Segel di Balik Batu: Kegelapan yang Terbangun

Posted on

Pernah ngerasa penasaran sama sesuatu yang harusnya nggak kamu ganggu? Velandra dan Marwin cuma pengen nyari jawaban, tapi malah kebawa ke dunia gelap yang nggak pernah mereka bayangin!

Gara-gara sebuah batu tua yang hancur, mereka ngebuka segel kuno yang isinya lebih dari sekadar rahasia — ada kegelapan di baliknya, dan sekarang, nggak ada jalan balik. Ini cerita tentang apa yang terjadi saat kamu main-main sama hal yang nggak seharusnya dibuka.

 

Segel di Balik Batu

Batu yang Tak Selesai

Udara dingin musim gugur menyelimuti kota Diarystra, tempat kecil yang selalu terlihat sunyi setelah matahari tenggelam. Jalanan berbatu sudah penuh dengan daun-daun kecokelatan yang gugur dari pohon-pohon tua di pinggir jalan. Velandra, perempuan berusia 27 tahun, menyeka keringat di dahinya. Meskipun udara dingin, ruangan bengkel tua tempat dia bekerja dipenuhi dengan hawa panas akibat kerja kerasnya selama berjam-jam memahat batu.

Di sudut ruangan, sebuah batu besar, tinggi setengah meter, berdiri kokoh. Sudah bertahun-tahun Velandra bekerja mengukir batu itu. Namun, entah kenapa, meski dia sudah memahat setiap lekuk dengan hati-hati, batu itu tak pernah selesai. Ada sesuatu yang selalu menahannya untuk menuntaskan karya tersebut, seolah-olah ada yang salah, tapi dia tak tahu apa.

Di luar bengkel, terdengar suara langkah kaki yang familiar. Itu pasti Marwin. Pria itu selalu datang sore-sore, membawa roti hangat dan sedikit obrolan ringan. Pintu bengkel yang sudah berkarat berderit pelan saat Marwin mendorongnya terbuka.

“Hei, Vel. Lo nggak capek? Udah malem lho, istirahat dulu,” kata Marwin sambil menaruh kantong kertas berisi roti di atas meja kayu.

Velandra melirik sekilas, matanya sayu tapi tetap terfokus pada batu itu. “Capek, sih. Tapi gue nggak bisa berhenti. Ada yang aneh sama batu ini, Marwin.”

Marwin mendekat, mengamati batu itu sambil menggigit roti yang dia bawa. “Batu ini kayaknya udah bertahun-tahun lo kerjain, tapi nggak selesai-selesai juga. Apanya yang aneh? Batu itu cuma… ya, batu.”

Velandra menghela napas panjang, lalu duduk di bangku kayu yang usang. “Bukan cuma batu, Win. Gue nggak bisa jelasin, tapi setiap kali gue mau nyelesain, ada sesuatu yang bikin gue ragu. Seolah-olah ada yang lebih dalam di dalemnya, ngerti nggak?”

Marwin tertawa kecil. “Gue ngerti lo udah terlalu lama ngabisin waktu sama batu ini, sampe mulai mikir aneh-aneh. Mungkin lo butuh liburan. Jauh dari batu, jauh dari semua ini.”

“Liburan?” Velandra menyandarkan punggungnya ke kursi, memandangi batu di depannya. “Gue nggak bisa ninggalin ini, Win. Gue udah invest terlalu banyak waktu dan tenaga. Gue harus tau kenapa batu ini kayak nahan sesuatu.”

Marwin memutar bola matanya, lalu menatap Velandra dengan canda. “Gue serius, Vel. Lo nggak akan jadi pahlawan batu cuma karena lo terus-terusan mukulinya. Kadang, yang kita cari nggak ada di depan mata. Mungkin lo harus mulai cari jawaban di tempat lain.”

Velandra tersenyum kecil, meskipun jelas dari matanya kalau dia nggak terlalu menanggapi lelucon Marwin. “Lo nggak ngerti, Win. Gue nggak cuma sekadar motong batu ini. Gue ngerasa… ada sesuatu yang harus gue temuin di dalamnya.”

Marwin meletakkan roti terakhir yang belum dia makan. Dia tahu betul kalau Velandra bukan orang yang gampang diyakinkan. “Ya udah, terserah lo. Tapi jangan lupa istirahat, ya. Gue nggak mau besok pagi nemuin lo pingsan di sini.”

“Tenang aja,” jawab Velandra sambil tersenyum tipis.

Setelah Marwin pergi, keheningan kembali menguasai bengkel itu. Velandra menatap batu besar di depannya. Sesuatu di dalam dirinya berkata bahwa malam ini adalah malam yang berbeda. Mungkin, kali ini dia bisa menemukan apa yang selama ini dicari.

Velandra mengambil palu dan pahatnya lagi, menghela napas panjang, dan mulai memukul batu itu perlahan. Setiap pukulan terasa lebih berat dari biasanya, bukan karena lelah, tapi karena beban perasaan yang dia bawa. Selama ini, Velandra merasa kalau batu itu bukan hanya benda mati. Ada kehidupan, rahasia yang tersembunyi, menunggu untuk dilepaskan. Tapi kenapa? Kenapa batu ini berbeda?

Dia berhenti sejenak, mengamati retakan kecil yang mulai muncul di permukaan batu. Suara retakan halus itu mengingatkannya pada sesuatu yang dia rasakan bertahun-tahun lalu—perasaan hancur dan patah. Pikiran itu mengganggunya lagi. Apakah yang sebenarnya dia cari di batu ini adalah jawaban atas sesuatu dalam hidupnya?

Waktu terus berjalan, malam semakin larut, tapi Velandra tak berhenti. Dia mulai menggali lebih dalam pada retakan itu, pukulan palu semakin kuat. Setiap serpihan batu yang jatuh ke lantai seperti membawa Velandra lebih dekat pada sesuatu yang tak terjangkau.

Sebuah getaran aneh mulai terasa dari batu itu. Awalnya pelan, tapi semakin lama semakin kuat. Velandra terkejut, tangannya berhenti memukul. Dia melihat ke arah batu tersebut, dan untuk pertama kalinya, dia merasa ada sesuatu yang hidup di dalamnya.

“Apa ini?” bisiknya pada diri sendiri.

Batu itu memancarkan cahaya samar, seperti ada energi yang terkunci di dalamnya. Velandra mundur beberapa langkah, jantungnya berdegup kencang. Cahaya itu semakin terang, membuat ruangan yang tadinya hanya diterangi lilin menjadi silau.

Velandra berdiri terdiam, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Namun, sebelum dia sempat melakukan apapun, retakan besar muncul di tengah batu, disertai suara keras yang menggema di seluruh bengkel. Batu itu terbelah, dan dari dalamnya, muncul sosok bayangan tipis yang melayang di udara.

Velandra mematung, matanya membelalak. Dia tak pernah menyangka kalau batu yang selama ini dia pahat akan mengeluarkan sesuatu yang begitu aneh. Sosok itu tampak seperti kabut hitam, bergerak perlahan mendekatinya.

“Siapa… atau apa… lo?” tanya Velandra dengan suara yang bergetar.

Sosok itu melayang lebih dekat, berhenti tepat di depannya. “Aku adalah apa yang kau simpan selama ini, Velandra,” suara itu terdengar dalam dan bergema, seolah-olah berasal dari dalam dirinya sendiri.

“Gue nggak ngerti. Apa maksud lo?” Velandra mencoba untuk tetap tenang meskipun tubuhnya gemetar.

Sosok itu tersenyum, meski tanpa wajah. “Kau akan segera mengerti. Batu ini bukan hanya sekadar batu, sama seperti dirimu. Ada yang terkunci di dalamnya, sesuatu yang selama ini kau tolak untuk lihat.”

Velandra merasakan darahnya berdesir cepat. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang sedang dia lepaskan dari dalam batu itu? Tapi sebelum dia bisa bertanya lebih jauh, sosok bayangan itu perlahan memudar, meninggalkan Velandra dalam keheningan yang mencekam.

Dia berdiri diam di sana, hanya ditemani oleh retakan besar di batu yang kini hancur. Di tengah kebingungannya, Velandra sadar bahwa malam itu, dia telah memulai perjalanan baru yang belum pernah dia bayangkan sebelumnya.

 

Bayangan di Balik Batu

Velandra masih berdiri di tengah bengkel dengan jantung berdegup kencang. Suara gema bayangan itu terus menggaung di kepalanya. “Aku adalah apa yang kau simpan selama ini.”

Dia tidak tahu apa yang dimaksud oleh sosok itu. Sambil berusaha menenangkan diri, Velandra mundur dan menutup pintu bengkel. Udara dingin menerobos masuk, menyentakkan pikirannya kembali ke dunia nyata. Cahaya lilin bergoyang, membuat bayangan di dinding seolah menari dalam kegelapan.

Sisa-sisa batu yang hancur berserakan di lantai. Velandra menatapnya dengan rasa takut yang bercampur rasa ingin tahu. Batu yang selama bertahun-tahun dia pahat kini terbelah, dan entah apa yang telah dia lepaskan.

Ketukan pelan di pintu membuatnya tersentak. Suara Marwin terdengar dari luar.

“Vel, lo masih di dalam?” panggilnya.

Velandra ragu untuk menjawab. Dia tahu, kalau Marwin melihat ini, dia pasti akan bertanya banyak hal. Tapi dia juga butuh seseorang untuk menenangkan pikiran. Akhirnya, dia mendekati pintu dan membukanya sedikit, memperlihatkan wajah lelahnya.

“Lo nggak pulang, kan?” kata Marwin sambil mengintip ke dalam.

“Nggak. Gue cuma… butuh waktu buat sendiri,” jawab Velandra sambil membuka pintu lebih lebar, membiarkan Marwin masuk.

Marwin melangkah masuk dan langsung memandang berkeliling. Dia langsung melihat batu yang terbelah dan puing-puing di lantai. Matanya melebar, lalu beralih ke Velandra dengan raut wajah bingung. “Apa yang lo lakuin sama batu itu?”

Velandra hanya mengangkat bahu, berusaha mencari penjelasan yang masuk akal. “Gue nggak tahu, Win. Gue pukul, dan tiba-tiba batu ini… hancur. Ada sesuatu di dalamnya. Tapi gue nggak ngerti apa.”

Marwin mengernyit, berjongkok di dekat retakan besar itu dan meraba permukaan batu yang tersisa. “Ini gila. Batu ini kuat banget, Vel. Nggak mungkin cuma pukulan palu bisa bikin ini retak kayak gini. Lo yakin nggak ada yang bantuin?”

Velandra terdiam, memandangi retakan besar itu. Dalam benaknya, bayangan sosok yang muncul tadi masih jelas. Namun, dia ragu untuk menceritakan semuanya ke Marwin. Dia takut terdengar seperti orang gila.

“Enggak. Gue sendiri kok,” jawab Velandra akhirnya. “Tapi ada sesuatu di dalam batu ini… sesuatu yang gue nggak ngerti.”

Marwin berdiri, menggosok dagunya sambil menatap batu itu dengan serius. “Vel, lo pernah cerita soal batu ini kayak punya kehidupan sendiri. Gue pikir lo cuma terlalu lelah. Tapi kalau kayak gini… gue mulai mikir ini lebih dari sekadar batu biasa.”

“Kemungkinan ada sesuatu yang terkunci di dalamnya, Win. Sesuatu yang gue lepaskan malam ini.” Velandra merasa suaranya bergetar saat berbicara. Rasa takut mulai menyeruak lagi. Apa sebenarnya yang dia lakukan?

“Kalau memang ada sesuatu di dalam batu ini, lo harus berhati-hati,” kata Marwin. “Gue pernah denger cerita-cerita mistis soal benda-benda kuno yang bisa membawa malapetaka kalau dibuka sembarangan.”

Velandra memutar bola matanya. “Lo denger dari mana cerita kayak gitu? Kakek lo?”

Marwin tertawa kecil, lalu mengangkat bahu. “Nggak, sih. Gue baca dari internet. Tapi tetap aja, Vel, ini aneh. Gue nggak suka ini.”

Velandra mendesah, mencoba meredakan ketegangan. “Gue juga nggak suka ini, Win. Tapi sekarang gue udah terlanjur mulai, dan gue nggak bisa berhenti sampai gue tahu apa yang sebenarnya ada di balik semua ini.”

Mereka berdiri dalam keheningan. Lilin yang hampir habis membuat bayangan di dinding semakin pudar. Velandra tahu, apa pun yang terjadi malam ini hanyalah permulaan. Batu itu telah terbelah, dan rahasia yang selama ini tersembunyi di dalamnya baru saja terungkap.

“Gue harus cari tahu lebih banyak soal batu ini,” gumam Velandra sambil menatap sisa-sisa batu di lantai. “Mungkin ada catatan lama atau dokumen yang bisa ngejelasin dari mana batu ini berasal.”

Marwin mengangguk pelan. “Gue bisa bantu lo cari. Ada satu tempat di pinggiran kota yang jual buku-buku dan dokumen kuno. Lo tahu, toko yang di belakang gereja tua itu?”

Velandra mengangguk. “Iya, gue pernah denger. Toko itu kayak misterius gitu, ya?”

Marwin tersenyum tipis. “Banget. Tapi kalau lo mau tahu soal benda-benda kuno atau mistis, mungkin di sana tempat yang tepat.”

Velandra menghela napas. Ada ketakutan di dalam dirinya, tapi juga rasa penasaran yang tak bisa dia tahan. Dia harus mencari tahu lebih banyak tentang batu itu, tentang sosok bayangan yang muncul, dan tentang rahasia yang dia buka tanpa sengaja.

“Besok pagi kita ke sana,” kata Velandra akhirnya. “Gue nggak bisa nunggu lebih lama lagi.”

Marwin mengangguk. “Oke. Gue temenin lo. Tapi lo harus janji buat istirahat malam ini. Gue nggak mau lo pingsan lagi.”

Velandra tersenyum lelah. “Gue janji, Win. Gue istirahat malam ini.”

Setelah Marwin pergi, Velandra menutup pintu bengkel dan duduk di kursi kayu yang usang. Matanya kembali tertuju pada batu yang hancur. Apa yang sebenarnya dia lepaskan dari batu itu? Apa yang sudah tersembunyi di dalamnya selama bertahun-tahun?

Pikirannya terus berputar, tapi tubuhnya sudah terlalu lelah untuk merenung lebih lama. Dia akhirnya menyerah pada kantuk yang perlahan datang, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam kelelahan. Mimpi-mimpi datang, namun bayangan sosok hitam itu tak pernah hilang dari benaknya.

Besok, dia harus menemukan jawabannya. Tapi malam ini, hanya ada ketidakpastian yang melingkupi pikirannya. Apa yang baru saja dia mulai—dan apakah dia siap menghadapi konsekuensinya?

 

Di Antara Lemari Usang dan Misteri Tersimpan

Pagi itu, matahari terbit dengan warna keemasan yang memudar di balik awan tipis. Velandra belum bisa tidur dengan tenang. Pikirannya terus melayang pada bayangan yang dilihatnya semalam dan batu yang hancur berkeping-keping. Sosok gelap itu tampak begitu nyata, namun samar. Apa yang sebenarnya terjadi?

Marwin tiba lebih pagi dari yang diperkirakan, mengetuk pintu dengan semangat yang nyaris tak biasa. “Vel, bangun nggak nih?” suaranya terdengar di luar pintu. “Ayo, kita harus pergi sebelum toko kuno itu tutup. Lo kan tahu, mereka buka cuma setengah hari di hari minggu.”

Velandra membuka pintu, masih setengah sadar. “Iya, iya, gue siap kok. Bentar, gue ambil jaket.”

Setelah berganti pakaian dan merapikan sedikit dirinya di cermin, Velandra dan Marwin akhirnya berangkat menuju toko buku antik yang berada di pinggiran kota. Jalan-jalan masih sepi, dan hanya terdengar suara gemerisik dedaunan yang tertiup angin. Ada ketegangan yang samar di antara mereka, tapi tak ada yang membicarakan soal apa yang terjadi semalam. Mungkin Marwin juga sama bingungnya dengan Velandra.

Toko itu tersembunyi di balik deretan bangunan tua, tepat di belakang gereja yang hampir selalu sepi. Papan kayu di depan toko sudah usang, dengan huruf-huruf yang hampir tidak terbaca: “Arkana—Pengetahuan Kuno.”

“Ini dia,” kata Marwin sambil berhenti di depan pintu yang terlihat rapuh. “Siap masuk ke sarang kegelapan?”

Velandra tertawa kecil, meski hatinya gugup. “Lo terlalu lebay, Win. Ini cuma toko buku tua.”

Mereka mendorong pintu kayu itu dan masuk ke dalam. Udara di dalam toko terasa lembab, dengan aroma kertas tua dan kayu yang lapuk. Rak-rak kayu tinggi menjulang di sekeliling ruangan, dipenuhi dengan buku-buku tebal dan gulungan kertas kuno. Tak ada orang di depan, hanya meja kasir yang kosong dengan lonceng kecil di atasnya.

“Gila… ini tempat kayak film horror,” bisik Marwin, suaranya sedikit bergetar.

Velandra mendekati meja kasir dan memukul pelan lonceng kecil di atasnya. Tak lama, terdengar suara langkah kaki dari balik tirai merah di sudut toko. Seorang pria tua muncul, mengenakan pakaian panjang berwarna hitam dengan kaca mata tebal. Tatapannya tajam, namun tak menakutkan.

“Selamat datang di Arkana,” katanya dengan suara pelan. “Apa yang bisa saya bantu?”

Velandra menelan ludah, lalu mencoba berbicara dengan tenang. “Saya sedang mencari informasi tentang… benda kuno. Mungkin ada buku atau dokumen yang bisa menjelaskan tentang batu berukir yang sudah hancur.”

Pria tua itu memperhatikannya dengan cermat, lalu matanya menyipit sedikit. “Batu berukir, ya? Itu bukan hal yang sering orang tanyakan di sini.”

Velandra mengangguk, tak tahu harus berkata apa lagi. Pria itu kemudian berbalik dan berjalan menuju rak di bagian belakang. “Ikuti saya.”

Mereka berjalan melewati deretan buku tua yang tampak seperti belum pernah tersentuh selama bertahun-tahun. Rak-rak tersebut semakin tua dan usang saat mereka menuju lebih dalam ke bagian belakang toko. Velandra mulai merasakan kegelisahan lagi, sementara Marwin tetap diam, jelas-jelas merasa canggung dengan suasana ini.

Akhirnya, pria tua itu berhenti di depan lemari kayu besar yang tampak jauh lebih tua dari segala yang ada di toko tersebut. Lemari itu terbuat dari kayu hitam dengan ukiran-ukiran aneh di pintunya.

“Dalam lemari ini, ada dokumen yang mungkin bisa menjawab pertanyaanmu,” kata pria tua itu, suaranya hampir berbisik. “Tapi perlu diingat, beberapa hal lebih baik tetap tersembunyi.”

“Terima kasih,” Velandra menjawab, meskipun merasa sedikit ragu.

Pria tua itu membuka pintu lemari dengan perlahan. Di dalamnya terdapat buku-buku besar yang disusun rapi, beberapa di antaranya tampak hampir hancur oleh usia. Salah satu buku, yang terletak di sudut, menarik perhatian Velandra. Sampulnya berwarna hitam pekat dengan simbol yang tampak asing—mirip dengan ukiran yang dia lihat pada batu sebelum hancur.

“Tentu saja…” gumam Velandra. “Simbol ini sama persis dengan yang ada di batu itu.”

Pria tua itu mengangguk. “Itu adalah simbol kuno, dikenal sebagai tanda pelindung, tetapi dalam beberapa kasus juga bisa menjadi kutukan. Bergantung pada siapa yang menyentuhnya.”

Velandra meraih buku itu dengan hati-hati, merasakan aura aneh yang seakan terpancar dari permukaannya. Halaman-halamannya tebal dan penuh dengan tulisan-tulisan tangan yang tergores rapi, meski sulit dibaca. Bahasa yang tertulis di dalamnya bukan bahasa yang dia kenal.

Marwin berdiri di belakang, mengintip dengan penasaran. “Apa yang lo lihat, Vel?”

“Ini lebih dari sekadar batu biasa, Win,” jawab Velandra dengan pelan. “Simbol-simbol ini… mereka nggak cuma hiasan. Mereka punya arti.”

Pria tua itu menatap Velandra dengan tatapan serius. “Batu itu, jika benar yang kau maksud, mungkin adalah bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar. Sesuatu yang telah terkubur selama berabad-abad. Kau harus berhati-hati.”

“Kenapa?” tanya Velandra, merasa bulu kuduknya meremang.

“Benda-benda seperti itu, jika dipindahkan atau dihancurkan, bisa membuka pintu ke dunia lain. Dunia yang lebih gelap, dunia di mana bayangan dan roh berkeliaran.”

Marwin menelan ludah keras. “Bapak nggak serius, kan, Pak?”

Pria tua itu hanya tersenyum tipis. “Apakah itu hanya dongeng atau kenyataan, hanya waktu yang bisa menjawabnya. Namun, saya sarankan untuk tidak terlalu jauh terlibat dalam hal ini.”

Velandra menutup buku itu perlahan, menyadari bahwa dia baru saja memasuki sesuatu yang jauh lebih berbahaya daripada yang dia bayangkan. Apa pun yang ada di dalam batu itu telah terlepas, dan sekarang tidak ada jalan kembali.

“Saya harus tahu lebih banyak,” kata Velandra akhirnya. “Ini bukan sesuatu yang bisa saya abaikan begitu saja.”

Pria tua itu memandangi Velandra dengan tatapan yang seolah menembus jiwanya, lalu dia mengangguk. “Baiklah, tapi hati-hati dengan apa yang kau cari. Tidak semua misteri ingin ditemukan.”

Setelah mengucapkan terima kasih, Velandra dan Marwin meninggalkan toko itu dengan pikiran yang semakin kacau. Velandra merasakan ada sesuatu yang lebih besar dan lebih gelap yang menunggu di balik semua ini, dan kini dia harus menghadapi konsekuensinya.

Matahari sudah semakin tinggi di langit, tapi bagi Velandra, cahaya hari itu terasa semakin redup. Di tangannya, buku hitam pekat itu terasa seperti beban berat yang membawa rahasia kelam.

“Jadi, apa rencana lo sekarang, Vel?” tanya Marwin sambil melirik ke arah buku di tangan Velandra.

Velandra menarik napas dalam-dalam. “Kita harus kembali ke bengkel. Gue perlu waktu untuk mempelajari ini lebih lanjut. Tapi satu hal yang pasti, ini belum selesai.”

Marwin menatap Velandra dengan ragu, tapi dia mengangguk. “Gue di samping lo, apa pun yang terjadi.”

Mereka berdua tahu, apa yang akan datang mungkin lebih menakutkan dari apa yang telah terjadi. Tapi Velandra juga tahu, dia tidak bisa mundur sekarang. Batu itu telah terbelah, rahasia telah terbuka, dan sekarang dia harus menemukan jalan keluar dari kegelapan yang perlahan mendekat.

 

Di Balik Kegelapan, Cahaya yang Pudar

Malam itu, Velandra dan Marwin duduk di bengkel kecil milik ayahnya, ditemani suara mesin-mesin tua yang kadang berderit sendiri seakan ikut dalam ketegangan. Velandra menatap buku hitam di depannya dengan tatapan kosong. Meski sudah melewati beberapa halaman, dia belum bisa mengurai misteri yang tertulis di dalamnya. Setiap simbol dan goresan kalimat seolah berbicara bahasa yang hanya bisa dipahami oleh waktu dan kegelapan.

“Kita nggak bisa kayak gini terus, Vel,” Marwin akhirnya memecah keheningan, suaranya penuh ketidakpastian. “Lo bener-bener mau terusin baca buku itu?”

Velandra memijat pelipisnya. “Gue nggak punya pilihan, Win. Setelah apa yang kita alami, gue harus tahu apa yang terjadi.”

Sementara Velandra masih merenungi halaman-halaman penuh simbol di buku itu, pintu bengkel terbuka dengan bunyi keras, dan angin malam berhembus kencang. Velandra dan Marwin langsung berdiri, merasakan ada kehadiran asing yang mendekat. Sekilas, bayangan gelap melintas di depan mereka, hampir seperti sosok yang pernah dilihat Velandra di mimpinya.

Velandra menggenggam buku itu erat. “Apa yang lo mau?” teriaknya ke arah kegelapan, meskipun dia sendiri tak yakin siapa atau apa yang dia ajak bicara.

Bayangan itu tidak menjawab, tetapi Velandra merasa ruangan semakin dingin. Udara berubah berat, seolah ada sesuatu yang menarik mereka lebih dalam ke dalam ruang yang tak terlihat.

“Vel, kita nggak bisa tinggal di sini. Gue rasa kita harus keluar,” bisik Marwin, mencoba mengendalikan rasa paniknya. Tapi Velandra tidak bergerak. Ada sesuatu di dalam dirinya yang menahan, yang merasa terikat dengan bayangan itu.

Kemudian, terdengar suara halus, seperti suara dari masa lalu. “Kau telah membukanya,” suara itu berbisik. “Dan sekarang, tidak ada jalan kembali.”

Velandra merasakan darahnya membeku. “Apa maksud lo? Siapa lo?”

Bayangan itu bergerak semakin mendekat, bentuknya semakin jelas. Sosok itu adalah bayangan seorang pria tua dengan mata hitam pekat, dan wajahnya, meski samar, mengingatkan Velandra pada ukiran di batu yang hancur semalam.

“Aku adalah penjaga,” pria itu berkata dengan suara yang semakin rendah, hampir seperti gema di dalam pikirannya. “Dan batu yang kau hancurkan adalah penutup dari sesuatu yang seharusnya tidak pernah terbangun.”

Velandra tertegun, sementara Marwin semakin panik. “Kita harus keluar dari sini, Vel! Ini nggak masuk akal!”

Pria itu melangkah lebih dekat, matanya menatap dalam-dalam ke arah Velandra. “Kau telah membebaskan kegelapan yang terkunci di dalamnya. Setiap batu punya kisah, dan kisah ini adalah tentang kebinasaan.”

“Apa yang lo maksud? Gue nggak ngerti!” Velandra balas berteriak. Suaranya memantul di dinding bengkel yang kini terasa semakin sempit.

“Simbol-simbol di batu itu adalah segel kuno, pelindung antara dunia kita dan dunia mereka. Dengan memecahkannya, kau membuka pintu ke sesuatu yang lebih dari sekadar bayangan.”

Velandra mundur beberapa langkah, tak percaya dengan apa yang dia dengar. Kakinya gemetar, tapi hatinya menolak untuk menyerah pada rasa takut. “Apa maksud lo dengan ‘mereka’? Siapa yang terjebak di dalam batu itu?”

Sosok itu mengangguk pelan, menandakan bahwa jawaban itu sudah ada di depan mata Velandra selama ini. “Para roh, mereka yang diusir dari dunia ini karena kekuatan yang tak terkendali. Mereka menunggu seseorang cukup bodoh untuk membuka segel itu.”

Marwin tidak bisa lagi menahan diri. Dia menarik tangan Velandra dengan keras. “Vel, ini udah gila! Ayo kita keluar sebelum kita kena masalah lebih besar!”

Tapi sebelum Velandra bisa bergerak, sosok pria itu lenyap begitu saja, hanya meninggalkan keheningan yang memekakkan telinga. Kegelapan di ruangan itu terasa semakin pekat, hampir seperti sebuah selubung yang menutup semua cahaya.

Marwin menarik napas berat, panik. “Oke, kita keluar sekarang.”

Namun saat mereka berbalik menuju pintu, terdengar suara gemuruh dari arah belakang mereka. Batu-batu kecil dari atap bengkel berjatuhan, dan suara seperti suara gemericik air mengalir tiba-tiba memenuhi ruangan.

Velandra berbalik, hanya untuk melihat sesuatu yang tidak dia duga: sebuah celah terbuka di lantai bengkel, memunculkan cahaya merah samar. Cahaya itu seperti berasal dari kedalaman yang tak terukur, seolah-olah bengkel itu berdiri di atas jurang yang jauh lebih gelap dari yang mereka kira.

“Demi Tuhan, apa itu?” teriak Marwin, menatap celah itu dengan mata terbelalak.

Velandra berjalan mendekat, seolah tertarik oleh sesuatu yang tak terlihat. Tangannya masih menggenggam erat buku hitam itu, dan saat dia mendekati celah, simbol di sampul buku mulai bersinar samar.

“Ini adalah jalan mereka,” gumam Velandra. “Mereka ingin kembali.”

“Vel, stop! Jangan dekati itu!” Marwin mencoba menarik Velandra, tapi Velandra terlalu terpaku oleh cahaya itu.

Tiba-tiba, angin kencang berhembus dari celah itu, dan bayangan-bayangan mulai muncul, satu per satu, dari kegelapan. Mereka bergerak cepat, membentuk sosok yang tidak jelas, melayang di udara dengan tatapan kosong. Velandra merasakan tubuhnya lemas, terjerat oleh sesuatu yang tak bisa dia kendalikan.

“Sekarang kalian akan melihat akhir dari segalanya,” suara pria tua itu kembali terdengar, meskipun sosoknya tak lagi terlihat. “Dunia akan berubah, dan mereka akan kembali mengambil tempat yang seharusnya.”

Velandra hampir kehilangan kesadaran, tapi tiba-tiba, Marwin melangkah maju. Dia menarik buku dari tangan Velandra dengan kasar, lalu melemparkannya ke dalam celah.

Suara ledakan keras memenuhi ruangan, dan cahaya merah itu tiba-tiba menghilang. Celah itu menutup dengan suara gemuruh, dan bayangan-bayangan yang melayang di udara lenyap seketika. Hening. Seperti tidak pernah terjadi apa-apa.

Velandra jatuh terduduk, terengah-engah. Marwin berdiri di sampingnya, wajahnya pucat tapi penuh determinasi. “Gue nggak ngerti apa yang barusan terjadi,” katanya sambil terengah-engah. “Tapi gue tahu satu hal, buku itu bawa masalah.”

Velandra menatap lantai tempat celah itu dulu berada, kini sudah tertutup rapat. Dia tahu, masalah ini belum selesai sepenuhnya. Apa yang sudah terlepas, mungkin tidak akan bisa dikunci lagi dengan mudah.

Namun, untuk saat ini, mereka selamat. Setidaknya, untuk sementara.

“Satu hal yang gue pelajari,” kata Velandra akhirnya, suaranya lemah tapi tegas. “Ada hal-hal yang memang harus dibiarkan terkubur.”

Marwin mengangguk, masih dalam kebingungan, tetapi dia tahu Velandra benar. Mereka telah membuka pintu yang seharusnya tidak pernah dibuka. Sekarang, mereka hanya bisa berharap tidak ada yang lebih buruk datang dari kegelapan itu.

Dan di luar, angin dingin malam hari berhembus, membawa bisikan misteri yang masih tersimpan di balik batu-batu yang hancur di hari yang gugur.

 

Kadang, ada hal-hal yang emang harus dibiarkan terkubur, karena begitu kamu buka, kamu nggak bakal bisa tutup lagi. Velandra dan Marwin udah belajar pelajaran itu dengan cara yang paling serem.

Mereka mungkin selamat sekarang, tapi kegelapan yang mereka bangkitin nggak bakal hilang gitu aja. Jadi, kalau suatu hari kamu ketemu sesuatu yang misterius, lebih baik kamu pikir dua kali sebelum menyentuhnya—siapa tahu, kamu nggak seberuntung mereka.

Leave a Reply