Kisah Kasih Sayang yang Hilang dan Ditemukan Kembali

Posted on

Pernah gak sih kamu ngerasa ada bagian dari hidup kamu yang hilang, tapi kamu gak yakin apa itu? Kadang, kenangan lama yang udah terkubur bisa tiba-tiba muncul lagi, bikin kamu ngerasa semua yang kamu pikir udah selesai ternyata masih ada.

Cerita ini bakal ngasih kamu perjalanan emosional dari cinta yang pernah hilang, dan gimana rasanya ketika akhirnya kamu menemukan kembali apa yang dulu kamu kira udah lenyap. Siap-siap buat terhanyut sama kisah yang penuh kejutan ini!

 

Kisah Kasih Sayang

Senja di Tepi Danau

Di bawah langit senja yang mulai beranjak kelam, seorang gadis bernama Neira duduk di tepi danau yang tenang. Setiap sore, dia datang ke sini, seolah ada magnet yang menariknya untuk kembali ke tempat yang sama. Danau itu menyimpan banyak kenangan, bukan hanya tentang keindahan alamnya, tapi juga tentang kehangatan yang ia rasakan dari Ayahnya, Dirga.

Neira menyukai senja, karena di waktu itu, dunia seakan melambat. Waktu bergerak lebih pelan, membiarkannya menikmati setiap detik tanpa terburu-buru. Angin sore yang lembut menerpa wajahnya, membawa serta aroma tanah basah dan daun-daun kering. Neira menatap jauh ke permukaan air yang memantulkan warna oranye keemasan dari langit. Pikirannya mengembara, mengenang hari-hari bersama Ayahnya.

“Kenapa aku selalu merasa damai di sini?” gumam Neira pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri.

Di sebelahnya, sekumpulan burung beterbangan rendah, menambah kesan tenang di sekitar danau. Neira tersenyum tipis. Di tempat inilah, dia sering menghabiskan waktu dengan Ayahnya ketika masih kecil. Mereka sering duduk bersama di bangku kayu yang kini sudah mulai lapuk oleh waktu, membicarakan segala hal dari yang penting hingga hal-hal sederhana.

Neira mengingat kembali saat Ayahnya mengajaknya berburu serangga kecil di sekitar danau. Saat itu, Dirga selalu memintanya untuk bersikap hati-hati dan penuh kasih sayang, bahkan kepada makhluk-makhluk kecil.

“Kita harus menghargai kehidupan, Neira. Bahkan serangga kecil pun punya peran penting di dunia ini,” kata Ayahnya waktu itu, sambil memandang ke arah danau dengan tatapan penuh makna.

Kalimat sederhana itu melekat di hati Neira hingga kini. Sejak saat itu, Neira tumbuh menjadi sosok yang penuh perhatian dan peduli pada lingkungan di sekitarnya. Setiap tindakan kecil, setiap kata yang diucapkan Ayahnya, baginya adalah pelajaran yang sangat berharga.

Neira bangkit dari duduknya, merapatkan jaket tipis yang ia kenakan. Udara mulai dingin, dan warna senja perlahan-lahan berubah menjadi gelap. Dia tahu, sudah waktunya pulang. Tapi hatinya selalu merasa berat untuk meninggalkan tempat ini, seolah-olah dia takut kehilangan sesuatu yang berharga di balik keheningan danau ini.

Langkahnya perlahan menuju jalan setapak yang mengarah ke rumahnya. Neira selalu menyukai suasana jalan ini, dengan pohon-pohon tinggi yang berdiri di kanan dan kirinya, seakan membentuk lorong alami yang mengarahkannya pulang. Setiap sore, dia berjalan di sini sendirian, menikmati suara dedaunan yang bergesekan lembut tertiup angin.

Setibanya di rumah, Neira melihat Ayahnya, Dirga, sedang duduk di teras dengan secangkir teh hangat di tangannya. Wajah Ayahnya terlihat tenang, meski tampak jelas bahwa pikirannya sedang melayang jauh. Neira mendekat, mengambil tempat duduk di samping Ayahnya.

“Senja kali ini indah, ya, Yah?” tanya Neira memulai percakapan, sambil mengamati wajah Ayahnya yang penuh dengan ketenangan.

Dirga mengalihkan pandangannya dari cangkir teh ke wajah putrinya. Senyumnya mengembang, meski ada kesan melankolis di balik sorot matanya. “Senja selalu indah, Neira. Tapi, semakin kita menua, keindahan itu terasa semakin dalam dan penuh makna.”

Neira menatap Ayahnya dengan penuh perhatian. Dia bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dengan Ayahnya sore ini. Ada rasa penasaran yang tumbuh di hatinya, namun ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. Dia hanya ingin menikmati momen ini, momen sederhana yang penuh kehangatan.

“Ayah, kenapa Ayah suka banget sama senja?” Neira bertanya pelan, suara lembutnya hampir tenggelam oleh suara angin sore.

Dirga menyesap tehnya perlahan, menatap ke arah horizon yang mulai gelap. “Senja itu waktu yang tepat untuk merenung, Neira. Di waktu inilah, kita bisa melihat bagaimana hari berakhir dengan tenang, memberi kita kesempatan untuk merefleksikan apa yang sudah kita lakukan. Senja mengajarkan kita bahwa setiap akhir memiliki keindahannya sendiri, seperti kehidupan.”

Neira terdiam, merenungi kata-kata Ayahnya. Baginya, kata-kata itu bukan hanya sekadar ungkapan biasa, tapi adalah nasihat yang sarat dengan makna. Ia tahu, Ayahnya bukan tipe orang yang bicara tanpa alasan. Setiap kata yang keluar dari mulutnya selalu punya arti yang lebih dalam dari sekadar ucapan.

Malam semakin merambat, dan udara semakin dingin. Neira tahu, sudah saatnya masuk ke dalam rumah, tapi dia enggan meninggalkan Ayahnya sendirian di luar. Dia merasakan ada sesuatu yang ingin Ayahnya sampaikan, sesuatu yang penting. Namun, dia juga memahami bahwa semua ada waktunya. Ayahnya akan bicara saat dia siap.

“Ayo masuk, Neira. Udara mulai dingin,” ajak Dirga, sambil menepuk pundak putrinya dengan lembut.

Neira mengangguk, bangkit dari kursinya dan mengikuti Ayahnya masuk ke dalam rumah. Meski langkah mereka berat, Neira tahu, percakapan tentang senja ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Ada banyak cerita yang belum terungkap, dan dia siap mendengarkannya kapan pun Ayahnya mau berbicara.

 

Pesan dari Masa Lalu

Keesokan harinya, Neira terbangun dengan perasaan sedikit aneh. Ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya sejak percakapan singkat dengan Ayahnya di teras tadi malam. Dirga memang tidak mengatakan banyak hal, namun cara Ayahnya memandang senja, dan bagaimana suaranya terdengar begitu dalam, membuat Neira merasa seolah ada sesuatu yang penting di balik kata-katanya.

Saat duduk di meja sarapan, Neira menatap Ayahnya yang tampak tenang seperti biasa. Dirga sedang membaca koran, dengan secangkir kopi yang sudah setengah habis di sampingnya. Suasana di rumah mereka selalu tenang di pagi hari, hanya suara burung-burung di luar dan bunyi halus dari dapur yang menemani.

“Neira, kamu ada rencana hari ini?” tanya Dirga tiba-tiba, mengalihkan perhatian dari korannya.

Neira menggeleng pelan, “Tidak ada, Yah. Mungkin nanti sore aku akan ke danau lagi.”

Dirga tersenyum kecil, “Baiklah. Tapi sebelum itu, Ayah ingin bicara denganmu tentang sesuatu. Ada hal yang sudah lama Ayah simpan dan Ayah rasa sudah waktunya untuk kamu tahu.”

Neira merasa jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. “Apa itu, Yah?”

Dirga meletakkan koran di meja, lalu menarik napas panjang, seolah sedang mempersiapkan diri untuk menceritakan sesuatu yang berat. “Neira, Ayah ingin kamu tahu tentang seseorang yang sangat penting dalam hidup Ayah, sebelum kamu ada. Namanya Cinta.”

Neira terdiam. Nama itu baru pertama kali ia dengar, namun ada sesuatu yang menancap dalam hatinya saat Ayahnya menyebutnya. Seperti ada bayangan masa lalu yang mulai terkuak dari balik kenangan-kenangan yang selama ini tersembunyi.

“Cinta adalah seseorang yang sangat Ayah sayangi di masa lalu. Kami tumbuh bersama, dan Ayah pikir kami akan selalu bersama,” Dirga melanjutkan dengan suara yang terdengar lembut namun sarat emosi. “Tapi hidup punya caranya sendiri untuk mengubah rencana kita.”

Neira mendengarkan dengan saksama. Ayahnya jarang sekali berbicara tentang masa lalunya, terutama tentang orang-orang yang pernah dekat dengannya. Biasanya, Dirga hanya bercerita tentang pekerjaannya, atau tentang hobinya yang sederhana. Namun, cerita tentang Cinta ini, sepertinya menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar kenangan manis.

“Cinta adalah sosok yang penuh kasih sayang,” lanjut Dirga sambil menatap keluar jendela, seolah-olah sedang melihat bayangan masa lalunya. “Dia selalu melihat hal-hal baik dalam diri semua orang, bahkan ketika mereka tidak bisa melihatnya sendiri. Dia adalah alasan mengapa Ayah bisa belajar banyak tentang arti kasih sayang yang sesungguhnya.”

Neira merasa ada sesuatu yang menggelitik hatinya. “Apa yang terjadi dengan Cinta, Yah?”

Dirga menatap Neira dengan mata yang penuh rasa sayang. “Kami berpisah, Neira. Bukan karena kami ingin, tapi karena keadaan yang memaksa. Cinta harus pindah ke kota lain karena pekerjaannya, dan kami kehilangan kontak satu sama lain. Saat itu, Ayah merasa kehilangan yang sangat mendalam, seperti ada bagian dari diri Ayah yang hilang.”

Suara Dirga terdengar berat, seolah kata-kata itu keluar dari tempat yang paling dalam di hatinya. Neira bisa merasakan betapa besar pengaruh Cinta dalam hidup Ayahnya. Namun, satu hal yang membuatnya penasaran adalah bagaimana kisah itu berakhir, dan mengapa Ayahnya memilih untuk tidak pernah membicarakannya sebelumnya.

“Ayah tidak pernah menemukan Cinta lagi?” Neira bertanya dengan hati-hati.

Dirga menggeleng pelan. “Tidak, Neira. Setelah bertahun-tahun, Ayah menerima bahwa mungkin memang begitulah jalannya hidup kami. Ayah harus belajar untuk merelakan dan melanjutkan hidup. Tapi satu hal yang Ayah pelajari dari Cinta adalah bahwa kasih sayang itu tidak pernah benar-benar hilang. Meskipun kami tidak bersama lagi, perasaan itu tetap ada, dan itulah yang Ayah bawa sampai sekarang.”

Neira terdiam, merenungi kata-kata Ayahnya. Dia bisa merasakan betapa dalam perasaan Ayahnya terhadap Cinta, meskipun mereka sudah lama tidak bersama. Tapi ada satu hal yang belum Ayahnya katakan, sesuatu yang membuat Neira merasa ada pesan yang terselip di balik cerita ini.

“Lalu, apa yang Ayah ingin aku tahu dari cerita ini?” tanya Neira dengan suara yang lebih lembut, berusaha menangkap inti dari pembicaraan ini.

Dirga tersenyum, kali ini lebih hangat, seolah-olah dia sudah menunggu pertanyaan itu. “Neira, Ayah ingin kamu tahu bahwa kasih sayang itu tidak hanya tentang memiliki seseorang di samping kita. Kadang-kadang, kasih sayang itu bisa tumbuh dan berkembang meski kita terpisah dari orang yang kita cintai. Itu adalah pelajaran yang Ayah dapatkan dari Cinta, dan Ayah ingin kamu memahaminya.”

Neira terdiam, merasa ada rasa hangat yang menyebar di dadanya. Kata-kata Ayahnya menggema dalam pikirannya, membuka pemahaman baru tentang kasih sayang yang selama ini mungkin belum pernah ia sadari.

Meskipun cerita tentang Cinta membuatnya sedikit sedih, dia juga merasa ada kebijaksanaan yang besar di baliknya. Neira tahu bahwa ada banyak lagi yang harus dia pelajari, bukan hanya tentang cinta dan kasih sayang, tapi juga tentang kehidupan itu sendiri.

Neira mengangguk pelan, merasa bahwa ini baru awal dari perjalanan panjang untuk memahami lebih dalam makna kasih sayang yang sejati. “Aku mengerti, Yah. Terima kasih sudah berbagi cerita ini dengan aku.”

Dirga mengelus rambut Neira dengan lembut. “Kamu adalah bagian penting dari hidup Ayah, Neira. Dan Ayah harap, kamu bisa menemukan kebahagiaanmu sendiri, dengan memahami bahwa kasih sayang itu tidak pernah terbatas pada satu momen atau satu orang saja. Itu adalah sesuatu yang terus kita bawa sepanjang hidup kita.”

Dengan kata-kata itu, Neira merasa ada beban yang terangkat dari hatinya. Meskipun dia belum sepenuhnya memahami semua yang Ayahnya katakan, dia tahu bahwa dia akan terus belajar dan tumbuh dari pengalaman-pengalaman yang akan datang. Dan dia tahu, Ayahnya akan selalu ada di sampingnya, membimbingnya dengan kebijaksanaan yang telah dia pelajari dari masa lalunya.

 

Jejak Cinta yang Tersimpan

Neira tidak bisa berhenti memikirkan cerita yang diceritakan oleh Ayahnya tentang Cinta. Nama itu, kisah itu, semuanya terasa begitu hidup dalam benaknya. Ada sesuatu yang membuat Neira merasa bahwa cerita tersebut belum berakhir, bahwa ada sesuatu yang masih tersembunyi, menunggu untuk ditemukan.

Malam itu, setelah makan malam yang tenang, Neira kembali ke kamarnya. Dia menatap langit-langit sambil memikirkan kembali kata-kata Ayahnya. Rasanya ada yang hilang, sesuatu yang tidak sepenuhnya terungkap. Pikiran Neira melayang pada album-album foto tua yang biasanya disimpan di rak di ruang tamu. Mungkin, di sana ada sesuatu yang bisa membantunya lebih memahami cerita Ayahnya.

Dengan hati-hati, Neira turun dari tempat tidurnya dan berjalan pelan menuju ruang tamu. Rumah itu sepi, hanya suara detik jam yang menemani langkahnya. Ia membuka salah satu rak dan menemukan sebuah album tua yang sampulnya sudah mulai pudar. Jari-jarinya menyentuh permukaan album itu dengan lembut, seolah menyentuh bagian dari masa lalu yang hampir terlupakan.

Duduk di sofa, Neira mulai membuka halaman-halaman album tersebut. Foto-foto hitam putih dan berwarna memperlihatkan masa-masa ketika Ayahnya masih muda, bersama dengan orang-orang yang sepertinya merupakan teman dan keluarga. Namun, tidak ada satu pun foto yang menunjukkan sosok yang mungkin adalah Cinta.

Saat hampir menyerah, Neira menemukan sebuah amplop kecil yang terselip di antara halaman-halaman album itu. Amplop itu tampak tua, dengan tulisan tangan yang rapi di bagian depannya: “Untuk Dirga.” Tanpa ragu, Neira membuka amplop tersebut dan menemukan beberapa lembar surat di dalamnya.

Neira membaca surat itu dengan seksama. Tulisan tangan yang halus dan penuh perasaan itu seolah membawa Neira ke masa lalu, ke saat di mana Ayahnya dan Cinta masih bersama. Surat itu berisi ungkapan perasaan yang mendalam, bagaimana Cinta merindukan Dirga setiap hari setelah mereka berpisah, bagaimana dia berharap suatu saat mereka bisa bertemu lagi, meskipun keadaan tidak memungkinkan.

Hati Neira berdebar. Surat itu penuh dengan rasa kasih sayang yang tulus, namun juga dengan kesedihan yang mendalam. Di akhir surat, Cinta menulis bahwa dia selalu menyimpan harapan bahwa takdir akan mempertemukan mereka kembali, meski hanya untuk sesaat, agar mereka bisa saling memberi tahu betapa mereka saling menghargai satu sama lain.

Neira merasakan air mata menetes di pipinya. Dia bisa merasakan betapa beratnya bagi Ayahnya untuk tidak pernah bisa bertemu lagi dengan Cinta, dan betapa dalamnya kasih sayang yang mereka miliki satu sama lain. Namun, ada satu hal yang membuat Neira penasaran—surat ini tidak pernah sampai ke tangan Ayahnya.

Pikiran itu membuat Neira berdiri dengan cepat, membawa surat itu kembali ke kamarnya. Ia duduk di meja belajarnya, mencoba menyusun kata-kata dalam pikirannya. Mengapa surat ini ada di album keluarga, tetapi tidak pernah diberikan kepada Ayahnya? Siapa yang menyimpan surat ini, dan mengapa?

Neira tidak bisa menahan rasa penasarannya. Mungkin ada lebih banyak hal yang belum ia ketahui, mungkin ada rahasia lain yang tersembunyi di balik kenangan ini. Namun, yang paling penting, Neira merasa bahwa ia harus melakukan sesuatu dengan surat ini. Dia tidak bisa hanya duduk dan membiarkan hal ini berlalu begitu saja.

Neira memutuskan untuk menunggu hingga pagi untuk bertanya kepada Ayahnya tentang surat tersebut. Namun, malam itu terasa begitu panjang, dan pikirannya dipenuhi oleh berbagai spekulasi. Ia mencoba untuk tidur, namun bayangan masa lalu terus menghantui pikirannya.

Saat fajar mulai menyingsing, Neira sudah bangun dan siap untuk berbicara dengan Ayahnya. Dia menunggu dengan gelisah di meja makan, sambil memegang surat itu erat-erat di tangannya. Ketika akhirnya Ayahnya muncul, Neira langsung tahu bahwa ini adalah waktu yang tepat.

“Ayah,” kata Neira dengan suara yang lebih tegas dari biasanya, “Aku menemukan sesuatu.”

Dirga menatap putrinya dengan sedikit terkejut, namun dia segera menyadari bahwa ada sesuatu yang penting. “Apa itu, Neira?”

Neira meletakkan surat itu di atas meja, di hadapan Ayahnya. Dirga melihat surat itu dengan ekspresi yang sulit ditebak, lalu dengan hati-hati mengambilnya. Ketika ia membaca tulisan tangan di surat itu, Neira melihat perubahan halus di wajah Ayahnya—sebuah campuran antara keterkejutan, kesedihan, dan mungkin sedikit rasa terima kasih.

“Di mana kamu menemukan ini?” tanya Dirga akhirnya, suaranya terdengar agak serak.

“Di album foto lama,” jawab Neira. “Ayah… kenapa surat ini tidak pernah sampai ke tangan Ayah?”

Dirga terdiam untuk beberapa saat, lalu menghela napas panjang. “Mungkin memang begini jalannya, Neira. Ayah tidak tahu mengapa surat ini tidak pernah Ayah terima, tapi melihatnya sekarang… membawa kembali banyak kenangan.”

Neira merasa hatinya tersentuh melihat reaksi Ayahnya. “Apa yang akan Ayah lakukan dengan surat ini?”

Dirga tersenyum tipis, meski matanya masih menunjukkan sedikit rasa kehilangan. “Surat ini, Neira, adalah bagian dari masa lalu Ayah yang tidak pernah bisa kembali. Tapi sekarang, surat ini sudah ada di sini, bersama kita. Mungkin ini cara takdir memberi tahu Ayah bahwa tidak ada yang benar-benar hilang, hanya tersembunyi sampai waktunya tiba.”

Neira merasakan sebuah pelajaran besar sedang dia terima. Ada begitu banyak hal yang belum ia pahami, namun satu hal yang pasti—kasih sayang Ayahnya terhadap Cinta masih tetap ada, meskipun waktu telah berlalu begitu lama. Dan sekarang, surat ini adalah penghubung antara masa lalu dan masa kini, sebuah pengingat bahwa kasih sayang sejati tidak pernah pudar.

“Ayah,” Neira berkata pelan, “Apakah Ayah masih ingin bertemu dengan Cinta?”

Dirga menatap Neira dengan lembut. “Jika takdir mempertemukan kami kembali, Ayah akan sangat bersyukur. Tapi jika tidak, Ayah akan tetap menyimpannya di sini,” katanya sambil menyentuh dadanya. “Karena kasih sayang yang sesungguhnya tidak memerlukan pertemuan untuk terus hidup.”

Neira mengangguk, merasa bahwa ia mulai memahami makna sebenarnya dari kasih sayang. Ada sesuatu yang sangat mendalam tentang perasaan ini, sesuatu yang tidak bisa dipaksakan atau diabaikan. Dan sekarang, dengan surat itu di tangan mereka, Neira tahu bahwa kisah Ayahnya dan Cinta belum sepenuhnya berakhir—mungkin baru saja dimulai kembali.

 

Pertemuan yang Tak Terduga

Hari itu, Neira dan Ayahnya mengunjungi rumah Bibi Lina, saudara perempuan Dirga yang tinggal di kota lain. Meski kunjungan ini awalnya hanya untuk urusan keluarga biasa, surat yang ditemukan Neira mengubah suasana menjadi sedikit lebih serius. Neira merasa bahwa Bibi Lina mungkin bisa memberikan jawaban atas pertanyaan yang belum terjawab, mengingat kedekatan Bibi Lina dengan masa lalu Ayahnya.

Setelah makan siang yang hangat bersama, Dirga dan Bibi Lina mulai berbicara tentang kenangan masa kecil mereka. Neira, yang duduk di samping mereka, mendengarkan dengan seksama, menunggu waktu yang tepat untuk mengajukan pertanyaannya. Akhirnya, ketika percakapan beralih ke masa-masa muda Dirga, Neira melihat kesempatan itu datang.

“Bibi Lina,” Neira memulai dengan hati-hati, “Aku menemukan sebuah surat lama di album foto keluarga. Surat itu dari seseorang bernama Cinta.”

Bibi Lina tampak terkejut mendengar nama itu disebut, dan dia melirik ke arah Dirga yang diam-diam menundukkan kepala, seolah-olah menghindari topik tersebut.

“Surat itu… bagaimana bisa kamu menemukannya?” tanya Bibi Lina, suaranya hampir berbisik.

“Ada di antara halaman-halaman album,” jawab Neira. “Surat itu sepertinya ditulis untuk Ayah, tapi tidak pernah sampai ke tangannya.”

Bibi Lina menatap Dirga, yang sekarang terlihat tenggelam dalam pikirannya. “Dirga, kamu masih ingat Cinta, bukan?”

Dirga mengangguk pelan, meski wajahnya tetap tenang. “Tentu saja, aku ingat. Tapi aku tidak pernah tahu ada surat itu.”

Bibi Lina menghela napas panjang, lalu mulai bercerita. “Saat Cinta menulis surat itu, dia berharap bisa memberikan surat itu langsung kepadamu, Dirga. Namun, pada saat yang sama, ada banyak hal yang terjadi. Keluarga kita sedang dalam masa sulit, dan aku… aku takut jika kamu kembali melihat Cinta, semuanya akan menjadi lebih rumit.”

Dirga menatap Bibi Lina dengan kebingungan. “Apa maksudmu, Lina?”

Bibi Lina tampak menyesal. “Aku menyembunyikan surat itu, Dirga. Saat surat itu sampai, aku merasa kamu perlu melupakan Cinta dan fokus pada masa depanmu. Aku kira itu yang terbaik, meskipun sekarang aku sadar itu bukanlah hakku untuk memutuskan.”

Neira terkejut mendengar pengakuan Bibi Lina. Dia melihat Ayahnya berusaha memproses semua ini. Ada campuran perasaan marah, kecewa, namun juga pemahaman di mata Dirga.

“Kenapa, Lina? Kenapa kamu berpikir aku harus melupakan Cinta?” tanya Dirga akhirnya.

Bibi Lina menatap saudaranya dengan mata yang berkaca-kaca. “Karena aku tidak ingin melihatmu terluka lebih dalam lagi, Dirga. Kamu sudah cukup menderita saat Cinta pergi, dan aku tidak ingin melihatmu kembali ke masa itu. Tapi sekarang, aku sadar aku seharusnya membiarkan kamu membuat keputusan sendiri.”

Dirga terdiam, menghela napas panjang. Dia merasakan beban masa lalu yang selama ini tertinggal dalam bayang-bayang hidupnya. “Lina, aku mengerti niatmu. Tapi perasaan itu tidak pernah hilang. Aku selalu merindukan Cinta, dan sekarang aku tahu, dia juga merindukanku.”

Neira merasa hatinya ikut tersentuh oleh kata-kata Ayahnya. Dia melihat bagaimana kasih sayang yang mendalam dan sejati tidak pernah benar-benar pudar, meskipun waktu dan jarak memisahkan.

Setelah percakapan itu, Dirga tahu bahwa ada satu hal yang harus dia lakukan. Dengan bantuan Bibi Lina, mereka mencari tahu keberadaan Cinta. Mereka menemukan bahwa Cinta sekarang tinggal di sebuah kota kecil di pinggir laut, menjalani hidup yang sederhana namun penuh makna sebagai seorang guru sekolah.

Neira mendesak Ayahnya untuk menemui Cinta. Dirga awalnya ragu, takut bahwa pertemuan itu mungkin akan membawa lebih banyak kesedihan daripada kebahagiaan. Namun, Neira yakin bahwa Ayahnya membutuhkan penutupan, kesempatan untuk mengatakan hal-hal yang tidak pernah bisa diungkapkan selama ini.

Dengan hati yang berdebar, Dirga dan Neira akhirnya memutuskan untuk melakukan perjalanan ke kota tempat Cinta tinggal. Perjalanan itu dipenuhi dengan diam, namun setiap kilometer yang mereka tempuh membawa Dirga semakin dekat dengan masa lalu yang selama ini tertinggal.

Saat mereka tiba di kota kecil itu, Neira bisa merasakan bahwa Ayahnya sedang dalam kondisi emosional yang rumit. Mereka berjalan bersama menuju sebuah sekolah kecil di dekat pantai, tempat Cinta mengajar. Dirga merasakan setiap langkah yang diambilnya semakin berat, namun juga penuh harapan.

Ketika akhirnya mereka sampai di gerbang sekolah, Dirga berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. “Neira, aku tidak tahu apakah ini langkah yang benar, tapi aku harus melakukannya.”

Neira meraih tangan Ayahnya dengan lembut. “Ayah, kadang kita tidak perlu tahu apa yang benar atau salah. Yang penting adalah kita melakukan apa yang hati kita katakan.”

Dengan dorongan dari Neira, Dirga melangkah masuk ke halaman sekolah. Di kejauhan, mereka melihat seorang wanita paruh baya sedang berdiri di bawah pohon, mengawasi anak-anak yang bermain. Dirga tahu, itu adalah Cinta.

Langkah-langkah mereka membawa mereka semakin dekat dengan wanita itu. Cinta, yang merasa ada yang mendekat, menoleh. Untuk sesaat, waktu seakan berhenti saat mata mereka bertemu. Tidak ada kata yang keluar dari mulut mereka, namun dalam tatapan itu, semua yang pernah dirasakan, semua yang pernah disimpan, tumpah ruah tanpa perlu diucapkan.

Cinta berjalan mendekat, dengan senyum yang terlukis di wajahnya. “Dirga… aku tidak percaya ini kamu.”

Dirga menelan ludah, suaranya serak saat akhirnya dia bisa berbicara. “Cinta, aku… akhirnya menemukanmu.”

Cinta mengangguk, matanya berkilau dengan air mata yang tertahan. “Aku selalu berharap suatu hari kita bisa bertemu lagi.”

Mereka berdiri di sana, diam-diam menyadari bahwa meskipun waktu telah berlalu, perasaan mereka tidak pernah berubah. Di sebelah mereka, Neira merasa lega, melihat Ayahnya akhirnya mendapatkan penutupan yang selama ini dia butuhkan.

Setelah beberapa saat, mereka akhirnya mulai berbicara, menceritakan hidup mereka sejak terakhir kali mereka bertemu. Ada tawa, ada air mata, namun yang paling penting, ada kasih sayang yang telah lama terpendam namun tetap abadi.

Di akhir hari itu, Dirga dan Cinta berjalan bersama di pantai, seperti yang pernah mereka lakukan bertahun-tahun yang lalu. Mereka tidak perlu kata-kata besar atau janji-janji yang berlebihan. Mereka tahu bahwa perasaan mereka telah melewati ujian waktu, dan apa pun yang terjadi selanjutnya, mereka akan selalu saling menghargai.

Neira mengikuti dari belakang, memberi mereka ruang yang mereka butuhkan. Melihat Ayahnya yang tersenyum dengan tulus, Neira tahu bahwa perjalanan ini adalah salah satu yang tidak akan pernah dia lupakan. Ini bukan tentang akhir yang sempurna, tetapi tentang mengakui dan menerima masa lalu, serta merayakan kasih sayang yang tetap hidup, meskipun dalam bentuk yang berbeda.

Malam itu, ketika mereka kembali ke rumah Bibi Lina, Neira merasa bahwa segalanya telah menemukan tempatnya. Dia melihat Ayahnya dengan rasa bangga dan hormat yang mendalam, karena meskipun telah melalui banyak hal, Ayahnya tetap menjadi pria yang kuat, penuh kasih sayang, dan setia pada apa yang dia percayai.

Cerita ini bukan hanya tentang cinta yang hilang, tetapi juga tentang bagaimana kasih sayang bisa bertahan melalui berbagai rintangan, bagaimana perasaan yang tulus tidak pernah benar-benar memudar. Dan sekarang, Neira memiliki cerita yang bisa dia simpan dan pelajari sepanjang hidupnya—sebuah kisah tentang cinta, kehilangan, dan menemukan kembali apa yang pernah hilang.

 

Dan begitulah, sebuah cerita tentang cinta yang gak pernah benar-benar hilang, meski waktu dan jarak mencoba menghapusnya. Terkadang, hal-hal yang kita pikir udah hilang selamanya justru masih menunggu untuk ditemukan kembali, kalau kita berani mencarinya.

Jadi, mungkin sekarang saatnya kamu juga melihat kembali ke dalam hati kamu sendiri—siapa tahu, ada sesuatu yang masih menunggu di sana. Semoga cerita ini bisa ngasih kamu sedikit inspirasi buat terus percaya sama yang namanya kasih sayang sejati.

Leave a Reply