannya, Vin.”

Aku menunduk, menatap cangkir kopi yang sudah dingin di depanku. Ada sebagian dari diriku yang ingin sekali melakukan itu. Ingin jujur pada Liora, memberitahunya semuanya, biar dia tahu alasan sebenarnya di balik semua ini. Tapi, aku juga tahu bahwa mengetahui kebenaran ini takkan membuatnya lebih bahagia.

“Lo nggak ngerti, Nat,” bisikku akhirnya. “Gue nggak bisa kasih tahu dia. Kalau dia tahu gue sakit, dia bakal ngorbanin semuanya buat gue. Dan gue nggak mau itu. Gue nggak mau dia menderita lebih banyak lagi.”

Nathan menatapku dengan sorot mata tajam. “Menderita? Lo pikir dia nggak menderita sekarang? Lo pikir dengan ninggalin dia, semuanya jadi lebih baik?”

Aku menatap Nathan dalam diam. Tentu aku tahu dia menderita. Tentu aku sadar semua ini menyakitkan buatnya. Tapi aku tetap percaya, ini adalah cara yang paling sedikit melukai. Kalau Liora tahu tentang penyakitku, dia akan berada di sisiku sampai akhir, dan aku tak ingin dia terjebak dalam penderitaan itu.

“Gue nggak mau jadi beban buat dia, Nat. Lo ngerti kan?” jawabku, suara semakin lirih.

Nathan menghela napas berat. “Ya, gue ngerti. Tapi gue cuma nggak ngerti kenapa lo lebih milih bikin dia percaya bahwa keluarga kalian adalah masalah, daripada dia tahu kebenarannya.”

“Gue nggak bisa,” jawabku cepat. “Terlalu berat buat dia.”

Nathan akhirnya menyerah. Dia menyandarkan punggungnya di kursi, menatapku dengan pandangan yang sarat dengan rasa iba. “Lo terlalu keras sama diri lo sendiri, Vin. Dan lo terlalu meremehkan seberapa kuatnya Liora.”

Setelah pertemuan itu, pikiranku semakin kacau. Ada kebenaran dalam kata-kata Nathan yang sulit aku bantah. Liora memang kuat. Lebih kuat dari yang mungkin aku bayangkan. Tapi aku terlalu takut membebaninya dengan kenyataan bahwa aku tidak akan bertahan lama. Aku ingin dia hidup dengan tenang, tanpa bayang-bayang penyakitku yang mematikan ini.

Namun, meski aku berusaha melanjutkan hidup dengan cara ini, sesuatu di dalam diriku merasa semakin kosong. Aku menghindari Liora seolah-olah itu adalah satu-satunya jalan. Tapi kenyataannya, semakin aku menjauh, semakin aku merasa diriku tenggelam dalam kehampaan.

Suatu malam, aku berjalan tanpa tujuan di sekitar kota. Angin malam menyentuh kulitku dengan dinginnya, tapi aku hampir tidak merasakannya. Pikiran tentang Liora tak pernah benar-benar meninggalkan benakku, selalu menghantuiku di setiap langkah. Langit di atas tampak gelap, tanpa bintang, seakan mencerminkan kekosongan yang aku rasakan di dalam hati.

Ketika aku melintasi taman tempat kami terakhir kali bertemu, langkahku berhenti. Pandanganku tertuju pada bangku tempat kami duduk bersama. Saat itu, Liora menangis di depanku, dan aku merasa tak ada yang lebih menyakitkan daripada melihat air matanya. Sekarang, kenangan itu kembali menghantuiku, menyesakkan dadaku dengan rasa bersalah yang semakin mendalam.

Aku duduk di bangku itu, membiarkan diriku tenggelam dalam kesedihan. Waktu semakin sempit, dan aku tahu cepat atau lambat, tubuhku takkan mampu bertahan lagi. Tapi yang paling menyakitkan adalah, aku mungkin takkan pernah memiliki kesempatan untuk memperbaiki semuanya dengan Liora.

Aku menundukkan kepalaku, menghirup napas panjang, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di sudut mataku. Aku tak pernah mengizinkan diriku menangis—itu terasa seperti tanda kelemahan. Tapi malam itu, di bawah langit yang gelap tanpa bintang, aku membiarkan diriku untuk sesaat merasakan seluruh beban yang aku pendam selama ini.

Sebelum aku menyadarinya, ada suara langkah kaki yang mendekat. Aku mengangkat kepala dan melihat sosok yang begitu familiar. Liora.

Dia berdiri di sana, menatapku dengan tatapan yang sulit aku artikan. Wajahnya tampak tenang, tapi ada sesuatu dalam matanya yang membuat hatiku semakin teriris.

“Kamu di sini,” suaranya terdengar lembut, namun mengandung banyak emosi yang sulit dia sembunyikan.

Aku mencoba tersenyum, meski dalam hati aku merasa sangat hancur. “Iya. Cuma jalan-jalan aja.”

Liora duduk di sebelahku tanpa berkata apa-apa lagi. Ada keheningan panjang yang melingkupi kami, hanya suara angin yang berbisik di antara pepohonan.

“Aku masih nggak ngerti, Vin,” akhirnya dia membuka suara. “Kenapa semuanya harus berakhir seperti ini?”

Aku menoleh padanya, berusaha menemukan kata-kata yang tepat. Tapi setiap kali aku ingin berbicara, aku merasa sesak. Bagaimana mungkin aku bisa menjelaskan semua ini padanya? Bagaimana mungkin aku bisa mengatakan bahwa aku tidak meninggalkannya karena aku ingin, tapi karena aku harus?

Tapi sebelum aku sempat menjawab, Liora berkata pelan, “Aku masih sayang kamu, Vin. Apa pun alasannya, aku masih sayang.”

Hatiku seolah diremukkan mendengar pengakuannya. Aku ingin sekali mengatakan hal yang sama, ingin sekali memeluknya dan memberitahunya betapa aku mencintainya. Tapi aku tahu, jika aku melakukannya, aku takkan bisa mengendalikan diri lagi.

Aku hanya bisa berbisik, “Maaf, Li. Maafkan aku.”

Dan di bawah langit malam yang kosong, aku merasakan cinta kami semakin hilang di telan waktu—seperti bintang-bintang yang tak lagi terlihat.

 

Cinta di Ujung Takdir

Malam itu berlalu dengan ketegangan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Aku tahu, pertemuan kami di taman adalah yang terakhir. Liora pergi, meninggalkanku dengan lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Dan aku, terjebak dalam labirin kepedihan, hanya bisa menatap ke arah langkahnya yang menjauh.

Hari-hari berikutnya berlalu dengan lambat. Aku merasa seolah-olah waktu berlari lebih cepat daripada aku, dan aku hanya tertinggal di belakang, menatap pemandangan yang semakin memudar. Tubuhku semakin melemah. Mungkin saatnya hampir tiba, dan aku tidak bisa menunda lagi. Aku hanya berharap, dalam sisa waktu yang ada, aku bisa menemukan sedikit kedamaian.

Aku menghabiskan waktu di rumah sakit untuk perawatan rutin, namun kali ini, kondisiku semakin memburuk. Dokter menginformasikan bahwa waktuku semakin mendekat, dan mereka hanya bisa memberikan perawatan paliatif untuk mengurangi rasa sakit. Setiap hari, rasanya seperti berjuang melawan waktu yang semakin berkurang.

Di salah satu pagi yang kelam, aku menerima sebuah paket. Ketika aku membukanya, aku menemukan sebuah buku foto—sebuah hadiah dari Nathan. Di dalamnya, ada gambar-gambar Liora dari waktu-waktu bahagia kami bersama, ditambah dengan beberapa catatan kecil yang penuh dengan kenangan indah.

Membaca catatan-catatan itu membuat air mata menetes di pipiku. Aku tahu aku tidak bisa lagi bersamanya, dan melihat betapa bahagianya dia dalam foto-foto itu membuatku semakin merasa bersalah. Aku merindukan Liora lebih dari apa pun di dunia ini, dan saat ini, kehadirannya hanya terasa seperti kenangan yang semakin memudar.

Di tengah ketidakberdayaan ini, aku mulai merasa semakin putus asa. Dan kemudian, aku memutuskan untuk melakukan satu hal terakhir—mengirimkan surat untuk Liora. Surat yang selama ini tidak pernah aku kirimkan, surat yang mengandung semua kebenaran yang selama ini aku sembunyikan.

Dalam surat itu, aku menjelaskan segala sesuatu. Tentang penyakitku, tentang alasan sebenarnya kenapa aku menjauh, dan betapa aku mencintainya. Aku berharap surat itu bisa memberikan penjelasan yang layak, meskipun aku tahu itu tidak akan pernah menghapus rasa sakit yang telah aku timbulkan.

Di pagi berikutnya, aku meminta Nathan untuk mengirimkan surat itu. Saat dia pergi, aku kembali ke tempat tidur, merasakan rasa sakit yang semakin intens. Tubuhku merosot, dan aku bisa merasakan kesadaran perlahan menghilang.

Hari berlalu, dan aku tidak tahu berapa lama aku bisa bertahan. Aku berharap surat itu sampai ke Liora, berharap dia bisa memahaminya meski aku tidak ada di sampingnya. Harapan terakhirku adalah bahwa dia bisa menemukan sedikit kedamaian setelah semua ini.

Beberapa hari kemudian, aku merasa semakin lemah. Rasa sakit hampir tidak tertahan, dan setiap napas terasa seperti perjuangan. Aku berbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Aku tahu waktu tidak banyak lagi.

Di saat-saat terakhir ini, aku mulai mengingat kembali setiap momen bersamanya—senyumnya, tawanya, dan setiap detail kecil yang membuatku mencintainya lebih dari apa pun. Aku menutup mataku dan membayangkan dia di sampingku, berharap dia merasakan kehadiranku meski kita terpisah oleh ruang dan waktu.

Kemudian, ketika aku membuka mata untuk terakhir kalinya, aku merasa kedamaian menyelimuti diriku. Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya, tapi aku tahu aku telah memberikan yang terbaik. Liora mungkin tidak pernah tahu betapa aku mencintainya, betapa aku berjuang untuk melindunginya dari kenyataan yang menyakitkan. Tapi aku berharap dia tahu, di dalam hatiku yang paling dalam, aku selalu mencintainya.


Beberapa bulan setelah kepergian Davin, Liora menerima surat yang ditulisnya dengan penuh rasa. Ketika surat itu sampai di tangannya, Liora membacanya dengan hati bergetar. Air mata mengalir di pipinya saat ia menyerap setiap kata, memahami semua yang tidak pernah diungkapkan langsung oleh Davin. Surat itu mengungkapkan kesedihan dan cinta yang mendalam, menjelaskan alasan di balik perpisahan mereka dengan cara yang lembut dan penuh kepedihan.

Meski rasa sakit karena kehilangan tidak bisa sepenuhnya menghilang, Liora menemukan sedikit kedamaian dalam penjelasan itu. Dia mulai memahami bahwa keputusan Davin untuk menjauh bukanlah karena kurangnya cinta, tetapi karena keinginannya untuk melindunginya dari penderitaan yang lebih besar. Surat itu memberikan Liora penjelasan yang ia cari-cari, menjadikannya lebih mudah untuk melanjutkan hidup.

Namun, rasa penasaran dan keinginan untuk mendekati Davin dalam bentuk akhir memaksa Liora melakukan sesuatu yang drastis. Dengan penuh tekad, ia mendatangi Nathan, sahabat dekat Davin, dan memintanya untuk membantunya menemukan tempat peristirahatan terakhir Davin. “Aku perlu tahu di mana dia dimakamkan,” ujar Liora dengan penuh keyakinan, “Aku harus pergi ke sana dan mengatakan selamat tinggal secara pribadi.”

Nathan, yang merasa terjebak antara rasa simpati dan kesedihan, awalnya menolak. Namun, melihat betapa dalamnya rasa sakit Liora dan tekad yang tidak bisa digoyahkan, ia akhirnya menyerah. Dengan berat hati, Nathan mengantar Liora ke kuburan Davin, meskipun setiap langkah terasa seperti beban emosional.

Setibanya di makam Davin, Liora berdiri di samping kubur dengan rasa haru yang mendalam. Dia menatap batu nisan dengan penuh rasa, mengingat kembali semua kenangan indah yang mereka bagi. Dalam keheningan malam yang sunyi, dia membisikkan doa terakhir untuk Davin, mengirimkan cinta dan harapan terakhirnya menuju tempat yang jauh. Liora merasakan kedamaian yang lembut, seolah-olah Davin bisa merasakannya dari tempat yang jauh. Dia tahu, di dalam hatinya, meskipun Davin telah pergi, cinta mereka tetap ada—sebagai kenangan, sebagai cinta, dan sebagai bagian dari takdir yang mereka bagi.

 

Jadi, itulah kisah Davin dan Liora—sebuah perjalanan cinta yang penuh rahasia dan takdir yang tidak terduga. Semoga cerita ini mengingatkan kita betapa dalamnya cinta bisa menyentuh, bahkan ketika harus berakhir dengan cara yang tidak kita inginkan.

Jangan pernah ragu untuk menghargai setiap momen bersama orang yang kita cintai, karena takdir kadang-kadang memberikan kejutan yang tak terduga. Terima kasih sudah membaca, dan sampai jumpa di cerita berikutnya!

Leave a Reply