Rahasia Benteng Rotterdam: Petualangan di Balik Reruntuhan

Posted on

Pernah mikir nggak, di balik bangunan tua kayak Benteng Rotterdam, ada rahasia besar yang tersembunyi? Dua sahabat awalnya cuma mau nyari seru-seruan, tapi tiba-tiba nemuin sesuatu yang jauh lebih gila dari yang mereka bayangin.

Bukan cuma benda-benda kuno biasa, tapi teka-teki yang bisa bawa mereka ke petualangan berbahaya. Siap buat ikut ngerasain serunya bongkar rahasia di balik tembok benteng tua ini?

 

Petualangan di Balik Reruntuhan

Awal yang Tidak Terduga

Hari itu, matahari bersinar terang, tapi untungnya angin pantai Makassar cukup membuat udara terasa sejuk. Aku, Arga, berdiri di depan Benteng Rotterdam yang menjulang megah, dengan tembok batu setebal beberapa meter. Di sampingku, Kimi—temanku yang selalu penuh ide liar—sedang mengeluarkan ponselnya. Matanya berbinar, jelas banget kalau dia nggak sabar buat masuk.

“Kamu yakin mau eksplor sendirian kayak gini, Ki?” tanyaku sambil memandang ke arah pintu masuk benteng yang sudah mulai dipadati pengunjung. Kami ke sini harusnya buat tugas kelompok sejarah. Tapi, seperti biasa, Kimi nggak pernah puas kalau cuma kerjain tugas biasa-biasa aja. Dia selalu cari hal yang lebih dari sekadar apa yang diminta.

Kimi menoleh sambil tersenyum lebar. “Jelas dong! Kita nggak mungkin cuma keliling benteng terus ambil foto-foto buat laporan. Kita harus cari sesuatu yang beda!” ucapnya dengan semangat. Aku bisa lihat mata Kimi berbinar-binar penuh antusias.

Aku menghela napas panjang. “Kamu serius, Ki? Ini benteng tua, bukan wahana permainan.”

Kimi cuma tertawa kecil dan mulai berjalan masuk ke benteng tanpa banyak pikir panjang. Aku ngikutin di belakangnya, walau dalam hati agak ragu. Benteng Rotterdam ini memang punya banyak cerita, mulai dari sejarah kolonial Belanda sampai kisah-kisah mistis yang selalu dibicarakan orang.

Masuk ke dalam benteng, suasananya langsung beda. Dingin, lembap, dan ada aroma khas batu tua yang udah bertahun-tahun nggak tersentuh perubahan. Beberapa ruangan dipenuhi artefak-artefak sejarah—senjata kuno, dokumen lama, dan replika baju perang. Tapi yang paling bikin aku merinding adalah penjara-penjara kecil di sudut benteng. Gelap, sempit, dan bikin aku nggak kebayang gimana rasanya orang-orang dulu dikurung di sana.

“Aku selalu ngerasa ada yang aneh di tempat ini,” ujar Kimi sambil berhenti di depan salah satu penjara. Dia mengamati ruangan itu dengan serius, kayak lagi baca novel misteri favoritnya.

Aku melirik ke dalam. “Ya jelas aneh, ini penjara, Ki. Kamu nggak ngerasa merinding?” tanyaku.

Kimi hanya tersenyum. “Iya sih, tapi justru itu yang bikin seru, kan? Lagian, coba pikir. Dulu orang-orang yang ditahan di sini pasti punya banyak cerita. Sejarahnya lebih dari sekadar apa yang kita baca di buku.”

Aku mengangguk setuju, tapi tetap ada rasa nggak nyaman dalam perutku. Meskipun tempat ini bersejarah, ada sesuatu yang bikin aku merasa… nggak tenang. Apalagi saat Kimi mulai cerita soal rumor-rumor yang beredar.

“Tau nggak, Ga?” Kimi mulai berbisik, kayak takut ada yang nguping. “Katanya, di sini ada lorong rahasia. Lorong bawah tanah yang dulu dipakai buat kabur atau nyelundupin orang. Tapi sampai sekarang belum ada yang bisa nemuin pintu masuknya.”

Aku mengerutkan kening. “Itu cuma cerita, Ki. Orang-orang suka aja ngarang cerita buat tempat kayak gini. Lagian, kalau bener ada lorong rahasia, pasti udah ketemu dari dulu.”

“Coba deh bayangin,” Kimi menatapku serius. “Kalau kita yang nemuin lorong itu, gimana? Bayangin laporan kita. Itu bakal jadi yang paling keren, kan?”

Aku nggak bisa bilang enggak. Jujur aja, ide itu memang terdengar menarik. Tapi tetap aja, bagian diriku masih meragukan semua itu. “Tapi kalau kita ketahuan keluyuran di area yang nggak boleh dimasukin, kita bisa kena masalah.”

Kimi mengabaikan peringatanku dan melanjutkan penjelajahannya. Dia berjalan lebih jauh masuk ke dalam benteng, meninggalkan area yang ramai dengan pengunjung lain. Aku nggak punya pilihan selain ngikutin dia.

Kami sampai di sebuah lorong sempit yang tampaknya nggak begitu populer. Lampu-lampu di sini redup, hampir nggak ada orang lain yang lewat. Di ujung lorong, ada sebuah pintu kayu tua, sedikit terbuka dan kelihatan nggak pernah dipakai. Kimi langsung mendekat, jelas banget dia penasaran.

“Aduh, Ki, jangan masuk sembarangan,” kataku pelan sambil melirik ke sekeliling, berharap nggak ada petugas yang melihat kami.

Tapi seperti biasa, Kimi nggak peduli. Dia mendorong pintu itu pelan, dan kami melangkah masuk ke dalam ruangan gelap yang bau lembapnya lebih kuat dari yang lain. Di dalamnya ada beberapa kotak kayu tua, penuh debu. Ruangannya sempit, mungkin ini tempat penyimpanan dulu.

Kimi mengambil napas panjang, mengibaskan debu dari salah satu kotak. “Ini… tempat penyimpanan, ya? Kayak gudang?”

Aku menatap sekeliling, mencoba mencerna situasi. “Mungkin aja. Tapi kenapa ini kayaknya nggak ada di peta?”

Kimi mulai membongkar salah satu kotak. Dia menemukan sebuah gulungan kertas tua yang kelihatan udah berumur. “Lihat, Ga! Ini apa ya?” Dia membuka gulungan kertas itu dengan hati-hati, takut merusaknya.

Aku mendekat untuk melihat. Gulungan itu ternyata peta benteng—tapi berbeda dari peta yang dipajang di depan pintu masuk. Ada tanda X di salah satu bagian yang nggak aku kenal.

“Ini pasti petunjuk buat sesuatu,” ucap Kimi dengan mata berbinar. “Kamu lihat kan tanda X ini? Mungkin ini lorong rahasia yang mereka bicarakan.”

Aku menggeleng, nggak percaya. “Kimi, kita nggak bisa asal nebak gitu. Ini bisa aja cuma peta biasa.”

“Tapi nggak ada salahnya dicoba, kan?” Kimi tersenyum, wajahnya penuh semangat. “Ayo, kita cari tempat yang ditunjukin di sini.”

Aku nggak bisa nolak. Rasa penasaran juga mulai merambat dalam pikiranku. Kami kembali berjalan, kali ini mengikuti peta yang ada di tangan Kimi. Lorong-lorong benteng makin sepi, makin jauh dari area utama yang ramai pengunjung.

Akhirnya, kami sampai di sebuah dinding batu yang tampak biasa aja. Dinding ini nggak ada bedanya sama yang lain, tapi sesuai peta, di sinilah seharusnya ada sesuatu. Aku merasa bodoh karena ngikutin ide gila ini, tapi di saat yang sama, aku nggak bisa menyangkal rasa penasaran yang terus tumbuh.

“Jadi gimana sekarang?” tanyaku.

Kimi nggak menjawab. Dia mulai meraba-raba dinding, mencari sesuatu. Setelah beberapa saat, dia menemukan batu yang sedikit mencuat, kayak tombol rahasia di film-film. Dia menekannya pelan, dan… dinding itu mulai bergerak. Sebuah pintu rahasia terbuka perlahan.

Aku ternganga. “Kamu serius, Ki? Ini beneran?”

Kimi cuma nyengir. “Aku kan bilang. Ayo, kita lihat apa yang ada di dalam.”

Dengan hati-hati, kami melangkah masuk ke lorong sempit di balik dinding itu. Lorongnya gelap dan panjang, dan hanya ada suara langkah kaki kami yang terdengar. Entah kenapa, meski suasananya agak menyeramkan, rasa takutku mulai berubah jadi antusiasme. Ini nggak cuma tugas sejarah biasa lagi. Kami baru aja masuk ke dalam sebuah misteri.

Kimi menyalakan senter dari ponselnya, menerangi jalan di depan kami. Setelah beberapa menit berjalan, kami sampai di sebuah ruangan kecil yang penuh dengan debu dan reruntuhan. Di tengah ruangan, ada sebuah peti kayu besar yang tertutup rapat.

“Apa kita harus buka ini?” tanyaku ragu.

Kimi mengangguk mantap. “Tentu. Ini bisa jadi kunci dari semuanya.”

Aku menelan ludah, lalu membantu Kimi membuka peti itu. Di dalamnya, ada beberapa dokumen tua dan benda-benda kecil yang tampaknya udah lama ditinggalkan. Aku mengambil salah satu dokumen, tapi kertasnya terlalu rapuh untuk dipegang lama.

“Kita baru aja nemuin sesuatu yang penting,” kata Kimi dengan suara berbisik.

Aku mengangguk pelan, sadar kalau kami nggak cuma iseng-iseng lagi. Ini lebih besar dari tugas sekolah yang kami kira.

 

Misteri yang Terkubur

Sinar lampu senter ponsel Kimi berpendar lemah di dalam ruangan yang kami temukan. Detak jantungku masih berdebar kencang setelah membuka peti tua itu. Suasana sunyi dan suram memenuhi udara, menambah intensitas perasaan aneh yang menyelimuti kami.

“Jadi… apa ini, Ki?” tanyaku sambil mengangkat satu dari benda-benda tua yang ada di peti. Sebuah medali kecil berlapis emas dengan simbol aneh terukir di permukaannya.

Kimi menyipitkan matanya, mencoba memahami apa yang ada di depan kami. “Ini jelas bukan cuma artefak biasa. Coba lihat simbolnya. Kayak ada sesuatu yang penting di sini.”

Aku memperhatikan lebih dekat. Simbol itu mirip lambang kerajaan, tapi aku nggak bisa yakin. Medali ini jelas tua dan kelihatan sangat berharga. Di dalam peti juga ada beberapa dokumen kertas yang tampak sangat rapuh.

Kimi membuka salah satu dokumen dengan hati-hati. “Ini kayak surat perjanjian,” bisiknya pelan, menelusuri tulisan yang sudah memudar. “Tapi… ini bukan tulisan Belanda. Sepertinya bahasa Bugis kuno. Aku nggak bisa baca semuanya, tapi ada beberapa kata yang aku ngerti.”

Aku melangkah lebih dekat, mencoba ikut mengamati dokumen itu. “Apa yang kamu bisa baca?”

Kimi menunjuk beberapa bagian. “Di sini ada kata ‘harta’ dan ‘pelarian.’ Ini jelas semacam perjanjian atau mungkin catatan tentang tempat penyimpanan sesuatu. Harta karun mungkin?”

Aku memutar bola mata. “Kamu terlalu banyak nonton film, Ki. Tapi… kalau itu benar, kenapa nggak ada yang pernah nemuin ini sebelumnya?”

Kimi mengangkat bahu. “Mungkin karena kita orang pertama yang nemuin pintu rahasia itu. Atau mungkin… orang-orang yang tahu tentang ini, sengaja ngumpetin informasi.”

Jantungku berdetak makin kencang. Bayangan tentang rahasia besar yang terkubur di bawah Benteng Rotterdam mulai terlintas di pikiranku. Tapi di sisi lain, rasa takut dan nggak nyaman terus menghantuiku. “Kamu yakin kita harus terusin ini?”

Kimi menatapku serius. “Kita udah sejauh ini, Ga. Gimana kalau kita benar-benar nemuin sesuatu yang besar? Ini bisa jadi penemuan bersejarah.”

Aku nggak bisa menolak antusiasme Kimi. Meski rasa ragu terus menghantui, ada bagian dari diriku yang juga penasaran. Apa yang sebenarnya disembunyikan di sini? Apa yang kita temukan bisa mengubah sejarah?

Tiba-tiba, ada suara langkah kaki yang terdengar dari jauh, membuat kami berdua berhenti bergerak. Aku langsung mematikan lampu senter, dan ruangan itu kembali tenggelam dalam kegelapan. Kami berdiri diam, menahan napas.

“Kamu denger itu?” bisikku pelan, merasa jantungku makin kencang berdebar.

Kimi mengangguk, wajahnya serius. “Iya. Ada orang lain di sini.”

Suara langkah kaki itu makin dekat, bergema di sepanjang lorong sempit tempat kami masuk. Siapa pun itu, mereka pasti tahu tentang ruangan ini. Dan entah kenapa, aku merasa mereka bukan sekadar pengunjung biasa yang kebetulan tersesat seperti kami.

“Kita harus keluar dari sini,” bisik Kimi sambil menggerakkan tangannya, menyuruhku untuk bergerak ke arah pintu yang tadi kami buka.

Aku setuju tanpa banyak bicara. Langkah kami pelan, sebisa mungkin nggak membuat suara, tapi suasana yang mencekam bikin setiap langkah terasa berisik. Langkah kaki asing itu makin dekat, suaranya jelas berasal dari lorong sempit yang hanya punya satu jalan keluar—jalan yang harus kami lewati.

Sampai kami mendekati pintu keluar, langkah kaki itu berhenti. Kami berdiri diam di ambang pintu, menunggu sesuatu yang nggak kami ketahui.

“Aku nggak suka ini,” bisikku.

Kimi menatapku tajam. “Sabar, Ga. Kita tunggu beberapa detik lagi.”

Detik terasa seperti menit. Suasana sunyi makin menghimpit, dan aku mulai merasa kalau ada sesuatu yang nggak beres di sini. Ini bukan lagi soal peti atau peta rahasia. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang lebih berbahaya dari yang kami duga.

Akhirnya, setelah beberapa saat, kami berani melangkah lagi. Pelan-pelan, kami keluar dari ruangan itu dan kembali ke lorong sempit. Lampu senter Kimi kembali menyala, menerangi jalan di depan kami. Kami berjalan dengan cepat, tapi tetap berhati-hati.

“Apa kamu ngerasa ada yang ngikutin?” tanyaku sambil sesekali menoleh ke belakang.

Kimi hanya menggeleng. Tapi wajahnya jelas nggak tenang. “Aku nggak yakin. Tapi kita harus cepet keluar sebelum ada yang lihat kita.”

Kami terus berjalan sampai akhirnya kembali ke lorong utama benteng yang lebih terang dan ramai. Aku langsung merasa sedikit lega begitu melihat beberapa pengunjung yang berkeliaran di sekitar. Suasana kembali normal, seakan-akan kami baru aja keluar dari dunia lain.

“Kita harus kasih tahu guru tentang ini,” kataku, merasa bahwa apa yang kami temukan terlalu besar untuk disimpan sendiri.

Kimi menatapku sejenak, lalu menggeleng pelan. “Belum sekarang. Kita belum nemuin semuanya, Ga. Kalau kita kasih tahu sekarang, mereka bakal nutup tempat itu, dan kita nggak bisa eksplor lebih jauh.”

Aku terdiam, menimbang-nimbang. Apa yang dia bilang memang ada benarnya. Tapi rasa takut dan ketidakpastian masih menggantung di pikiranku. “Kamu yakin ini ide bagus?”

Kimi tersenyum tipis. “Kamu sendiri yang bilang, kita nggak bisa mundur setelah sejauh ini.”

Aku nggak bisa menyangkal. Meski berbahaya, aku juga nggak ingin mundur sekarang. Kami udah menemukan awal dari sesuatu yang besar, dan meski rasa takut masih menghantui, rasa penasaran juga nggak bisa aku tolak.

“Kita lanjut besok?” tanyaku akhirnya.

Kimi mengangguk. “Besok pagi. Kita cari lebih dalam sebelum ada yang nemuin apa yang kita temuin.”

Dengan itu, kami berpisah untuk hari itu. Aku pulang dengan perasaan campur aduk—antara takut, penasaran, dan tertekan oleh apa yang mungkin kami temukan esok hari. Aku tahu, apapun yang menunggu kami di Benteng Rotterdam besok, nggak akan sederhana.

 

Pintu yang Terbuka

Pagi berikutnya, aku tiba di Benteng Rotterdam lebih cepat dari biasanya. Sinar matahari masih lembut, menerangi benteng tua itu dengan nuansa keemasan. Aku nggak tahu kenapa, tapi perasaan gugup terus merambat sejak aku bangun tadi. Mungkin karena apa yang terjadi kemarin masih menghantui pikiranku—suara langkah kaki misterius, peti tua, dan medali yang kami temukan. Rasanya kayak sesuatu yang nggak bisa aku abaikan begitu saja.

Kimi tiba nggak lama setelah itu, membawa tas punggung besar yang nggak biasanya dia bawa. “Lo siap, Ga?” tanyanya sambil tersenyum tipis, jelas terlihat lebih tenang dari aku.

Aku mengangguk, walaupun jujur saja, perasaan siap itu jauh dari kata benar. “Apa yang lo bawa di tas itu?”

Kimi mengangkat tasnya sedikit. “Senter tambahan, tali, dan beberapa perlengkapan. Kita nggak tahu apa yang akan kita temuin di sana, kan? Jadi gue siapin semuanya.”

Aku cuma bisa menghela napas. Kimi memang selalu yang paling siap di antara kami. Sementara aku lebih sering impulsif dan nunggu saat terakhir untuk mikirin rencana.

Kami masuk ke dalam benteng lagi, tapi kali ini jalan yang kami lewati terasa berbeda. Bukan hanya karena suasananya lebih terang, tapi juga karena sekarang kami tahu ada sesuatu yang tersembunyi di balik dinding-dinding tua ini. Sesuatu yang mungkin nggak diketahui oleh siapa pun selain kami.

“Kita harus cepat,” Kimi mengingatkan saat kami mendekati ruangan rahasia itu. “Semakin lama kita di sini, semakin besar kemungkinan orang lain lihat kita.”

Aku setuju tanpa banyak bicara, dan kami dengan cepat kembali ke lorong sempit tempat kami menemukan peti kemarin. Nggak ada tanda-tanda suara langkah kaki lagi, tapi perasaan nggak nyaman itu tetap ada, seakan-akan ada mata yang terus mengawasi.

Begitu sampai di ruangan itu, Kimi membuka peti lagi dengan gerakan cepat dan hati-hati. “Lihat ini,” katanya sambil mengeluarkan kertas lain yang kemarin nggak sempat kami perhatikan.

Aku mendekat. Di kertas itu ada gambar peta kasar, mungkin buatan tangan, yang sepertinya menggambarkan bagian bawah benteng. Beberapa bagian peta menunjukkan lorong-lorong yang tersembunyi, sementara di satu sudut, ada simbol yang sama dengan yang ada di medali emas.

“Kita harus nemuin tempat ini,” kata Kimi sambil menunjuk simbol itu.

Aku memperhatikan dengan seksama. “Tapi kita nggak tahu di mana letaknya. Peta ini nggak begitu jelas.”

“Tapi ada petunjuk,” jawab Kimi, tangannya bergerak menunjuk bagian lain peta. “Lihat, ini kayak tangga. Dan kalau kita lihat di sini—” dia menunjuk sudut ruangan tempat tangga itu mungkin berada, “ini kayaknya dekat dengan ruangan ini.”

Aku merasakan desiran dingin di punggungku. “Jadi, kamu mau bilang ada lorong atau ruangan lain yang lebih dalam?”

Kimi mengangguk dengan tegas. “Iya. Kita belum selesai. Ini baru permulaan.”

Kami mulai memeriksa sudut-sudut ruangan, mencari tanda-tanda keberadaan tangga atau pintu rahasia lainnya. Setelah beberapa menit yang terasa panjang, akhirnya Kimi berhenti di depan sebuah sudut ruangan yang tampak biasa.

“Ga, sini. Coba liat ini,” panggilnya.

Aku berjalan mendekat dan melihat apa yang dia tunjuk. Ada celah kecil di dinding, hampir nggak kelihatan kalau kamu nggak memperhatikan dengan seksama. Kimi mulai menekan bagian dinding itu, dan pelan-pelan, sebuah pintu kecil mulai terbuka, menimbulkan suara berderit pelan.

Di balik pintu itu, ada tangga batu yang menurun tajam ke bawah, menuju kegelapan yang nggak bisa diterangi sepenuhnya oleh sinar senter kami.

“Ini dia,” kata Kimi, senyumnya melebar. “Kita nemuin sesuatu.”

Aku terdiam sejenak, mencoba memahami situasi ini. Sebagian dari diriku ingin berhenti dan nggak terlibat lebih jauh. Tapi rasa penasaran mengalahkan rasa takut. Ini lebih dari sekadar petualangan kecil. Ada sesuatu di balik semua ini, dan kami mungkin akan jadi orang pertama yang menemukannya.

“Kamu yakin mau lanjut?” tanyaku, setengah berharap Kimi akan berubah pikiran.

Tapi Kimi, seperti biasa, mengangguk tanpa ragu. “Jelas. Kita nggak bisa berhenti sekarang.”

Dengan berat hati, aku mengikuti Kimi menuruni tangga itu. Setiap langkah kami menghasilkan suara gemuruh kecil, seolah-olah menggema di seluruh benteng. Tangga itu terasa panjang dan curam, dan kami terus menuruni kegelapan tanpa tahu apa yang akan kami temui di bawah.

Akhirnya, kami sampai di dasar. Sebuah lorong batu sempit membentang di depan kami, dengan dinding-dinding yang dipenuhi lumut dan tanda-tanda kelembapan. Suara tetesan air terdengar di kejauhan, membuat suasana makin suram.

“Aku nggak suka tempat ini,” gumamku, meskipun aku tahu nggak ada jalan untuk kembali.

Kimi nggak menjawab, hanya melangkah lebih jauh ke lorong itu, menerangi jalan dengan senternya. Kami terus berjalan, dan semakin jauh kami melangkah, semakin kuat perasaan aneh itu menyelimuti kami—seperti ada sesuatu yang mengawasi dari balik bayang-bayang.

Setelah beberapa menit berjalan dalam kegelapan, kami tiba di sebuah ruangan besar yang tersembunyi di bawah tanah. Ruangan itu berbeda dari yang lain, jauh lebih besar dan megah. Dinding-dindingnya dipenuhi ukiran-ukiran kuno yang belum pernah aku lihat sebelumnya, dan di tengah ruangan, ada sebuah meja batu besar dengan beberapa benda tergeletak di atasnya.

“Apa ini…?” bisikku, terpesona oleh suasana ruangan yang tampak seperti ruang pertemuan rahasia dari zaman dahulu.

Kimi berjalan mendekat ke meja batu itu. Ada lebih banyak medali, seperti yang kami temukan di peti kemarin, tapi juga ada beberapa benda lain—termasuk sebuah peti kecil yang terkunci rapat.

“Kunci ini pasti ada hubungannya dengan medali yang kita temuin kemarin,” kata Kimi sambil mencoba membuka peti itu. Tapi peti itu nggak mau terbuka, seolah-olah butuh sesuatu yang lebih dari sekadar kekuatan fisik.

Aku memeriksa ruangan itu lebih lanjut, mataku tertuju pada ukiran-ukiran di dinding. Ada beberapa gambar orang, sepertinya tokoh-tokoh penting, tapi wajah mereka nggak terlihat jelas karena terkikis waktu. Di antara mereka, aku melihat satu sosok yang lebih besar, duduk di atas takhta dengan medali di lehernya—medali yang sama dengan yang kami temukan.

“Kimi, lihat ini,” panggilku, menunjuk ukiran itu.

Kimi mendekat dan memeriksa ukiran tersebut. “Ini pasti petunjuk. Mereka nyimpen sesuatu di sini. Sesuatu yang mereka lindungi.”

Aku merasa perutku berputar. “Apa yang kita temuin ini nggak cuma barang kuno, Ki. Ini lebih besar dari itu. Mungkin ada rahasia yang mereka nggak mau orang lain tahu.”

Kimi tersenyum samar. “Dan kita yang pertama kali nemuin ini.”

Tiba-tiba, ada suara gemuruh dari balik dinding. Suara itu makin kuat, dan tiba-tiba ruangan itu mulai bergetar.

“Kita harus keluar dari sini!” seruku panik.

Tapi sebelum kami sempat bergerak, dinding di belakang kami runtuh, menghalangi satu-satunya jalan keluar.

 

Rahasia yang Terungkap

Ruangan itu dipenuhi debu dan puing-puing dari dinding yang runtuh. Aku dan Kimi berdiri membatu, terjebak di ruang bawah tanah yang kini menjadi perangkap. Suara gemuruh itu berhenti, tapi ketegangan di udara semakin tebal. Aku melihat Kimi, wajahnya tetap tenang, tapi aku tahu dia juga mulai merasa cemas.

“Kita harus cari jalan keluar,” desisku, mencoba mengendalikan kepanikan yang semakin merayap.

Kimi mengangguk pelan. “Ya, tapi… sepertinya kita harus nemuin petunjuk yang benar dulu.”

Aku mengamati sekeliling. Ruangan ini jelas sudah lama terlupakan oleh siapa pun yang pernah mendesainnya. Ukiran-ukiran di dinding yang tadinya menarik, sekarang berubah menjadi teka-teki yang harus segera dipecahkan. Sinar senter kami menyorot meja batu di tengah ruangan, di mana peti kecil itu masih terkunci rapat, seolah-olah menunggu untuk dibuka.

“Kunci untuk peti itu ada di sini,” gumamku. “Mungkin ada sesuatu di ukiran itu yang bisa bantu kita.”

Kimi mendekat ke dinding dan mulai memperhatikan setiap ukiran dengan lebih teliti. Aku mengikuti dari belakang, memperhatikan satu ukiran yang menggambarkan sosok besar dengan medali di lehernya—sosok yang jelas-jelas penting. Sosok itu mengangkat tangannya, dan di sebelahnya ada simbol aneh yang nggak pernah aku lihat sebelumnya.

“Kita coba perhatikan simbol ini,” kata Kimi sambil menunjuk gambar medali yang tergantung di leher sosok itu. “Ada kemungkinan ini petunjuk untuk membuka peti.”

Aku mendekat dan mengamati lebih dalam. Ukiran itu memang terlihat sedikit berbeda dari yang lain. Setelah beberapa saat, aku melihat ada bagian kecil yang bisa ditekan di sekitar gambar medali. “Kimi, coba lihat ini,” kataku, menunjuk bagian itu.

Tanpa ragu, Kimi menekan ukiran itu, dan tiba-tiba terdengar suara gemerincing halus dari peti di tengah ruangan. Kami berdua segera berlari mendekat dan melihat kunci peti itu kini terbuka.

“Lo bener, Ga! Ini dia,” Kimi berseri-seri sambil dengan cepat membuka tutup peti.

Di dalamnya, terdapat sebuah gulungan kertas tua, berwarna kekuningan karena usia. Selain itu, ada benda lain—sebuah medali emas yang lebih besar dan lebih berkilau daripada yang kami temukan sebelumnya. Medali itu dipenuhi dengan ukiran-ukiran kecil yang sama seperti yang ada di dinding.

“Apa ini?” gumamku, mengambil gulungan kertas itu dengan hati-hati.

Kami membuka gulungan itu perlahan, takut kertasnya akan hancur karena terlalu rapuh. Di dalamnya, ada tulisan tangan yang terbaca cukup jelas, meskipun dengan bahasa yang agak kuno. Tapi yang paling mengejutkan, ada peta lain yang lebih detail daripada yang kami temukan sebelumnya.

“Ini… peta ke tempat lain,” kata Kimi sambil meneliti peta tersebut. “Sepertinya ini bukan cuma sekadar ruang rahasia biasa, Ga. Mereka sembunyiin sesuatu yang jauh lebih besar.”

Aku merasakan desiran dingin menjalar ke seluruh tubuhku. “Apa maksudmu? Maksud lo, ada lebih dari satu ruang rahasia di sini?”

Kimi mengangguk dengan mantap. “Iya. Liat ini,” katanya sambil menunjuk bagian bawah peta. “Ini lorong lain yang menuju tempat yang lebih dalam. Mungkin ini cuma pintu pertama.”

Aku terdiam sejenak, mencerna informasi itu. Benteng ini menyimpan rahasia yang lebih besar dari apa yang bisa aku bayangkan. Dan sekarang, kami adalah bagian dari rahasia itu.

Namun, sebelum aku bisa berkata apa-apa lagi, ruangan itu mulai bergetar lagi, kali ini lebih kuat. Dinding-dindingnya retak, dan puing-puing mulai berjatuhan dari langit-langit. Sesuatu di tempat ini sepertinya nggak suka dengan kehadiran kami.

“Kita harus keluar dari sini, sekarang!” Kimi berteriak sambil menarik tanganku.

Kami berlari menuju sudut ruangan tempat dinding runtuh. Di balik puing-puing, aku melihat ada celah kecil, cukup besar untuk kami lewati. Dengan susah payah, kami memanjat keluar, melewati batu-batu yang tajam dan licin. Nafasku terasa berat, dan setiap langkah terasa seperti perjuangan melawan rasa takut dan panik yang semakin besar.

Begitu keluar dari reruntuhan, kami menemukan diri kami kembali di lorong sempit yang kami lewati sebelumnya. Kegelapan masih menyelimuti, tapi kami nggak punya pilihan selain terus berlari. Suara gemuruh di belakang kami makin keras, seakan-akan ruangan itu benar-benar runtuh, menelan semua yang ada di dalamnya.

“Ayo cepat!” teriakku, setengah menyeret Kimi yang mulai tertinggal di belakang.

Kami terus berlari sampai akhirnya kami melihat cahaya dari pintu rahasia yang terbuka. Dengan sisa tenaga yang ada, kami memanjat keluar dari lorong itu dan kembali ke ruang utama benteng. Cahaya matahari pagi yang menembus dari jendela-jendela tua terasa seperti anugerah.

Setelah memastikan bahwa kami aman, kami duduk terengah-engah di lantai, mencoba mengatur napas. Aku menatap Kimi yang masih memegang peta dan medali itu dengan erat.

“Kita… kita selamat,” gumamku, setengah nggak percaya.

Kimi mengangguk pelan, wajahnya masih diliputi oleh keterkejutan. “Tapi ini belum selesai, Ga. Peta ini menunjukkan lebih dari yang kita lihat tadi. Ada tempat lain yang harus kita cari. Kita baru mulai.”

Aku menatapnya, berusaha memahami apa yang dia katakan. Tapi sekarang, aku hanya ingin beristirahat dan melupakan semua yang terjadi. Namun, jauh di dalam diriku, aku tahu dia benar. Ini baru permulaan dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang mungkin jauh lebih berbahaya.

Kami berdiri dan melihat ke sekeliling, memastikan nggak ada yang melihat kami. Benteng Rotterdam kembali sepi, seperti nggak pernah terjadi apa-apa.

“Tapi untuk sekarang,” kata Kimi, menyimpan peta itu dengan hati-hati di dalam tasnya, “kita pulang dulu. Kita butuh istirahat.”

Aku tersenyum tipis. “Ya, kita butuh istirahat. Tapi setelah ini, kita harus cari tahu apa arti dari semua ini.”

Kami berjalan keluar dari benteng dengan langkah pelan, meninggalkan rahasia besar yang masih tersembunyi di dalam. Meskipun kami berhasil keluar, aku tahu petualangan kami belum selesai. Rahasia Benteng Rotterdam masih menunggu untuk diungkap, dan aku nggak yakin apa yang akan kami temukan selanjutnya.

Tapi satu hal yang pasti—apa pun yang terjadi, aku dan Kimi akan menghadapinya bersama.

 

Jadi, setelah semua petualangan seru dan misteri yang terpecahkan, satu hal pasti: Benteng Rotterdam masih menyimpan banyak rahasia yang belum terungkap. Tapi, apa pun yang terjadi selanjutnya, satu hal yang jelas—petualangan ini bikin kamu mikir ulang tentang apa yang kamu anggap biasa.

Siapa tahu, di balik setiap reruntuhan dan teka-teki, ada cerita seru yang nunggu untuk ditemukan. Sampai jumpa di petualangan berikutnya, dan jangan lupa, selalu siap untuk kejutan!

Leave a Reply